Share

Pisah Kamar

Setelah selesai acara tujuh harian ayah, Mas Adam memboyongku tinggal di rumahnya. Sebenarnya Abi dan Umi mengharapkan kami tinggal di rumah beliau tapi Mas Adam tak mau. 

"Tinggal bersama Umi,ya, Dam?"pinta Umi saat membantuku berkemas. 

"Adam ingin hidup mandiri Mi, biarkan kami saling mengenal. Iya kan Aisyah?" Mas Adam melirikku. Tepatnya memintaku mengatakan iya kepada Umi. 

"Iya mi, Mas Adam benar, Aisyah janji akan sering-sering main ke rumah Umi." Umi memelukku erat.Pelukan hangat, mengingatkan sosok bunda yang telah tiada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. 

Aku bahagia memiliki mertua seperti Umi dan Abi. Mereka sangat menyayangiku, aku seperti memiliki kedua orang tua. Mungkin ini alasan ayah memintaku menikah dengan anak temannya. Agar ayah tenang meninggalkanku. Meski sikap suamiku berbanding terbalik dengan Umi dan Abi. 

Mas Adam mengantarkan Umi dan Abi, baru setelah itu menuju rumah Mas Adam.Aku duduk di belakang bersama Umi. Umi masih saja memelukku. Dari Umi aku mendapatkan kembali hangatnya kasih sayang seorang ibu, yang sudah lama ku rindukan. 

Sampai juga di rumah Umi, rumah model Jawa dengan halaman yang luas. Ku pandangi dengan takjub rumah yang bernuansa Jawa modern itu. 

"Turun dulu ya Dam." pinta Umi. 

"Besok saja ya mi, kasihan Aisyah pasti capek."

"Iya yang pengantin baru," Umi tersenyum menatapku. 

Umi dan Abi akhirnya masuk ke dalam rumah. Mobil Mas Adam belum beranjak dari halaman Umi. 

"Kok belum jalan Mas?"

"Pindah depan, memangnya aku supir kamu?" ucapnya ketus. 

Segera aku turun dan duduk di depan, di sebelah Mas Adam. 

 Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata yang keluar dari kami. Aku memilih melihat pemandangan luar dan Mas Adam sendiri fokus mengemudikan mobil. 

Tak lama kami berhenti tepat di depan rumah lantai dua.Rumah bercat mocca dipadu coklat.Bunga-bunga berjajar rapi. Di pojok rumah ada sebuah kolam ikan kecil nan indah. 

Klik... 

Kreeekk... 

Pintu rumah di buka. Ku bawa tas dan koper ke teras. 

"Assalamu'alaikum..." kaki melangkah memasuki rumah Mas Adam. Mata melotot, mulut terbuka lebar. Baru kali ini aku menginjakkan kaki di rumah sebagus ini. 

Aku memang tak tahu latar belakang Mas Adam seperti apa. Apa pekerjaannya? Di mana dia tinggal? Wajahnya pun aku tak tahu. 

"Ayah boleh meminta sesuatu padamu Ais?" Ayah menggenggam tanganku erat. Sorot matanya ingin mengatakan hal yang sangat serius. 

"Ayah meminta apa? Apapun yang ayah minta sebisa mungkin akan Aisyah penuhi yah."

Ayah terdiam sejenak, mengatur setiap kata yang akan ia keluarkan. 

"Ayah ingin kamu menikah dengan anak sahabat ayah. Dia anak yang baik, mapan, berpendidikan tinggi."

"Tapi yah, Aisyah ingin membahagiakan ayah terlebih dahulu. Ingin bekerja dan memenuhi semua keinginan ayah. Aisyah ingin  menabung untuk berangkat ke mekah bersama ayah." tolakku. 

"Ayah mohon Ais, anggap saja ini permintaan terakhir ayah. Setelah ini ayah tak akan meminta apapun dari kamu. Ayah akan sangat bahagia bila kamu mau menikah dengan Adam, anak sahabat ayah."

Ya memang benar apa yang di katakan ayah. Pernikahanku adalah permintaan terakhirnya. Beliau tak akan meminta apapun lagi. Karena Ayah telah berpulang. 

"Ngapain bengong? Kaget ? Belum pernah lihat rumah sebagus ini?" ucapan Mas Adam angkuh. 

Aku hanya terdiam, malas menjawab ucapan yang tak penting dari mulutnya. 

"Bukankah ini ya alasan kamu mau dijodohkan denganku. Orang yang baru kamu kenal disaat pernikahan."

"Apa maksud Mas? aku gak ngerti!"

"Gak usah sok gak tahu apa-apa. Kamu mau menikah denganku karena hartaku kan? Aku sudah hafal muka-muka orang miskin seperti kamu ini!" sindirnya.

Astaghfirullah... 

Ku elus dadaku yang terasa sesak, bagaimana mungkin aku mengincar hartanya kalau kenal orangnya saja tidak. 

"Ya Allah Mas, aku tak sepicik itu. Aku mau menikah dengan Mas karena menuruti permintaan ayah. Bagaimana mungkin aku mau mengincar harta Mas, kalau aku sendiri tak mengenal Mas. Lihat wajah Mas saja, waktu ijab qobul." terangku. 

"Halah munafik...!" Mas Adam berjalan menuju lantai atas meninggalkanku yang terpaku di tempat. 

Ya Allah, kenapa dia harus menjadi suamiku? 

Kenapa aku tak berjodoh dengan Putra saja Ya Robb.

Astaghfirullah... 

Ampuni hamba ya Allah karena belum bisa menerima takdir yang telah Engkau tetapkan. 

Berjalan perlahan ke lantai atas sambil membawa tas yang begitu berat. Tak ada perhatian sama sekali, membiarkan istrinya membawa tas yang begitu berat sendiri. 

"Mas..." Mas Adam menatapku tajam. Sorot kebencian tergambar jelas di matanya. 

"Siapa yang suruh kamu bawa barang-barang kamu ke kamarku?"teriaknya.

Ku hembuskan nafas perlahan, mengontrol emosi yang sudah di ubun-ubun. Kalau saja Mas Adam bukan suamiku, sudah ku maki dia. Sayang, dia telah menjadi suamiku dan aku berada di rumahnya. Mau tak mau aku harus menahan emosi di dada. 

"Lalu aku harus tidur di mana Mas?"Ku tahan bulir bening yang akan menetes. Aku tak boleh lemah. Jangan pernah kamu menangis di hadapan lelaki angkuh macam dia. 

Mas Adam berjalan menuruni anak tangga, kuikuti setiap langkahnya. Mas Adam berhenti di kamar dekat tangga. 

"Kamu tidur di ruang tamu. Ingat, jangan sekali-kali masuk ke dalam kamarku!"

"Maksud Mas kita pisah kamar?"

"Ya, tak sudi aku sekamar denganmu. Melihatmu saja aku tak selera."

Ya Allah nyeri hati ini mendengar ucapan dari seseorang yang telah bergelar suamiku. 

Apakah aku sangat menjijikan? 

Tanpa banyak bicara, ku bawa tas ke dalam kamar tamu. Segera ku kunci pintu rapat-rapat. Tak ingin sampai Mas Adam masuk ke dalam kamar. 

Ku jatuhkan tubuh di atas ranjang. Menangis tersedu-sedu di balik bantal. Rasanya aku tak sanggup menjalani biduk rumah tangga ini. Kenapa aku harus menikah dengan Mas Adam bukan dengan Putra. 

Astaghfirullah... 

Aku tahu perasaan ini salah Ya Allah, tapi sungguh aku tersiksa dengan pernikahan ini. Bukan rumah tangga seperti ini yang aku harapkan. 

Kupejamkan mata, berharap bisa tertidur dan saat bangun semua yang kurasakan ini hanyalah mimpi belaka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status