“Mama!” Vita terlihat begitu girang. Gadis kecil itu berlari menghampiri Elma. Memeluk lengan kanan yang tak ada selang infusnya, lalu menciumi pipi sang bunda.“Mammmma … ma … mamma ….” celoteh Tampan melorotkan diri dari gendongan seorang wanita berusia empat puluhan.“Mana Om Alva, Sayang?”Kalimat itulah yang pertama keluar dari mulut Elma. Mata cekungnya menanti seseorang muncul di ambang pintu. Tetapi, tak ada siapa-siapa lagi yang datang setelah itu. Elma meneguk ludah penuh kecewa. Kenapa?“Om Alva? Mama nyari Oom Alva?” tanya Vita membulatkan kedua matanya. Gadis kecil itu menatap Elma bingung. “Oom kan, jagain Mama tadi malam. Kata Oom Alva, dia jaga mama di sini, Vita sama Adek, disuruh bobok di rumahnya. Mama tahu, Ma, rumah Oom Alva besaaaaar sekali. Kayak rumah putri putri. Vita dan Adek bobok di kamar yang beeeesaaaar. Kami juga dibeliin baju baru sama Oom Andre.”“Oh, Om Alva jagain mama ya tadi malam?”“He em.”“Terus, Om Andre itu siapa?”“Abangnya Oom Alva.”“Oh,
“Tuh, kan, Buk! Pak Alva aneh! Dia begitu perhatian pada Ibuk dan anak-anak! Cobalah bujuk dia supaya mau jenguk Bu Nyonya, ya, Buk!” Bik Ning mengusulkan.“Bagaimana caranya, Bik? Pak Alvanya tidak ada di sini, bagaimana saya mau membujuk.”“Coba telpon!”“Saya tidak punya nomornya. Ponsel saya juga lowbat. Udah dari kemarin belum isi daya.”“Pakai hape saya, ini!” Bik Ning mengaktifkan lalu menyerahkan ponsel miliknya. “Itu sudah memanggil, mudah-mudahan Pak Alva mau mengangkatnya.”Elma menerima benda pipih itu, lalu mendekatkan ke telinganya.“Ada apa Bik Ning? Bu Elma enggak kenapa-napa, kan? Apa dia pingsan lagi? Atau anak-anak, ya? Kenapa anak-anaknay? mereka baik-baik saja, kan? Aku udah kirim seorang pengasuh ke situ! Harusnya udah sampai. Pokoknya Bu Elma tidak boleh stres dan kepikiran tentang anak-anaknya! Kalian urus Vita dan Tampan dengan baik, ya! Oh, iya, ada apa tadi nelpon saya?”Elma tercekat. Kerongkongannya bagai disekat. Wanita itu tak sanggup lagi berkata-kata.
“Wah, ide bagus itu, Kak. Kita bergerak sekarang? Kakak siap?” tanya Binsar penuh semangat. Tak mengira kalau ancaman sang kakak ipar ternyata menguntungkan baginya.“Semangat sekali kamu! Tapi ada syaratnya, tentu!” Rosa tersenyum samar.“Syarat lagi?” Binsar mengernyitkan dahinya dengan kencang. Hatinya kembali tak enak.“Iya, dong!”“Apa, Kak?”“Kita pergi berdua saja! Gak boleh ikut si Riris. Aku gak ngelarang kalian pacaran, selama kamu belum jatuh hati padaku.”“Maksud Kakak?”“Aku kok, pengen diperlakukan seperti kau memperlakukan Riris tadi malam?” Rosa meletakkan bokongnya di pinggir kasur. Tepat di samping sang adik ipar.“A-apa? Ma-maksud Kakak? Kak Rosa bercandanya jangan gitu, dong, Kak! Sebenarnya yang Kakak dengar tadi malam di kamar Riris itu tak seperti yang Kakak bayangkan!” Binsar menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Memangnya kamu tahu apa yang aku bayangkan?” tanya perempuan itu menatap tepat di bola mata Binsar. Sang pria menoleh ke arah lain, sungguh dia
Delapan belas orang karyawan toko mengangguk hormat dan patuh. Masing-masing mengerjakan tugasnya. Para supir dan kenek pengantar barang orderan segera mengeluarkan empat mobil truk dan empat pick up. Yang lainnya segera membuka toko, membersihkan dan mengatur segala sesuatunya yang perlu dirapikan.Selanjutnya mereka akan menunggu perintah dari Riris sang kasir toko sekaligus orang kepercayaan Bos. Memuat orderan ke dalam truk atau pick up, lalu mengantar ke alamat pemesan. Namun, kali ini ada yang berbeda. Riris belum juga muncul di mejanya. Para karyawan menganggur semua.Sementara Bik Darmi juga mengerjakan tugas-tugas rutinnya. Membersihkan seluruh rumah, memutar mesin cuci, menjemur lalu memasak untuk makan siang. Namun hari ini dia kebingungan mau masak apa. Tak ada bahan makanan yang tersedia di kulkas untuk dia olah.“Maaf, Buk? Saya harus masak apa hari ini?” tanya wanita itu memberanikan diri mendekati Bu Risda yang tengah menikmati sirih di teras samping rumah.“Ko
“Kita keluar, dulu, Nak! Biarkan Dokter bekerja! Ayo!” Sebuah tangan melepas genggamannya pada tangan sang mama. Lalu menggengam lengan Alva dengan sikap ragu-ragu. Pria dewasa itu menatap Alva dengan tatapan sayu.“Maaf! Tolong jangan pernah pegang saya!” Alva mengibaskan pegangan itu. Lalu berjalan keluar rungan.“Sabar, Pa!” bujuk Andre mengusap lembut punggung sang Papa.Pak Zul menghela napas berat. Sikap Alva mengoyak hatinya. Padahal dia sudah mencoba mengalah. Setelah saling diam berbulan-bulan lamanya. Pertengkaran yang berujung dengan kepergian Alva dari rumah. Dia sengaja membiarkan Alva keluar dari rumah. Sedikitpun dia tak menghalangi. Pria ini tak mau Alva menjadi anak yang suka memaksakan kehendak.Selama ini Alva terlalu di manja oleh sang mama. Alva telah salah didik sejak kecil. Sampai dewasapun sang mama tetap memperlakukannya seperti bayi besar. Segala keperluan dilayani, segala permintaan selalu dituruti. Itu membuat Alva menganggap diri lebih istimewa dar
Di rumah sakit Bik Darmi baru saja tiba di kamar Elma. Sang majikan menyambutnya dengan senyuman lega.“Bagaimana keadaan di rumah, Bik?” tanya wanita itu mulai meyelidiki.“Baik, Buk. Saya sudah mengerjakan semua tugas saya bersih-bersih rumah, nyuci dan merapikan pakaian. Mertua Ibuk nyuruh saya masak. Tapi apa yang bisa saya masak? Semua persediaan bahan makanan sudah ludes. Mertua Ibuk perintahkan saya menghadap Ibu untuk minta uang belanja. Pulangnya disuruh singggah di restoran makan Padang. Dia udah lapar banget katanya.” Bik Darmi menerangkan.Elma berpikir keras. Moment yang sangat tepat, pembalasan kepada keluarga suaminya, akan segera dia mulai.“Begini, Bibik tidak usah masuk kerja dulu, sampai saya keluar dari rumah sakit. Bibik bukan pelayan mereka. Kalau mengenai abang saya, biar dia beli di warung saja. Kebetulan kaka ipar saya juga sedang ke rumah keluarganya.”“Benar, Buk? Saya cuti dulu?” tanya Bik Darmi semringah.“Ya. Bibik istirahat saja dulu, nanti saya kaba
“Hallo, kenapa? Ada yang mau dibicarakan?”Elma tercekat. Pertanyaan pria itu jelas membuatnya bingung dan gugup. Tentu saja tak ada yang perlu dibicarakan antara mereka. Elma saja yang nekat menuruti panggilan hati untuk menghubungi sang pria.Niat hati untuk menenangkan diri, mengusir sedih, ternyata resah dan gusar yang dia terima.“Tidak apa-apa! Maaf, saya salah sambung!” ucapnya lalu menggeser panel berwarna merah di layar ponsel. Wanita itu menghela napas panjang, lalu mengembalikan benda pipih itu kembali di atas nakas.“Hem, kenapa ragu kalau mau bicara? To the point saja! Aku tidak suka basa basi!” Baru saja Elma meletakkan ponsel, tiba-tiba suara itu muncul dari ambang pintu.“Alva ….” gumam wanita itu tersentak kaget. Rasa malu karena ketahuan berbohong membuat wajahnya yang masih pucat seketika memerah. “Bapak datang?” tanyanya saat sang pria telah berdiri di dekat brankar, di sisi kepalanya.“Ya, apakah tidak boleh?” Alva balik bertanya, senyum tipis mengulas di
“Terima kasih, Pak!” Elma lalu menyalakan ponselnya, menscroll nomor toko cabang Pancur Batu.“Usaha Panglong Elma Bersinar Cabang Pancur Batu, selamat pagi, Bapak, Ibu! Ada yang bisa kami bantu?”Terdengar suara merdu pegawai toko.“Saya Elma, selamat pagi Rita! Bagaimana keadaan toko kita?” tanya Elma tanpa basa basi.“Eh, Bu Elma. Toko baik, Bu! Ibu apa kabar? Kata Bapak, Bu Elma sakit keras, tidak boleh dihubungi. Bagaimana kesehatan Ibu?”“Saya sudah lebih baik, Rita. Hem, Bapak ada ke situ?”“Iya, Buk, baru sejam yang lalu dia pergi dari sini.”“Ngapain Bapak di situ?”“Itu, Bu. Em, memberikan nomor rekening atas nama Bu Rosa. Karena Bu Elma sakit, katanya mulai sekarang cabang ini sudah di bawah kendali Bu Rosa. Mulai nanti sore saya wajib transfer uang dari hasil penjualan ke nomor rekening itu.”“Lalu, apa tanggapan kamu?”“Maksud Ibu?”“Dengar Rita, kamu saya pilih, saya angkat dan saya percayakan untuk mengurus toko cabang di situ! Kamu juga saya beri tangggung jawab penu