"Firdaaa!"
Kudengar suara Mas Bima berteriak memanggil namaku. Aku tidak perduli. Rasa lapar dan amarah digodok menjadi satu kesatuan yang utuh, dan inilah hasilnya. Bisa-bisanya Mas Bima tak membaca pesan dariku, tapi dia bisa membaca pesan Mbak Yana.
Apa pesanku dari kutub selatan, sedangkan pesan dari kakaknya itu dari kutub utara? Atau jangan-jangan dia punya dua Hp? Otakku benar-benar kram memikirkannya. Jika marah, warung yang biasa jauh mengapa tiba-tiba terasa di depan rumah?
"Mie Goreng sed*pnya, Bu!" pintaku kepada Bu Ratna yang sedang tersenyum-senyum genit sambil mengotak-atik gawainya.
"Bu Ratnaaa ... beli mie goreng sed*pnya, Buu!" kataku lagi mengulang permintaan. Bu Ratna kaget begitu melihatku berdiri di depan warungnya sambil melipat tangan di dada.
"Loh Mbak Firda? Mau beli kok diam-diam aja sih?" tanyanya lugu.
Hagh! Diam-diam saja katanya? Ck. Seketika uban-uban di rambutku bermunculan.
Mau dilayan aku lapar. Nggak dilayan kok ngajak gelud."Firda baru datang kok Bu," jawabku akhirnya.
"Mau beli apa Mbak Fir?" tanyanya lagi, tapi matanya tak lepas dari gawai.
"Mie sed*p goreng nya, Bu!" jawabku singkat.
"Mau berapa bungkus, Mbak?"
"Tiga aja, Bu. Telurnya juga tiga butir, sawi manis kasih dua ribu aja ya Bu, bisa kan?" Tak tanggung-tanggung kubeli tiga bungkus porsi yang jumbo buat dimakan sendiri, sedangkan untuk bumbu-bumbunya yang lain, masih lengkap di dapurku.
"Bisa Mbak Firda, semuanya tujuh belas ribu." Terlihat begitu kesusahan, Bu Ratna meletakkan gawainya di sembarang tempat dan mulai memasukkan semua pesananku ke dalam kantong plastik.
"Awas bertambah ke samping, Mbak. Ha ha ha," tambahnya lagi begitu dia selesai menerima uang dan aku hendak berlalu dari warungnya tersebut.
"Tambah apa ya, Bu?" tanyaku tak paham.
"Tambah begini!" Dia memperagakan badannya seperti pemain sumo yang hendak menerkam lawannya. Tak lupa menggembungkan mulutnya agar terlihat lebih mirip sesuatu.
"Ha ha ha. Mirip banget ih ibunya," kataku lucu.
"Mirip apa?" balasnya ikut bingung.
"Mirip Kingkong. Ha ha ha," jawabku asal sambil tertawa lagi.
"Yee ... dikasih tau juga malah ngatain orang begitu. Ntar lakik melirik rumput tetangga, mbaknya mewek," nyinyirnya.
Huh. Netas lagi demit tetangga. Tak tau dia kalau aku lagi emosi dan gampang tersinggung. Bisa jadi 'senggol nampol' kulakukan, karena aku tak punya celurit. Ku tinggalkan warung Bu Ratna tanpa menanggapinya lagi. Masih kudengar dia meracau karena tak menemukan gawai yang di pegangnya tadi. Emang enak!
Aku menderapkan langkah kembali ke rumah dengan cepat. Amarah masih merajai hati. Kalau sudah urusan perut jangan main-main, apalagi aku yang sedang datang bulan menambah hormon setan stadium empat. Waspadalah!
"Assalamu'alaikum," salam tetap kuucapkan.
"W*'alaikum salam. Darimana, Dek?" tanya suamiku. Tak kujawab pertanyaannya. Aku hanya diam dan melewatinya tanpa melihat sedikitpun.
"Dek, maaf. Pesan kamu baru Mas lihat. Ayo kita keluar, Mas juga lapar belum makan. Tapi pakai duit kamu dulu, ya?"
Tak kuhiraukan ajakan Mas Bima. Aku tetap asik merebus mie dan menyiapkan segala bumbu pendukung. Kucoba bernyanyi syahdu agar otak tetap waras, tapi tetap saja yang keluar suara cempreng sehingga kewarasanku baru mencapai di angka empat puluh persen.
Lima menit kemudian, mie goreng telur selesai. Wanginya ngajak gelud cacing-cacing di perut. Tak perlu menambahkan nasi lagi, mie goreng tiga bungkus dicampur telur tiga butir sudah mencukupi nutrisi otak dan kalbuku malam ini. Tak ada niat untuk menawari Mas Bima. Jika kaum deterjen eeh netizen bilang aku istri durhaka, bodo amat!
"Dek, kok dimakan sendiri? Buat Mas, mana?" tanyanya begitu melihat aku memakan olahan mie goreng tanpa menawarinya.
Sekali lagi, aku hanya diam saja tak menanggapi. Bukannya marah butuh tenaga? Yup! Makanya, tenaga kuisi terlebih dahulu biar bisa menghadapi kicauan Mas Bima. Kusetel musik di gawai dengan mode volume full. Cakep. Serasa makan di cafe dah ah.
"Dek, kamu kok jadi pelit dan nggak perhatian sih, sama Suami sendiri?"
Serasa tuli, aku diam saja menikmati makanan ini. Tiga bungkus serasa masih kurang, ck ck. Ternyata perutku pintar mendemo juga.
"Dek, kamu itu dengerin nggak sih, Suami ngomong juga, dicuekin. Mau jadi istri durhaka kamu, Dek?" sungutnya.
"Heeeeeg." Aku Bersendawa dengan keras. Kubereskan piring dan gelas bekas makan. Segera kubasuh peralatan masak dan makan malam ini. Alhamdulillah, bisa sendawa juga walau dengan mie goreng.
"Dek, Mas makan apa ini? Mas lapar!" Kulihat dia sudah mulai terpancing emosi.
"Lapar? Mau makan?" tanyaku.
"Iya, Dek. Mas lapar. Dari tadi juga Mas bilang lapar. Kamu malah makan sendiri," keluhnya.
"Yaudah, yuk ikut!" ajakku santai
"Kemana?" balasnya cepat.
"Udah ikut aja, nanti tau sendiri!" tambahku lagi.
"Naik motor, Dek?"
"Nggak usah jalan aja, dekat kok!"
Aku berjalan santai karena sedikit kekenyangan. Mas Bima ngikut di sampingku.
"Loh, kok arah rumah Mbak Yana, Dek?"
"Emang!"
"Mau apa kesana?"
"Ikut aja! Ih, Mas Bima bising amat dari tadi!"
Kami sudah sampai di depan rumah Mbak Yana. Mertuaku juga ikut tinggal di rumahnya setelah Bapak mertua berpulang.
Tok tok tok!
"Assalamualaikum."
"W*'alaikum salam." Terdengar jawaban dari dalam. Pintu terbuka. Dini, anak Mbak Yana keluar sambil mengunyah. Kulihat di tangannya masih ada tusuk sate ayam pemberian suamiku.
"Siapa, Din?"
"Om Bima dan Tante Firda, Ma," jawabnya sambil terus mengunyah.
"Ada apa Bim, tumben!" Mbak Yana keluar sambil bertanya bingung.
"Ini Mbak, Mas Bima katanya lapar. Jadi Firda bawa kemari. Ayo Mas, masuk!" Aku yang menjawab dan mengajak suamiku masuk dengan santai.
"Loh loh loh. Maksudnya apa ini, Dek?" tanya Mas Bima bingung.
"Kamu lapar kan, Mas? Nah, minta makan sama Ibu kamu di sini. Kan, uang jatah belanja udah Firda kasih tadi siang sama Ibu. Ya berarti makannya harus di rumah Ibu dong, Mas."
Mbak Yana melipat kening, "Enak saja. Makan kok mintanya kemari?" cibirnya tak suka.
"Loh Mbak Yana sendiri, jajan kok mintanya ke Suami aku?" Aku membalas perkataannya sambil melipat tangan di dada.
"Wajar dong. Dia kan adik aku!" selanya cepat.
"Nah itu tau, wajar juga dong, Mas Bima makan di sini, kan dia Adik Mbak!" balasku cepat dan mulai sedikit meninggi.
"Nggak bisa! Kalian pulang deh, Mbak mau tidur," ujarnya cepat sambil hendak menutup pintu.
"Nggak mau! Suami aku mau makan di sini!"
"Eeeh … ini ada apaan sih ribut-ribut dari tadi? Bikin orang nggak bisa istirahat!" Tiba-tiba Ibu mertua muncul dari dalam kamar.
"Ini Bu, masa Firda suruh Bima makan di sini. Jadi istri kok nggak becus amat!" cicit Mbak Yana sewot.
"Emang Firda nggak masak, Bim?" Ibu mertua kelihatan sekali tidak suka jika anak lelakinya makan di rumah Mbak Yana.
"Nggak Bu, Firda lagi demam dan—"
"Dan uangnya juga sudah nggak ada, Bu, buat beli bahan masakan!" Aku ikut menimpali perkataan suamiku.
"Udah Dek, ayo kita pulang. Mas malu, hanya gara-gara makan saja jadi ribut begini." Mas Bima berusaha menarik tanganku untuk diajak pulang.
"Terserah Mas Bima aja. Kalau Firda sih nggak peduli. Firda udah makan, jadi udah kenyang. Tapi, jika Mas Bima udah nggak lapar lagi, ayo kita pulang!" celetukku.
Mas Bima diam sebentar. Aku tau dia tidak bisa menahan lapar. Apalagi hingga besok pagi. Pasti bakalan tak nyenyak tidurnya.
"Gimana? Pulang atau mau makan di sini?" tanyaku memastikan.
"Mbak, Bima makan di sini deh, Bima lapar!"
Mas Bima masuk kerumah tanpa menunggu dipersilahkan. Aku ikut masuk dan tersenyum penuh kemenangan. Kulayani Mas Bima selayaknya di rumah sendiri. Ku ambil piring di rak lemari, lalu menuju cosmos dan menyendokkan nasi. Kubuka tudung saji di meja makan yang menampilkan beraneka ragam masakan enak. Ck, begini banyaknya makanan masih juga jajan di luar. Kalau pake duit sendiri sih bodo amat, Tapi ini … pake duit suami orang.
Kuisi penuh piring Mas Bima dan aku ikut menemaninya makan. Sementara itu, Mbak Yana dan Ibu hanya bisa melihat Mas Bima makan dengan lahap.
Seketika aku punya ide. Tanpa pikir panjang kuambil rantang susun empat di rak piring Mbak Yana. Rantang pertama kuisi ayam dan gurame goreng beberapa potong.
"Apa yang kau lakukan dengan makanan-makananku, Firda?" tanya Mbak Yana mulai panik.
Aku tak menjawab dan tak perduli dengan pertanyaan Mbak Yana. Sambal udang asam manis kupindahkan ke dalam rantang kedua hingga penuh. Sayur gulai gori cincang tak luput dari pandangan, kuisi di rantang yang ketiga. Sikat habis. Tinggal satu rantang yang belum terisi. Isi apa lagi ya? Sayang sekali jika rantang ini kosong. Mubazir. Kulihat ke arah cosmos, lalu membuka tutupnya. Kusendokkan kembali nasi hingga memenuhi rantang. Selesai. Kulihat Mas Bima juga telah selesai makan. Dia terlihat malas menanggapi perdebatan kami.
"Letakkan Firda! Kau ingin mencuri di rumah iparmu sendiri?" katanya sok suci.
"Mencuri? Tidak, Mbak! Firda nggak mencuri, cuma mengambil makanan siap saji di rumah Mbak. Kan, Firda udah bilang tadi pagi uangnya udah Firda kasih sama Ibu," kataku mantap.
"Hei menantu tak tau diri. Nggak punya sopan santun kamu hagh?! Uang itu buat aku berobat. Berani-beraninya ngambil makanan di rumah anak saya? Kamu fikir rumah kami panti sosial?"
"Emang! Masak Ibu baru nyadar sih," jawabku santai
"Panti sosial ilegal, yang tiap hari taunya minta sumbangan terus ke saudara dan ipar," sambungku sambil melirik Mbak Yana dan kembali melihat Ibu mertua.
"Wajar dong, Mbak Minta sama adik sendiri," belanya tak tahu malu.
"Wajar! Wajar sekali malah, tapi itu jika Mbak Yana seorang janda. Nggak minta-minta pun pasti Firda beri. Lah, ini suami masih sehat kok ya mintanya terus-terusan." Sengaja aku berkata begitu biar Mbak Yana mikir.
"Lancang sekali mulutmu, Firda!" Mbak Yana terlihat mulai emosi.
"Sebodo! Ayo Mas, kita pulang. Firda juga udah selesai." Aku melangkah keluar dengan membawa rantang yang sudah penuh di tangan.
"Kembalikan Firda!" teriak Mbak Yana sambil mendekatiku, kulihat Ibu mertua juga mendekatiku. Oh sepertinya mereka memang mau bermain-main denganku. Baiklah kujabanin.
Rantang kuamankan terlebih dahulu. Aku mengambil gawai di kantong celana. Kutekan nomor seseorang. Tak perlu mengotori tangan jika ada yang bisa melakukannya. "Halo … Bu, ni orangnya sedang di rumah. Kemari aja, Bu!" Aku mendengar suara dari seberang sana sebentar setelahnya gawai kumatikan. "Apa yang kau lakukan?" tanya Ibu mertua penasaran. "Nggak lakuin apa-apa Bu, cuma niat menolong Ibu aja," jawabku senang. Marniii ... Marniiii ....” Tiba-tiba terdengar suara merdu nan syahdu di telinga memanggil-manggil nama Ibu mertua. Mertuaku pun panik mencari tempat bersembunyi, karena dia kenal itu suara siapa. "Bu Kokom!" katanya panik. Aku semakin terhibur melihat ekspresi paniknya. “Yana, bilang Ibu nggak ada, awas kalau sampai ketahuan!” “Bu, bukannya berbohong itu dosa, ya?” kataku berbisik. “Diam kau, Firda! Ini pasti ulah mu kan! Awas ya, Ibu nggak akan tinggal diam.” Mertuaku cepat berlari masuk ke kamar tidur sambil mengancam. “Assalamu’alaikum!” salam Bu Kokom terdengar
"Paaaagi Firda, Sayaaang!" Sahabat sejatiku menyapa. Mood booster jika aku sudah di kantor. Aura positif selalu diberikannya buatku."Paaaagi, honey bunny sweety." Kami cipika cipiki, tos kepalan tangan, lalu saling meradukan pinggul. Akai kami jika sudah bertemu di kantor."Hullu … hullu. Gini nih kalau wanita-wanita kreak dah ketemu." Rima, teman sekantorku yang lain mengomentari aksi bocah yang kami lakuin."Iri … bilang bos … ha ha ha. Papale … papale ... palele ..." Kami berteriak bersama-sama lalu ketawa cekikian. Tak tahu tempat, yang penting kami heppi. Seluruh karyawan kantor cuma bisa geleng-geleng kepala dan ikut cekikian melihat tingkah kami berdua."Mumpung bos belum datang, Rima Sayaang," kataku lagi.Inilah suasana kantorku. Baru sehari saja tak masuk kantor, serasa seminggu ada yang kurang di dalam hidup. Lucu ya. Orang lain rasa saudara. Lah, saudara sendiri rasa orang lain.Sudah pernah sih Mas Bima menyuruhku agar tak usah bekerja lagi, agar aku bisa fokus di rumah
Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua. "Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku. "Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar. "Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi. "Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal. Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun. "Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa. "Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya
"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga
Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap
"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak
Aku melirik Mas Bima untuk mendapat jawaban dari mulutnya sendiri. Yang dilirik sadar dan mulai pasang tampang menghanyutkan. "Iya, Dek. Tante Tika dan Viona, Mas ajak untuk tinggal di sini dengan kita. Kasihan, rumah mereka di kampung sudah dijual, tidak ada lagi tempat mereka untuk bernaung.""Terus, untuk masalah ini, kamu sudah berunding dulu dengan istri kamu, Mas?" "Ngapain berunding-berunding dengan kamu segala, ini rumah juga rumah Bima, dia kepala rumah tangganya." Mertuaku tak senang aku berkata demikian. "Ck, Bu … Bu … yang namanya pernikahan itu, di dalamnya harus bisa berbagi suka dan duka. Semua keputusan untuk kebaikan dalam berumah tangga diambil secara bersama dan saling sukarela. Jika mas Bima seorang suami yang bisa menghargai istri, pasti dia akan membicarakan hal sepenting ini terlebih dahulu, bukan mengambil keputusan secara sepihak." Kembali aku melirik Mas Bima. "Mas tadi mau ngomong Dek, tapi kamunya masih tidur. Magrib-magrib kok tidur!""Firda nggak tidu