MasukUdara Kalimantan yang lembap menyambut pagi Ricardo dengan peluh yang belum sempat mengering. Di balik jendela kantor lapangan, hujan rintik-rintik membekas di kaca, menciptakan bayang-bayang kelabu yang terus beriak.
Ricardo duduk di balik meja kayu besar yang penuh dengan berkas proyek. Jam digital di sudut mejanya menunjukkan pukul 07.38. Di tangannya, ponsel menampilkan satu notifikasi baru dari Erica: “Selamat pagi, semangat kerja ya, Sayang. Aku kangen.” Ricardo tersenyum kecil, membalas dengan cepat: “Aku juga kangen. Nanti kita video call, ya?” Namun, jauh di lubuk hatinya, rasa bersalah mengendap. Sudah hampir dua minggu terakhir ini, ia kerap terlambat membalas pesan Erica. Bukan karena lupa. Tapi karena tak sanggup berpura-pura kuat sepanjang waktu. Pintu diketuk pelan. “Masuk,” ujarnya tanpa menoleh. Seorang perempuan muda masuk dengan langkah hati-hati. Kemeja putih lengan panjang dan celana hitam yang rapi membingkai tubuh langsingnya. Rambut hitamnya diikat ekor kuda. Wajahnya menampakkan kesigapan yang sudah Ricardo kenal dalam beberapa minggu terakhir. “Asistennya,” begitu semua orang di kantor menyebutnya. Tapi nama perempuan itu adalah Nadya. “Ini laporan progress kemarin, Pak,” ucap Nadya sambil menyodorkan map tebal. “Dan ini kopi Bapak, tanpa gula seperti biasa.” Ricardo mengangguk. “Terima kasih.” Ia mengambil map itu dan membuka lembar demi lembar. Nadya tidak langsung pergi. Ia berdiri sebentar di seberang meja, memperhatikan ekspresi pria di hadapannya yang tampak letih. “Bapak belum tidur cukup, ya?” Ricardo mengangkat alis, sedikit terkejut. “Kelihatan ya?” Nadya tersenyum simpul. “Lumayan. Matanya… beda.” Ricardo tak menanggapi. Ia kembali menatap berkas-berkas, berusaha menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan. Tapi kata-kata Nadya menggantung di udara. Hari itu berjalan lambat. Rapat berkepanjangan. Cuaca yang terus mendung. Listrik sempat padam selama dua jam, membuat semua orang di kantor gusar. Tapi Ricardo tetap fokus. Setidaknya, mencoba. Menjelang malam, kantor mulai sepi. Pegawai satu per satu pulang. Ricardo masih duduk sendirian di ruangannya, hanya ditemani bunyi hujan yang mulai deras. Ia membuka laptopnya. Di layar, folder penuh video proyek terbuka. Tapi pikirannya melayang ke wajah Erica. Terakhir mereka video call, suara Erica terdengar lelah. “Aku nggak papa kok, kerjaan juga lagi banyak,” katanya. Tapi Ricardo tahu, Erica hanya tak ingin membebaninya. Pintu kembali diketuk. Nadya muncul lagi, kini tanpa map. “Pak Ricardo… masih kerja?” Ricardo mengangguk. “Biasa. Deadline.” Nadya masuk perlahan. Tangannya membawa dua gelas kopi panas. “Saya buatkan satu lagi. Malam ini hujannya deras banget. Bapak kelihatan... sendirian.” Ricardo menerima kopi itu. Ia menatap Nadya lama. “Kamu nggak pulang?” Nadya duduk di kursi seberang. “Saya biasa begini, kok. Lagian, kadang kantor lebih tenang dari rumah.” Mereka diam sejenak. Hanya suara hujan dan dentingan gelas di antara mereka. “Pak Ricardo… apa Bapak baik-baik saja?” pertanyaan itu keluar lembut. Nadya menatapnya tanpa tekanan, tanpa agenda tersembunyi. Ricardo terdiam. Pertanyaan sederhana itu seperti menyentak. Ia ingin menjawab “Ya,” tapi lidahnya kelu. “Aku bisa menemani, kalau Bapak mau cerita,” lanjut Nadya, suaranya rendah tapi tulus. Untuk pertama kalinya, Ricardo merasa tembok yang ia bangun retak sedikit. Ia tidak membenci Erica. Sama sekali tidak. Ia masih mencintainya. Tapi kenyataan bahwa seseorang yang nyata, yang hadir setiap hari, tiba-tiba tahu kapan ia butuh bicara—itu membingungkan. Ricardo menatap ke luar jendela. Hujan belum juga reda. Di dalam kepalanya, suara Erica bergema. “Kita pasti bisa, Ricardo.” Tapi malam itu, ia meragukannya. Bukan karena cinta mereka rapuh, tapi karena dirinya sendiri mulai retak.Pagi itu, kamar kos Nadya terasa lebih sempit dari biasanya. Sinar matahari yang menyusup melalui jendela berdebu seakan mengejek kegelisahan yang menggunung di dadanya. Di atas meja kayu yang lapuk, tiga test pack berjejer—masing-masing dengan dua garis merah yang tegas, seperti penjara yang mengurung masa depannya."Aku hamil."Dua kata itu bergema dalam kepalanya, tapi tak bisa keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa kaku, tenggorokannya serasa tersumbat oleh kenyataan pahit yang harus ditelannya sendiri.Dia mengingat malam itu dengan jelas. Ricardo datang dengan wajah lesu, membawa sebotol anggur dan segudang penyesalan. Mereka duduk di lantai, berbagi cerita tentang kesepian yang sama. Nadya, yang baru putus cinta. Ricardo, yang merasa hubungannya dengan Erica mulai retak. Dua jiwa yang tersesat, saling mencari kehangatan di tengah dinginnya Kalimantan."Kita berdua sama-sama bersalah," bisik Nadya pada bayangannya di cermin. Tapi kini, dia ha
Malam itu di Kalimantan terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin malam berhembus pelan melalui jendela kamar Ricardo yang terbuka, membawa serta suara jangkrik yang seolah bersimfoni dalam kesendirian. Ricardo baru saja menutup laptopnya setelah video call dengan Erica, tapi senyumnya yang tadi masih mengembang tiba-tiba memudar.Dia mengambil ponselnya lagi, membuka pesan dari Nadya untuk kesekian kalinya. Dua kata itu masih terpampang di sana, sederhana namun menghancurkan.Nadya: "Aku hamil."Jari Ricardo gemetar. Pikirannya langsung melayang ke malam-malam kelam di Kalimantan, saat dirinya yang rapuh mencari pelarian di pelukan yang salah. Dia ingat betul malam itu—setelah pertengkaran sengit dengan Erica via telepon, dan Nadya yang kebetulan ada di sana, mendengarkan keluhannya dengan sabar."Aku harus melakukan sesuatu," bisik Ricardo pada dirinya sendiri. Tapi tubuhnya terasa lumpuh. Bagaimana mungkin dia bisa menghancurkan lagi semua yang s
Sejak kepulangan Ricardo ke Kalimantan, hubungan mereka berkembang dalam ritme yang berbeda. Jarak tak lagi menjadi jurang, melainkan jembatan yang menghubungkan dua hati yang sedang belajar percaya lagi. Setiap malam, pukul tujuh tepat, dunia mereka menyatu melalui layar ponsel.Malam itu, wajah Ricardo muncul dengan latar belakang kamar yang berantakan. "Maaf, hari ini lembur sampai sore," ujarnya sambil mengusap wajah yang tampak lelah. Tapi begitu melihat Erica, matanya langsung berbinar."Kamu kurusan," sahut Erica dengan suara lembut."Karena rindu itu berat,sayang. Aku harus angkat beban rindu setiap hari."Mereka tertawa. Percakapan mereka malam itu berlanjut ke topik yang lebih serius. Ricardo membuka dokumen berjudul "Rencana Masa Depan Kita" yang sudah ia siapkan selama seminggu terakhir."Aku sudah hitung-hitung," katanya serius. "Kalau aku kerja lembur dua hari seminggu, dalam enam bulan aku bisa kumpulkan cukup uang untuk DP ruma
Hari-hari setelah kepergian Ricardo kembali ke Kalimantan terasa seperti luka yang mulai mengering—masih ada bekasnya, tapi tak lagi menganga lebar. Erica masih sering terbangun di tengah malam, tangannya meraih ponsel untuk memeriksa pesan dari Ricardo. Bedanya kini, ia tak lagi menemukan layar yang kosong.Setiap malam, pukul sembilan tepat, ponselnya berdering. Wajah Ricardo muncul di layar dengan latar belakang yang berbeda-beda—kadang di kamarnya yang berantakan, kadang di dermaga dengan langit jingga senja."Malam ini aku masak sop buntut," kata Erica suatu malam, mengangkat mangkuk ke kamera.Ricardo tersenyum, tapi matanya menyimpan kerinduan. "Aku di sini cuma makan nasi bungkus lagi. Kok bisa ya dulu aku memilih makan nasi bungkus sendirian daripada pulang ke kamu?"Diam sejenak. Lalu Erica berkata pelan, "Kita semua pernah membuat pilihan bodoh."Minggu-minggu berlalu dengan ritme yang sama. Pagi diawali pesan "selamat pagi", malam diakhiri dengan "tidur yang nyenyak". Tapi
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai, menyinari wajah Erica yang masih bercucuran air mata. Ini hari keenam—besok Ricardo akan kembali ke Kalimantan. Waktu terasa begitu kejam, memberi mereka hanya sisa-sisa hari yang tak cukup untuk menyembuhkan semua luka. Tapi pagi itu, dengan hati yang masih berdarah, Erica memutuskan untuk memberikan satu hari terakhir—untuk mengenang, dan mungkin, untuk melepaskan.Ricardo sudah menunggu di depan rumah dengan mobil sewa yang sama sejak ia tiba seminggu lalu. Saat Erica keluar dengan mata sembap dan senyum getir, dadanya sesak. Perempuan ini—yang dulu selalu menyambutnya dengan pelukan hangat—kini berdiri dengan jarak yang terasa menyiksa."Mau kita mulai dari mana?" tanya Ricardo suara serak."Taman kota dulu,"jawab Erica pendek.Di taman yang dulu menjadi saksi bisu cinta mereka, Ricardo membeli dua gelas kopi dari kedai langganan. Tapi kali ini, rasanya pahit—seperti hubungan mereka yang tak lagi manis."Kamu Masih ingat waktu kita
Ricardo duduk di bangku taman yang sama, menunggu. Tangan yang menggenggam buku puisi kecil itu basah oleh keringat dingin. Setiap detik terasa seperti abadi. Ketika Erica akhirnya muncul, wajahnya pucat bagai mayat berjalan."Mau kubuang bukumu itu," bisik Erica dengan suara hampa, tanpa menatapnya. "Tapi setiap kali mau kulempar, tanganku lumpuh."Ricardo menunduk dalam-dalam. "Aku tak akan mengelak. Aku pantas menerima itu. Bahkan lebih dari itu.""Malam-malam ini," suara Erica tiba-tiba pecah, "aku masih terbangun menjerit. Masih merasakan sakitnya pengkhianatanmu seperti pisau yang terus mengoyak-ngoyak dadaku."Dia akhirnya menatap Ricardo, dan di matanya terbaca penderitaan yang tak tertahankan. "Kau tahu apa yang paling menyedihkan dari pengkhianatan ini? Aku masih mencintaimu. Dan itu membuatku semakin membenci diriku sendiri. Karna itu adalah hal terbodoh yang masih melekat di dalam diriku. Mencintai manusia yang tak pernah tau arti dari kesetiaan. Ck.. Bodoh!!!!"Ricardo te







