Ardi berdiri di samping meja operasi, pakaian bedah berwarna hijaunya menonjolkan wajahnya yang elegan dan berwibawa. Kacamata berbingkai peraknya berkilau dan tampak dingin di bawah sinar lampu.Tatapannya menyapu wajahku, dengan ekspresi dingin yang mendalam. "Berhenti bicara omong kosong dan bersiaplah untuk operasi."Rasa tidak puas, menghina dan tidak peduli dengan basa-basi.Sikap Ardi terhadapku begitu blak-blakan dan terus terang. Hatiku sakit, tetapi aku tidak berkata apa-apa. Aku buru-buru membius pasien itu bersama kepala perawat.Operasi kraniotomi ini bertujuan untuk mengevakuasi hematoma, merupakan prosedur rutin dalam bedah saraf. Prosedurnya tidak terlalu sulit, tetapi ini pertama kalinya aku berdiri sendiri dalam prosedur operasi seperti ini.Ini merupakan operasi keempatku hari ini. Tiga operasi pertama berhasil kutangani sambil diiringi dengan tawa dan percakapan, tetapi operasi yang ini terasa begitu sunyi dan menekan.Sebagian karena Ardi lebih suka diam dan tidak
Dia bukan seseorang yang pantas kuinginkan. Lagipula, prioritas utamaku saat ini adalah menyelesaikan perceraianku dengan Ardi.Aku mengupas jeruk untuk pamanku dan mengobrol sebentar dengannya. Melihat sudah pukul setengah sembilan, aku bergegas kembali ke ruangan departemenku.Namun, sebelum sampai di pintu, aku mendengar suara Dokter Galak yang terdengar tidak puas. "Ke mana saja kamu selama ini? Sebagai dokter, apa kamu lupa akan tanggung jawabmu? Raisa, apa kamu pikir hanya karena dokter lain memujimu beberapa kali, kamu bisa mengabaikan semua aturan di sini?""Dokter Dharma, apakah ada pekerjaan lain yang harus kulakukan?" Aku langsung dimarahi. Aku merasa bingung, tetapi aku menahan amarahku dan bertanya dengan sabar.Dia terus-menerus memarahiku sejak pagi sampai sekarang. Aku tidak mengerti kenapa Dokter Galak masih memarahiku seperti ini.Dia bahkan dengan sinis mengungkit pujian yang kuterima dari dua dokter senior, yang melakukan operasi sore tadi.Mungkinkah dia kesal, han
Mungkin karena suhu ruangan kantor terlalu panas.Wajah Rian memerah, matanya berbinar dan tampak berapi-api.Tatapan matanya itu seakan menghilangkan keraguannya. Tiba-tiba, aku mengerti apa yang dia maksudkan, juga memahami apa kata-kata yang belum dia ucapkan itu."Dokter Raisa, kurasa …."Jantungku hampir copot, tetapi pikiranku masih jernih. Aku tidak bisa membiarkannya mengatakan hal itu.Namun, sebelum aku sempat berujar untuk menghentikannya, suara dering telepon menghalangi kesempatannya untuk berbicara.Rian melirik ke bawah, wajahnya tampak sedikit tidak senang, lalu dia menutup telepon itu.Akan tetapi, si penelepon tampak bersikeras dan menelepon Rian lagi. Rian pun hanya bisa tersenyum meminta maaf padaku. Aku mengangguk, lalu memberi isyarat agar dia pergi menjawab telepon dulu. Dia pun berbalik dan menjawab telepon sambil berjalan keluar dari pintu departemenku. Nada bicaranya dipenuhi rasa tidak puas. "Sudah kubilang berkali-kali untuk jangan meneleponku. Aku sibuk …."
Karena kami telah menyinggung kekasihnya, Ardi pasti merasa kesal.Sekalipun kami tidak bersalah atas kejadian ini dan kekasihnya yang lebih dulu mencari masalah, Ardi pasti memihak pada Zelda karena dia sangat mencintai Zelda. Dia pasti tidak akan menganggap Zelda telah bersalah.Sudahlah, biarkan saja kalau dia mau menyalahkanku. Ini bukan pertama kalinya aku disalahkan olehnya.Aku melanjutkan makan, berharap bisa segera mengisi kembali energiku dan merasa lebih baik.Setelah makan malam, Devi bergegas membersihkan kotak makanan. Aku akhirnya sempat bertanya pada Rian, "Apakah kamu ingin minta maaf atas kejadian hari Sabtu lalu? Kalau soal itu, jangan khawatir lagi. Aku baik-baik saja.""Dokter Raisa, kamu sungguh pemaaf." Rian menatapku, matanya penuh emosi, seolah ragu untuk berbicara."Ada apa? Apa terjadi sesuatu hari itu?" Melihatnya seperti ini, aku pun bertanya lagi.Meskipun aku bisa menebak kalau dia dipanggil pulang untuk sesuatu yang penting, aku tidak tahu alasan spesifi
Sebenarnya, pandanganku masih kabur dan samar-samar.Hanya saja, mendengar suara dan cara berbicara orang itu, aku bisa lekas tahu kalau itu adalah Zelda dan Ardi.Aku tidak bisa melihat ekspresi Ardi dengan jelas, aku hanya melihat wajahnya yang muram.Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku tahu dia sedang tidak senang.Aku juga tidak senang. Aku sangat lelah dan lapar. Apakah sebelum aku sempat beristirahat, Ardi ingin bergegas menghampiri dengan pujaan hatinya, hanya untuk mengejekku?Apa yang ingin dia katakan?Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, Devi mendengkus. "Dokter Zelda, apakah Dokter Ardi tidak peduli padamu? Kenapa kamu selalu bertanya seperti ini di depan Dokter Ardi? Kamu terdengar sangat iri.""A … aku tidak … bukan itu maksudku. Kak Ardi, tolong jangan salah paham." Zelda panik dan buru-buru menjelaskan pada Ardi, "Aku tidak iri pada Kak Raisa dan Dokter Rian. Aku hanya senang melihat betapa harmonis dan serasinya mereka. Aku turut senang untuk mereka."Wajah
Aku juga ingin segera lepas dari situasi ini, agar aku bisa menjalani kehidupan yang indah dan bahagia seperti Devi.Begitu sudah terbiasa, Devi kembali bersikap profesional dan serius. Dia ikut bersamaku ke ruang operasi kardiotoraks untuk memulai operasi pemulihan jantung.Operasi ini dilakukan secara tiba-tiba, aku dan Devi pun bergegas ke ruang operasi.Pasien menderita patah tulang rusuk yang tak terduga, yang menyebabkan jantung terluka. Operasi ini berlangsung selama enam jam, operasi ini membutuhkan gabungan keterampilan antara ahli bedah kardiotoraks dan ahli bedah ortopedi. Mereka tidak hanya memperbaiki kerusakan jantung, tetapi juga memperbaiki tulang rusuk yang patah.Hari sudah malam ketika aku dan Devi keluar dari ruang operasi.Operasi ini memakan waktu enam jam.Dokter Wendi, ahli bedah utama untuk operasi perbaikan jantung, menatapku dengan penuh kekaguman. "Raisa benar-benar dokter departemen anestesi yang hebat. Dia tidak hanya profesional, tapi juga tenang. Dia bis