Share

Aku Tak Bodoh
Aku Tak Bodoh
Author: CheRy

Mas Bima Nyebelin

“Firdaaaaaa! Firdaaaaa!”

Brak … brak … brak!

Aku tersentak kaget dari tidur. Itu suara Ibu dan pintu rumah kontrakan yang digedor secara kasar. Ada apa?

"Firdaaaaa! Buka pintunya. Dasar pemalas!"

Suara Ibu mertua semakin nyaring di telinga. Aku bergegas beranjak dari pembaringan, dengan langkah malas menuju pintu. Pintu terlihat seakan-akan mau roboh. Sudah tahu begini, masih juga digedor dengan tenaga dalam. Rengsek dong.

Kreet ...

“Iy—”

“Lama amat sih buka pintunya! Sudah jam segini, masa baru bangun?” Belum sempat aku bertanya, Ibu sudah menyerangku dengan mulut pedasnya.

“Firda lagi demam Bu. Jadi, gitu Mas Bima berangkat kerja, Firda rebahan lagi. Ada apa Bu?” sahutku masih dengan suara lembut, maklum efek setengah sadar.

“Bagi duit! Ibu dikejar-kejar utang sama Bu Kokom,” perintahnya.

Mertuaku menadahkan tangan sambil bertolak pinggang. Kuputar bola mata malas melihat tingkahnya yang membosankan. Seperti nyonya besar saja, pikirku.

“Firda nggak punya duit lagi, Bu. Semalam buat bayar kontrakan, sudah habis!” jawabku menerangkan. Rasa ngilu-ngilu di badan lenyap seketika.

“Nggak ada gimana? Bukannya semalam Bima baru gajian? Kok sudah habis? Boros amat sih kamu jadi istri!” cemoohnya padaku dengan tatapan menyelidik.

“Ya kalau sudah habis, mau bagaimana lagi, Bu! Firda bayar kontrakannya sekalian tiga bulan. Takut, bulan selanjutnya payah bayar. Jadi, Firda rapel,” jawabku lagi mulai malas.

“Beg* amat sih kamu. Bayar kontrakan itu jangan sekaligus dong! Bayarnya per bulan aja. Kalau begini kan, Ibu yang susah!” Ibu mertua tak terima mendengar alasan dan penjelasanku.

Aneh! Duit-duit siapa, yang ngamuk-ngamuk siapa? Inilah mertuaku. Bisanya terus merongrong anak menantu.

“Ibu mertuaku yang cuantiiiik, bukannya Mas Bima sudah kasih gajinya setengah sama Ibu?” tanyaku masih dengan kelembutan yang dibuat-buat.

“Iya, tapi udah habis buat bayar arisan geng kreaks!” timpalnya tanpa ada beban.

“Lagian, Ibu minta duit Bima, bukan duit kamu!” sambungnya lagi yang membuatku semakin muak.

“Ya duit Mas Bima itu yang sudah habis, Bu! Firda udah nggak punya duit lagi buat bayarin utang Ibu sama Bu Kokom!” Kali ini aku harus tegas. Jika tidak, selamanya aku tak akan punya simpanan.

"Ahh, banyak alasan kamu. Kalau nggak, Ibu pinjem dulu lah," pintanya lagi dengan memaksa.

"Maaf, Bu. Memang sudah tidak ada lagi!" kataku mantap.

Aku berjalan menuju sofa untuk duduk sebentar. Badanku masih terasa lemas, efek kehujanan sewaktu pulang kerja semalam.

Ibu mertua masih memandangiku dengan kesal. Aku sih sudah tak perduli. Dua tahun berumah tangga, Ibu mertua semakin menjadi-jadi. Menikah dengan Mas Bima ternyata tak seindah hayalan. Aku ikhlas ikut bekerja banting tulang agar hidup semakin sejahtera. Namun, ternyata itu semua hanya isapan jempol belaka.

Aku tak mempermasalahkan jika Mas Bima memberi sedikit gajinya buat Ibu mertua. Karena aku tahu, surga suami ada pada ibunya. Tapi, jika sang Ibu menganggap bahwa segala kasih sayang yang diberikannya dari bayi hingga dewasa menjadi hutang budi, oh no no no itu yang aku tak suka. Belum lagi jika Mbak Yana, Kakak iparku meminjam uang. Katanya saja yang minjam. Tapi ujung-ujungnya menyakitkan. Jika pun dibalikkan, harus menunggu mulut si empunya berbusa-busa dulu untuk meminta uang kembali.

Brem … suara sepeda motor Mas Bima terdengar di telingaku. Kok jam segini, suamiku sudah pulang? Apa ada sesuatu?

"Assalamu'alaikum," salam Mas Bima terdengar di teras rumah.

"Waalaikum salam," jawab Ibu mertua cepat.

"Waalaikum salam Mas. Loh, kok sudah pulang? Apa ada yang ketinggalan?" tanyaku memastikan begitu ia sudah memasuki rumah.

"Enggak, Dek. Cuma tadi Ibu telepon katanya mau pinjem duit buat berobat," jawabnya lugu yang membuat mataku berkunang-kunang mendengarnya.

"Berobat?" tanyaku lagi memastikan.

"Bukannya tadi—"

"Iya, Bim. Ada duitnya? Ibu sudah nggak tahan lagi nih!" Ibu mertua memotong perkataanku dan menuju ke sofa. Dia duduk perlahan, pura-pura lemas di hadapan anak lelakinya.

"Bima cuma bisa minjam kantor satu juta, Bu. Karena kami masih punya bon." Mas Bima mengambil uang dari kantong celananya dan menyerahkan ke tangan Ibu mertuaku.

"Segini nggak cukup, Bim! Perlu sejuta lagi!" kata Ibu mertua sambil menadahkan tangannya kembali.

"Beneran, Bu. Bima sudah nggak pegang duit lagi. Jika masih ada, pasti Bima kasih saja ke Ibu." Wajah Mas Bima memelas melihat ibunya yang pura-pura lemas.

"Dek, pinjemin duit kamu dulu ya! Nanti Mas ganti kalau sudah gajian," pujuknya dengan memakai sedikit trik wajah memelas.

"Tapi, Mas—!"

"Udah, Dek. Pinjemin dulu ya. Nanti bulan depan, Mas tambahin lagi uang belanja kamu," tukasnya cepat sebelum aku menyelesaikan ucapan.

"Tapi uangnya sudah habis Mas buat bayar kontarakan kita. Trus, kalau kamu mau bayar pake uang gaji, uang gaji kamu saja sudah potong atas. Gimana bisa bayar, Firda?" protesku kesal.

"Pakai uang simpanan kamu dulu dong Firdaaaaa! Mas janji, nanti bulan depan Mas bayar sekalian gajian," terangnya lagi sedikit emosi.

Kulihat sekilas, Ibu mertua tersenyum mengejek kepadaku.

"Mas, Ibu kemari bilangnya minta duit sama Firda, bukan minjam. Lagian, uang itu dipakai bukan buat berobat melainkan bayar utang sama Bu Kokom, Iya kan Bu?" Aku lihat, Ibu mertua kaget dengan perkataanku. Dia jadi salah tingkah dan melotot nggak jelas.

"Lagian ya Mas, gajian semalam bukannya Mas udah kasih Ibu dua juta, ya? Ibu juga bilang kan, dua juta udah menutupi semua utang Ibu sama Bu Kokom. Terus ini utang yang mana lagi, Mas?"

Kulihat Mas Bima dan Ibu terdiam saling lirik. Ada yang mencurigakan dari tatapan mata mereka.

"Sudah lah Dek. Mungkin Ibu ada utang sama yang lain kali." Mas Bima terlihat gugup.

"Yasudah, kalau kamu nggak kasih uang kamu dulu, Mas utang kantor lagi aja. Toh, nggak papa tiap bulan gaji Mas dipotong atas langsung banyak!" Ancamnya seperti biasa, jika aku sudah menolak memberi tambahan jatah uang kepada ibunya.

"Ok baiklah Mas, kali ini aku mengalah lagi."

Aku berjalan malas menuju kamar tidur kami. Rasa sakitku seketika hilang, digantikan menjadi rasa amarah. Kita lihat Mas, apa yang bisa aku lakukan selanjutnya. Jangan kamu kira aku diam selama ini karena takut? Oh, tentu tidak. Aku diam karena malas berdebat dengan orang-orang tolol.

Kuberikan uang yang diminta ke tangan Mas Bima. Mas Bima langsung menyerahkan uang tersebut ke tangan Ibu mertua. Matanya seketika berbinar. Dia lupa, kalau tadi katanya dia sedang sakit. Kelihatan sekali jika Ibu mertuaku ini pandai bersandiwara.

Tanpa mau menunggu, aku langsung kembali langsung menuju kamar, meninggalkan mereka berdua di ruang tamu . Beberapa saat kemudian terdengar suara sepeda motor Mas Bima berlalu pergi meninggalkan rumah kontrakan kami ini.

Aku lelah, lelah terus-terusan menjadi kambing congek mereka.

***

Ku buka netra, melirik jam dinding di atas pintu kamar. Sudah pukul lima sore. Sepertinya tidurku nyenyak, efek obat yang kuminum tadi siang. Aku bangkit dari ranjang tidur. Segera memungut gawai di samping bantal yang kutiduri untuk mengetik pesan kepada Mas Bima.

[Mas, Firda masih demam, nggak masak. Mas nanti pulang belikan makanan ya, buat makan malam kita]

Send

Kulempar asal gawai di atas pembaringan lalu menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Hari ini aku lagi libur salat. Sesudahnya rumah dan halaman ku sapu bersih. Walau kondisi sedang tidak fit tapi untuk kebersihan rumah tetap kujaga, karena aku wanita pembersih. Ingat! Pem-ber-sih. Titik, nggak pake koma.

Waktu terus berlalu hingga senja menampakkan auroranya. Perut sudah minta diisi, tetapi Mas Bima belum pulang juga. Pasti lembur. Kuseduh air hangat manis, kucari simpanan roti gandum coklat. Ini teman yang cocok dikala kondisi darurat seperti saat ini. Kunyalakan televisi untuk mengusir kesendirian. Aku menonton siaran ikan terbang. Jalan ceritanya kebanyakan seperti jalan hidupku saat ini. Memompa adrenalin. Jika bukan mertua yang mengulah, ya menantu. Jika bukan suami yang selingkuh, ya istri. Jika … ah, banyak lagi lah. Itulah dinamika kehidupan.

Roti gandum dan teh manis hangat sudah habis kulahap, tapi mengapa masih lapar juga? Kucari kembali gawai di kamar, ingin menghubungi Mas Bima. Belum lagi nomor kontak kutekan, suara sepeda motornya sudah terdengar. Gegas kusambut dia di depan, mengharap makanan yang kupesan tadi sore, karena aku begitu lapar.

"Assalamu'alaikum," katanya lemah.

"Waalaikum salam," jawabku semangat.

Aku meraih punggung tangan dan menciumnya dengan takzim. Walau sekesal apapun aku terhadap Mas Bima, aku masih tetap menghormatinya sebagai imam dan kepala rumah tanggaku.

"Capek, Mas?" tanyaku manja.

"Iya Dek. Buatin Mas kopi susu, ya! Mas mau langsung mandi dulu. Gerah."

Dia berkata sembari berlalu menuju kamar. Aku mau menanyakan soal pesananku tadi, tapi kuurungkan. Biarlah kutunggu hingga Mas Bima selesai bersih-bersih. Apalagi dia baru pulang pasti capek sekali. Aku pun menuju dapur dan membuat kopi susu sesuai pesanannya tadi.

Sepuluh menit berlalu, kulihat Mas Bima sudah bersih dan wangi. Ia menuju sofa dan ikut duduk di sebelahku, lalu meraih kopi susu yang sudah terhidang manis di atas meja. Terlihat ia sangat menikmatinya.

"Mas, pesanan Firda mana? Ada kan?" tanyaku tak sabar.

"Pesanan apa, Dek?" jawabnya, membuat ginjalku langsung bergetar hebat.

"Pesanan apa katamu, Mas?" Suaraku sedikit meninggi melihat keluguan yang tidak pada tempatnya. Ya Allah, ciptaanmu yang satu ini sungguh kelewatan.

"Iya, pesanan apa Dek? Mas cuma baca pesan yang dikirim Ibu dari Hp Mbak Yana, yang minta dibelikan sate padang, itu saja."

Seketika darah kotorku naik ke ubun-ubun. Kutinggalkan Mas Bima sendiri di sofa. Aku keluar menuju warung Bu Ratna. Pintu kubanting.

Brak!

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status