Share

Aku Menikahi Sahabatku Yang Seorang Gay
Aku Menikahi Sahabatku Yang Seorang Gay
Penulis: AnggiaFM

Chapter 1

"Gue pengen cerita tentang bagian dalam hidup gue ke kalian. Pergumulan gue selama ini. Jujur ini enggak gampang." Sahabatku ini menggantung ucapannya. Ada rasa tak nyaman dari balik suara yang meragu. Sesuatu yang tertahan, tapi berusaha ia ungkapkan. "Kalian bakalan shock nggak ya?" Ia menghentikan aktivitasnya sebentar, mengambil air mineral dari lemari es.

Lelaki yang sedang berdiri tak jauh dari tempatku ini, lalu memandangi aku dan Lintang, sahabatku yang lain, secara bergantian. Ada kekhawatiran yang dapat aku tangkap dari sorot matanya. Khawatir jika ditinggalkan.

Sebetulnya aku tahu arah pembicaraan Kevan, nama lelaki ini. Tapi kubiarkan ia menyelesaikan kalimatnya sendiri. Tak perlu dipaksakan dan biarkan mengalir dengan sendirinya.

Ia melangkahkan kaki dan mengambil posisi duduk di antara aku dan Lintang. Aroma Bvlgari yang menempel pada tubuh lelaki ini menggelitik indra penciumanku. Manik matanya mengatakan bahwa ini berat untuk diucapkan. Aku mengangguk, sebagai jawaban bahwa aku dan Lintang sudah siap mendengar penuturannya.

Pergerakan jarum jam begitu terasa lambat, hingga ....

"Gue gay," katanya pelan. Hening sebentar. Lalu, "Apa kalian masih mau terima gue?"

Ada rasa takut yang bercampur dengan kelegaan dari tatapannya; takut kehilangan sahabat yang sudah dimulai sejak masih kanak-kanak. Lega karena rahasia yang sudah tersimpan lama itu kini sudah sampai pada masanya. Masa untuk diungkapkan.

Aku tersenyum dan mengusap lengannya dengan tulus. Dia tak perlu khawatir. Karena bagiku dan Lintang, ini adalah sebuah rahasia lama yang baru sekarang terangkat ke permukaan. Kami sudah menerimanya sejak dulu, tanpa perlu ia minta.

Selama ini kami hanya menunggu, menunggu saat Kevan mengakui orientasi seksualnya berbeda. Bukan untuk menghina dan merendahkannya, tapi untuk memberikan kekuatan dan pelukan pengharapan.  

Aku, Kevan dan Lintang bersahabat sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Hampir dua puluh tahun kami bersama.

Jadi rasanya wajar, jika aku dan Lintang memiliki harapan yang besar untuk Kevan di masa yang akan datang. Bertemu dengan wanita baik, menikah, memiliki keturunan dan hidup bahagia.

Sahabatku ini memiliki pesona untuk dicintai. Wajah tampan dengan tubuh yang tinggi menjulang. Kurang apalagi?

Kurangnya adalah ... karena dia tidak tertarik dengan wanita. Selama ini tak sedikit kaum hawa yang menitip salam untuknya dan hanya dibalas dengan ucapan 'salam balik' saja.

Di balik sikapnya yang tak acuh, dulu aku dan Lintang telah menyadari ada yang berbeda dari sosok sahabatku ini. Dia tak seperti pria lain yang terkesan tak peduli dengan penampilan dan perawatan.

Dibandingkan aku, Kevan lebih rajin perawatan di salon, sehingga jangankan jerawat, satu komedo pun tak ada yang menempel di wajah tampannya.

"Kev, jujur ya. Gue sama Lintang udah tahu hal ini dari lama. Tapi apa pun yang terjadi, lo tetap sahabat kami. Nggak ada yang berubah sedikit pun, Kev." Aku menatapnya dalam, untuk meyakinkan dia bahwa apa pun yang terjadi selalu ada cinta untuknya di hati kami.

Aku dan Lintang menahan untuk tidak memeluk Kevan saat ini. Bukan karena bukan mukhrim. Tapi semata-mata untuk kenyamanan pria berhidung mancung ini. Kevan tak terbiasa dengan bentuk perhatian seperti itu dari lawan jenis, walau itu dari sahabat terdekatnya sekali pun.

"Kenapa lu baru bilang sekarang, Kev? Lu takut kita nggak akan bisa nerima lo?" Kali ini suara Lintang yang terdengar. Ada nada tak terima dari tutur katanya. Sebagai sahabat ia merasa tak dipercaya untuk menyimpan suatu rahasia.

Perasaan yang wajar, mengingat persahabatan yang terjalin sudah terlampau lama untuk diragukan kualitasnya.

"Dari kecil gue udah ngerasa beda, gue tahu cowok ganteng dari TK. Susah buat gue dengan keadaan kayak gini. Karena nggak semua orang bisa nerima." Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Merasa frustasi. Lintang mengusap bahu Kevan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Gue cuma punya kalian. Tolong jangan tinggalin gue," pintanya mengiba.

Dinding pertahanan Lintang runtuh sudah. Bulir-bulir air mata membasahi pipinya yang putih bak iklan handbody lotion kebanyakan. Di antara kami bertiga, Lintang adalah drama queen-nya. Dia akan mudah menangis untuk banyak hal, termasuk sekarang ini.

❤️

"Heh, wanita! Udah sih, jangan cengeng. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis. Gue eneg tau nggak!" semprot Kevan jengah setelah hampir satu jam ia bercerita, hanya diiringi oleh air mata Lintang yang tak kunjung usai.

Tangisan Lintang semakin menjadi. Bahkan kini ia sibuk membuang ingus ke dalam tissue yang sedang digenggamannya. Kevan mengernyit jijik.

Aku tertawa. Ada rasa bahagia melihat Kevan yang mulai cerewet. Itu artinya, suasana hatinya sudah mulai membaik sekarang.

"Tau lu, Tang, nangis mulu idup lo. Cerita cuma sejam tapi nangis nggak kelar-kelar," ledekku menambahi. Kevan mengangguk-angguk setuju.

"Udah ah, gue capek pura-pura jadi laki terus di depan kalian. Mending kita ngerumpi aja," ujar Kevan tiba-tiba dengan gestur yang jauh berbeda. Kerlingan mata dan gerak bibirnya bukan seperti ia yang biasanya. Belum selesai keterkejutanku dan Lintang, Kevan kembali berucap. "Eh Cyiiiin, kalian tahu nggak di sebelah apartemen gue ada laki ganteng banget, Booo ... ya ampun, bibirnya, badannya." Sorot mata Kevan menerawang membayangkan sesuatu. Sorot mata itu begitu hidup. Sorot mata jatuh cinta.

Aku dan Lintang melongo. Kenapa Kevan jadi begini?

"Tiap ngeliat dia rasanya pengen gue kunciin di kamar. Nggak akan gue kasih keluar. Posesif ya gue? Bodo amat, deh, laki model gitu, Cyiiin, sayang dilewatin," cerocos Kevan mirip ibu-ibu yang biasa belanja di tukang sayur.

Aku dan Lintang bersitatap. Walaupun Kevan sudah mengakui orientasi seksualnya, tapi tetap saja kami masih belum terbiasa dengan gestur tubuhnya yang seperti ini. Kemana Kevan yang biasanya macho itu?

"Kenalin, Kev, ke gue," pintaku cepat. Namanya juga perempuan wajar jika memiliki radar sendiri ketika menemukan pria single yang layak untuk diajak pedekate. Kevan mencebik. Pandangannya mengatakan 'lo mau cari mati?'

"Kenalin sih, Kev," rayuku. Dia semakin menatapku dengan pandangan jengkel. Lintang menggeleng-gelengkan kepala. Layaknya seorang ibu yang jengah melihat kedua anaknya beragumen.

"Ih, kagak bisa. Itu jatah gue. Bagian lo nanti aja ya, Cyiinn, gue cariin. Lo suka yang modelnya kaya gimana, sih? Kayak mamang-mamang parkir di bawah itu ya? Gampang!" Dia menjentikkan jemarinya. Membuatku kesal.

Kulempar Kevan dengan bantal sofa yang sedari tadi kupeluk. Mulut Kevan aslinya seperti ini, lebih pedas dari cabe sepuluh kiloan. Menyebalkan!

"Sembarangan kalo ngomong!” dengkusku sebal, apalagi ketika melihat dia sedang meledekku dengan ucapan 'bodo' tanpa suara.

Lintang tergelak. "Lo jahat banget, Kev. Nggak rela gue, lo ngejodohin Aya sama sembarangan orang kaya gitu. Aya kan cantik, lo liat aja kalo lagi senyum, lesung pipi sebelah kirinya bikin dia jadi makin manis tauk!" Mataku berbinar. Duh, manisnya sahabatku ini. So sweet banget deh, jadi enak, jadi makin sayang.

"Iyuwh apaan sih lu, Ay. Jijik tau nggak!” teriak Lintang setelah aku berhasil mendaratkan satu ciuman dengan bonus air liur di pipinya yang mulus itu.

Bibirnya mencebik.

Kevan terbahak-bahak, begitu pula dengan aku yang langsung menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan kekehan di sana. Aku suka sekali tertawa dengan mulut yang ditutup. Bukan karena pernafasanku yang bau atau gigi yang ompong. Mungkin karena kebiasaan lama yang sulit untuk dihilangkan.

Lintang mengusap pipi dengan tissue. Ekspresi jijik tercetak jelas pada raut wajahnya. Selain cengeng, Lintang ini pecinta kebersihan, dia paling alergi dengan hal-hal seperti ini.

Tapi entah kenapa, menggodanya itu semacem hobi yang sulit untuk dihilangkan. Semakin dia marah malah semakin membuatku bahagia.

"Nyium pipi itu nggak pake ludah ya. Dodol banget lu, nggak bisa bedain french kiss sama cium pipi. Perlu gue ajarin apa?" cerocosnya masih kesal.

"Sini, ajarin dong ... kebetulan gue lupa caranya gimana." Aku hendak memeluknya tapi ditahan oleh Lintang dengan kakinya. Dia marah tapi semakin membuat gemas.

"Ya ampyun, kasian ... " cibir Kevan menyebalkan. Belum sempat aku merespon sikap Kevan itu, suara Lintang keburu terdengar.

"Lo berani maju gue tendang, nih!” gertaknya galak. Kembali aku terbahak.

"Duh, ini cabe-cabean nggak jelas banget kelakuan. Gimana gue mau suka sama perempuan kalo yang gue temuin modelnya kaya kalian? Heh, wanita! Daripada lo berdua berantem nggak jelas, mending temenin gue ke salon." Kevan menarikku dan Lintang bergantian. Membuat perdebatan antara aku dan Lintang selesai pada saat itu juga.

"Gue nggak bisa, Kev. Gue belom masak, belom beberes, rumah gue masih berantakan!" protes Lintang kelimpungan karena tarikan Kevan yang tiba-tiba. Tak ubahnya dengan aku yang sempat terjatuh dari sofa karena ulah Kevan itu. Dan dia malah tertawa saja menanggapi.

"Udah ntar beli jadi aja. Sebagai bini, kita harus bisa jaga penampilan, Cyiin. Supaya laki tetep sayang dan betah di rumah. Laki tuh ya udah capek seharian kerja, sambut kek, dengan penampilan yang oke. Jangan daster lagi daster lagi yang lo pake! Emang lo nggak takut apa di luaran sana banyak pelakor yang siap perang!"

“Ih, bawel banget sih lo ngelebihin emak gue aja!” cetus Lintang kesal.

"Ih, lu dikasih tau juga ngeyel! Gue nih udah pengalaman ya laki gue dicomotin orang. Sakit ati, Cyiiin. Makanya, gue nggak mau lu berdua ngerasain apa yang gue rasain!" Kevan masih saja ngomel-ngomel tak jelas tujuannya.

Aku hanya mampu tertawa melihat pertengkaran mereka berdua dan sedikit pun tak pernah menyadari, bahwa nantinya pengakuan Kevan tadi akan mengubah masa depanku untuk selamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status