Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 18
Bersyukur sekali keadaan Mas Yusuf sudah membaik. Sudah boleh pulang siang ini. Rasa pusingnya juga sudah banyak berkurang. Tak sabar untuk segera memberitahu Ibu dan Nisa agar segera mengantar Rumi kembali ke rumah siang nanti. Juga segera kukabari Ratih agar datang ke sini, untuk membantuku membawa barang-barang yang sudah selesai kukemasi.
Tampak binar bahagia dari wajah Mas Yusuf saat dokter sudah memberinya izin untuk pulang. Segera ia memintaku untuk mengemasi barang-barang sebelum menghubungi Ratih tadi. Agar saat administrasi selesai kami bisa langung pulang.
"Kita pulang naik apa, Dik?"
Mas Yusuf bertanya saat aku tengah sibuk menata barang dalam tas. Pertanyaannya sudah kuduga, namun hal ini sudah kupikirkan dengan Ratih.
"Nggak usah dipikirkan, Mas. Aku nanti akan memesan taksi online untuk kita."
"Baiklah. Bagaimana motorku, Dik?"
"Sudah diantar ke rumah setelah M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 19"Dik, bagaimana dengan motorku? Mas tak ada tabungan untuk memperbaikinya," keluhnya menjelang tidur. Aku yang masih sibuk dengan ponselku segera menoleh melihat wajahnya."Memang kira-kira habis berapa sih, Mas?" tanyaku setelah mematikan layar ponsel, beralih menghadap wajah Mas Yusuf yang tampak ingin bicara serius."Belum tahu, Dik. Kalau dilihat sekilas, kurang lebih habis lima ratus ribuan lah," ucapnya dengan mata menerawang. Tampak ia berfikir keras untuk mendapatkan cara agar bisa membawa motornya ke bengkel.Kuamaati wajah Mas Yusuf, kemudian kutepuk lembut pipinya yang tirus."Jangan banyak pikiran, Mas. Nanti pusing lagi kepalanya.""Bagaimana nggak mikir, Dik. Motor itu untuk Mas nyari nafkah buat kalian. Kalau rusak begitu, bagaimana Mas akan menghidupi kaian nantinya.""Terus bagaimana? Apa sementara Alina saja yang kerja, ya Mas?" usulk
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 20"Kamu kenapa, Dik? Matanya bengkak gitu?" tanya Mas Yusuf saat aku sedang menyisir rambutku setelah mandi."Ibu, Mas! Ibu mulai lagi!" ucapku kesal sambil membanting sisir yang tengah kupegang ke atas kasur.Mas Yusuf terperanjat kaget melihat tingkahku. Namun, ia tetap diam, memperhatikan."Daster ini aku nggak beli, Mas! Aku dibelikan Ibuku pas nginep di sana kemarin. Baru kupakai di sini, tapi Ibu bilangnya aku istri yang nggak punya prihatin, suami lagi butuh uang aku malah buang-buang uang buat beli daster baru."Aku menceritakan sesuai dengan yang kudengar pada Mas Yusuf. Tak sedikit pun ku kurangi atau kulebih-lebihkan. Kembali air mataku mengalir deras saat mengingat ucapan Ibu tadi. Membuat dadaku terasa sesak kembali, seperti dihimpit baru besar.Mas Yusuf lantas mendekatiku, mengusap lembut punggungku yang sedang duduk di atas kasur. Ditunggunya sampai aku mer
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 21Terik matahari yang menyengat, tertutup oleh rimbunnya pepohonan yang berbaris rapi di halaman belakang. Membuat siapapun yang duduk di bawahnya merasa sejuk dan nyaman. Tak terkecuali Mas Yusuf. Sedari tadi kutunggu tak kunjung masuk ke kamar. Sehingga kuputuskan untuk mencarinya di belakang rumah.Aku mendekati Mas Yusuf yang sedang duduk di amben bambu, di bawah pohon mangga yang rimbun. Dengan sebatang rokok yang menempel di jemarinya. Kutempelkan bobot tubuh persis bersebelahan dengannya. Kutundukkan kepalaku, menyesal atas apa yang telah kulakukan."Gara-gara Alina, Mas Yusuf berantem sama Ibu."Aku lalu menatap teduh wajah Mas Yusuf yang tampak kusut setelah berdebat dengan Ibunya. Setidaknya, ini juga akibat aku yang tidak bisa mengontrol emosi, sehingga membuatnya marah pada sang ibu."Maafkan aku, ya Mas.""Nggak apa-apa, Dik. Sekali-sekali Ibu memang harus dig
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 22Siang itu, kuabaikan kondisi warung Ibu yang tampak ramai. Beliau tampak kewalahan membuatkan kopi juga melayani pembeli. Sedangkan aku sibuk menenangkan Rumi yang sedang menangis dalam pelukanku.Saat kutanya, mengapa menangis, Rumi baru menceritakan kejadiannya.Maksud hatinya, ingin mengajak sang nenek turut bermain bersama, karena Maya dipanggil ibunya. Rumi mendatangi nenek sambil membawa beberapa bonekanya, tanpa sengaja neneknya membentak dan mendorong tubuh Rumi kecil agar menjauh dari warungnya. Karena memang kondisi warung sedang ada banyak pembeli.Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Rumi saat itu. Mendapati perlakuan kasar sang nenek tanpa ada seseorang yang melindunginya.Mendengar cerita Rumi, aku menjadi kesal dan sebal. Anak kecil kok dibentak dan didorong. Aku sebagai ibunya saja tak pernah berbuat kasar padanya. Apa nggak bisa memintanya pergi atau menunggu
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 23Jodoh adalah pilihan hidup. Tidak boleh ada kata menyesal dengan banyaknya cobaan atas sesuatu yang sudah menjadi pilihan. Sebaik dan seburuk apapun jodoh pilihan kita, harus diterima dengan hati lapang, dijalani dengan ikhlas dan penuh syukur, agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan seimbang.Bagaimanapun cobaannya, sebaiknya berusaha bertahan, dengan mencari solusi terbaik. Selama itu bukan adanya orang ketiga dalam bahtera rumah tangga, bagiku masih bisa diselamatkan. Tak baik jika setiap ada permasalahan, perpisahan menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan masalah.Akan ada pilihan jalan untuk menyelesaikan setiap masalah yang Tuhan hadirkan. Juga akan ada sisi positif dari setiap cobaan yang menimpa diri. Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dalam menjalani kehidupan. Adakalanya, ujian datang karena kelalaian atas rasa syukur yang tak pernah hadir dalam diri."Tunggu Al!"
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 24"Sudah sehat betul, Suf? Bagaimana kabar motor kamu?" tanya Ayah pada Mas Yusuf. Kami baru sampai di rumah orang tuaku beberapa menit yang lalu."Alhamdulillah sudah lebih baik, Yah. Motornya masih di bengkel, masih proses perbaikan."Mas Yusuf duduk di kursi ruang tamu, bersebrangan dengan Ayah yang sedang menikmati secangkir kopi sambil mengulum sebatang rokok. Melihat kami datang, Ayah lantas mematikan rokok di asbak yang berada di atas meja."Parah? Apanya yang rusak?" Ayah menghadapkan pandangannya ke arah kami, menatap aku dan Mas Yusuf bergantian."Bagian depan rusak agak lumayan parah, tapi masih bisa diperbaiki. Hanya saja butuh waktu lumayan lama, Yah.""Bawa saja motor Nisa," usul Ayah."Baru saja saya mau minta izin sama Ayah.""Nggak apa-apa, pakai saja. Toh memang butuh. Nggak usah dikembalikan, biar kamu pakai. Motormu sudah lumayan t
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 25Dering ponsel menyadarkanku dari ingatan masa lalu, memaksaku untuk melihat mengapa benda ini berbunyi. Tertera sebuah nomor baru di layar. Hanya kupandangi, enggan menjawab, malas sekali jika ada yang basa-basi atau hal tak penting lainnya. Kuabaikan saja, biarlah ia terus berdering hingga bosan.Lagu favorit yang kugunakan sebagai nada dering panggilan mengalun indah. Tidak terlalu keras, juga tidak terlalu pelan, pas untuk didengar sebagai teman rebahan. Beberapa kali berbunyi akhirnya panggilan itu terhenti. Ganti dengan nada pesan masuk.Terpaksa kubuka pesan tersebut, barangkali ada sesuatu yang penting.Sebuah pesan singkat bertuliskan nama "Azam" tertera di layar. Membuatku seketika tersenyum lebar. Ternyata Mas Azam sungguh-sungguh menghubungiku. Belum sempat kubalas pesannya, Mas Azam sudah menghubungiku kembali. Gegas kuangkat panggilannya, karena sudah tau siapa pemilik nomor tersebut
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 26Pagi ini mentari tampak malu-malu keluar dari tempatnya. Sinarnya yang redup, membuat cuaca nampak mendung. Udara cukup dingin, membuatku enggan untuk bangkit dari tempat tidur. Setelah salat subuh tadi,aku kembali ke atas pembaringan. Membalut tubuh dengan selimut tebal hingga seluruh tubuh berada di dalamnya, karena hanya saat di rumah orang tuaku saja aku bisa seperti ini. Kesempatan.Kulirik Rumi yang masih nyenyak dalam balutan selimut tebal. Manis sekali anakku ini, wajahnya seperti fotokopi Ayahnya. Nggak ada mirip-miripnya denganku yang sudah mengandung selama sembilan bulan. Hanya saja, rambutnya yang lurus itu sama seperti rambut panjangku ini.Kuusap anakan rambut yang terurai di atas kening dan matanya. Matanya yang semula terpejam, kini mengerjap geli akibat gerakan rambut yang kupindah ke sisi telinganya. Hal itu membuatnya menggeliat