Share

Kenyataan

"Mas Adam..." Mas Adam dan wanita itu menoleh ke arahku.  

Mas Adam membisu, wajahnya menegang seperti maling yang sedang ketahuan mencuri. 

Ada apa ini, dan apa hubungan mereka sebenarnya? 

Beberapa saat kami saling terdiam, sibuk dengan praduga masing-masing. 

"Siapa dia Mas?" matanya melirik ke arahku lalu berpindah ke Mas Adam.

"Perkenalkan nama saya Aisyah, saya is..."

"Dia sepupuku Jes," Mas Adam memotong ucapanku. 

DEG...! 

Sepupu? 

Ada gemuruh yang disini, di hati ini. 

Sebegitu malukah dia mengakuiku sebagai istri? 

Apa aku benar-benar tak dianggap? 

"Saya Jesica, pacar Mas Adam, senang berkenalan dengan kamu Aisyah." Jesica mengulurkan tangan. 

Ku sambut ulur tangannya dengan menahan gemuruh di dalam hati. 

Jadi ini alasan Mas Adam tak menyentuhku, bukan karena berduka atas meninggalnya ayah. Tapi karena cinta dan hatinya milik Jesica. 

Sekarang aku paham, akulah orang ketiga dalam hubungan mereka sekalipun aku istri pertama, tapi aku hadir di tengah-tengah hubungan mereka. Walau aku sendiri tak pernah tahu akan hal itu. 

"Aku sudah selesai Mas." ucapku datar. 

"Kamu sudah selesai belum sayang?" dirangkul nya pundak Jesica tepat di hadapanku. 

Ku tahan emosi yang ada di dada. Aku tahu Mas Adam sengaja melakukannya di depanku. Mungkin agar aku tahu diri, bahwa aku bukan siapa-siapa di kehidupannya. 

"Aku belum selesai sayang, aku pulang sendiri saja. Kasihan sepupu kamu, pasti capek."

"Oke, hati-hati,Aku duluan ya Jes." Mas Adam mencium pucuk kepala Jesica. 

Aku dan Mas Adam berjalan meninggalkan Jesica yang masih asyik memilih barang belanjaan. 

Hening

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Mobil berjalan dengan kecepatan sedang tapi terasa sangat lambat bagiku. 

"Aisyah..." ku toleh Mas Adam. 

"Jesica adalah kekasihku, kami pacaran sudah tiga tahun. Aku sangat mencintainya dan dia..." Mas Adam menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. 

"Dia juga mencintai kamu, Dia tak tahu kalau kamu sudah menikah denganku. Aku adalah orang ketiga dalam hubungan kalian." Itukan yang Mas Adam ingin katakan. 

Nafasku mulai naik turun, emosi di ubun-ubun. Hanya menunggu kapan akan meledak. 

"Itu kan alasan Mas Adam tak memberi nafkah batin? Alasan kita tidak tidur sekamar?" Bulir bening mengalir begitu saja. 

"Maafkan aku...!" Mas Adam masih fokus menyetir, tak sedikitpun menoleh ke arahku. 

Maaf? 

Begini kah cara meminta maaf yang baik dan benar? 

"Kenapa kamu mau menikahiku?"

Mas Adam membisu, tak mampu menjawab pertanyaan yang ku lontarkan. Begitu sulitkah menjawab pertanyaanku? Dan begitu mudah menyakiti hatiku. 

Sepuluh menit kami saling membisu, hingga akhirnya mobil berhenti di carport.Aku berjalan, membuka pintu rumah tanpa perduli barang belanjaan yang masih ada di dalam mobil. Ku kunci kamar rapat-rapat. 

Aku menangis, hati istri mana yang tak sakit melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di hadapannya. Meski sebenarnya belum ada cinta di hatiku untuk Mas Adam, tapi hatiku sakit melihat Mas Adam dengan Jesica. 

Apakah aku egois Ya Robb? 

Walaupun aku tahu, hati ini masih milik Putra sepenuhnya? 

****

Ku tata makanan di atas meja makan. Rasa kecewa tak lantas membuatku lupa akan tugasku sebagai seorang istri. Menyiapkan makan malam untuk Mas Adam. Entah di makan atau tidak, aku tak perduli. 

"Masak apa?" Mas Adam berjalan mendekati meja makan. 

"Tumis kangkung dan ayam goreng Mas."

Ku ambilkan nasi dan lauk untuk Mas Adam.Hening, kami fokus dengan makanan masing-masing. 

"Soal yang tadi..." Mas Adam menelan saliva, raut wajahnya terlihat tegang. 

"Apa Mas? Kamu mau bilang mau menikah denganku karena terpaksakan?" Ku tatap matanya dengan tajam. 

Terkejut Mas Adam mendengar ucapanku. Wajahnya mendadak menjadi pucat pasi. 

"Kamu tahu Ais?"

Ku buang nafas perlahan, mengatur setiap kata yang ingin ku ucapkan. Dan jangan sampai air mata jatuh di depan Mas Adam. 

"Tidak mungkin seseorang mau menikah dengan orang yang sama sekali tak dikenal, kalau bukan karena terpaksa Mas."Ku jeda ucapanku. Mas Adam mengangguk, membenarkan setiap kata yang terucap dari mulut ini. 

"Aku juga sama Mas, menikah dengan Mas Adam karena terpaksa. Hanya ingin membahagiakan ayah di akhir hidupnya bukan karena cinta. Aku bahkan tak percaya cinta pada pandangan pertama."

Mas Adam terlihat lega dengan ucapanku. 

"Lega rasanya, jadi kita hidup masing-masing. Aku gak akan ikut campur privasi kamu, begitupun kamu. Tak perlu ikut campur masalah pribadiku. Untuk nafkah, setiap bulan akan ku transfer ke nomor rekeningmu."ucap mas Adam penuh rasa kebahagiaan. 

Sesak rasanya mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut lelaki yang bergelar suamiku ini. Semudah itukah dia mempermainkan sebuah ikatan pernikahan. Bukankah pernikahan adalah ikatan suci antara dua orang di hadapan Illahi Robbi. 

"Lalu apa gunanya hubungan pernikahan ini Mas? Kalau pada kenyataannya kita saling menyakiti. Bukankah lebih baik kita akhiri saja?"

"Aku tak mungkin menceraikan kamu, aku tak ingin mengecewakan umi dan abi."

"Kamu lebih mementingkan umi dan abi, dan dengan mudah mengingkari janji suci yang kamu ucapkan di hadapan Illahi Robbi?"sentakku.

Mas Adam menelan saliva, terdiam mencerna setia kata yang ku ucapkan. 

"Benarkan yang aku katakan Mas Adam?" Mas Adam masih terdiam, engan menjawab. 

"Terserah kamu mau menganggap pernikahan ini seperti apa. Tapi bagiku sebuah pernikahan tak layak untuk dipermainkan apapun alasannya." Kutinggalkankan Mas Adam yang masih terpaku di tempat. 

"Sebuah pernikahan adalah janji suci terhadap Illahi Robbi. Berusahalah menjaga komitmen sebuah pernikahan. Karena dalam rumah tangga akan selalu ada kerikil dan batu yang menghadangnya."

Pesan ayah masih selalu terngiang di telinga. Semoga Aisyah dapat menjalani biduk rumah tangga dengan baik, sesuai pesan ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status