MasukArsya segera meraih microphone dan mengucapkan kalimat yang membuat para tamu kecewa.
"Kami tidak akan melakukannya disini karena istri saya adalah orang yang sangat pemalu. Dia sangat menjaga, dan saya harus menghargai itu. Silahkan kalian menikmati hidangan yang sudah kami persiapkan," ucap Arsya tegas tanpa ekspresi.
Arsya dan Amira kini sudah duduk di atas pelaminan.
"Kita udah sah jadi suami istri ya?"
Arsya mencondongkan tubuh, suaranya nyaris berbisik namun cukup membuat jantung Amira berdetak cepat.
"Sudah, dan jangan lupa, hanya satu tahun sebagai istri pura-pura, paham?” kata Arsya tersenyum, berakting seakan bahagia dan mesra bicara pada istrinya.
"Tentu suamiku, sayang." Amira melingkarkan tangannya pada Arsya erat.
Sementara di sudut ruangan pesta itu seorang wanita sedang bicara dengan Riana.
"Aku akan membuktikan kalau itu bukan istri sesungguhnya Arsya. Dia pasti wanita yang disewa Arsya. Beri aku kesempatan mengambil kembali Arsya dari wanita kampung itu!" Cassandra merengek pada Riana untuk dapat menaklukkan hati Arsya sekali lagi.
Riana bicara pelan pada Cassandra. “Yah dia memang tampak tidak selevel dengan kita. Aku ijinkan kamu mencoba merebut Arsya dari Amira!"
***
Di rumah utama, sebagai istri Arsya kamar Amira bukan kamar tamu lagi. Namun satu kamar dengan Arsya.
Satu milyar boleh menggoda siapa saja, tapi iman dan kewarasan harus tetap tegak. “Aku harus menjaga diriku, kesucianku!”
Amira berdiri di samping sofa empuk itu, memeluk bantal seperti memegang tameng..
Arsya, CEO galak itu, malah bersedekap santai di dekat kasur. “Kamu tidur di sini, kasurnya besar dan kita nggak bakal bersentuhan.”
“Pret! Laki-laki tetap laki. Kayak kucing pencuri ikan. Kamu pikir aku gak tahu akal kotormu? Sofa ini lebih aman daripada di sana, ada kamu, jadi nggak aman aku.”
Arsya menghela napas, nadanya bukan marah, justru seperti iba. “Kamu pasti capek. Kemarin saja karena lumpur kamu pingsan. Kalau tidur di sofa, besok leher kamu bisa miring.”
“Ya Tuhan, kenapa senyumnya kayak tulus ya? Dia baik banget kah?” Tapi alarm hati Amira berbunyi keras. “Jangan-jangan dia punya niat ... No!” Amira menepis pikiran itu.
Tapi tubuh atletis, wajah tampan putih bak porselen itu membuat dada Amira berdebar tak karuan.
Arsya masuk kamar mandi sambil membawa handuk. Suaranya terdengar dari dalam. “Kalau kamu takut sama aku, pakai pembatas guling. Mau tak mau kita teman satu kamar setahun ke depan."
Kalimat Arsya tentang ‘teman sekamar satu tahun’ menggerakkan kakinya menuju tempat tidur. "Betul juga sih sarannya. Aku harus terbiasa."
Lalu suara air shower menyala, mengganggu imajinasi Amira.
Mata Amira terpana, pintu itu tidak dikunci, terbuka sedikit dan uap panas, berupa asap putih mengepul keluar. "Punggungnya, ck, kenapa kelihatan dikit ya?"
"Ya Tuhan, kenapa dia keluar pake handuk doang." Amira terpana, mulutnya terbuka otak kotornya liar menguasai akal sehat.
Arsya keluar sambil mengeringkan rambut, hanya berbalut handuk putih yang melilit di pinggulnya. Dada bidang, otot lengan dan punggung yang kokoh, basah oleh tetes air. Bau harum sabun menyeruak.
“Lihat apa?” tanya Arsya santai, tersenyum mendekat.
“Sial. Semakin dekat, kenapa tangannya pengen menyentuh dada bidang itu ya?” Amira berperang batin. Wajah Amira panas. “Jangan dekat-dekat!”
“Santai, kamu kan istriku!” Arsya sengaja mencondongkan tubuh. Semakin mendekat. “Kamu pipinya merah, kenapa?!”
JDER!
Rasanya seperti mendengar petir disiang bolong.
Amira malu setengah mati.
Jelas pipinya merah karena Arsya mendekat.
Arsya yang putih, tampan, sexy mendebarkan, pakai handuk pula, Apa kurang jelas?
Tiba-tiba Arsya melangkah lebar dengan cepat, kini tubuhnya melekat erat pada Amira kening mereka sampai terbentur, “Jangaaan! Sakit tauu!”
Refleks, tangan Arsya menutup mulut Amira “Ssst! Suara kamu bisa kedengaran sam- ...”
Naluri Arsya tak meleset sama sekali, terdengar suara-suara dari luar.
Di luar, Riana memang sedang berada di depan pintu, menguping kegiatan anaknya.
"Ada Mama mengintip di depan pintu!" Arsya berbisik pada telinga Amira, tangannya merangkul pundak Amira.
“Lepasin tangan kamu!” ucap Amira di balik rangkulan tangan Araska.
“Ssst! Jangan ngomel, Mama bisa ...”
Karena panik, Amira pun meronta.
Arsya mencoba menahan agar tangan dan tubuh yang meronta. Tapi bukan salah satu menang, justru malah kaki Arsya goyah, tubuhnya oleng ke arah Amira dan handuknya melorot ke bawah.
“Aaa!” Amira panik, terkejut melihat handuk yang terjatuh, kakinya terpeleset bersamaan tubuh Arsya yang jatuh ke arahnya.
Keduanya terjatuh di kasur, bersamaan.
Tepat di tengah kasur dalam posisi Amira terbaring di bawah, Arsya di atas, wajah mereka berhadapan hanya beberapa senti. Nafas Arsya menyapu pipi Amira. Kedua tangannya menahan tubuhnya agar tidak menindih Amira.
Di saat yang sama, di bawah sana, tanpa handuk sesuatu yang keras menakutkan juga lekat, membuat Amira terbelalak. "Aaaa tolong!"
Gagang pintu kamar berputar, pintu terbuka. “Arsya ada apa?”
Riana mendorong pintu masuk tanpa bersalah, penasaran ingin membuktikan pernyataan Cassandra. Pintu terbuka lebar. Matanya terbelalak melihat posisi Arsya di atas Amira.
Arsya buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya. Amira panik, wajah merah, rambut acak-acakan akibat jatuh.
Riana berteriak histeris, “ARSYAA!? Ka-kamu beneran ngelakuin malam pertama?!”
Saat ini semua orang yang ada diruangan makan sedang memperhatikan sikap Arsya terhadap Amira saat menuruni tangga tadi.Cassandra terlihat menundukkan kepalanya setelah melihat sikap Arsya pada Amira."Selamat malam Arsya," sapa Cassandra.Riana menyentuh tangan manta kekasih anaknya itu. "Arsya, Mama yang mengundang Sandra. Nggak apa-apa kan?""Lakukan aja yang Mama mau," jawab Arsya dingin."Bawakan makanan ke ruang kerjaku."Pak Heru mengangguk dan segera memberikan instruksi kepada para pelayan untuk segera menyiapkan makanan ke troli.Arsya melangkah sambil terus menggandeng tangan Amira meninggalkan keheningan di ruang makan itu. Ruangan itu semakin hening, hanya terdengar suara langkah kaki Arsya dan Amira saja saat ini.Terlihat Pak Heru sedang mendorong troli makanan mengikuti langkah Arsya memasuki ruang kerja.Arsya menarik tangan Amira untuk segera keluar dari ruang kerjanya.Begitu pintu ruang kerja terbuka, atmosfer di ruang tengah seketika berubah mencekam. Keheningan
“Tunggu, kalian malam pertama beneran?” serunya sambil menunjuk Amira, yang berada dibawah Arsya seolah menunjuk setan.“Astaga! Kalau jadi cucu gimana? Ya Tuhan, Mama pusing!” Ia memijat pelipisnya dramatis.Dikamar Amira dan Arsya menghela napas panik di bawah selimut yang sama.Arsya baru-buru mengenakan celana, sementara Amira memeluk bantal tameng seakan senjata itu adalah hidup dan matinya, sedangkan Riani yang sudah kepalang tidak habis pikir dengan kelakuan anak dan menantunya, seketika meninggalkan ruangan itu.Keduanya kini merebahkan tubuhnya. “Tuan, kamu curang, kamu sengaja jatuhin diri!”Arsya memandang Amira seolah ia korban “Amira, kamu yang tarik handuk aku! Kamu yang nodai tubuhku, terus mau ambil kesucianku!”"Buaya buntung, sorry ya? Timbang ganteng secuil pake merasa ternoda. Kamu jujur sama aku, kamu punya kelainan eksibisionis ya, suka pamer-pamer begituan?”Arsya melotot mendengar tuduhan Amira. ”Itu kamu yang jatuhin pake nuduh aku kelainan! Kamu pikir aku sen
Arsya segera meraih microphone dan mengucapkan kalimat yang membuat para tamu kecewa."Kami tidak akan melakukannya disini karena istri saya adalah orang yang sangat pemalu. Dia sangat menjaga, dan saya harus menghargai itu. Silahkan kalian menikmati hidangan yang sudah kami persiapkan," ucap Arsya tegas tanpa ekspresi.Arsya dan Amira kini sudah duduk di atas pelaminan."Kita udah sah jadi suami istri ya?"Arsya mencondongkan tubuh, suaranya nyaris berbisik namun cukup membuat jantung Amira berdetak cepat."Sudah, dan jangan lupa, hanya satu tahun sebagai istri pura-pura, paham?” kata Arsya tersenyum, berakting seakan bahagia dan mesra bicara pada istrinya. "Tentu suamiku, sayang." Amira melingkarkan tangannya pada Arsya erat. Sementara di sudut ruangan pesta itu seorang wanita sedang bicara dengan Riana."Aku akan membuktikan kalau itu bukan istri sesungguhnya Arsya. Dia pasti wanita yang disewa Arsya. Beri aku kesempatan mengambil kembali Arsya dari wanita kampung itu!" Cassandra
Hening.Bahkan David tak berani bernapas.Arsya memandang Amira antara kaget, geli, dan tak percaya gadis itu berani berucap begitu di depan umum, sementara Cassandra memelototinya, seperti singa betina yang terusik. “Kamu tak tahu dengan siapa kamu bicara, hah?”Amira hanya menatapnya dengan mata bulat, lalu tersenyum tipis. “Saya tahu. Mbaknya model sabun mandi dan iklan berlian, kan? Saya sering lihat wajah Mbak di halte bus. Cantik kok, Mbak, tapi nggak malu pake handuk gitu, terus dilihatin banyak orang?”David menunduk dalam-dalam, pura-pura mengatur hanger.Ken menatap langit-langit, menahan tawa.Sedangkan Arsya menoleh ke arah lain, bibirnya terangkat sekilas, sepertinya dia makin menyukai Amira yang ceplas-ceplos dan polos, menunjukkan kalau gadis itu benar-benar lugu ala gadis desa.Cassandra menghela napas keras dan melangkah pergi dengan langkah panjang, meninggalkan wangi parfum yang menyengat."Silahkan ikut Nona, semua pakaian untuk Anda sudah disiapkan bibi di rumah T
"Saya utusan dari Arkana Group. Bisakah kita bertemu sekarang di Cafe Victoria?""Ehm, apa ini benar tentang lamaran kerja? kok bicaranya di cafe ya, bukan di gedung Arkana seperti saat tes," jawab Amira hati-hati."Ya, saya Ken dan anda akan bicara dengan pimpinan Arkana Group untuk penempatan Anda. Jika Nona bisa, saya bisa mengatur jadwal dengan pimpinan untuk membicarakan kontrak kerja ini?" "Bisa Pak. Kalo bukan penipuan, tentu saja saya bisa." Amira tersenyum sampai melompat kegirangan hingga lupa dirinya sedang berada di jalan. Beberapa orang menatap dengan tatapan aneh, tapi ia tidak peduli.Tanpa pikir panjang, Amira memesan taksi online menuju cave Victoria. Begitu masuk, Amira merasa minder dengan penampilannya yang sederhana.Seorang staf cafe menuntunnya ke ruang VVIP.Matanya terpaku ketika melihat lelaki muda tampan menunggunya. Ia berdiri kaku saat lelaki itu menarik kursi. "Silakan duduk, Nona. Sebentar lagi tuan Arsya akan datang.”Tak lama, pintu terbuka.Seorang l
“Mana Amira?!” suaranya menggelegar, membuat Damini tergetar.Belum sempat sang ibu menjawab, Amira muncul dari dalam rumah. “Pak, saya mohon ... beri saya waktu dua minggu lagi. Adik saya sedang sakit, saya masih butuh biaya untuk pengobatannya ke rumah sakit.”Pak Herman menyeringai sinis. “Alasan! Kau boleh saja tidak membayar tapi ...."Tangan Pak Herman tanpa permisi mencolek pipi mulus Amira dengan mata berbinar, "nurut sama Mas ya? Hahaha bagaimana?""Saya minta waktu, maaf pak Herman, jangan coba kurang ajar.""Sok jual mahal! Awas aja kalau dua minggu lagi kamu belum bisa bayar, jangan salahkan aku kalau kamu bakal resmi jadi istri ketigaku.”Deg!Menikah dengan lelaki itu demi melunasi utang?Secara resmi istrinya dua, faktanya rentenir itu selalu bergonti-ganti wanita-wanita seenaknya dan menambah koleksi wanita setiap saat. “Nak, Ibu berat melepasmu hidup sendirian di kota besar. Kamu anak gadis, Ibu takut terjadi apa-apa padamu.” Damini mengelus pipi putrinya dengan mata







