Share

Chapter 2

Pukul satu dini hari, kantuk sepertinya masih enggan menghampiri. Aku menyesap secangkir susu coklat hangat dan berharap susu coklat itu mampu membuatku tertidur lelap.

Namun hingga lima menit berlalu sejak isi dalam cangkirku tandas, rasa kantuk masih belum mau berteman denganku.

Miris. Padahal lantunan instrumen pengantar tidur milik Depapepe yang berjudul Wedding Bell sudah ikut menemani sejak dua jam yang lalu.

Entah ke mana semua kantukku ini pergi?

Aku menengadah menatap langit-langit kamar. Teringat kembali pengakuan Kevan tadi. Pada akhirnya segala tanda tanya yang selama ini hanya aku dan Lintang pertanyakan terbuka dengan sendirinya.

Pertanyaan-pertanyaan kenapa Kevan seringkali terlihat aneh. Bagaimana dulu aku menemukan foto dalam galeri handphone-nya, sahabatku itu berdandan layaknya wanita. Dia beralasan itu ulah teman-temannya.

"Itu kerjaan temen-temen gue. Gue kalah taruhan bola. Sebagai hukumannya harus dandan kayak gitu," ucap Kevan kala itu. Usianya masih tujuh belas tahun, masih kurus, tetap ganteng tapi belum mengenal perawatan salon. Belum aktif nge-gym seperti ketika dia dewasa.

"Trus, lo mau gitu, didandanin begini?" Dia memandangku sendu setelah mendapat omelan seperti itu. Aku tak habis pikir. Memangnya tak ada lagi hal lain yang bisa dilakukan selain mendandani laki-laki hingga secantik itu?

"Teman-temen gue yang maksa--" Dia menggantung ucapan, karena bunyi telpon masuk terdengar. Kevan memberi kode dengan tangan, meminta izin untuk mengangkat telpon sebentar.

Setelah Kevan berjalan agak menjauh, aku dan Lintang mengamati foto itu lagi. Dalam foto tersebut, sahabatku itu memakai wig panjang, lengkap dengan make up yang membuatnya terlihat cantik. Lelaki itu juga mengenakan dress berwarna hitam, entah apa yang dilakukannya hingga membuat buah dadanya ikut menonjol ke atas. Apakah ia menggunakan push up bra?

Tapi dari semua hal itu yang lebih menggelikan adalah ekspresinya yang sedang menggigit bibir. Aku memandang Lintang, Lintang juga ikut memandangku dengan mulut yang lupa terkatup.

"Kalo dipaksa kenapa ekspresinya bikin geli ya?" bisik Lintang ketika Laki-laki itu sedang sibuk mengangkat telpon di ambang pintu kamar.

Kuperhatikan foto itu dengan seksama dan membenarkan ucapan Lintang tadi. Ada rasa tak percaya melihat penampilan Kevan yang seperti ini.

"Iya. Laki-laki kan biasanya risih." Suaraku melemah sembari menatap Kevan yang sedang berdiri membelakangi kami berdua. Sulit menerima atas apa yang barusan kulihat. Karena laki-laki biasanya akan antipati dengan sesuatu yang berhubungan dengan make up. Apalagi ekspresi wajah seperti tadi. Laki-laki normal jelas tidak akan berlaku demikian.

Itu adalah awal kecurigaanku dan Lintang. Semakin lama semakin banyak hal yang terbuka, ini adalah salah satu contohnya. Aku pernah memergoki Kevan tengah memperhatikan majalah pria dewasa. Pria-pria ganteng dengan perut sixpack-nya.

Dia tidak sadar bahwa pada saat itu, aku sedang memperhatikannya dari belakang. Setiap kali dia menoleh, aku berpura-pura sibuk dengan ponselku, menggeser-geser layarnya yang gelap karena baterainya yang lemah.

Dengan cara itu, Kevan tak akan pernah tahu segala aktivitasnya sedang menjadi pusat perhatian. Aku bisa leluasa merekam semua yang terjadi melalui netraku. Dan itu terkenang hingga sekarang.

❤️

 

Seandainya Kevan tahu bahwa seringkali aku dan Lintang membuntuti dia dari belakang. Mengikuti aktivitasnya hanya untuk memastikan kecurigaan kami berdua. Aku tak bisa membayangkan semarah apa dia nanti.

Bahkan aku dan Lintang pernah melihatnya pulang dengan seorang pria. Mereka berciuman layaknya pasangan yang sedang dimabuk cinta. Dari pengakuan Kevan kemarin bahwa dia pernah melayani nafsu seorang pria satu kali, maka aku menduga pria tersebutlah orangnya.

Kevan terpaksa melakukan itu. Karena kondisi keuangannya sedang berada di bawah pada saat itu.

Kehidupan Kevan terdahulu tak semudah sekarang. Dulu ketika usianya masih delapan belas tahun, karena permasalahan dalam keluarga ia terpaksa keluar dari rumah. Bukan diusir, melainkan dirinya sendiriah yang memutuskan untuk pergi.

Tanpa pekerjaan, tanpa sepeser uang pun di tangan, ia meninggalkan rumah, zona nyamannya selama ini.

Karena keputusan gegabahnya, ia pernah dua hari tidak makan, hanya minum air sebanyak yang ia bisa. Satu hal sederhana yang bisa dilakukan, bertahan hidup ditengah-tengah segala kekurangan.

"Kalo cuma untuk makan aja, lo bisa ke rumah gue atau Lintang, Kev. Lo nggak perlu kelaperan kayak gini."

Sahabatku ini makan dengan begitu lahap ketika aku dan Lintang mendatangi kostannya.

Aroma nasi padang memenuhi ruangan ini; menu yang Lintang bawa untuk makan siang Kevan.

Kulayangkan pandangan ke ruangan kost Kevan. Begitu sederhana. Hanya berukuran sekitar dua kali empat meter, terdiri dari satu dipan kecil saja. Jangankan televisi dan AC, kipas angin pun tak ada di sini.

Pikiranku menerawang, membayangkan bagaimana ia bertahan hidup di tengah segala kekurangan.

"Yang penting masih ada tempat berteduh." Kevan tersenyum. Bersyukur karena masih memiliki tempat untuk pulang, terhindar dari panas dan hujan.

"Gue nggak mau nyusahin lo berdua," sambungnya lagi, membuatku kembali dari lamunan.

Mulutnya masih sibuk mengunyah dengan sangat nikmat. Aku bahagia melihat ia makan dengan lahap. Makan yang banyak ya. Kev. Sedih rasanya melihatnya seperti ini.

"Nyusahin apaan sih? Di rumah gue, beras sama telor juga banyak. Gue ikhlas." Lintang mengucapkan itu dengan mata sendu dan bibir yang kehilangan senyum. Sama sepertiku, ia juga bersedih.

"Gue sanggup nahan laper. Tenang aja. Gue nggak mau ngerepotin lo berdua." Sahabatku selalu seperti ini, mengatakan ia baik-baik saja walaupun kenyataannya tidak.

Ada sifat dalam dirinya yang tak mau menjadi beban bagi orang lain. Pada akhirnya sifat yang demikianlah yang membuat ia menjadi semakin susah.

"Lo ngomong apa sih, Kev? Kalo mikirnya kayak gitu apa gunanya kita sahabatan? Lo turun berapa kilo, sih? Kurus banget." Lintang memandangi wajah Kevan. Lelaki berhidung mancung itu terlihat tirus, dengan tulang pipi yang mulai menonjol.

"Gue nggak nimbang. Tapi emang kurusan. Celana pada kedodoran semua." Dia tertawa sembari mengambil botol air mineral, menegaknya hingga tandas.

"Tuh, kan, pantes lo kurusan. Besok-besok, lo telpon gue atau Aya kalo kurang duit ya. Nggak usah ngerasa malu."

"Nggak usah khawatir. Besok gue mulai kerja kok jadi SPB (Sales Promotion Boy). Lumayan buat sehari-hari." Lalu ia mulai asik menggigit Donut Jco nya setelah tadi menghabiskan sebungkus nasi padang.

Kalau boleh aku sedikit bercerita, dari Sales Promotion Boy lah sahabatku itu mengawali kariernya. Dia juga mulai meningkatkan kemampuan dengan mengikuti berbagai macam training di bidang marketing pada waktu itu.

"Gue harus ikut banyak training supaya kemampuan gue nambah. Karena gue nggak mungkin kuliah," tuturnya dengan tatapan sendu, tanpa senyum sedikit pun.

Kondisinya yang sedang bermasalah dengan orang tua angkat, membuat ia mengubur dalam-dalam mimpi untuk bisa menginjakkan kaki di bangku kuliah. Mimpi yang dulunya ia bentangkan setinggi-tingginya namun terpaksa redup karena keadaan.

Usaha Kevan mengikuti berbagai macam training itu pun membuahkan hasil. Di usia ke dua puluh empat tahun, ia berhasil menjadi Departement Head Trainer Eksekutif. Satu-satunya orang yang bisa berada pada posisi itu dengan pendidikan yang hanya setamat Sekolah Menengah Atas saja.

"Gue pengin suatu saat bisa tinggal di apartemen, naik turun mobil dengan supir pribadi yang nemenin. Dengan gaya metroseksual yang bikin gue jadi makin keren."

Itu adalah sebagian mimpi yang pernah diucapkannya dulu, ketika aku dan dia sedang duduk-duduk di bawah pohon mangga depan rumahku. Kami berdua pernah ada di masa itu, membentangkan mimpi setinggi-tingginya, berharap angin menerbangkan mimpi kami untuk disampaikannya kepada pemilik semesta.

"Karena mimpi itu gratis, maka bermimpilah. Dan kejar mimpi itu sampai Tuhan memanggilmu pulang," ujarnya menambahi.

Bagi Kevan menjadi seorang Departement Head Trainer Eksekutif  saja ternyata tak cukup. Ia merasa memiliki gaji besar tapi tak memiliki tabungan karena sifatnya yang boros.

Maka, sahabatku itu mulai berpikir keras, apa yang bisa dilakukan agar tabungan yang dimiliki bisa menghasilkan sesuatu.

Ia pun memutuskan untuk keluar dari zona amannya. Berhenti bekerja dan mulai membangun bisnis.

Bisnis telur ayam adalah pilihan yang dia ambil pada saat itu. Tapi gagal, karena banyak kendala. Telur pecah dan busuk sebelum sampai ke depo adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan setiap hari.

Ia mencoba peruntungan lain, peternakan ayam dan peternakan ikan juga pernah dicoba. Namun kembali gagal.

Sisa uang di tabungan mulai menipis. Kevan mulai bingung harus membuat bisnis apalagi, semua sudah dicoba tapi keberuntungan masih belum juga berpihak.

Hingga suatu hari, ia ingin membeli dompet yang dapat diisi untuk dua jenis handphone. Di toko online, ia mendapat dengan harga seratus lima puluh ribu rupiah. Mungkin nasib sedang berpihak padanya, tanpa sengaja ia bertemu salah seorang teman yang memiliki konveksi dompet seharga lima puluh ribu rupiah saja.

"Ay, ini kesempatan gue. Lo tahu, ini dompet lagi tinggi peminatnya? Di online shop harganya bisa sampe seratus lima puluh ribu. Ini gue dapet harga murah. Bego aja kalo gue ngelewatin gitu aja, ini kesempatan gue."

Maka berawal dari sanalah, ia belajar membangun bisnisnya. Dari posisi masih merangkak, belajar tertatih, terjatuh, bangkit kembali, mulai bisa berjalan dan akhirnya berlari.

Dimulai dari satu toko ke toko lain, kini seorang Kevan bisa memiliki outlet sendiri yang tersebar di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Bahkan usaha dompet kulitnya ini bukan hanya merajai pangsa pasar di dalam saja, tapi juga luar negeri. Sebagai sahabat, tentu saja aku bangga. Karena ia berhasil membuktikan bahwa dengan kerja keras tak ada hal yang sia-sia.  

Namun sayangnya, kesuksesannya di bidang bisnis tak dibarengi dengan kesuksesan dalam hal percintaan. Kevan sering mengatakan padaku tak pernah terpikir akan menikah. Aku pikir itu hanya gurauan semata. Tapi ternyata salah. Dia benar-benar serius akan ucapannya.

Terbukti ia pernah memutuskan tak melanjutkan kuliah hanya karena merasa tak nyaman dikejar-kejar teman wanita yang menyukainya.

"Agresif banget dia. Gue takut ... " ucap Kevan kala itu memberikan alasan setelah ketahuan olehku dan Lintang bahwa statusnya tak lagi menjadi mahasiswa.

"Cuma perkara cewek doang?" tanya Lintang tak habis pikir. "Ampun dah, Kev." Ia pun berjalan mondar mandir sembari memegang keningnya. Pusing.

"Ya gimana, gue udah nggak nyaman," sahut Kevan santai.

"Lo udah semester empat. Sayang banget tau! Ini kan kesempatan lo. Dari dulu kan lo pengen kuliah, Kev." Mungkin Kevan sedang lupa salah satu mimpinya yang lain. Jadi aku sengaja mengingatkannya lagi.

Bisa meneruskan pendidikan hingga Universitas merupakan salah satu mimpi yang ingin dicapainya dulu. Dan itu bisa terwujud setelah ia sukses. Lantas hanya karena permasalahan wanita dia sampai menghentikan mimpinya begitu saja?

Betapa bodohnya ....

Pada saat itu, aku dan Lintang sampai bingung sendiri. Wanita itu kan hanya mengajaknya berpacaran, bukan menikah. Kenapa Kevan sampai ketakutan setengah mati?

"Lagian dia cuma ngajak pacaran. Wajahnya juga lumayan kok. Kenapa nggak dicoba dulu?" desak Lintang setelah Kevan memberi tahu aku dan Lintang bagaimana wajah gadis itu.

Aku dan Lintang sempat mengamati sosial medianya, tak ada yang salah dengan wajahnya. Cantik, mirip artis korea. Bahkan gayanya juga sangat mengikuti tren zaman sekarang. Tapi kenapa Kevan menolak ya? Dimana letak kurangnya?

"Kalian nggak ngerti sih ... " gumamnya, frustasi.

Pada saat itu, aku dan Lintang tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Hingga akhirnya pengakuan itu tercetus, maka dengan sendirinya segala tanda tanya itu pun menemukan jawabannya. Kevan gay, dia berbeda dan kami harus menerima.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status