Nikmat yang dirasakan saat mengecap manisnya perselingkuhan, akan terasa makin melenakan, sebab setan tiada henti menjalankan peran.
***
“El, kamu sudah tidur, Sayang?” Binsar menepuk pipi istrinya.
Tak ada sahutan, Elma meletakkan kepala di atas meja makan.
“Hebat! Obat tidur itu bekerja sangat cepat,” ucap pria itu mengacungkan jempol ke arah Riris. Kasir toko yang tinggal bersama mereka itu membalas dengan kedipan dan senyum penuh makna.
“Abang amankan dulu, ya, Sayang!” kata Binsar membalas dengan kedipan tak kalah nakal, lalu menggendong tubuh ringkih istrinya.
“Ok, jangan lama-lama, ya! Udah nyut-nyut, nih!” goda Riris lagi seraya membasahi bibir tipisnya dengan sapuan lidah.
“Tenang!” sahut Binsar lalu berjalan menuju kamar. Tubuh istrinya yang berbobot hanya tiga puluh tujuh kilogram itu dia baringkan di atas kasur dengan pelan-pelan. Dia lalu menarik selimut tebal, menutupi badan wanita itu hingga sebatas bahu.
“Tidurlah yang nyenyak, ya, Sayang! Maaf, aku butuh kehangatan! Kamu enggak bisa lagi berikan itu, kan? Tenang, aku tidak akan memaksamu. Ada Riris yang dengan senang hati mau menggantikan tugasmu. Kamu bobok saja, ya!” ucap Binsar tersenyum tipis seraya membelai rambut tipis Elma. Rambut yang kian rontok pengaruh penyakit yang sedang dia derita.
“Si kerempeng itu sudah lelap?”
Binsar tersentak, sontak menoleh ke arah pintu. Riris berdiri di sana dengan wajah cemberut. “Eh, Sayang! Kamu nyusul ke sini?” tanyanya seraya mengulas senyum.
“Ya, kukira kenapa Abang lama-lama di kamar ini! Rupanya sedang berusaha merayu istri tercinta,” jawab Riris dengan wajah ditekuk. Sengaja dia majukan bibirnya beberapa centi sebagai bentuk protes.
“Kamu cemburu?” goda Binsar bangkit lalu berjalan menuju pintu.
“Cemburu? Aku cemburu pada perempuan penyakitan itu? Enggak banget, ya!” ketus Riris semakin cemberut.
“Tapi, dari nada bicaramu, aku menangkap ada cemburu yang membakar, sini, Sayang!” Binsar memeluk pinggang Riris setelah menutup pintu kamar Elma dengan pelan. “Jangan cemberut gitu, dong! Aku makin gemas melihat bibir kamu yang manyun ini!”
“Enggak mau!” rajuk Riris menempelkan telunjuknya di bibir Binsar saat pria itu hendak menyambar bibirnya.
“Hem, enggak mau, ya? Ya, sudah. Kamu ke kamar kamu saja kalau begitu! Aku mau nonton tv,” ancam Binsar sontak melepas pelukan. Dia langsung berbalik dan meninggalkan perempuan itu.
“Abang ….” teriak Riris menjejeri langkahnya.
“Kenapa?” Binsar tak menghiraukan.
“Abang, gitu! Aku lagi merajuk ….”
“Kamu merajuk kenapa, coba? Hanya karena aku membelai kepala Elma?” Binsar meletakkan bokongnya di sofa, seraya menekan remot tv.
“Bukan!” Riris ikut duduk mepet di sampingnya.
“Lalu kenapa?”
“Abang bilang, Abang sayang sama aku! Abang bilang, Abang puas dengan pelayananku di ranjang. Tapi kenapa Abang tetap aja Abang lebih sayang sama istri Abang?”
“Maaf, Ris! Aku sayang sama kamu! Aku suka dan sangat puas dengan pelayananmu! Tapi aku sangat mencintai istriku. Maaf, ya! Aku tak mau pernikahanku terganggu dengan hubungan kita. Ingat, kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Tidak ada ikatan dan perjanjian apa-apa!”
Riris tercekat, menelan saliva yang terasa sangat pahit. Dia memang telah berhasil menaklukkan Binsar di atas ranjang, tapi belum berhasil menaklukkan hati pria itu seperti permintaan Risda, ibu kandung Binsar.
‘Sepertinya butuh waktu sedikit lagi untuk bisa menyingkirkan Elma dari rumah besar ini. Aku tak akan putus asa. Sebentar lagi Bang Binsar pasti akan bertekuk lutut di kakiku.’ Riris menguatkan tekat
“Iya, Bang! Aku paham. Maaf, aku sempat merajuk enggak jelas. Temani aku bobok, ya! Abang udah janji, kan, tadi! Makanya Abang nyuruh aku ngasih obat tidur buat istri Abang!” bujuknya kemudian.
“Hem, jujur aku sangat merindukan permainanmu, Sayang! Di sini saja, ya! Sofa ini cukup kuat untuk menahan bobot tubuh kita berdua!” Binsar meraih tubuh gadis itu, langsung menyerangnya dengan penuh nafsu.
Keduanya kini bergulat di atas sofa, desah dan rintihan mesum terdengar saling bersahutan.
*
“Bang! Abang ….” panggil Elma dengan suara serak. Tenggorokannya bagai disekat, itu membuat suaranya hampir tak terdengar.
“Bang Binsar! Abang ….!” Bersusah payah, kembali dia berusaha memanggil. Tanganya meraba-raba ke samping kiri. Namun, tangan kurus itu tak menemukan apa-apa. “Abang di mana? Aku haus, Abang,” lirihnya pelan lalu berusaha bangkit perlahan. Pengaruh obat yang dia konsumsi, membuat kerongkongannya terasa panas. Elma kehausan.
Dengan berpegangan di pinggiran ranjang, dia berusaha menggapai dinding. Hampir saja dia jatuh dan tersungkur. Langkahnya terhuyung, berjalan pelan menuju pintu kamar.
Begitu membuka pintu, telinganya langsung mendengar suara dari arah ruang tamu. Hatinya berangsur lega, yakin kalau suaminya sedang menonton siaran televisi di sana. Tak ingin merepotkan orang lain, wanita itu ingin langsung pergi ke dapur saja. Mengambil minum sendiri untuk mengobati dahaganya.
Namun, langkah beratnya sontak terhenti. Telinganya menangkap ada suara lain selain suara televisi. Seperti orang sedang mendesah penuh kenikmatan dan sesekali merintih. Suara aneh dan sangat mencurigakan itu terdengar di antara suara televisi.
Elma menajamkan pendengaran, suara desah dan rintihan makin jelas terdengar. Di televisi sedang jeda iklan. Jelas desahan itu bukan berasal dari televisi. Penasaran, Elma melangkah menuju ruang keluarga. Dia harus membuktikan kecurigaannya. Dengan berpegangan pada dinding, dia menyeret langkah beratnya.
Wanita itu makin kesulitan saat telah tiba di ruang keluarga. Ruangan itu gelap gulita. Lampu dalam keadaan padam. Hanya bias dari cahaya layar televisi yang masih menyala yang memberi penerangan. Netranya makin kesulitan untuk melihat. Dengan memicingkan kedua mata Elma menangkap ada dua bayangan di atas sofa. Siluet itu bergerak-gerak dengan liar di sana.
Dua sosok yang di atas sofa memang hanya terlihat samar di mata Elma, tetapi dia bisa menangkap kedua orang itu seperti tengah main kuda-kudaan. Satu di bawah dan satu lagi bergerak liar di atasnya. Suara desah kenikmatanpun bisa ditangkap oleh indera pendengaran. Siapa mereka? Elma penasaran sekaligus berdebaran.
‘Kenapa ada dua? Bukankah seharusnya Bang Binsar sendirian? Sama siapa, dia? Anak-anak semua sedang berada di rumah neneknya. ART yang bekerja di rumah ini selalu pulang di sore hari. Di rumah ini hanya ada aku, Bang Binsar dan Riris. Mungkinkah dia sedang bersama Riris? Apa yang sedang mereka lakukan? Apakah suara desahan yang saling bersahutan itu adalah suara Bang Binsar dan suara … Riris?’ batin Elma berkecamuk.
“Siapa di sofa itu? Abang? Abangkah yang di situ? Sama siapa?” Elma berteriak.
“Gawat, itu istri Abang! Bagaimana ini?” ucap Riris panik demi mendengar suara serak Elma.
“Iya, mampus kita!” Binsar tak kalah panik, langsung melepas bagian tubuhnya dari bagian tubuh Riris yang berada di bawahnya.
****
Bersambung
“Abang! Itu Abang, kan? Dan itu … siapa?” Elma semakin memicingkan mata. Tetapi tumor yang dia derita membuat pandangannya semakin terganggu saja. Cahaya temaram dari sorot televisi tak membantu penglihatannya sama sekali. Segera dia berjalan lagi dengan berpegangan pada dinding, Jemarinya mencari saklar lampu penerangan.“Cepat, istri Abang mau nyalain lampu!” bisik Riris sambil memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu bersembunyi di balik sofa. Binsar menyambar celana boxernya, lalu memakainya dengan buru-buru.Ceklek! Seketika ruang televisi itu menjadi terang benderang.“Oh, Abang sendirian, ya? Tadi sepertinya dua orang. Mataku makin parah saja akhir-akhir ini,” sesal Elma seraya berjalan mendekati sofa. Langkah kakinya makin terhuyung. Wanita dengan tulang pipi yang kian menonjol itu tampak seperti tengkorak berjalan.“Kamu melihat apa, sih? Dari tadi juga aku sendirian di sini! Sepertinya matamu harus diperiksakan ke dokter spesialis, Sayang!” sahut Binsar gu
“Kau harus pergi dari sini, Ris! Sekarang kemasi semua pakaianmu!” Binsar berkata tegas.“Apa? Abang bilang apa?” Wanita itu tersentak kaget.“Kemasi semua pakainmu! Selepas subuh nanti, aku akan mengantarmu ke terminal. Kau pulang kampung dengan bus yang berangkat pertama! Aku akan telpon Mama. Mama yang akan menjelaskan pada orang tuamu di kampung kalau aku terpaksa memecatmu!”“Abang bercanda, kan, Bang? Ini maksudnya apa? Abang ngeprank ini, kan, Abang?” Riris bangkit lalu menghampiri Binsar yang masih berdiri di dekat pintu. “Abang jangan buat Riris takut, dong Bang!” rengeknya bergelayut di lengan pria itu.“Maaf, Ris! Tapi aku serius! Kita harus mengkhiri ini. Kau harus tinggalkan rumah ini!” Binsar melepas rangkulan Riris di lengannya.“Tapi salahku apa, Abang?” Riris mulai berkaca-kaca. Wanita itu menatap lekat wajah Binsar tepat di manik-manik mata. Dia kira leguhan nikmat sang pujaan di sofa tadi, akan mampu mengikat hati pria itu terhadap dirinya. Ternyata tidak sa
Binsar cepat-cepat menuju pintu, Elma yang sudah merasa sedikit bertenaga pagi ini ikut berjalan di belakangnya.“Kamu! Kenapa belum …,” sergah Binsar begitu daun pintu dibuka.“Ris, kamu rajin banget buatin sarapan segala! Terima kasih, ya! Kamu memang gadis yang baik!” sela Elma dengan senyum mekar di bibirnya.“Iya, Kak. Kakak sarapan, ya! Aku juga udah buatkan jus jeruk hangat buat Kakak.” Riris memeluk pinggang Elma, lalu membawa wanita itu menuju ruang makan. Binsar melongo. Kalimat kasar yang ingin dia ucap tertahan di tenggorokan.“Oh, iya, Bang, Tante beserta anak-anak sudah dalam perjalanan ke sini,” imbuh gadis itu menoleh sekali lagi ke belakang. Binsar tersentak kaget.“Anak-anak?” seru Elma gembira.“Iya, Kak. Aku meminta Tante membawa anak-anak Kakak ke sini, pasti Kakak sudah kangen, kan?”“Riris, kamu pengertian banget, sih. Kalau aku yang minta pada mertuaku agar bawa anak-anak ke sini, enggak pernah dikabulkan. Katanya penyakitku bisa nular ke anak-anak. Terima
“Baik, Tante!”Riris tersenyum lega. Gadis itu lalu membuka pintu kamar, keluar dengan langkah ringan. Kabar duka akan dia sampaikan kepada Elma yang masih berada di meja makan.Namun, saat melewati kamar utama, langkahnya terhenti. Pintu kamar yang sedikit terbuka membuat mata gadis itu dengan leluasa menangkap pemandangan di dalamnya. Binsar yang baru saja selesai mandi tengah berdiri mamatut diri di depan cermin rias. Tubuh atletis yang hanya berbalut handuk sebatas pinggang memancing gadis itu untuk datang mendekat.Pelan Riris menguakkan daun pintu agar lebih lebar. Membawa tubuhnya masuk ke dalam, lalu menutup kembali daun pintu tanpa suara.Klek! Ceklek!Anak kunci dia putar dua kali.“Kamu?” teriak Binsar terkejut menoleh ke belakang. “Kamu, ngapain di sini? Keluar!” usirnya dengan mata membulat.“Ssst! Jangan kencang-kencang ngomongnya! Nanti istri Abang dengar gimana?” Riris menempelkan telunjukknya di bibir Binsar yang masih basah. “Mau apa kamu, Riris? Tolong keluar!”
Dengan tangan gemetar Elma mulai menscroll laporan penjualan. Baik laporan penjualan di toko induk ini maupun seluruh toko cabang yang tersebar di beberapa kota kabupaten, berbagai kota kecamatan bahkan desa. Semuanya mesti memberikan laporan penjualan secara on-line ke toko induk. Setiap hari pula kasir di setiap toko cabang harus mentransfer uang hasil penjualan ke rekening toko.Rekening toko memang atas nama Elma sebagai pemilik resmi. Namun, kartu ATM atas nomor rekening itu ada di tangan Binsar. Elma lalu mengetik pemberitahuan di layar laptop.[Kepada seluruh kasir toko cabang Usaha Panglong Elma Bersinar, mulai hari ini uang hasil penjualan harian harap di transfer ke rekening pribadi pemilik Usaha langsung atas nama Elma Rosaline dengan nomor Rekening 131-xxxx-xxx-xx karena rekening toko yang biasa sudah dibekukan. Demikian untuk dipatuhi. Tertanda pemilik Usaha Panglong Elma Bersinar, Elma Rosaline.]“Kak El, ini maksudnya apa?” Riris terbelalak kaget membaca kalimat it
“Bik Dar! Tolong bantu saya siap-siap, Bik! Saya gak usah mandi, elap dengan air hangat saja!” titah Elma pada Asistennya.“Baik, Buk!”“Tolong tunggu di luar, Bang! Siapkan mobil!” pinta Elma melirik Binsar.Binsar tak bisa menolak lagi. Dengan enggan dia keluar dari kamar itu. Namun langkahnya bukan menuju garasi, melainkan ke toko. Riris menyambutnya dengan senyum lebar.“Gimana istri Abang, drop lagi, kan? Gak jadi operasi, kan? Abang, sih! Bukannya dihalang-halangi istrinya minta operasi, malah didukung, sekarang liat, Abang gak bisa bebas lagi gunakan kartu ATM Abang, kan?” semprotnya begitu Binsar sudah dekat.“Kamu benar, Ris. Aku salah sangka. Kukira Elma itu perempuan bodoh. Kasihan dia penyakitan, begitu pikirku. Rupanya sakit saja dia berbahaya, bagaimana pula kalau sehat.”“Makanya aku dan Mama Abang ngarang cerita kalau Tampan demam. Biar dia gak jadi operasinya.”“Jadi, Tampan gak benar-benar sakit?”“Tidak. Mama Abang sengaja menunda tiba lebih cepat. Supaya Kak El
“Iya, kenapa? Kamu sepertinya panik sekali?” tanya sang supir kebingungan.“Tidak, bukan. Eh, maksud saya, hati-hati nanti nyetirnya! Sudah, ya! Terima kasih!” Elma mengakhiri panggilannya, lalu menatap Riris dengan tajam. Wanita itu menunduk, menyembunyikan wajahnya.“Apa maksud kamu sebenarnya?” Elma berjalan pelan mendekati wanita itu. Bik Darmi membantu memapahnya.Binsar yang melihat gelagat perang segera turun dari mobil dan memburu istrinya. “Sayang, kita berangkat sekarang, ya! Dokter David sudah terlalu lama menunggu. Ayo!” ucapnya langsung menggendong tubuh ringkih Elma.“Aku mau bicara dulu dengan Riris, tunggu sebentar!”“Jangan pedulikan Riris, Sayang! Biar nanti abang yang urus, ya!”“Aku mau pecat dia, Abang! Aku pecat dia sekarang!”“Iya, iya!” Binsar meletakkan tubuh Elma di jok depan, langsung menutup rapat pintu mobil. Elma berusaha meronta, namun tak dihiraukan. Mobil itu langsung melaju dengan kecepatan tinggi.Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel
“Tolong selimuti saya!” lirihnya tetap dengan posisi menghadap ke dingding dan tubuh menggigil.“Sial benar perempuan itu! Cari masalah saja! Selimuti dia!” perintah Alva kepada anak buahnya. Salah seorang langsung menyelimuti tubuh Elma.“Sekarang dudukkan dia, bantu gerakkan tangannya untuk menanda tangani surat ini! Setelah itu masukkan dia ke mobil, tinggalkan di lampu merah, di mana tadi kalian menjemputnya!” perintahnya lagi.Dengan sigap kedua anak buahnya melakukan perintah. Bersusah payah mereka posisikan tubuh Elma agar bisa bersandar di dinding. Namun usaha mereka sia-sia. Elma tak lagi bergerak sedikitpun.“Dia pingsan, Bang! Tubuhnya juga panas sekali! Sepertinya demam tinggi!”“Sial! Bawa ke mobil! Lalu buang!”“Tapi, Bang!”“Kenapa? Kalain mau markas kita ini menjadi perhatian masyarakat umum dan juga polisi!”“Tidak, Bang! Tapi, jangan dibuang juga, Bang!”“Lalu kau mau apa? Mau bawa dia ke rumah sakit? Ada uang bapak kau bayar rumah sakitnya, ha! Belum lagi kalau di