Share

Aku Mundur Kau Hancur, Bang!
Aku Mundur Kau Hancur, Bang!
Author: Helminawati Pandia

Bab 1. Rintihan Maksiat

Nikmat yang dirasakan saat mengecap manisnya perselingkuhan, akan terasa makin melenakan, sebab setan tiada henti menjalankan peran.

***

“El, kamu sudah tidur, Sayang?” Binsar menepuk pipi istrinya.

Tak  ada sahutan, Elma meletakkan kepala di atas meja makan.

“Hebat! Obat tidur itu bekerja sangat cepat,” ucap pria itu mengacungkan jempol  ke arah Riris. Kasir toko yang  tinggal bersama mereka itu membalas dengan kedipan dan senyum penuh makna.

“Abang amankan dulu, ya, Sayang!” kata Binsar membalas  dengan kedipan tak kalah nakal, lalu menggendong tubuh ringkih istrinya.

“Ok, jangan lama-lama, ya! Udah nyut-nyut, nih!” goda  Riris lagi seraya membasahi bibir tipisnya dengan sapuan lidah.

“Tenang!” sahut Binsar lalu berjalan menuju kamar. Tubuh istrinya yang berbobot hanya  tiga puluh tujuh kilogram itu dia baringkan di atas kasur dengan pelan-pelan. Dia lalu menarik selimut tebal, menutupi badan wanita itu hingga sebatas bahu. 

“Tidurlah yang nyenyak, ya, Sayang! Maaf, aku butuh kehangatan! Kamu enggak bisa lagi berikan itu, kan? Tenang, aku tidak akan memaksamu. Ada Riris yang dengan senang hati mau menggantikan tugasmu.  Kamu bobok saja, ya!” ucap Binsar tersenyum tipis seraya membelai rambut tipis Elma. Rambut yang kian  rontok pengaruh penyakit yang sedang dia derita.

“Si kerempeng itu sudah lelap?”

Binsar tersentak, sontak menoleh ke arah pintu. Riris berdiri di sana dengan wajah cemberut. “Eh, Sayang! Kamu nyusul ke sini?” tanyanya seraya mengulas senyum.

“Ya, kukira kenapa Abang lama-lama di kamar ini! Rupanya sedang berusaha merayu istri tercinta,” jawab Riris dengan wajah ditekuk. Sengaja dia majukan bibirnya beberapa centi sebagai bentuk protes.

“Kamu cemburu?” goda Binsar bangkit lalu berjalan menuju pintu.

“Cemburu? Aku cemburu pada perempuan penyakitan itu? Enggak banget, ya!” ketus Riris semakin cemberut.

“Tapi, dari nada bicaramu, aku menangkap ada cemburu yang membakar, sini, Sayang!” Binsar memeluk pinggang Riris setelah menutup pintu kamar Elma dengan pelan. “Jangan cemberut gitu, dong! Aku makin gemas melihat bibir kamu yang manyun ini!”

“Enggak mau!” rajuk Riris menempelkan telunjuknya di bibir Binsar saat pria itu hendak menyambar  bibirnya.

“Hem, enggak mau, ya? Ya, sudah. Kamu ke kamar kamu saja kalau begitu! Aku mau nonton tv,” ancam Binsar sontak melepas pelukan. Dia langsung berbalik dan meninggalkan perempuan itu.

“Abang ….” teriak Riris menjejeri langkahnya.

“Kenapa?” Binsar tak menghiraukan.

“Abang, gitu! Aku lagi merajuk ….”

“Kamu merajuk kenapa, coba? Hanya karena aku membelai kepala Elma?” Binsar meletakkan bokongnya di sofa, seraya menekan remot tv.

“Bukan!” Riris ikut duduk mepet di sampingnya.

“Lalu kenapa?”

“Abang bilang, Abang sayang sama aku! Abang bilang, Abang puas dengan pelayananku di ranjang. Tapi kenapa Abang tetap aja Abang lebih  sayang  sama istri Abang?”

“Maaf, Ris! Aku sayang sama kamu! Aku suka dan sangat puas dengan pelayananmu! Tapi aku sangat mencintai istriku. Maaf, ya! Aku tak mau pernikahanku terganggu dengan hubungan kita. Ingat, kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Tidak ada ikatan dan perjanjian apa-apa!”

Riris tercekat,  menelan saliva yang terasa sangat pahit. Dia memang telah berhasil menaklukkan Binsar di atas ranjang, tapi  belum berhasil menaklukkan hati pria itu seperti permintaan Risda, ibu kandung Binsar.

‘Sepertinya butuh waktu sedikit lagi untuk bisa menyingkirkan Elma dari rumah besar ini. Aku tak akan putus asa. Sebentar lagi Bang Binsar pasti akan bertekuk lutut di kakiku.’ Riris menguatkan tekat

 “Iya, Bang! Aku paham. Maaf, aku sempat merajuk enggak jelas. Temani aku bobok, ya! Abang udah janji, kan, tadi! Makanya Abang nyuruh aku ngasih obat tidur buat istri Abang!” bujuknya kemudian.

“Hem, jujur aku sangat merindukan permainanmu, Sayang! Di sini saja, ya! Sofa ini cukup kuat untuk menahan bobot tubuh kita berdua!” Binsar meraih tubuh gadis itu, langsung menyerangnya dengan penuh nafsu.

Keduanya kini bergulat di atas sofa, desah dan rintihan mesum terdengar saling bersahutan.

*

“Bang! Abang ….” panggil Elma dengan suara serak. Tenggorokannya bagai disekat, itu membuat suaranya hampir tak terdengar.

“Bang Binsar! Abang ….!” Bersusah payah, kembali dia berusaha memanggil.  Tanganya meraba-raba ke samping kiri. Namun, tangan kurus itu tak menemukan apa-apa. “Abang di mana? Aku haus, Abang,” lirihnya pelan lalu berusaha bangkit perlahan. Pengaruh obat yang dia konsumsi, membuat kerongkongannya  terasa panas. Elma kehausan.

Dengan berpegangan di pinggiran ranjang, dia berusaha menggapai dinding. Hampir saja dia jatuh dan tersungkur. Langkahnya  terhuyung, berjalan pelan menuju pintu kamar.

Begitu membuka pintu, telinganya langsung mendengar suara dari arah ruang tamu. Hatinya berangsur lega, yakin kalau suaminya sedang menonton siaran televisi di sana. Tak ingin merepotkan orang lain, wanita itu ingin langsung pergi ke dapur saja.  Mengambil minum sendiri untuk mengobati dahaganya.

Namun, langkah  beratnya sontak terhenti.  Telinganya menangkap ada suara lain selain suara televisi. Seperti orang sedang mendesah penuh kenikmatan dan sesekali merintih. Suara  aneh dan sangat mencurigakan itu terdengar di antara suara televisi.

Elma menajamkan pendengaran, suara desah dan rintihan makin jelas terdengar.  Di televisi sedang jeda iklan. Jelas  desahan itu bukan berasal dari televisi. Penasaran, Elma melangkah menuju ruang keluarga.  Dia harus membuktikan kecurigaannya. Dengan berpegangan pada dinding, dia menyeret langkah beratnya.

Wanita itu makin kesulitan saat telah tiba di ruang keluarga. Ruangan itu gelap gulita. Lampu dalam keadaan padam. Hanya bias dari  cahaya layar televisi yang masih menyala yang memberi penerangan. Netranya makin kesulitan untuk melihat. Dengan memicingkan kedua mata  Elma menangkap ada  dua  bayangan di atas sofa. Siluet itu bergerak-gerak dengan liar di sana.

Dua sosok yang di atas sofa memang hanya terlihat samar di mata Elma, tetapi dia bisa menangkap kedua orang itu seperti tengah main kuda-kudaan.  Satu di bawah dan satu lagi bergerak liar di atasnya. Suara desah kenikmatanpun bisa ditangkap oleh indera pendengaran. Siapa mereka? Elma penasaran sekaligus berdebaran.

‘Kenapa ada dua? Bukankah seharusnya Bang  Binsar sendirian?  Sama siapa, dia? Anak-anak semua sedang berada di rumah neneknya. ART yang bekerja di rumah ini selalu pulang di sore hari.  Di rumah ini hanya ada aku, Bang Binsar dan Riris. Mungkinkah  dia sedang bersama Riris? Apa yang sedang  mereka lakukan? Apakah suara desahan yang saling bersahutan itu adalah suara Bang Binsar dan suara  … Riris?’ batin Elma berkecamuk.

“Siapa  di sofa itu? Abang? Abangkah yang di situ? Sama siapa?” Elma berteriak.

“Gawat, itu istri Abang! Bagaimana ini?” ucap Riris panik demi mendengar suara serak Elma.

“Iya, mampus kita!” Binsar tak kalah panik,  langsung melepas bagian tubuhnya dari bagian tubuh  Riris yang berada di bawahnya.

****

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
pagar makan tanaman musuh dalam selimut
goodnovel comment avatar
Fera Marani
riris tdk tau diri sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status