Share

Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!
Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!
Author: Wulan Sweemo

Bab 1 Celaan Menyakitkan

“Ratih ... Ratih! Buka pintunya! Aku mau masuk.” Suara itu terdengar nyaring memanggilku dari balik pintu rumah sewa yang kami tempati kurang dari satu tahun pernikahanku.

“Iya, Bu, maaf, ya, aku baru pulang dari Puskesmas, badanku sedikit lelah melayani banyak pasien di sana,” jawabku seadanya.

Wanita tua yang tak lain adalah ibu mertuaku masuk dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Bagaikan debt collector yang tugasnya menagih hutang para nasabah, begitulah tiap kali ia datang berkunjung ke rumah kami.

“Di mana suamimu?” tanyanya ketus tanpa menoleh padaku sedikitpun, melirik ke setiap sudut ruangan.

“Bang Haris masih ngajar, Bu, belum pulang.”

“Terus habis pulang kerja gini, kau bermalas-malasan di rumah? Gak ngerti apa kalau suamimu itu cuman guru biasa! Harusnya kau pahamlah dan bantu suamimu, jualan, atau jadi tukang cuci atau pembantu rumah tangga yang bisa ngasilkan uang.”

Aku hanya bisa terdiam tiap kali kalimat pedas itu terdengar lewat runguku. Padahal, aku dan suamiku tidak menumpang hidup dengannya, namun ia datang ke rumah sewa kami dan mengomentari setiap apapun yang kami kerjakan. Rasanya berat menjalani pernikahan seperti ini, tapi batinku berkata untuk terus kuat dan bertahan demi bayi yang sedang kukandung, buah cinta pertama kami.

“Iya, Bu. InsyaAllah nanti setelah aku melahirkan, aku akan cari kerjaan tambahan untuk bantu perekonomian keluarga kami.”

“Kenapa gak sekarang aja?”

“Aku belum bisa, Bu, soalnya aku udah hamil tua, untuk berjalan aja kadang udah ngos-ngosan.”

“Alaaah ... gak usah manjalah! Kau pikir aku gak pernah hamil, gak pernah ngerasain kekmana rasanya orang hamil, iya!” Ibu membentakku tuk kesekian kalinya. “Jadi perempuan, tuh, jangan malas-malasan! Jangan jadi perempuan yang cuma numpang hidup sama suami. Kau gak nyadar kalau kau berasal dari keluarga misk*n!”

Deg!

Rasanya jantungku berhenti berdetak mendengar celaan dari ibu mertuaku.

 “Untung suamimu itu PNS, jadi dia bisa punya gaji tetap tiap bulan untuk biayai hidupnya. Kalau gak, mau jadi apa anakku itu hidup sama kau!” Tak puas sampai di situ, mertuaku terus mengeluarkan kalimat-kalimat pedas untuk mencela diriku. Aku yang saat itu dalam kondisi lemah, hanya bisa berpasrah dengan semua ucapan ibu mertuaku.

“Baik, Bu, secepat mungkin aku cari kerjaan untuk tambahan perekonomian kami.”

“Nah, gitu, dong. Kalau udah masuk ke keluarga kami, kau juga harus tau diri dan tau kerja! Jangan sok mau jadi nyonya!" tambahnya lalu pergi meninggalkan rumah sewa kami.

Padahal aku dan bang Haris tak pernah mempermasalahkan urusan biaya hidup, kami selalu bersyukur dengan semua yang kami punya. Aku pun tak menyangka, ternyata kedatangan ibu mertuaku ke sini hanya untuk mengucapkan kalimat-kalimat pedas itu.

***

“Assalamualaikum, Dek, abang pulang.”

“Waalaikum salam, Bang,” jawabku lesu sembari mencium punggung tangan suamiku.

“Kamu kenapa? Kok, kelihatannya lesu kali?” tanyanya sambil mencium jabang bayi yang ada di perutku.

“Tadi ibumu ke sini, Bang. Dia mencelaku lagi.”

Raut wajah suamiku yang tadinya bahagia, kini berubah menjadi cemberut. Aku sedikit lega ketika suamiku mau merespon ceritaku atau setidaknya sedikit memberiku dukungan atas sikap ibunya, namun ternyata aku salah. Bang Haris justru menyalahkanku.

“Dek, aku gak suka, ya, kalau kau terlalu benci dengan ibu. Biar bagaimanapun, dia itu ibuku, yang telah mengandung dan melahirkanku. Harusnya kau bisa patuh dan nurut apa kata ibu.” Kalimat sinis itu kudengar dari lelaki yang mempersuntingku belum satu tahun ini.

“Bang, aku bukannya gak suka dengan ibumu, tapi aku hanya menyampaikan apa yang terjadi tiap ibumu ke sini.” Air mata itupun menetes tanpa sengaja. Tak tahan rasanya menahan air bening itu tetap berada di pelupuk mataku.

“Aku bosan, setiap kali aku pulang, kau selalu memulai cerita jelek tentang ibuku, macam gak ada baiknya ibuku di matamu!”

Bang Haris, pun, pergi meninggalkanku di ruang tamu seorang diri. Aku bingung, harus pada siapa mengadu. Aku hanyalah seorang anak yatim. Untuk mengadu pada ibuku bukanlah pilihan yang tepat karena hanya akan menambah lelah batinnya.

***

Pagi itu, bang Haris berangkat kerja lebih dulu. Dia tak menungguiku seperti biasa. ‘Apa mungkin karena kejadian semalam, dia malah tidak mencakapiku sampai hari ini?’ batinku.

“Bang ....!” teriakku tergopoh-gopoh membawa termos berisi alat suntik dan es batu. Namun, ia tak menoleh dan tak menyahut panggilanku. Malah terus melaju menggunakan motor jadul miliknya. Padahal aku sangat butuh bantuannya untuk mengangkat termos ini menuju Puskesmas tempat aku bekerja. Terpaksa kutahankan terus berjalan membawa beban di tangan dan di perutku.

“Ratih, mana suamimu? Kok, kau yang bawa termos itu? Kan, berat, loh! Sini-sini biar kubantu.”

“Makasih, ya, Bi.”

“Ayo duduk dulu sini, minum teh manis. Semalam kudengar dari rumahmu ada yang teriak-teriak. Siapa itu?” tanya bi Marina teman kerjaku.

“Dia mertuaku, Bi.”

“Kekmana mertuamu itu? Kok, gitu dia ngomong ke menantunya, emangnya si Haris itu berapa bersaudara?”

“Cuma dua orang, Bi. Dia sama adik perempuannya.”

“Nah, cuma dua orang, tapi, kok, kekgitu dia, ya. Padahal biar gimanapun, menantu perempuan juga yang nantinya ngurus dia kalau udah tua.” Logat Batak khas dari bi Marina.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi komentarnya. Tiba-tiba dari rumah sewaku, tampak berdiri seorang wanita berbaju kebaya, menunggu penghuninya dengan penuh kebencian. Dia tak lain adalah Painem, ibu mertuaku.

"Ratih ... Ratih!” teriaknya berulang-ulang.

Suaranya yang lantang mampu didengar oleh semua orang yang ada di Puskesmas itu, termasuk aku. Kuakui, ibu mertuaku adalah sosok wanita tua yang masih sangat kuat. Dia bekerja tiada henti, pekerjaan apapun itu pasti digelutinya demi mendapatkan uang. Di pikirannya hanya uang, uang, dan uang.

"Iya, Bu? Ada apa pagi-pagi ke sini, Bu?” tanyaku dengan nafas yang tersenggal karena lelah berjalan cepat menuju rumah.

“Mana suamimu? Aku mau bicara dengannya!”

“Bang Haris udah berangkat kerja setengah jam yang lalu. Ada apa emangnya, Bu, nanti, kan, bisa kusampekkan.”

“Aku mau bicara soal pembagian harta warisan. Seenak kalian aja dapat bagian banyak, sedangkan adiknya dapat bagian lebih dikit!”

Aku gak habis pikir, bisa-bisanya mertuaku datang pagi-pagi ke rumahku hanya untuk membahas harta warisan.

“Bu, kan, bisa kita bicarakan lain waktu, dan bisa kita bicarakan di dalam rumah dengan tenang.”

“Gak perlu aku pendapatmu itu, yang kumau sekarang, kau bilang sama suamimu tuk bagi harta warisan ladang itu sama rata dengan anak perempuanku!”

“Bagi harta warisan sama rata?”

 

BERSAMBUNG

 

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Nitaosh94
wow perkara harta warisan ...
goodnovel comment avatar
Wulan Sweemo
Terimakasih atas dukungannya teman-teman readerku ...... mohon dukungannya terus ya ...️
goodnovel comment avatar
Nayna aqila Syah fitri
mertua yng g sayang menantunya..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status