Share

Bab 2. Ini Punya Siapa, Abang?

“Abang! Itu Abang, kan? Dan itu … siapa?” Elma semakin memicingkan mata. Tetapi tumor yang dia derita membuat pandangannya semakin terganggu saja. Cahaya temaram dari sorot televisi tak membantu penglihatannya sama sekali. Segera dia berjalan lagi dengan berpegangan pada dinding,  Jemarinya mencari saklar lampu penerangan.

“Cepat,  istri Abang  mau nyalain lampu!” bisik  Riris sambil  memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu bersembunyi di balik sofa. Binsar menyambar celana boxernya, lalu memakainya dengan buru-buru.

Ceklek! Seketika ruang televisi itu menjadi  terang benderang.

“Oh, Abang sendirian, ya? Tadi sepertinya dua orang. Mataku makin parah saja akhir-akhir ini,” sesal Elma seraya  berjalan mendekati sofa. Langkah kakinya makin terhuyung. Wanita dengan tulang pipi yang kian  menonjol itu tampak seperti tengkorak berjalan.

“Kamu melihat apa, sih? Dari tadi juga aku sendirian di sini! Sepertinya matamu harus diperiksakan ke dokter spesialis, Sayang!” sahut Binsar gugup.

“Iya, Bang! Tapi, pasti dokter mata  akan mengatakan dengan jawaban yang sama dengan dokter lainnya. Ini pengaruh tumor di rahimku. Ujung-ujungnya aku disuruh operasi, aku belum berani untuk operasi, Bang!”  keluh Elma. Dengan berpegangan pada pundak Binsar, dia  duduk di samping pria itu. 

“Hem, ya, sudah!  Kita tunggu sampai kamu benar-benar sudah siap, ya! Percuma juga operasi kalau kodisi mentalmu sedang labil. Tapi, kamu harus tetap berusaha menyiapkan hati dan pikiran!”

“Iya, Bang! Aku pasti mau menjalani operasi, tetapi tidak sekarang.”

“Baik, tapi kenapa  kamu terbangun? Apakah suara tv ini mengganggumu?”

“Tidak, aku hanya haus. Tenggorokanku kering.”

“Ya, sudah. Kamu balik kamar saja, aku akan ambilkan minum untukmu! Ayo!” Binsar langsung bangkit. Saat itulah netra Elma  dengan jelas  menangkap sebuah benda di dekat kaki suaminya.

“Ini apa?” Mata wanita kurus itu membulat sempurna. Dia lalu membungkuk. Ujung jari telunjuknya meraih sebuah celana dalam perempuan berwarna pink, tepat  di dekat kaki Binsar. “Punya siapa, Bang? Kenapa ada di dekat kaki Abang?” lirihnya mengalihkan tatapan ke wajah pria itu.

“Itu … itu … sepertinya  itu dibawa tikus ke mari! Iya, aku sempat tertidur sambil nonton tv tadi. Samar kudengar suara cicit tikus. Rupanya kawanan tikus itu sedang berebut sempak perempuan  ini, hahahaha …!” tawa  Binsar  meledak seketika. Tawa yang terdengar sangat dibuat-buat. Tawa yang dipaksakan. Elma tau itu.

‘Apakah ini milik seseorang yang tadi bersama bang Binsar? Tapi siapa? Kenapa tiba-tiba menghilang? Perasaanku mengatakan begitu, tapi aku tak mampu membuktikan.’ Begitu perang batin Elma.

“Kamu mikir apa? Apa itu punya kamu? Enggak usah dipikirin, besok kubeli yang baru dua lusin! Sekalian aku pasang perangkap tikus, biar enggak sembarangan mencuri sempak istriku, hehehe ….”

“Ya, mungkin  dibawa tikus. Tapi ini bukan punyaku, Bang. Apakah ini punya Riris?”

“Huk …. Huuk!” Binsar tiba-tiba terbatuk. Pria itu segera memasang wajah serius. “Kalau bukan punya kamu, berarti punya Riris. Enggak mungkin punya Bik Darmi, kan? Masak Bik Darmi memakai celana dalam model begitu, lucu  hehehehe …. Sekarang kamu masuk kembali ke kamar, ayo!”

“Hem, kasihan  Riris. Pasti besok dia kebingungan karena kehilangan celan dalam. Aku kembaliin ke kamarnya, Mas!” usul Elma lalu bangkit dengan pelan.

“Eit, tunggu! Lepaskan benda menjijikkan itu! Sepertinya itu bekas pakai, sehingga tikus tergiur mencium aroma dari bagian tengahnya itu! Mana bauk lagi!  Lepaskan, Sayang!” perintah  Binsar gelagapan.  Tangannya dengan sigap merebut benda itu, lalu  melemparkannya ke balik sofa. “Ayo, aku antar kamu balik ke kamar!” perintahnya memapah paksa tubuh Elma.

“Tapi, Bang, sempak Riris itu? Aku merasa enggak enak sama kamu kalau benda itu tergeletak begitu saja di  balik sofa.”

“Biar saja! Nanti tikus yang bertanggung jawab mengembalikannya!”

Elma terpaksa mengalah. Wanita itu masih terbayang suasana di sofa saat pertama kali dia keluar kamar tadi. Sepertinya Binsar tidak sendiriaan. Ada dua sosok yang terlihat samar bergerak liar  di sofa itu. Tetapi saat lampu sudah dia nyalakan, netranya tak menemukan siapa siapa selain Binsar? Hanya sebuah pakaian dalam wanita yang meninggalkan jejak.

‘Tidak ada wanita lain di rumah ini selain dia dan Riris. Mungkinkah  sosok yang sempat dia lihat tadi itu adalah Riris?  Ngapaian dia bersama suamiku di sofa itu? Apakah Bang Binsar telah berselingkuh? Aaach, tak mungkin. Bang Binsar sangat menyayangiku. Meski akhir-akhir ini aku tidak bisa maksimal melayaninya di atas  ranjang, aku toh sudah memberi dia dua orang anak. Aku sudah menjadi wanita sempurna baginya. Tak ada alasan dia untuk mendua. Tak mungkin dia mengkhianati cintaku. Aku sangat yakin itu.’

Elma berusaha meyakinkan dirinya seraya memejamkan mata, namun hingga azan Subuh berkumandang, matanya tak mau  terpejam juga.

*

“Sial! Kok bisa, sih, aku salah pungut pakaianku!” sesal Riris begitu Binsar berhasil membawa Elma kembali ke kamarnya. Buru-buru perempuan itu meraih benda segitiga di balik sofa, lalu setengah berlari menuju kamarnya.

Wanita berkulit agak gelap itu buru-buru mengenakan semua pakaian yang tadi ditanggalkan oleh majikannya. Sesekali tangannya meraba bagian-bagian tertentu di tubuhnya. Bagian yang paling disukai pria selingkuhannya itu. Bibir tipis itu tersenyum, sisa kenikmatan masih mempengaruhi otak dan pikirannya.

Riris   lalu membaringkan tubuh  lelahnya di kasur.  Belum sempat hanyut ke dunia mimpi, seseorang membuka pintu kamarnya dari luar.  Pintu kamar itu memang sengaja tak pernah dia kunci dari dalam, agar sang majikan pria  dengan mudah menyusup masuk kapanpun saat pria itu menginginkan dirinya. Begitu perjanjian  yang mereka sepakati bersama.

“Abang? Abang ngapain ke sini lagi? Mau lagikah? Ayo, sini!” tanyanya replex bangkit sambil mengulas senyum manja menggoda.  Kedua tangannya terulur, hendak memeluk dengan penuh napsu. 

“Maaf, Ris! Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu! Ini penting!” Binsar mengunci pintu dari dalam.

“Boleh, ngobrol sambil bercinta juga boleh, Abang! Aku akan lakukan apapun yang Abang mau.”

“Maaf, Ris! setelah aku pikir-pikir aku sampai pada keputusan ini.”

“Keputusan? Keputusan apa?”

“Tentang kita.”

“Ya, aku sangat yakin, cepat atau lambat Abang pasti akan memutuskan. Sungguh, Abang, aku sudah  lama menunggu ini!” ucap Riris cepat.  Senyum mekar di bibir  tipisnya. 

Perempuan itu sangat yakin, kini  penantiannya telah membuahkan hasil. Momen kala  Binsar melamar dirinya. Pria ini pasti sudah lelah menyembunyikan hubungan ini dari  istrinya.  Jika hubungan mereka sudah sah, maka mau tak mau Elma harus mau menerima kenyataan. Maka mereka tak perlu main kucing-kucingan dengan Elma saat Binsar menginginkan dirinya di atas ranjang. Begitu pikir Riris.

“Apa Abang? Katakan keputusan Abang!”  pinta wanita itu semakin tak sabaran.

“Tolong pergi dari sini!”

****

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
wuis cuma buat kuda kudaan kamu buat elma sembuh dari sakit nya dan tendang keluar tu si binsar
goodnovel comment avatar
Nur meini
Ada ya perempuan seperti Riris ini, tak tahu malu,dasar pelakor, mau menguasai semuanya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status