Home / Romansa / Aku Padamu, Gus! / Gadis Rumah Tangga

Share

Gadis Rumah Tangga

last update Last Updated: 2022-10-04 20:25:48

“Lebih baik kamu menikah dan melanjutkan usaha orang tuamu. Hidup di desa itu keras, Nak. Apalagi kamu bakal tinggal sendirian di rumah. Nenek khawatir kamu menjadi gunjingan orang.”

Aku menggelengkan kepala. “Tidak, Nek. Aku akan tetap melanjutkan kuliah. Entah bagaimana caranya. Bukankah nenek sendiri yang bilang aku harus bisa menjadi kebanggaan orang tuaku?”

Nenek terdiam, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Apakah ada hal yang disembunyikan dariku?

“Aku bisa berjualan sambil kuliah, Nek. Aku masih bisa menjalankan usaha Ayah dan Ibu tanpa harus berhenti sekolah.”

“Tapi, Fia! Ada hal yang tidak kamu ketahui selama kamu tinggal di pondok.”

Hal yang tidak kuketahui? Tentu banyak sekali. Aku bahkan tidak mengetahui apa saja isi toko Ibu sekarang ini. Terakhir mereka mengatakan mengalami penurunan penghasilan saat wabah Covid-19 melanda. Lalu, sekarang harga minyak goreng dan telur ayam naiknya selangit.

Selama ini aku tidak pernah memikirkannya. Aku memang egois, yang terpenting mereka masih bisa mengirimkan uang untukku. Mereka bilang aku tidak perlu memikirkannya. Aku hanya perlu belajar, belajar, dan belajar.

“Katakan padaku, Nek.”

“Maaf, Nenek belum bisa menjelaskannya sekarang, Fia.”

“Fia butuh penjelasan, Nek!”

“Fia, ada tamu.” Ucapan kakek membuat kami menoleh.

Hari ini memang masih banyak saudara yang datang, terutama saudara sepupu Ibu. Mereka tidak bisa datang tadi malam karena rumahnya jauh di luar kota.

“Pakai jilbabmu, lupakan perkataan Nenek yang tadi.”

Aku segera memakai jilbab dan keluar bersama nenek. Aku menutup mulutku melihat siapa yang datang. Ini seperti mimpi, mereka datang bersama-sama ke sini.

“Assalamu’alaikum, Fia.” Nadia memelukku erat.

Aku menjawab salam dan membalas pelukannya. Di belakangnya ada teman satu kelasku. Mereka beramai-ramai datang menggunakan bus mini. Aku tidak menyangka jika mereka sekompak ini.

“Maaf aku baru bisa datang. Kamu yang sabar, ya!” Nadia melepaskan pelukan, dia menggenggam erat kedua tanganku.

“Makasih, Nad.” Aku tidak bisa berkata-kata. Nadia satu-satunya teman yang dekat denganku. Dialah gadis paling berisik yang pernah kutemui. Satu hari tanpanya membuat duaniaku terasa sepi.

“Fia, kami turut berduka cita. Semoga kedua orang tuamu diampuni dosanya dan mendapatkan tempat yang layak di surga-Nya.” Anindya menyerahkan sebuah kardus bergambar air mineral yang ada manis-manisnya.

“Aamiiin ya Allah. Makasih banget kalian sudah mau datang. Seharusnya kalian tidak perlu repot-repot seperti ini.”

Kupersilakan semua teman-teman untuk duduk di tikar seadanya. Rumahku tidak terlalu besar, sehingga sebagian harus duduk di ruang tengah. “Kalian, kok, bisa izin pergi ke sini?”

“Kita sudah enggak ada pelajaran hari ini, Abah sama Umi juga mau nyusul katanya,” jawab Nadia.

“Apa? Umi dan Abah mau ke sini?” Aku sungguh tidak percaya.

Aku hanyalah santri biasa seperti temanku yang lainnya. Tidak ada hal yang istimewa dariku, tetapi mereka menyempatkan datang ke sini. Padahal semalam mereka sudah membantu sampai pemakaman selesai.

“Iya, mereka mampir dulu ke kampus, sekalian jemput Gus Anam katanya,” jawab Anindya.

Gus Anam, aku tersenyum mendengarnya. Hanya mendengar namanya saja membuat dadaku kembang-kempis. Aku harus menghirup banyak oksigen.

“Silakan diminum!” Nenek membuatkan teh hangat untuk teman-temanku. “Tidak perlu sungkan sama nenek, cuma ini seadanya yang bisa kami berikan.”

Kami berbincang cukup lama. Tidak banyak yang dibicarakan, hanya membahas persiapan muwadaah bulan depan. Aku harus kembali ke pondok sebelum acara perpisahan.

“Kamu nanti bakal balik kan , Fia?” tanya Anindya. Dia santri baru, satu tahun ini dia tinggal di pondok. Namun, semua orang langsung mengenalnya karena kebaikan dan kecantikannya. Bahkan dia menjadi salah satu saingan terberatku karena kecerdasannya.

“Insya Allah aku bakal balik.” Aku tentu harus menyelesaikan semua tanggung jawabku di pesantren. Baru setelah itu aku bisa keluar dengan tenang.

Aku akan melanjutkan kuliah di tempat yang sama dengan Gus Anam. Kuliah, kerja, dan menjadi gadis rumah tangga. Benar, gadis rumah tangga lebih tepat untukku karena bukan ibu rumah tangga.

“Assalamu’alaikum.” Suara ucapan salam Umi Hanifah membuat kami menoleh ke pintu.

Kami segera berdiri dan mencium tangan umi bergantian. Di belakang umi ada Abah dan kedua putranya. Gus Anam dan si pohon pisang. Julukan itu lebih tepat untuk gus Azam karena dia hanya punya jantung dan tidak memiliki hati. Memang ketampanannya tidak diragukan lagi, tetapi dia sangat kaku dan jutek.

Abah dan Umi beserta keluarga duduk di samping kakek dan nenek kemudian mengutarakan tujuan kedatangan mereka ke sini. Apakah mereka ingin melamarku? Oh, tidak mungkin, Fia. Khayalanmu terlalu tinggi. Aku menggelengkan kepalaku pelan.

“Assalamu’alaikum, Mbah. Niat kami ke sini untuk mendoakan almarhum dan almarhumah Pak Mujib dan Ibu Kartini. Semoga amal ibadah mereka diterima, mendapatkan pengampunan dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.

Zam, kamu yang memimpin doa, ya!” Abah meminta Gua Azam untuk memimpin doa.

“Eh, kenapa saya, Bah?” Wajah Gus Azam tampak terkejut.

Baru kali ini aku melihat ekspresi Gus Azam yang seperti itu. Tanpa sadar aku memandangnya dan dia juga menatapku.

“Astaghfirullahalazim.” Aku segera menundukkan kepala.

“Ada apa, Fia?” tanya umi sambil tersenyum.

Apakah umi melihatku barusan? Semoga saja tidak. Mau ditaruh di mana mukaku ini? Aku semakin menundukkan kepala. Bagaimana jika semua orang di sini melihatku menatap Gus Azam? Padahal yang mereka ketahui aku menyukai Gus Anam.

“Tidak ada apa-apa, Umi. Fia hanya–“ Hanya apa? Aku bingung harus mengatakan apa.

“Kamu yang akan menggantikan Abah selanjutnya, Zam. Jadi kamu harus mulai terbiasa dari sekarang!” Sekali lagi abah memperingatkan Gus Azam. Dia adalah anak pertama sekaligus orang yang akan melanjutkan perjuangan abah mengurus pesantren.

Syukurlah, aku tidak perlu menjawab pertanyaan Umi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Hmmm......Apakah Shafia akan menjalankan hidupnya. seperti yg dibayangkannya?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku Padamu, Gus!   Endingnya

    “Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam

  • Aku Padamu, Gus!   Pantai Kidul

    Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring

  • Aku Padamu, Gus!   Frustasi

    Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati

  • Aku Padamu, Gus!   Surat Laporan

    Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di

  • Aku Padamu, Gus!   Tragedi

    “Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel

  • Aku Padamu, Gus!   Menginap

    Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status