“Abang! Itu Abang, kan? Dan itu … siapa?” Elma semakin memicingkan mata. Tetapi tumor yang dia derita membuat pandangannya semakin terganggu saja. Cahaya temaram dari sorot televisi tak membantu penglihatannya sama sekali. Segera dia berjalan lagi dengan berpegangan pada dinding, Jemarinya mencari saklar lampu penerangan.
“Cepat, istri Abang mau nyalain lampu!” bisik Riris sambil memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu bersembunyi di balik sofa. Binsar menyambar celana boxernya, lalu memakainya dengan buru-buru.
Ceklek! Seketika ruang televisi itu menjadi terang benderang.
“Oh, Abang sendirian, ya? Tadi sepertinya dua orang. Mataku makin parah saja akhir-akhir ini,” sesal Elma seraya berjalan mendekati sofa. Langkah kakinya makin terhuyung. Wanita dengan tulang pipi yang kian menonjol itu tampak seperti tengkorak berjalan.
“Kamu melihat apa, sih? Dari tadi juga aku sendirian di sini! Sepertinya matamu harus diperiksakan ke dokter spesialis, Sayang!” sahut Binsar gugup.
“Iya, Bang! Tapi, pasti dokter mata akan mengatakan dengan jawaban yang sama dengan dokter lainnya. Ini pengaruh tumor di rahimku. Ujung-ujungnya aku disuruh operasi, aku belum berani untuk operasi, Bang!” keluh Elma. Dengan berpegangan pada pundak Binsar, dia duduk di samping pria itu.
“Hem, ya, sudah! Kita tunggu sampai kamu benar-benar sudah siap, ya! Percuma juga operasi kalau kodisi mentalmu sedang labil. Tapi, kamu harus tetap berusaha menyiapkan hati dan pikiran!”
“Iya, Bang! Aku pasti mau menjalani operasi, tetapi tidak sekarang.”
“Baik, tapi kenapa kamu terbangun? Apakah suara tv ini mengganggumu?”
“Tidak, aku hanya haus. Tenggorokanku kering.”
“Ya, sudah. Kamu balik kamar saja, aku akan ambilkan minum untukmu! Ayo!” Binsar langsung bangkit. Saat itulah netra Elma dengan jelas menangkap sebuah benda di dekat kaki suaminya.
“Ini apa?” Mata wanita kurus itu membulat sempurna. Dia lalu membungkuk. Ujung jari telunjuknya meraih sebuah celana dalam perempuan berwarna pink, tepat di dekat kaki Binsar. “Punya siapa, Bang? Kenapa ada di dekat kaki Abang?” lirihnya mengalihkan tatapan ke wajah pria itu.
“Itu … itu … sepertinya itu dibawa tikus ke mari! Iya, aku sempat tertidur sambil nonton tv tadi. Samar kudengar suara cicit tikus. Rupanya kawanan tikus itu sedang berebut sempak perempuan ini, hahahaha …!” tawa Binsar meledak seketika. Tawa yang terdengar sangat dibuat-buat. Tawa yang dipaksakan. Elma tau itu.
‘Apakah ini milik seseorang yang tadi bersama bang Binsar? Tapi siapa? Kenapa tiba-tiba menghilang? Perasaanku mengatakan begitu, tapi aku tak mampu membuktikan.’ Begitu perang batin Elma.
“Kamu mikir apa? Apa itu punya kamu? Enggak usah dipikirin, besok kubeli yang baru dua lusin! Sekalian aku pasang perangkap tikus, biar enggak sembarangan mencuri sempak istriku, hehehe ….”
“Ya, mungkin dibawa tikus. Tapi ini bukan punyaku, Bang. Apakah ini punya Riris?”
“Huk …. Huuk!” Binsar tiba-tiba terbatuk. Pria itu segera memasang wajah serius. “Kalau bukan punya kamu, berarti punya Riris. Enggak mungkin punya Bik Darmi, kan? Masak Bik Darmi memakai celana dalam model begitu, lucu hehehehe …. Sekarang kamu masuk kembali ke kamar, ayo!”
“Hem, kasihan Riris. Pasti besok dia kebingungan karena kehilangan celan dalam. Aku kembaliin ke kamarnya, Mas!” usul Elma lalu bangkit dengan pelan.
“Eit, tunggu! Lepaskan benda menjijikkan itu! Sepertinya itu bekas pakai, sehingga tikus tergiur mencium aroma dari bagian tengahnya itu! Mana bauk lagi! Lepaskan, Sayang!” perintah Binsar gelagapan. Tangannya dengan sigap merebut benda itu, lalu melemparkannya ke balik sofa. “Ayo, aku antar kamu balik ke kamar!” perintahnya memapah paksa tubuh Elma.
“Tapi, Bang, sempak Riris itu? Aku merasa enggak enak sama kamu kalau benda itu tergeletak begitu saja di balik sofa.”
“Biar saja! Nanti tikus yang bertanggung jawab mengembalikannya!”
Elma terpaksa mengalah. Wanita itu masih terbayang suasana di sofa saat pertama kali dia keluar kamar tadi. Sepertinya Binsar tidak sendiriaan. Ada dua sosok yang terlihat samar bergerak liar di sofa itu. Tetapi saat lampu sudah dia nyalakan, netranya tak menemukan siapa siapa selain Binsar? Hanya sebuah pakaian dalam wanita yang meninggalkan jejak.
‘Tidak ada wanita lain di rumah ini selain dia dan Riris. Mungkinkah sosok yang sempat dia lihat tadi itu adalah Riris? Ngapaian dia bersama suamiku di sofa itu? Apakah Bang Binsar telah berselingkuh? Aaach, tak mungkin. Bang Binsar sangat menyayangiku. Meski akhir-akhir ini aku tidak bisa maksimal melayaninya di atas ranjang, aku toh sudah memberi dia dua orang anak. Aku sudah menjadi wanita sempurna baginya. Tak ada alasan dia untuk mendua. Tak mungkin dia mengkhianati cintaku. Aku sangat yakin itu.’
Elma berusaha meyakinkan dirinya seraya memejamkan mata, namun hingga azan Subuh berkumandang, matanya tak mau terpejam juga.
*
“Sial! Kok bisa, sih, aku salah pungut pakaianku!” sesal Riris begitu Binsar berhasil membawa Elma kembali ke kamarnya. Buru-buru perempuan itu meraih benda segitiga di balik sofa, lalu setengah berlari menuju kamarnya.
Wanita berkulit agak gelap itu buru-buru mengenakan semua pakaian yang tadi ditanggalkan oleh majikannya. Sesekali tangannya meraba bagian-bagian tertentu di tubuhnya. Bagian yang paling disukai pria selingkuhannya itu. Bibir tipis itu tersenyum, sisa kenikmatan masih mempengaruhi otak dan pikirannya.
Riris lalu membaringkan tubuh lelahnya di kasur. Belum sempat hanyut ke dunia mimpi, seseorang membuka pintu kamarnya dari luar. Pintu kamar itu memang sengaja tak pernah dia kunci dari dalam, agar sang majikan pria dengan mudah menyusup masuk kapanpun saat pria itu menginginkan dirinya. Begitu perjanjian yang mereka sepakati bersama.
“Abang? Abang ngapain ke sini lagi? Mau lagikah? Ayo, sini!” tanyanya replex bangkit sambil mengulas senyum manja menggoda. Kedua tangannya terulur, hendak memeluk dengan penuh napsu.
“Maaf, Ris! Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu! Ini penting!” Binsar mengunci pintu dari dalam.
“Boleh, ngobrol sambil bercinta juga boleh, Abang! Aku akan lakukan apapun yang Abang mau.”
“Maaf, Ris! setelah aku pikir-pikir aku sampai pada keputusan ini.”
“Keputusan? Keputusan apa?”
“Tentang kita.”
“Ya, aku sangat yakin, cepat atau lambat Abang pasti akan memutuskan. Sungguh, Abang, aku sudah lama menunggu ini!” ucap Riris cepat. Senyum mekar di bibir tipisnya.
Perempuan itu sangat yakin, kini penantiannya telah membuahkan hasil. Momen kala Binsar melamar dirinya. Pria ini pasti sudah lelah menyembunyikan hubungan ini dari istrinya. Jika hubungan mereka sudah sah, maka mau tak mau Elma harus mau menerima kenyataan. Maka mereka tak perlu main kucing-kucingan dengan Elma saat Binsar menginginkan dirinya di atas ranjang. Begitu pikir Riris.
“Apa Abang? Katakan keputusan Abang!” pinta wanita itu semakin tak sabaran.
“Tolong pergi dari sini!”
****
“Vita, sambil tengokin adek, ya! Tante mau buatkan jus buah!” titah Nirmala seraya bangkit. Ini hari keempat dia menemani anak-anak Elma. “Ya, Tante. Buatin buat Vita sekalian, ya, Tan! Gerah banget, nih!” sahut Vita tetap fokus dengan buku pelajaran di tangannya. Gadis kecil berusia delapan tahun itu akan menghadapi ujian kenaikan kelas besok. Itu sebab dia harus belajar keras hari ini. “Tampan mau jus enggak, biar Tante bawa sekalian?” teriak Nirmala lagi. “Mau, Tan! Pakai es yang banyak, ya!” sahut bocah laki-laki berusia lima tahun dari halaman. Dia tengah asik bermain bola sendirian. Keringat mengucur deras di dahi dan punggungnya. Nirmala bergerak ke dalam rumah. Vita tenggelam dengan bukunya ketika Tampan bergerak mendekati pintu pagar. Bola yang sedang dia mainkan terlempar ke luar. Berusaha menjangkau bola melalui celah besi pagar, bocah itu mulai putus asa. “Kakak, bolanya keluar!” teriaknya sedih. “Biar aja, ambil bola yang lain aja! Jangan keluar!” sang kakak b
“Andre, kalian datang?” Serempak Sinulingga, Riani dan Anyelir menoleh. “Bagaimana keadaan Kak Elma, Kak Anyelir?” tanya Nara setelah menghirup napas beberapa kali. terlihat dia begitu kelelahan dengan perut yang kian membesar. Di usia kandungan yang ke tujuh bulan, wanita itu memang mulai mudah lelah. “Elma masih ditangani Dokter. Kamu baik baik saja? Ngapain ikut ke rumah sakit ini kalau kamu sendiri dalam keadaan hamil besar begini?” tanya Anyelir membantu Nara untuk duduk. “Aku khawatir, takut Kak Elma kenapa napa. Secara dia pernah hampir meninggal dulu karena serangan kanker rahim, kan?” dalih Nara sedih. “Kok bisa Elma drop, apa yang terjadi?” tanya Andre cemas. “Ini semua salah mama,” lirih Riani bersuara. Semua terpana. “Mama melakukan apa lagi” Andre menatapnya gusar. “Mama gak bisa terima kalau ternyata Alva enggak bakal pernah bisa punya anak. Mama sedih. Mama tak bisa menerima kenyataan. Nyatanya, Mama tk bisa berbuat apa-apa. Alva sudah menjatuhkan pilihan.
“Maksud kamu? Mama … harus pergi dari sini?” tanya Alva menyipitkan kedua netranya. terkejut mendengar permintaan Elma. “Ya, maaf! Aku tidak mau Mama ada di sini! Di rumah ini. Setidaknya sampai hatiku kembali tenang,” lirih Elma lalu berjalan pergi meninggalkan kegaduhan. “Elma kau mengusir mama? Berani kau mengusir ibu mertuamu, hah?” Riani hendak mengejar Elma, tetapi segera ditahan oleh Anyelir. “Kau tidak bisa mengusirku, Elma! Mana janjimu untuk minta talak pada anakku? Mana janjimu akan menikahkan Alva dengan Nirmala! Kau penipu, Elma!” teriaknya memaki-maki Elma. Sontak Elma menghentikan langkah. Berbalik, lalu menatap ibu mertuanya penuh kecewa. Jemarinya memijit kening, pandangannya tiba-tiba gelap. Elma ambruk ke lantai. “Sayang!” Alva menangkap tubuhnya. “Elma, Sayang …! Kamu kenapa? El?” panggilnya seraya menepuk lembut pipi Elma. Namun, tak ada respon. “Denyut nadinya lemah banget!” seru Anyelir panik saat meraba pergelangan tangan Elma. “Kenapa? Kak Elma ken
“Alva …?” Riani tersentak kaget. “Apa maksud kamu, Nak? Rencana apa? Mama enggak paham?” lanjutnya memasang wajah paling sedih. Dramanya masih berlanjut. “Enggak usah pura-pura lagi, deh, Ma! Dion, segera nyalakan proyektornya!” perintah Alva kepada anak buahnya. Dion dan Yopi segera melaksanakan perintah. Infokus mereka sorotkan ke dinding kamar. Menit berikutnya sebuah video rekaman sudah diputar. Rekaman dari CCTV di hotel tempat Alva dan Nirmala sempat berada di sebuah kamar tanpa busana. Terlihat jelas saat dua orang pria menurunkan tubuh Alva dan Nirmala dari dalam sebuah mobil. Keduanya lalu membawa Alva dan Nirmala masuk ke dalam kamar hotel. “Apa ini?” teriak Riani tiba tiba. “Hentikan itu! Mama enggak sanggup melihat hal yang menakutkan seperti itu!” pintanya pura-pura memelas. Alva melambaikan tangan, sebagai isyarat agar Dion menghentikan dulu memutar videonya. “Kenapa Mama enggak nanya, kenapa aku dan Nirmala bisa dalam keadaan tak sadarkan diri seperti itu? H
“Kau bilang apa barusan? Alva akan menikahi Nirmala, setelah menalak kamu?” Riany tersentak kaget. kedua bola matanya membulat sempurna. Sedikitpun dia tak menyangka, semua harapannya begitu mudahnya terlaksana. Awalnya, tak muluk cita-citanya. Cukuplah Elma setuju Alva menikahi Nirmala. Dia sudah sangat bahagia. Karena dengan begitu, dia akan mendpat cucu dari Nirmala. Anak kandung Alva, darah dagingnya, penerus marga dan keturunannya. Tak apa meski Nirmala hanya istri kedua. Sebab kalau mengharap cuuc dari Elma, itu sangat tidak mungkin. Elma pernah diponis menderita kangker rahim. Sudah dilakukan operasi besar juga. Besar kemungkinan rahim Elma sudah diangkat juga. Harapannya ternyata dikabulkan Tuhan berlipat ganda. Bukan hanya Alva yang akan menikahi Nirmala, tetapi juga Elma akan mengundurkan diri sebagai menantunya. Artinya, Nirmala akan menjadi satu satunya istri buat Alva. Ratu di keluarga Sinulingga, hanya Nirmala saja. Keturunan langsung keluarga besar itu. Bukan Elma,
“Kenapa kau bisa tidur dengan Alva! Dasar kau memang manusia tak tau terima kasih! Kurang baik apa Elma sama kamu selama ini! Kenapa kau malah mencuri suaminya! Dasar kau memang keturunan Bina tang! Kau mau menyakiti hati Elma, iya? Kurang baik apa dia sama kamu, Nirmala …! Kenapa begini balasanmu!” lanjut Riani lagi memaki dan mengumpat dengan kata kata kasar.“Ma! Ada apa ini?” Elma mendorong pintu kamar langsung menerobos masuk ke dalam. “Nirmala, kau sudah pulang?” tanyanya menoleh kepada Nirmala.“Lihat perempuan sundal ini, Elma! Dia sudah berjinah dengan suamimu! Dia tega berselingkuh di belakangmu, Elma," teriak Riani pura-pura histeris.“Aku tidak selingkuh, Tante! Bang Alva yang sudah menjebak aku, entah apa yang terjadi aku enggak sadar. Saat aku bangun, aku sudah berad di dalam sebuah kamar hotel bersama Bang Alva. Bang Alva yang sudah perkosa aku, Tante!” jerit Nirmala tak terima tuduhan sang Tante.“Jangan ngarang kamu! Jangan pura-pura jadi korban! Akui saja, kalau ka