"Masuk mbak." Daniel membukakan pintu mobil.
"Saya duduk di belakang saja ya Mas," ucapku tak enak hati.
Bukan niat tak sopan, aku hanya takut menimbulkan fitnah. Terlebih statusku sekarang adalah seorang istri, meski tak diakui Mas Adam.
"Lho, kenapa mbak? Saya bukan sopir lho." Daniel menatapku, seakan keberatan jika aku duduk di belakang.
"Takut jadi fitnah Mas, Mas Daniel kan bukan mahram saya. Kalau Mas Daniel tidak mau, saya bisa naik tadi online kok Mas." Kutundukkan kepala. Sungguh aku benar-benar tak enak hati.
"Oke, baiklah." Daniel membuka pintu bagian belakang.
"Terima kasih Mas."
"Kembali kasih." Sulas senyum tergambar di wajahnya.
Sepanjang perjalanan Daniel terus saja bercerita. Dari status lajangnya sampai kesibukannya sehari-hari. Daniel, tipe orang yang mudah bergaul dengan siapapun. Termasuk orang yang baru dia kenal, seperti diriku ini.
"Mbak Aisyah benar sepupunya Adam?" tanyanya sambil terus menyetir.
"Em, i-iya Mas." jawabku tergagap.
Ya Allah maafkan hambamu ini yang harus berbohong.
Aku tahu satu kebohongan akan menimbulkan kebohongan yang lainnya. Tapi aku bisa apa? Kalau aku jujur, Mas Adam pasti akan marah besar."Kamu sudah punya pacar?"
Uhuk... Uhuk...
Aku tersedak ludahku sendiri, harus bagaimana ini Ya Robb. Aku memang tak punya pacar.Bahkan pacaran pun aku tak pernah.Tapi kini sudah memiliki seorang suami.
"Kamu kenapa mbak?" Daniel menepikan mobil dan memberiku sebotol air mineral padaku.
"Terima kasih Mas." Kuminum air dalam botol sampai menyisakan setengahnya.
"Haus banget ya mbak? he he he..." ledek nya.
Aku hanya tersenyum, jujur aku masih bingung mau menjawab apa. Karena memang statusku sekarang istri orang. Kalau aku bilang sudah memiliki suami. Pasti Daniel bertanya di mana suamiku, sampai aku harus tinggal di rumah Mas Adam. Itu yang aku takutkan, kalau aku menjawab suamiku adalah Mas Adam. Mas Adam pasti akan mengamuk.
Mobil melaju membelah padatnya jalanan kota. Hening, suasana canggung mendera kami. Untung saja Daniel tak bertanya lagi tentang statusku.Aku tak ingin berbohong lagi tapi aku juga belum berani menjawabnya.
Sepuluh menit dalam suasana canggung membuat perjalanan terasa sangat lama. Mobil Daniel berhenti di butik ternama di kota ini. Butik muslimah yang baru buka dua tahun yang lalu. Aku tahu butik ini,karena aku sering lewat di jalan ini sewaktu kuliah dulu.
"Ayo turun mbak." Daniel keluar dari mobil.
"Iya Mas..." Kuikuti langkah kaki Daniel yang berjalan memasuki butik tersebut.
"Butik ini di buka dua tahun yang lalu oleh kakak saya mbak. Tepatnya setelah dia berhijrah mbak," terang Daniel.
Aku memang sempat mendengar desas-desus kalau pemilik butik muslimah ini dahulunya seorang nasrani dan berpindah keyakinan menjadi muslim.
"Iya Mas, saya juga pernah mendengar Mas saat saya masih kuliah dulu. Kebetulan kan saya sering lewat sini. Eh, ternyata pemilik butik ini kakaknya Mas Daniel."
"Ternyata sudah tahu sebelumnya ya mbak. he he." Lagi-lagi Daniel menggaruk kepalanya.
Kami berjalan ke lantai dua, sepanjang kaki melangkah semua mata tertuju pada kami. Ada yang memandang dengan sinis, ada yang penuh penasaran,ada pula yang acuh tak acuh. Apa memang seperti ini tatapan orang-orang dengan calon karyawan baru? Membuatku tak nyaman saja.
Kami telah sampai di depan ruangan. Sepertinya ini ruangan pemilik butik ini. Tanpa mengetuk pintu Daniel masuk begitu saja ke dalam. Aku hanya mematung di tempat, rasanya enggan masuk karena aku belum dipersilahkan masuk ke dalam.
"Mbak Aisyah, ayo masuk." Daniel menoleku yang masih diam terpaku.
"Iya Mas." Kulangkahkan kaki perlahan memasuki ruangan.
Seorang wanita berhijab syar'i menatapku penuh tanda tanya.Mungkin ini kakaknya Daniel, dari wajahnya pun ada kemiripan dari mata dan hidungnya. Anggun dan cantik, itu kesan pertama untuknya.
"Kebiasaan kamu ini, masuk ruangan orang tanpa mengetuk pintu." ucap wanita itu.
"Gak papa dong mbak," jawab Daniel sambil duduk di sofa tak jauh dari meja. Kini tinggal aku yang berdiri. Keterlaluan memang si Daniel ini.
"Silahkan duduk Aisyah." ucap wanita itu sambil tersenyum padaku.
Dari mana dia tahu namaku Aisyah. Ah, mungkin Daniel sudah menceritakannya. Dia kan yang membawaku kemari.
"Iya Bu" Kujatuhkan bobot ini tepat di kursi depannya.
"Perkenalkan nama saya Bella, kakaknya Daniel." Ucapannya sambil mengulurkan tangan.
"Aisyah..." Kami pun berjabat tangan.
"Kemarin Daniel sudah cerita kok. Boleh minta berkas lamarannya."
"Baik Bu." Kuberikan berkas lamaran di atas meja. Segera Bu Bella membaca seksama berkas yang ku serahkan.
"Masih single ternyata," ucapnya saat membaca fotokopi KTP ku.
Kutelan saliva yang terasa mengganjal di tenggorokan. Bagaimana ini Ya Allah. Semua orang pasti mengira kalau aku belum menikah. Karena aku memang belum menikah secara negara. Jadi di KTP pun masih tertulis belum kawin. Akta nikahpun aku tak punya. Ya beginilah akibatnya kalau menikah siri. Pihak wanitalah yang sangat di rugikan.
Abi dan Umi memang pernah bilang akan menikahkan ulang aku dan Mas Adam secara negara. Tapi aku belum tahu kapan, karena kedua orang tua Mas Adam menginginkan pesta meriah untuk pernikahan kami. Tanggal pernikahannya pun akan di atur Abi dan Umi. Dulu aku hanya mengiyakan saja, karena ku pikir Mas Adam perlahan akan mencintaiku. Tapi kalau seperti ini, mana mungkin Mas Adam mau menikahiku secara negara.Sampai detik ini pun pernikahan kami masih di rahasiakan dari teman-teman Mas Adam.
Aku harus bagaimana Ya Allah.?
Aku tak mau semua orang menganggap diriku belum menikah.Padahal kenyataannya aku telah memiliki suami. Aku tak ingin berdosa Ya Robb."Oke, Aisyah, kamu saya terima bekerja disini sebagai asisten saya. Selamat bergabung di butik kami" ucap Bu Bella mantap.
"Terima kasih Bu, tapi..." Mulut ini menjadi kelu tak mampu melanjutkan ucapanku.
"Tapi apa Aisyah? Ada yang ingin kamu katakan?" Bu Bella menatapku penuh tanda tanya.
Ku atur nafasku, Bu Bella dan Daniel menatapku, seakan menunggu setiap kata yang akan kuucapkan.
Ya Allah, apa aku harus jujur sekarang juga?
Bagaimana kalau Mas Adam marah? Aku harus bilang apa?Kira-kira Aisyah akan berkata jujur atau tidak ya?
Sesaat situasi menjadi hening, Bu Bella seperti memberikan ruang untukku merangkai kata. Sejujurnya aku masih dilema, bingung antara berkata jujur atau diam saja. Ya Allah, aku harus bagaimana? "Ada yang ingin kamu tanyakan?"Bu Bella menyatukan ketua alisnya. "Em, itu, anu...." Suara ini seperti berhenti ditenggorokan. Ternyata jujur tak semudah yang aku bayangkan. Padahal biasanya lancar-lancar saja. "Apa sih mbak? Kok gugup gitu."Daniel tak sabar dengan apa yang akan kukatakan. "Sebenarnya saya su...." Kriiingg ... Kriiingg .... Ponselku berbunyi, satu panggilan masuk dari nomor baru. "Maaf Bu, saya angkat telepon dulu, sepertinya penting." Aku berjalan keluar ruangan. "Assalamu'alaikum...,"ucapku. "Waalaikumsalam, kamu di mana Tiara Aisyah Kurniawan." Suara yang sangat familiar. "Em, ini di butik kakaknya Mas Daniel, kemarin aku ditawari pekerjaan di butik kakaknya.Kamu lupa Mas?" "Siapa yang memberi izin kamu bekerja?" ucap Mas Adam ketus. "Bukankah tempo hari Mas bil
Pov AdamTak pernah terbayangkan olehku akan menjalani takdir seperti ini. Terpaksa menikahi wanita yang tak kucinta, bahkan baru bertemu saat ijab qobul. Aku menyetujui pernikahan ini karena paksaan abi dan Umi. Sungguh aku tak ingin menjadi anak durhaka karena melawan permintaan kedua orang tuaku. Ijab qobul berlangsung di ruang rawat inap di salah satu rumah sakit di kotaku. Tiara Aisyah Kurniawan wanita yang kini menjadi istriku. Ku akui dia memang cantik tapi tak akan menggantikan sosok Jesica di hatiku. Selesai ijab qobul,ayah Aisyah meninggal dunia. Tangis histeris dari wanita yang kini sah menjadi istriku memenuhi penjuru ruangan. Aku tau pasti sakit kehilangan seseorang yang kita cintai. Mungkin ini yang dia dan aku rasakan. Dia kehilangan sosok cinta pertamanya, dan aku kehilangan impian menikahi wanita yang ku cinta. *Hampir sepuluh hari usia pernikahan kami, tapi sampai detik ini aku belum pernah memberikan nafkah batin untuk Aisyah. Bukan karena aku tak tertarik denga
Lagi-lagi keheningan menyelimuti perjalanan kami. Jarak yang tinggal beberapa kilo meter terasa sangat lama. Ponsel belum juga di kembalikan padaku. Tulisanku belum sempat ku simpan, awas saja kalau sampai hilang atau terhapus. Kebayangkan susah-susah merangkai kata, menjadikan tulisan itu hidup dan tinggal sedikit lagi selesai,tapi tiba-tiba hilang begitu saja. Sungguh aku akan membuat perhitungan padamu Mas Adam, jika tulisanku sampai hilang. Mobil berhenti di carport,segera aku keluar meninggalkan Mas Adam yang asih diam membisu. Memasuki rumah, segera aku mandi karena badan sudah lengket. Krucuuk ... krucuuk....Cacing di perut sudah meronta-ronta meminta haknya.Aku ingat, seharian baru memasukkan makanan satu kali saja, pantas saja aku sudah kelaparan begini. Tak butuh lama untuk memasak nasi goreng kesukaanku. Dua piring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya siap di santap. Tanpa menunggu Mas Adam, kumasukan nasi goreng ke dalam mulut. Tak perduli dia sudah makan atau
[MAS PULANG, SEKARANG!]Send... Pesan itu centang dua, tapi belum di baca juga. Mas Adam, kamu dimana? Satu menit, lima menit, hingga sepuluh menit Mas Adam masih tak membalas pesanku padahal sudah centang biru. Ah, beginilah nasibnya istri tak dianggap. Nah, kalau di pikir kenapa jadi aku yang takut? Bukankah Mas Adam yang harus takut. Kebohongan ini bermula darinya, maka dialah yang harus mengakhirinya. Entah bagaimana akhirnya hanya Allah yang tahu. ****"Diminum Abi, Umi." Kuletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja. "Makasih ya Aisyah." Umi dan Abi mulai menyeruput teh hangat yang kubuatkan. "Adam di mana, kok gak keliatan?"Kutelan saliva,dan tangan ini memainkan ujung hijab yang kukenakan. Aku sendiri bingung mau menjawab apa. Jujur takut salah, diam lebih salah lagi. "Aisyah tidak tahu umi, tadi bilangnya cuman keluar sebentar."dustaku."Padahal hari libur, tapi justru pergi sendiri. Harusnya kamu diajak. pengantin baru kok di tinggal-tinggal, iya kan,Bi?" Umi menyen
Bohong itu seperti candu,sekali melakukan kebohongan seterusnya akan melakukan lagi dan lagi. Hingga suatu saat kebohongan itu terbongkar dengan sendirinya. Mungkin saat ini Mas Adam bernafas lega, tapi suatu saat bom itu akan meletus dan membakar sekelilingnya. Bila saat itu terjadi aku harus siap dengan segala hal buruknya. Mas Adam asyik bercengkrama bersama umi dan abi di ruang keluarga. Ada rasa sedih saat aku melihat pemandangan itu. Teringat kebersamaan aku dan ayah dulu. Semoga Ayah tenang di sana. Maafkan Aisyah belum sempat membahagiakan Ayah. Tak terasa bulir bening mengalir dari sudut netra.Berjalan perlahan menuju dapur, piring kotor bekas makan malam tadi sudah menumpuk di wastafel. Segera aku bereskan,karena aku ingin segera merebahkan badan di kasur empuk. "Umi, Abi, Aisyah ke kamar dulu ya.""Iya Aisyah..." jawab umi dan abi serempak. Perlahan kulangkahkan kaki menuju kamar tamu yang sekarang menjadi kamar pribadiku. Rasa lelah membuatku ingin segera masuk ke dal
"Mas, Mas Adam, tolong..."Samar-samar terdengar suara Aisyah meminta tolong.Mata ini masih saja terpejam. Malas membuka mata dan melihat Aisyah tertawa puas karena bisa mengalahkanku.Aku masih kesal karena dengan curang Aisyah merebut kasur empukku. Harusnya aku yang tidur di ranjang, ini kan kamarku tapi kenapa dia yang berkuasa. Menyebalkan!"Mas, Mas Adam, aku gak bisa nafas!" panggil Aisyah lagi. Tapi kini suaranya melemah.Sudahlah tidak usah acting, aku tahu kamu cuman bersandiwara. Tapi saja masih segar bugar kok. Tapi kalau beneran gimana ya?"Bahaya kalau Aisyah kenapa-kenapa. Bisa habis di marahi Abi dan Umi," batinku.Segera kubuka mata. Lho, kenapa gelap? jangan-jangan mati lampu lagi. Kenapa juga mati lampu malam-malam begini pak PLN."Kamu di mana,Ais?" Aku berjalan perlahan sambil meraba kanan kiri, jangan sampai aku tersandung dan jatuh."Di si-ni Mas," jawabnya tersengal.Ada apa sebenarnya dengan Aisyah?Kenapa nafasnya tersengal seperti itu?Jangan-jangan dia saki
Kami duduk di kursi masing-masing. Sarapan kali ini Umi yang memasak. Sebenarnya sempat kularang, tapi beliau kekeh ingin memasak. Katanya rindu membuat sarapan untuk Mas Adam."Kok rapi banget Ais, mau ke mana?" Umi menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Maaf Umi, sebenarnya Aisyah sudah bekerja di butik satu bulan ini. Bosan di rumah sendirian,Mi,"dustaku. Sebenarnya alasan utama karena aku tak ingin terlalu bergantung dengan Mas Adam. Aku sendiri tak tahu sampai kapan aku bisa mengandalkan nafkah dari suamiku itu. Sedang rumah tangga ini belum jelas kemana arahnya. "Kenapa tidak bekerja di perusahaan Adam saja,Nak?" tanya Abi heran. "Aisyah tidak berbakat bekerja di perusahaan Mas Adam bisa, takutnya malah menyusahkan Mas Adam." Mas Adam terlihat tegang. Takut ya Mas, kalau aku keceplosan? "O, ya sudah, yang terpenting kamu nyaman dan tidak kelelahan. Umi dan abi ingin segera menimang cucu." ucap Umi. Uhuk... Uhuk... Aku dan Mas Adam tersedak secara bersamaan. Tengg
[Oke...]Akhirnya ku balas pesan dari Daniel. Entah apa yang terjadi selanjutnya aku tak ambil pusing. Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas. Sudah saatnya untuk makan siang. Segera ku sambar tas di atas meja. Berjalan perlahan meninggalkan ruang kerjaku. "Aisyah...!" suara yang satu bulan ini bersamaku di kantor ini. "Iya Bu, ada perlu dengan saya?""Bisa bicara sebentar?""Bisa Bu," aku berjalan memasuki ruang pemilik butik ini. "Ada perlu apa Bu?" tanyaku sambil menjatuhkan bobot tepat di kursi yang berhadapan dengannya. "Jangan panggil ibu, mbak saja.""Tapi Bu, itu tidak sopan.""Ini jam istirahat, aku bukan ibu kamu Aisyah.Kalau berdua panggil mbak saja. Mengerti Ais?""Iya Bu, eh mbak..."Mulut ini terasa kelu, bingung mau panggil apa? Bu atau mbak. Susah juga membiasakan memanggil mbak, karena terbiasa memanggil Bu. "Apa kamu ingin makan di luar bersama Daniel?" Ku naikkan sebelah alisku.Bingung, kenapa Bu Bella bisa tahu kalau aku akan makan siang bersama Daniel.