Share

BAB 3

Bagai dihantam godam yang tepat mengenai hatinya. Dadanya terasa sesak seketika. Bahkan, untuk mengambil napas saja rasanya Ayumi terasa berat.

Dia baru saja berniat untuk mengabdikan dirinya untuk laki-laki dingin yang kini bergelar suami untuknya. Meski hanya di atas kertas seperti apa yang Satya katakan, tapi Ayumi ingin memperlakukan Satya dengan baik. Namun, apa balasannya? Sungguh Ayumi tak menyangka jika Satya akan sekasar ini padanya.

Sebegitu bencinya kah dirinya pada Ayumi?

Ayumi menganggukkan kepalanya pelan saat dia berhasil menguasai hatinya. Lalu mundur beberapa langkah hingga tubuhnya dia jatuhkan pada pinggiran tempat tidur. Duduk tepekur menahan sesak di dadanya.

Sabar, Ayumi. Sabar ….

Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri agar lebih sabar. Dia sudah tahu tabiat atasannya sekaligus suaminya itu. Laki-laki keturunan timur tengah itu memang sudah menunjukkan sikap tidak Sukanya sejak pertama kali Ayumi menginjakkan kakinya di rumah mewah keluarga Hadi Wijaya. Apalagi, saat sang Ayah memberinya jabatan di perusahaannya.

Ditambah, saat Satya dijodohkan dengan Ayumi karena tak setuju dengan perempuan pilihan Satya.

“Kita hanya sepasang suami istri di atas kertas. Kamu tak perlu mencampuri urusanku. Aku pun tidak akan sudi mencampuri urusanmu!” kata laki-laki sembari melepas jas pengantin yang melekat di tubuhnya.

“Tapi, ingat! Kita perlu bersandiwara di hadapan semua orang. Tunjukan pada mereka jika kita adalah suami istri yang paling bahagia,” katanya dengan senyum sinis.

Lalu melenggang masuk ke dalam kamar mandi seraya melempar jas yang baru saja dilepasnya saat melewati Ayumi. Hingga jas itu mendarat tepat di wajah Ayumi.

Terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras bersamaan dengan menghilangnya sosok Satya yang menghilang di balik pintu kamar mandi.

Seketika itu, setetes air mata yang sudah dia tahan jatuh juga.

“Astaghfirullah ... sabarkan hamba Ya Allah. Hamba yakin, jika Engkau tidak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuan seorang hamba. Maka, berikanlah hamba kesabaran dan kelapangan hati untuk melewatinya,” gumamnya diiringi Isak tangis kepedihan.

Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ayumi baru saja diputuskan oleh laki-laki yang dicintainya karena memilih menikah dengan perempuan pilihan kedua orang tuanya.

Luka di hatinya masih menganga dan terasa perih. Namun kini sudah ditabur garam oleh suaminya sendiri. Semakin parah pula luka itu.

Malam pertama yang harusnya dilalui dengan romansa percintaan sepasang suami istri, mereka isi dengan saling diam. Bahkan saat makan malam bersama pun mereka masih saling diam. Ayumi tidak berani untuk memulai percakapan. Dia takut salah dan malah membuat sang Suami lebih marah padanya.

Tidur pun di tempat yang terpisah. Ayumi di ranjang pengantin yang sudah ditaburi oleh kelopak bunga mawar merah. Sedangkan Satya memilih tidur di sofa yang ada di kamar tersebut. Enggan untuk berbagi tempat tidur dengan wanita yang tidak dicintainya.

Keesokan harinya, Ayumi bangun dengan kedua mata yang sedikit bengkak karena terlalu lama menangis dalam diam hingga tertidur. Kedua matanya melirik jam yang menggantung pada dinding kamar hotel yang ditempatinya.

“Jam setengah tiga,” gumamnya pelan. Lalu bangkit dan duduk sebentar di tepi ranjang. Kedua matanya menoleh dan menatap sosok laki-laki bergelar suami yang tidur meringkuk di sofa. “Kasihan Mas Satya, pasti kedinginan.”

Dia berinisiatif mengambil selimut dan menyelimuti tubuh suaminya yang mungkin saja kedinginan karena pendingin ruangan di kamar ini lumayan dingin.

Setelahnya, dia memilih untuk membersihkan diri dengan air hangat sebelum akhirnya salat tahajud. Dia ingin mengadukan apa yang dirasakannya pada Tuhannya.

Ayumi menengadahkan kedua tangannya usai salat sunnah dua rakaat dan dzikir panjang.

“Ya Allah … hamba pasrahkan semuanya kepada Engkau. Lapangkan dada hamba agar menerima ini semua dengan ridho agar Engkau pun ridho kepada hamba. Ampuni hamba dan suami karena belum bisa menjalani pernikahan dengan semestinya. Jika ini yang terbaik dan memang Mas Satya jodoh hamba, maka hadirkanlah perasaan cinta di hati kami karena Engkau Ya Allah. Agar tidak ada alasan lain bagi kami untuk berpisah selain karena takdir-Mu. Aamiin ….”

Setelah mengadukan keluh kesahnya pada Allah, Ayumi melanjutkan dengan membaca Al-Qur’an lewat aplikasi Qur’an di ponselnya, karena dia lupa tidak membawa Al-Qur’an kecil. Sesekali menoleh ke arah suaminya yang masih betah tidur meringkuk.

Barulah saat waktu subuh sudah tiba, dia membangunkan Satya. Mengguncang tubuhnya pelan.

“Mas, bangun dulu, yuk. Sudah masuk waktu subuh,” katanya selembut mungkin agar suaminya tidak merasa terganggu atau terkejut karena dia bangunkan.

Satya menggeliat. Perlahan kedua mata laki-laki itu terbuka. Dia mengernyitkan keningnya saat pertama kali menatap wajah Ayumi yang tersenyum manis padanya.

“Salat subuh dulu, ya,” katanya lagi dengan senyuman.

Seketika itu Satya tersadar. Dia langsung menepis tangan istrinya dengan kasar. “Salat saja sana. Kamu nggak perlu suruh-suruh aku!” ketusnya. Tanpa peduli bagaimana perasaan Ayumi, Satya menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.

Membuat Ayumi menarik napas dalam. Lalu berlalu dan memutuskan untuk salat sendiri. Karena kewajibannya mengingatkan suaminya untuk salat sudah gugur. Dengan hati yang sedikit perih, Ayumi salat subuh seorang diri.

***

Bel kamar hotel berbunyi. Ayumi gegas membukanya dan menerima sarapan pagi yang dikirim pihak hotel ke kamarnya.

Sembari menunggu Satya yang tengah membersihkan diri di kamar mandi, Ayumi menata beberapa menu makanan di atas meja makan yang ada di dekat balkon kamarnya.

“Mas, kita sarapan dulu, ya. Makanannya sudah aku siapkan,” ujar Ayumi saat suaminya baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah segarnya.

Tanpa menoleh pada Ayumi, Satya langsung berjalan ke arah meja makan dan duduk pada salah satu kursinya. Gadis berusia dua puluh lima tahun itu mengikutinya dari belakang. Tanpa komando, dia mengambilkan nasi untuk suami.

“Mas mau makan sama lauk apa?” tanyanya mencoba tetap melayani suaminya. Tak peduli bagaimana reaksi sang Suami nantinya. Yang terpenting, dia sudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri.

“Aku bisa ambil sendiri!” ketusnya seraya mengambil piring dari tangan Ayumi dengan kasar.

Lagi, Ayumi hanya bisa mengembuskan napas panjang. Lalu memilih duduk di hadapan Satya dan menikmati sarapannya dengan hati yang teriris.

Tak ada suara canda tawa antara suami istri itu. Bahkan sekadar obrolan ringan saja tidak ada. Hanya ada suara sendok dan piring yang sesekali beradu.

“Setelah ini, kemasi barang-barangmu dan kita pulang,” ujar Satya dingin memcah keheningan di antara mereka.

Ayumi mengangkat wajahnya seraya menatap sang suami dengan kening berkerut. “Bukannya Ayah sudah sewa hotel ini untuk tiga hari, Mas?” tanyanya heran.

“Turuti atau kamu aku tinggal di sini!” tegasnya. Lalu bangkit dari duduknya setelah menyelesaikan makanan di atas piringnya.

“I-iya.”

Tak ada pilihan lain bagi Ayumi selain menuruti perintah suaminya. Lagi pula, untuk apa dia berlama-lama di hotel mewah ini kalau suasananya sangat membosankan. Meski sebenarnya, sayang, karena pasti ayah mertuanya sudah mengeluarkan banyak uang untuk menyewa satu kamar dengan segala fasilitas mewahnya.

Dia lantas bangkit dan mengemasi barang-barangnya. Lalu keluar bersama sang Suami. Setelah setengah jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah mewah Hadi Wijaya.

Bersamaan dengan kedatangan mereka, Hadi tengah duduk menikmati kopi sambil membaca koran karena ini adalah hari minggu. Waktunya dia untuk bersantai. Dia bangkit saat melihat sepasang pengantin baru turun dari mobil sportnya.

“Lho, kok kalian sudah pulang?” tanyanya dengan kening berkerut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status