ログイン
Lampu-lampu temaram menggantung di langit-langit ruangan yang dipenuhi tawa, musik, dan gelas-gelas wine. Aroma makanan menggoda tercium samar, bercampur dengan wangi parfum dan suara dentingan gelas yang bersulang. Ini bukan pesta yang biasanya dihadiri Erica—ia bukan tipe perempuan yang suka keramaian, apalagi pesta ulang tahun dengan tamu-tamu asing. Tapi karena sahabat sekantornya, Livia, bersikeras mengajaknya datang, ia tak tega menolak.
Dengan dress hitam sederhana dan rambut dikuncir rendah, Erica berdiri agak canggung di dekat meja makanan, memegang piring kecil berisi salad yang bahkan belum disentuh. Matanya menyapu ruangan, mencari wajah-wajah yang dikenalnya. Sayangnya, sebagian besar adalah karyawan dari departemen lain atau orang-orang yang tak pernah ia temui sebelumnya. Sambil menarik napas panjang, ia mencoba mengingat bahwa malam ini hanya butuh dilewati beberapa jam. Setelah itu, ia bisa kembali ke kamarnya yang sunyi dan menenangkan. Namun segalanya berubah ketika matanya menangkap sosok pria di sudut ruangan. Bukan karena ketampanannya, meski itu tak bisa diabaikan—tapi karena cara pria itu berdiri, tampak santai dengan satu tangan di saku celana dan segelas minuman di tangan satunya. Ia terlihat nyaman, tak terburu-buru, dan tidak berpura-pura ramah seperti banyak tamu lainnya. Tatapannya tajam namun tenang, menyapu ruangan sampai akhirnya berhenti tepat pada mata Erica. Dan tidak berpaling. Erica terkejut, refleks memalingkan wajah, pura-pura sibuk memindahkan tomat dari saladnya ke sisi piring. Tapi rasa penasaran memaksanya melirik kembali. Pria itu masih menatapnya, kali ini dengan senyum kecil yang tak bisa didefinisikan. Apakah itu senyum ramah, senyum iseng, atau mungkin... tertarik? Tak butuh waktu lama sebelum pria itu mulai melangkah ke arahnya. Langkahnya santai tapi mantap, seolah yakin tujuannya memang Erica. "Erica, kan?" sapanya begitu tiba di dekat meja makanan. Erica sedikit kaget. "Iya... kamu mengenalku?" "Aku Ricardo. Kontraktor yang sering telat kirim invoice ke divisi akuntansi," katanya sambil menyodorkan tangan. Erica tertawa pelan sambil menyambut jabat tangannya. Hangat. Kokoh. "Oh, jadi kamu sumber pusingnya laporan bulan lalu." "Guilty," Ricardo mengangkat tangan seolah menyerah. "Tapi mungkin bisa ditebus dengan satu gelas minuman untukmu?" Mereka akhirnya duduk di sudut ruangan, menjauh dari keramaian. Obrolan mereka mengalir ringan, seperti dua orang yang sudah lama saling kenal. Mereka membahas pekerjaan, makanan favorit, film yang sama-sama mereka benci, dan tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi. Ricardo tidak terlalu banyak bicara soal dirinya, tapi dari caranya mendengarkan, menatap, dan mencatat detail kecil dari Erica, membuat perempuan itu merasa dihargai. Dikenal. Bahkan tanpa banyak kata. Saat jam menunjukkan hampir tengah malam, dan sebagian besar tamu mulai berpamitan, Erica menyadari betapa cepat waktu berlalu. "Aku biasanya nggak tahan di pesta seperti ini lebih dari satu jam," katanya sambil menyeruput sisa minumannya. "Tapi malam ini berbeda?" Ricardo bertanya sambil tersenyum. Erica mengangguk pelan. "Mungkin karena kamu membuatnya terasa... nyaman." Ricardo menatapnya sejenak, lalu berkata, "Kalau aku bilang aku datang ke pesta ini padahal nggak kenal yang ulang tahun, hanya karena ingin lihat kamu—kamu akan percaya?" Erica menatapnya, tertawa pelan, tapi dalam hati degupnya membentur batas. "Kamu gombal juga ternyata." "Aku serius," sahut Ricardo. "Aku pernah lihat kamu di kantor, tapi kamu selalu sibuk. Aku pikir... kalau ada kesempatan bicara, aku nggak mau sia-siakan." Diam. Sesaat tak ada yang bicara. Hanya musik pelan yang mengalun dari pengeras suara, dan detak jantung Erica yang mulai tak beraturan. Malam itu, di antara keramaian yang memudar, sesuatu tumbuh. Pelan, tak tergesa. Tapi cukup kuat untuk meninggalkan jejak. Dan tanpa mereka sadari, malam itu menjadi awal dari segalanya.Pagi itu, kamar kos Nadya terasa lebih sempit dari biasanya. Sinar matahari yang menyusup melalui jendela berdebu seakan mengejek kegelisahan yang menggunung di dadanya. Di atas meja kayu yang lapuk, tiga test pack berjejer—masing-masing dengan dua garis merah yang tegas, seperti penjara yang mengurung masa depannya."Aku hamil."Dua kata itu bergema dalam kepalanya, tapi tak bisa keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa kaku, tenggorokannya serasa tersumbat oleh kenyataan pahit yang harus ditelannya sendiri.Dia mengingat malam itu dengan jelas. Ricardo datang dengan wajah lesu, membawa sebotol anggur dan segudang penyesalan. Mereka duduk di lantai, berbagi cerita tentang kesepian yang sama. Nadya, yang baru putus cinta. Ricardo, yang merasa hubungannya dengan Erica mulai retak. Dua jiwa yang tersesat, saling mencari kehangatan di tengah dinginnya Kalimantan."Kita berdua sama-sama bersalah," bisik Nadya pada bayangannya di cermin. Tapi kini, dia ha
Malam itu di Kalimantan terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin malam berhembus pelan melalui jendela kamar Ricardo yang terbuka, membawa serta suara jangkrik yang seolah bersimfoni dalam kesendirian. Ricardo baru saja menutup laptopnya setelah video call dengan Erica, tapi senyumnya yang tadi masih mengembang tiba-tiba memudar.Dia mengambil ponselnya lagi, membuka pesan dari Nadya untuk kesekian kalinya. Dua kata itu masih terpampang di sana, sederhana namun menghancurkan.Nadya: "Aku hamil."Jari Ricardo gemetar. Pikirannya langsung melayang ke malam-malam kelam di Kalimantan, saat dirinya yang rapuh mencari pelarian di pelukan yang salah. Dia ingat betul malam itu—setelah pertengkaran sengit dengan Erica via telepon, dan Nadya yang kebetulan ada di sana, mendengarkan keluhannya dengan sabar."Aku harus melakukan sesuatu," bisik Ricardo pada dirinya sendiri. Tapi tubuhnya terasa lumpuh. Bagaimana mungkin dia bisa menghancurkan lagi semua yang s
Sejak kepulangan Ricardo ke Kalimantan, hubungan mereka berkembang dalam ritme yang berbeda. Jarak tak lagi menjadi jurang, melainkan jembatan yang menghubungkan dua hati yang sedang belajar percaya lagi. Setiap malam, pukul tujuh tepat, dunia mereka menyatu melalui layar ponsel.Malam itu, wajah Ricardo muncul dengan latar belakang kamar yang berantakan. "Maaf, hari ini lembur sampai sore," ujarnya sambil mengusap wajah yang tampak lelah. Tapi begitu melihat Erica, matanya langsung berbinar."Kamu kurusan," sahut Erica dengan suara lembut."Karena rindu itu berat,sayang. Aku harus angkat beban rindu setiap hari."Mereka tertawa. Percakapan mereka malam itu berlanjut ke topik yang lebih serius. Ricardo membuka dokumen berjudul "Rencana Masa Depan Kita" yang sudah ia siapkan selama seminggu terakhir."Aku sudah hitung-hitung," katanya serius. "Kalau aku kerja lembur dua hari seminggu, dalam enam bulan aku bisa kumpulkan cukup uang untuk DP ruma
Hari-hari setelah kepergian Ricardo kembali ke Kalimantan terasa seperti luka yang mulai mengering—masih ada bekasnya, tapi tak lagi menganga lebar. Erica masih sering terbangun di tengah malam, tangannya meraih ponsel untuk memeriksa pesan dari Ricardo. Bedanya kini, ia tak lagi menemukan layar yang kosong.Setiap malam, pukul sembilan tepat, ponselnya berdering. Wajah Ricardo muncul di layar dengan latar belakang yang berbeda-beda—kadang di kamarnya yang berantakan, kadang di dermaga dengan langit jingga senja."Malam ini aku masak sop buntut," kata Erica suatu malam, mengangkat mangkuk ke kamera.Ricardo tersenyum, tapi matanya menyimpan kerinduan. "Aku di sini cuma makan nasi bungkus lagi. Kok bisa ya dulu aku memilih makan nasi bungkus sendirian daripada pulang ke kamu?"Diam sejenak. Lalu Erica berkata pelan, "Kita semua pernah membuat pilihan bodoh."Minggu-minggu berlalu dengan ritme yang sama. Pagi diawali pesan "selamat pagi", malam diakhiri dengan "tidur yang nyenyak". Tapi
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai, menyinari wajah Erica yang masih bercucuran air mata. Ini hari keenam—besok Ricardo akan kembali ke Kalimantan. Waktu terasa begitu kejam, memberi mereka hanya sisa-sisa hari yang tak cukup untuk menyembuhkan semua luka. Tapi pagi itu, dengan hati yang masih berdarah, Erica memutuskan untuk memberikan satu hari terakhir—untuk mengenang, dan mungkin, untuk melepaskan.Ricardo sudah menunggu di depan rumah dengan mobil sewa yang sama sejak ia tiba seminggu lalu. Saat Erica keluar dengan mata sembap dan senyum getir, dadanya sesak. Perempuan ini—yang dulu selalu menyambutnya dengan pelukan hangat—kini berdiri dengan jarak yang terasa menyiksa."Mau kita mulai dari mana?" tanya Ricardo suara serak."Taman kota dulu,"jawab Erica pendek.Di taman yang dulu menjadi saksi bisu cinta mereka, Ricardo membeli dua gelas kopi dari kedai langganan. Tapi kali ini, rasanya pahit—seperti hubungan mereka yang tak lagi manis."Kamu Masih ingat waktu kita
Ricardo duduk di bangku taman yang sama, menunggu. Tangan yang menggenggam buku puisi kecil itu basah oleh keringat dingin. Setiap detik terasa seperti abadi. Ketika Erica akhirnya muncul, wajahnya pucat bagai mayat berjalan."Mau kubuang bukumu itu," bisik Erica dengan suara hampa, tanpa menatapnya. "Tapi setiap kali mau kulempar, tanganku lumpuh."Ricardo menunduk dalam-dalam. "Aku tak akan mengelak. Aku pantas menerima itu. Bahkan lebih dari itu.""Malam-malam ini," suara Erica tiba-tiba pecah, "aku masih terbangun menjerit. Masih merasakan sakitnya pengkhianatanmu seperti pisau yang terus mengoyak-ngoyak dadaku."Dia akhirnya menatap Ricardo, dan di matanya terbaca penderitaan yang tak tertahankan. "Kau tahu apa yang paling menyedihkan dari pengkhianatan ini? Aku masih mencintaimu. Dan itu membuatku semakin membenci diriku sendiri. Karna itu adalah hal terbodoh yang masih melekat di dalam diriku. Mencintai manusia yang tak pernah tau arti dari kesetiaan. Ck.. Bodoh!!!!"Ricardo te







