Share

Pisah Kamar

last update Last Updated: 2022-06-06 19:55:31

Setelah selesai acara tujuh harian ayah, Mas Adam memboyongku tinggal di rumahnya. Sebenarnya Abi dan Umi mengharapkan kami tinggal di rumah beliau tapi Mas Adam tak mau. 

"Tinggal bersama Umi,ya, Dam?"pinta Umi saat membantuku berkemas. 

"Adam ingin hidup mandiri Mi, biarkan kami saling mengenal. Iya kan Aisyah?" Mas Adam melirikku. Tepatnya memintaku mengatakan iya kepada Umi. 

"Iya mi, Mas Adam benar, Aisyah janji akan sering-sering main ke rumah Umi." Umi memelukku erat.Pelukan hangat, mengingatkan sosok bunda yang telah tiada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. 

Aku bahagia memiliki mertua seperti Umi dan Abi. Mereka sangat menyayangiku, aku seperti memiliki kedua orang tua. Mungkin ini alasan ayah memintaku menikah dengan anak temannya. Agar ayah tenang meninggalkanku. Meski sikap suamiku berbanding terbalik dengan Umi dan Abi. 

Mas Adam mengantarkan Umi dan Abi, baru setelah itu menuju rumah Mas Adam.Aku duduk di belakang bersama Umi. Umi masih saja memelukku. Dari Umi aku mendapatkan kembali hangatnya kasih sayang seorang ibu, yang sudah lama ku rindukan. 

Sampai juga di rumah Umi, rumah model Jawa dengan halaman yang luas. Ku pandangi dengan takjub rumah yang bernuansa Jawa modern itu. 

"Turun dulu ya Dam." pinta Umi. 

"Besok saja ya mi, kasihan Aisyah pasti capek."

"Iya yang pengantin baru," Umi tersenyum menatapku. 

Umi dan Abi akhirnya masuk ke dalam rumah. Mobil Mas Adam belum beranjak dari halaman Umi. 

"Kok belum jalan Mas?"

"Pindah depan, memangnya aku supir kamu?" ucapnya ketus. 

Segera aku turun dan duduk di depan, di sebelah Mas Adam. 

 Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata yang keluar dari kami. Aku memilih melihat pemandangan luar dan Mas Adam sendiri fokus mengemudikan mobil. 

Tak lama kami berhenti tepat di depan rumah lantai dua.Rumah bercat mocca dipadu coklat.Bunga-bunga berjajar rapi. Di pojok rumah ada sebuah kolam ikan kecil nan indah. 

Klik... 

Kreeekk... 

Pintu rumah di buka. Ku bawa tas dan koper ke teras. 

"Assalamu'alaikum..." kaki melangkah memasuki rumah Mas Adam. Mata melotot, mulut terbuka lebar. Baru kali ini aku menginjakkan kaki di rumah sebagus ini. 

Aku memang tak tahu latar belakang Mas Adam seperti apa. Apa pekerjaannya? Di mana dia tinggal? Wajahnya pun aku tak tahu. 

"Ayah boleh meminta sesuatu padamu Ais?" Ayah menggenggam tanganku erat. Sorot matanya ingin mengatakan hal yang sangat serius. 

"Ayah meminta apa? Apapun yang ayah minta sebisa mungkin akan Aisyah penuhi yah."

Ayah terdiam sejenak, mengatur setiap kata yang akan ia keluarkan. 

"Ayah ingin kamu menikah dengan anak sahabat ayah. Dia anak yang baik, mapan, berpendidikan tinggi."

"Tapi yah, Aisyah ingin membahagiakan ayah terlebih dahulu. Ingin bekerja dan memenuhi semua keinginan ayah. Aisyah ingin  menabung untuk berangkat ke mekah bersama ayah." tolakku. 

"Ayah mohon Ais, anggap saja ini permintaan terakhir ayah. Setelah ini ayah tak akan meminta apapun dari kamu. Ayah akan sangat bahagia bila kamu mau menikah dengan Adam, anak sahabat ayah."

Ya memang benar apa yang di katakan ayah. Pernikahanku adalah permintaan terakhirnya. Beliau tak akan meminta apapun lagi. Karena Ayah telah berpulang. 

"Ngapain bengong? Kaget ? Belum pernah lihat rumah sebagus ini?" ucapan Mas Adam angkuh. 

Aku hanya terdiam, malas menjawab ucapan yang tak penting dari mulutnya. 

"Bukankah ini ya alasan kamu mau dijodohkan denganku. Orang yang baru kamu kenal disaat pernikahan."

"Apa maksud Mas? aku gak ngerti!"

"Gak usah sok gak tahu apa-apa. Kamu mau menikah denganku karena hartaku kan? Aku sudah hafal muka-muka orang miskin seperti kamu ini!" sindirnya.

Astaghfirullah... 

Ku elus dadaku yang terasa sesak, bagaimana mungkin aku mengincar hartanya kalau kenal orangnya saja tidak. 

"Ya Allah Mas, aku tak sepicik itu. Aku mau menikah dengan Mas karena menuruti permintaan ayah. Bagaimana mungkin aku mau mengincar harta Mas, kalau aku sendiri tak mengenal Mas. Lihat wajah Mas saja, waktu ijab qobul." terangku. 

"Halah munafik...!" Mas Adam berjalan menuju lantai atas meninggalkanku yang terpaku di tempat. 

Ya Allah, kenapa dia harus menjadi suamiku? 

Kenapa aku tak berjodoh dengan Putra saja Ya Robb.

Astaghfirullah... 

Ampuni hamba ya Allah karena belum bisa menerima takdir yang telah Engkau tetapkan. 

Berjalan perlahan ke lantai atas sambil membawa tas yang begitu berat. Tak ada perhatian sama sekali, membiarkan istrinya membawa tas yang begitu berat sendiri. 

"Mas..." Mas Adam menatapku tajam. Sorot kebencian tergambar jelas di matanya. 

"Siapa yang suruh kamu bawa barang-barang kamu ke kamarku?"teriaknya.

Ku hembuskan nafas perlahan, mengontrol emosi yang sudah di ubun-ubun. Kalau saja Mas Adam bukan suamiku, sudah ku maki dia. Sayang, dia telah menjadi suamiku dan aku berada di rumahnya. Mau tak mau aku harus menahan emosi di dada. 

"Lalu aku harus tidur di mana Mas?"Ku tahan bulir bening yang akan menetes. Aku tak boleh lemah. Jangan pernah kamu menangis di hadapan lelaki angkuh macam dia. 

Mas Adam berjalan menuruni anak tangga, kuikuti setiap langkahnya. Mas Adam berhenti di kamar dekat tangga. 

"Kamu tidur di ruang tamu. Ingat, jangan sekali-kali masuk ke dalam kamarku!"

"Maksud Mas kita pisah kamar?"

"Ya, tak sudi aku sekamar denganmu. Melihatmu saja aku tak selera."

Ya Allah nyeri hati ini mendengar ucapan dari seseorang yang telah bergelar suamiku. 

Apakah aku sangat menjijikan? 

Tanpa banyak bicara, ku bawa tas ke dalam kamar tamu. Segera ku kunci pintu rapat-rapat. Tak ingin sampai Mas Adam masuk ke dalam kamar. 

Ku jatuhkan tubuh di atas ranjang. Menangis tersedu-sedu di balik bantal. Rasanya aku tak sanggup menjalani biduk rumah tangga ini. Kenapa aku harus menikah dengan Mas Adam bukan dengan Putra. 

Astaghfirullah... 

Aku tahu perasaan ini salah Ya Allah, tapi sungguh aku tersiksa dengan pernikahan ini. Bukan rumah tangga seperti ini yang aku harapkan. 

Kupejamkan mata, berharap bisa tertidur dan saat bangun semua yang kurasakan ini hanyalah mimpi belaka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Mundur, Mas!    Akhir Sebuah Cerita

    Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn

  • Aku Mundur, Mas!    Sadar

    Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t

  • Aku Mundur, Mas!    Kehancuran

    Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.

  • Aku Mundur, Mas!    Pov Adam

    Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga

  • Aku Mundur, Mas!    Maaf

    Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul

  • Aku Mundur, Mas!    Hamil?

    Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status