Sebuah pernikahan pada hakikatnya adalah menyatukan dua hati, dua pikiran dan dua karakter untuk satu tujuan kebahagiaan.
Tapi jika dalam sebuah pernikahan tak ada yang bisa di satukan, mampukah kebahagiaan itu tercapai? Ah, kurasa tidak!
Apakah aku kuat menjalani biduk rumah tangga yang penuh kepura-puraan?
Apakah aku sanggup bertahan? Atau aku akhiri saja, karena masih banyak kebahagiaan di luar sana.Pikiran-pikiran itu selalu menghantuiku. Meski lelah, aku akan bertahan. Aku tak mau mengecewakan ayah, umi dan abi. Apakah aku terlalu bodoh bila memilih berjuang. Walau kurasa itu sangat sulit.
Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Mas Adam sedang bermesraan dengan Jesica menari-nari di benakku.Tiap kali ku tutup mata, bayangan itu selalu hadir.
Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga, tapi mata ini tetap saja enggan terpejam. Akhirnya kuputuskan untuk shalat tahajud dan bertadarus.
Samar-samar terdengar adzan subuh berkumandang, kulanjutkan shalat subuh. Karena wudhuku juga belum batal.
Kulipat mukenah dan ku letakkan pada tempatnya. Kupakai hijab untuk menutupi auratku. Perlahan keluar kamar, masih sepi. Mungkin Mas Adam masih di alam mimpi. Bodo amat, tak akan kubangunkan lagi. Malas melihat wajahnya yang menyebalkan di pagi buta begini.
Kukerjakan pekerjaan rumah, dari mulai menyapu, mencuci, dan memasak. Sesekali tangan ini menutup mulut saat menguap. Mata ini sepertinya tak bisa diajak kompromi. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku. Kalau saja ini di rumah,mungkin aku akan tidur lagi setelah shalat subuh. Tak ku perduli kan pekerjaan yang ada di depan mata. Sayang, aku hanya numpang di rumah orang, jadi harus tetap ku lkerjakan karena harus tahu diri, di mana aku berada.
Akhirnya pekerjaan pagi selesai juga. Sarapan sudah tertata rapi di atas meja makan. Pakaian sudah ku jemur di halaman belakang. Kini saatnya melanjutkan tidurku.
Tak butuh waktu lama, akhirnya aku terlelap dalam mimpi indah.
Tok ... Tok ...Tok ....
"Ais, sarapan dulu."Kubuka mata meski berat. Jarum jam masih di angka tujuh. Aku baru tidur setengah jam, Mas Adam malah berisik di depan pintu. Gak tahu apa semalam aku tak tidur!
"Ais, kita sarapan dulu." Lagi,Mas Adam memanggilku.
'Berisik Mas! 'batinku.
"Ais, Aisyah...!"
"Mas Adam sarapan sendiri saja, aku gak lapar!" teriakku.
"Nanti kamu sakit, maafkan Mas untuk yang semalam."
Maaf? mudah sekali kata itu keluar dari mulut kamu Mas. Sedangkan semalam dengan sengaja kamu bilang aku hanya menumpang disini.
"Ais...!"
Kutarik selimut sampai di kepala, tak kuperdulikan Mas Adam yang masih berusaha memanggilku. Lama-lama pasti akan pergi sendiri. Benar saja, dalam hitungan detik Mas Adam telah pergi dari depan kamarku.
*****
Suara bel berkali-kali berbunyi. Siapa yang bertamu, apa dia tak tahu yang punya rumah sudah berangkat ke kantor. Atau jangan-jangan umi atau abi. Bisa gawat kalau tahu aku tidur tidak sekamar dengan Mas Adam.
Sedikit berlari aku menuju pintu depan sambil merapikan hijab yang kupakai.Dengan rasa penasaran aku buka pintu depan. Seorang lelaki yang semalam bertamu, kini berdiri tepat di hadapanku. Segera iya melepas kaca mata dan tersenyum padaku.
"Selamat pagi Mbak Aisyah."sapanya dengan senyum mengembang.
"Pagi Mas, ada perlu apa ya? Mas Adamnya sudah berangkat ke kantor. Maaf saya tidak bisa menerima tamu kalau Mas Adam tidak ada." usirku halus.
"Saya tidak ingin bertamu kok mbak."
Kalau tidak ingin bertamu, kenapa kemari Mas. Aneh sekali teman Mas Adam ini.
"Lalu ada perlu apa Mas?"tanyaku ketus.
"Jangan ngegas dong mbak, nanti tambah cantik lho." godanya sambil tersenyum.
Lama-lama pusing juga menghadapinya.
"Yasudah aku tutup pintunya."Ku tarik knop hingga sebentar lagi pintu akan tertutup.
"Tunggu mbak!" Daniel menarik pintu dengan cepat.
"Aku beri waktu lima menit. Kalau tidak bicara serius akan ku tutup."bentakku.
"Oke, oke, kemarin kan mbak mau bekerja di butik kakak saya. Nah, saya mau telepon mbak untuk memberi tahu kalau kakak saya setuju mbak bekerja di butiknya.Tapikan saya gak punya nomor ponsel mbak Aisyah. Jadi aku datang kemari untuk jemput mbak Aisyah." terangnya.
Alhamdulillah akhirnya dapat pekerjaan juga. Tapi aku belum izin Mas Adam. Boleh atau gak ya?
Haduh bagaimana ini?Terima,tidak,terima,tidak! Kenapa jadi galau begini ya? Ah, nanti sajalah bilangnya kalau Mas Adam sudah pulang. Toh kemarin dia juga bilang tidak akan ikut campur semua urusanku. Jadi izin atau tidak sama saja, Mas Adam tak akan perduli."Mbak Aisyah, gimana mau atau tidak?Kok malah melamun sih!"
"Maaf,maaf Mas. Iya saya terima.Saya siap-siap dulu Mas."Ku balikkan badanku.
"Mas Daniel tunggu diluar saja ya." Kututup pintu dan berjalan menuju kamar.
Kukenakan gamis berwarna soft pink di padukan jilbab berwarna senada dengan sedikit corak di ujung hijab. Tak lupa kupoles sedikit bedak dan lipstik berwarna pink muda. Aku memang suka tampilan natural. Sehingga kebanyakan pakaianku tak bermotif.
Memakai sepatu flat aku berjalan menuju teras. Mas Daniel sampai ketiduran karena terlalu lama menungguku.
"Mas, Mas Daniel..." Kupanggil namanya. Mau menyentuh pundaknya rasanya tak mungkin. Mas Daniel menggeliat,lalu mengucek kedua matanya.
"Maaf ya Mas, kelamaan ya?" ucapku tak enak hati. Perasaan cuman sebentar, tapi kok Mas Daniel sampai pulas sekali tidurnya.
"Gak kok mbak,kurang tidur semalam mbak jadi ketiduran disini." ucapnya sambil menatapku tanpa berkedip.
Apa ada yang salah dengan dandananku. Kenapa Mas Daniel melihatnya sampai begitu.
"Make up ketebalan ya Mas? Atau pakaiannya tidak cocok?Kok lihatnya sampai begitu?" kulihat gamis yang ku kenakan.
"Gak kok mbak." Mas Daniel menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Seperti orang yang salah tingkah saja.
Hayo, kira-kira Daniel suka gak ya sama Aisyah?
"Masuk mbak." Daniel membukakan pintu mobil. "Saya duduk di belakang saja ya Mas," ucapku tak enak hati. Bukan niat tak sopan, aku hanya takut menimbulkan fitnah. Terlebih statusku sekarang adalah seorang istri, meski tak diakui Mas Adam. "Lho, kenapa mbak? Saya bukan sopir lho." Daniel menatapku, seakan keberatan jika aku duduk di belakang. "Takut jadi fitnah Mas, Mas Daniel kan bukan mahram saya. Kalau Mas Daniel tidak mau, saya bisa naik tadi online kok Mas." Kutundukkan kepala. Sungguh aku benar-benar tak enak hati. "Oke, baiklah." Daniel membuka pintu bagian belakang. "Terima kasih Mas.""Kembali kasih." Sulas senyum tergambar di wajahnya. Sepanjang perjalanan Daniel terus saja bercerita. Dari status lajangnya sampai kesibukannya sehari-hari. Daniel, tipe orang yang mudah bergaul dengan siapapun. Termasuk orang yang baru dia kenal, seperti diriku ini. "Mbak Aisyah benar sepupunya Adam?" tanyanya sambil terus menyetir. "Em, i-iya Mas." jawabku tergagap. Ya Allah maafkan
Sesaat situasi menjadi hening, Bu Bella seperti memberikan ruang untukku merangkai kata. Sejujurnya aku masih dilema, bingung antara berkata jujur atau diam saja. Ya Allah, aku harus bagaimana? "Ada yang ingin kamu tanyakan?"Bu Bella menyatukan ketua alisnya. "Em, itu, anu...." Suara ini seperti berhenti ditenggorokan. Ternyata jujur tak semudah yang aku bayangkan. Padahal biasanya lancar-lancar saja. "Apa sih mbak? Kok gugup gitu."Daniel tak sabar dengan apa yang akan kukatakan. "Sebenarnya saya su...." Kriiingg ... Kriiingg .... Ponselku berbunyi, satu panggilan masuk dari nomor baru. "Maaf Bu, saya angkat telepon dulu, sepertinya penting." Aku berjalan keluar ruangan. "Assalamu'alaikum...,"ucapku. "Waalaikumsalam, kamu di mana Tiara Aisyah Kurniawan." Suara yang sangat familiar. "Em, ini di butik kakaknya Mas Daniel, kemarin aku ditawari pekerjaan di butik kakaknya.Kamu lupa Mas?" "Siapa yang memberi izin kamu bekerja?" ucap Mas Adam ketus. "Bukankah tempo hari Mas bil
Pov AdamTak pernah terbayangkan olehku akan menjalani takdir seperti ini. Terpaksa menikahi wanita yang tak kucinta, bahkan baru bertemu saat ijab qobul. Aku menyetujui pernikahan ini karena paksaan abi dan Umi. Sungguh aku tak ingin menjadi anak durhaka karena melawan permintaan kedua orang tuaku. Ijab qobul berlangsung di ruang rawat inap di salah satu rumah sakit di kotaku. Tiara Aisyah Kurniawan wanita yang kini menjadi istriku. Ku akui dia memang cantik tapi tak akan menggantikan sosok Jesica di hatiku. Selesai ijab qobul,ayah Aisyah meninggal dunia. Tangis histeris dari wanita yang kini sah menjadi istriku memenuhi penjuru ruangan. Aku tau pasti sakit kehilangan seseorang yang kita cintai. Mungkin ini yang dia dan aku rasakan. Dia kehilangan sosok cinta pertamanya, dan aku kehilangan impian menikahi wanita yang ku cinta. *Hampir sepuluh hari usia pernikahan kami, tapi sampai detik ini aku belum pernah memberikan nafkah batin untuk Aisyah. Bukan karena aku tak tertarik denga
Lagi-lagi keheningan menyelimuti perjalanan kami. Jarak yang tinggal beberapa kilo meter terasa sangat lama. Ponsel belum juga di kembalikan padaku. Tulisanku belum sempat ku simpan, awas saja kalau sampai hilang atau terhapus. Kebayangkan susah-susah merangkai kata, menjadikan tulisan itu hidup dan tinggal sedikit lagi selesai,tapi tiba-tiba hilang begitu saja. Sungguh aku akan membuat perhitungan padamu Mas Adam, jika tulisanku sampai hilang. Mobil berhenti di carport,segera aku keluar meninggalkan Mas Adam yang asih diam membisu. Memasuki rumah, segera aku mandi karena badan sudah lengket. Krucuuk ... krucuuk....Cacing di perut sudah meronta-ronta meminta haknya.Aku ingat, seharian baru memasukkan makanan satu kali saja, pantas saja aku sudah kelaparan begini. Tak butuh lama untuk memasak nasi goreng kesukaanku. Dua piring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya siap di santap. Tanpa menunggu Mas Adam, kumasukan nasi goreng ke dalam mulut. Tak perduli dia sudah makan atau
[MAS PULANG, SEKARANG!]Send... Pesan itu centang dua, tapi belum di baca juga. Mas Adam, kamu dimana? Satu menit, lima menit, hingga sepuluh menit Mas Adam masih tak membalas pesanku padahal sudah centang biru. Ah, beginilah nasibnya istri tak dianggap. Nah, kalau di pikir kenapa jadi aku yang takut? Bukankah Mas Adam yang harus takut. Kebohongan ini bermula darinya, maka dialah yang harus mengakhirinya. Entah bagaimana akhirnya hanya Allah yang tahu. ****"Diminum Abi, Umi." Kuletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja. "Makasih ya Aisyah." Umi dan Abi mulai menyeruput teh hangat yang kubuatkan. "Adam di mana, kok gak keliatan?"Kutelan saliva,dan tangan ini memainkan ujung hijab yang kukenakan. Aku sendiri bingung mau menjawab apa. Jujur takut salah, diam lebih salah lagi. "Aisyah tidak tahu umi, tadi bilangnya cuman keluar sebentar."dustaku."Padahal hari libur, tapi justru pergi sendiri. Harusnya kamu diajak. pengantin baru kok di tinggal-tinggal, iya kan,Bi?" Umi menyen
Bohong itu seperti candu,sekali melakukan kebohongan seterusnya akan melakukan lagi dan lagi. Hingga suatu saat kebohongan itu terbongkar dengan sendirinya. Mungkin saat ini Mas Adam bernafas lega, tapi suatu saat bom itu akan meletus dan membakar sekelilingnya. Bila saat itu terjadi aku harus siap dengan segala hal buruknya. Mas Adam asyik bercengkrama bersama umi dan abi di ruang keluarga. Ada rasa sedih saat aku melihat pemandangan itu. Teringat kebersamaan aku dan ayah dulu. Semoga Ayah tenang di sana. Maafkan Aisyah belum sempat membahagiakan Ayah. Tak terasa bulir bening mengalir dari sudut netra.Berjalan perlahan menuju dapur, piring kotor bekas makan malam tadi sudah menumpuk di wastafel. Segera aku bereskan,karena aku ingin segera merebahkan badan di kasur empuk. "Umi, Abi, Aisyah ke kamar dulu ya.""Iya Aisyah..." jawab umi dan abi serempak. Perlahan kulangkahkan kaki menuju kamar tamu yang sekarang menjadi kamar pribadiku. Rasa lelah membuatku ingin segera masuk ke dal
"Mas, Mas Adam, tolong..."Samar-samar terdengar suara Aisyah meminta tolong.Mata ini masih saja terpejam. Malas membuka mata dan melihat Aisyah tertawa puas karena bisa mengalahkanku.Aku masih kesal karena dengan curang Aisyah merebut kasur empukku. Harusnya aku yang tidur di ranjang, ini kan kamarku tapi kenapa dia yang berkuasa. Menyebalkan!"Mas, Mas Adam, aku gak bisa nafas!" panggil Aisyah lagi. Tapi kini suaranya melemah.Sudahlah tidak usah acting, aku tahu kamu cuman bersandiwara. Tapi saja masih segar bugar kok. Tapi kalau beneran gimana ya?"Bahaya kalau Aisyah kenapa-kenapa. Bisa habis di marahi Abi dan Umi," batinku.Segera kubuka mata. Lho, kenapa gelap? jangan-jangan mati lampu lagi. Kenapa juga mati lampu malam-malam begini pak PLN."Kamu di mana,Ais?" Aku berjalan perlahan sambil meraba kanan kiri, jangan sampai aku tersandung dan jatuh."Di si-ni Mas," jawabnya tersengal.Ada apa sebenarnya dengan Aisyah?Kenapa nafasnya tersengal seperti itu?Jangan-jangan dia saki
Kami duduk di kursi masing-masing. Sarapan kali ini Umi yang memasak. Sebenarnya sempat kularang, tapi beliau kekeh ingin memasak. Katanya rindu membuat sarapan untuk Mas Adam."Kok rapi banget Ais, mau ke mana?" Umi menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Maaf Umi, sebenarnya Aisyah sudah bekerja di butik satu bulan ini. Bosan di rumah sendirian,Mi,"dustaku. Sebenarnya alasan utama karena aku tak ingin terlalu bergantung dengan Mas Adam. Aku sendiri tak tahu sampai kapan aku bisa mengandalkan nafkah dari suamiku itu. Sedang rumah tangga ini belum jelas kemana arahnya. "Kenapa tidak bekerja di perusahaan Adam saja,Nak?" tanya Abi heran. "Aisyah tidak berbakat bekerja di perusahaan Mas Adam bisa, takutnya malah menyusahkan Mas Adam." Mas Adam terlihat tegang. Takut ya Mas, kalau aku keceplosan? "O, ya sudah, yang terpenting kamu nyaman dan tidak kelelahan. Umi dan abi ingin segera menimang cucu." ucap Umi. Uhuk... Uhuk... Aku dan Mas Adam tersedak secara bersamaan. Tengg