“Firdaaaaaa! Firdaaaaa!”
Brak … brak … brak!
Aku tersentak kaget dari tidur. Itu suara Ibu dan pintu rumah kontrakan yang digedor secara kasar. Ada apa?
"Firdaaaaa! Buka pintunya. Dasar pemalas!"
Suara Ibu mertua semakin nyaring di telinga. Aku bergegas beranjak dari pembaringan, dengan langkah malas menuju pintu. Pintu terlihat seakan-akan mau roboh. Sudah tahu begini, masih juga digedor dengan tenaga dalam. Rengsek dong.
Kreet ...
“Iy—”
“Lama amat sih buka pintunya! Sudah jam segini, masa baru bangun?” Belum sempat aku bertanya, Ibu sudah menyerangku dengan mulut pedasnya.
“Firda lagi demam Bu. Jadi, gitu Mas Bima berangkat kerja, Firda rebahan lagi. Ada apa Bu?” sahutku masih dengan suara lembut, maklum efek setengah sadar.
“Bagi duit! Ibu dikejar-kejar utang sama Bu Kokom,” perintahnya.
Mertuaku menadahkan tangan sambil bertolak pinggang. Kuputar bola mata malas melihat tingkahnya yang membosankan. Seperti nyonya besar saja, pikirku.
“Firda nggak punya duit lagi, Bu. Semalam buat bayar kontrakan, sudah habis!” jawabku menerangkan. Rasa ngilu-ngilu di badan lenyap seketika.
“Nggak ada gimana? Bukannya semalam Bima baru gajian? Kok sudah habis? Boros amat sih kamu jadi istri!” cemoohnya padaku dengan tatapan menyelidik.
“Ya kalau sudah habis, mau bagaimana lagi, Bu! Firda bayar kontrakannya sekalian tiga bulan. Takut, bulan selanjutnya payah bayar. Jadi, Firda rapel,” jawabku lagi mulai malas.
“Beg* amat sih kamu. Bayar kontrakan itu jangan sekaligus dong! Bayarnya per bulan aja. Kalau begini kan, Ibu yang susah!” Ibu mertua tak terima mendengar alasan dan penjelasanku.
Aneh! Duit-duit siapa, yang ngamuk-ngamuk siapa? Inilah mertuaku. Bisanya terus merongrong anak menantu.
“Ibu mertuaku yang cuantiiiik, bukannya Mas Bima sudah kasih gajinya setengah sama Ibu?” tanyaku masih dengan kelembutan yang dibuat-buat.
“Iya, tapi udah habis buat bayar arisan geng kreaks!” timpalnya tanpa ada beban.
“Lagian, Ibu minta duit Bima, bukan duit kamu!” sambungnya lagi yang membuatku semakin muak.
“Ya duit Mas Bima itu yang sudah habis, Bu! Firda udah nggak punya duit lagi buat bayarin utang Ibu sama Bu Kokom!” Kali ini aku harus tegas. Jika tidak, selamanya aku tak akan punya simpanan.
"Ahh, banyak alasan kamu. Kalau nggak, Ibu pinjem dulu lah," pintanya lagi dengan memaksa.
"Maaf, Bu. Memang sudah tidak ada lagi!" kataku mantap.
Aku berjalan menuju sofa untuk duduk sebentar. Badanku masih terasa lemas, efek kehujanan sewaktu pulang kerja semalam.
Ibu mertua masih memandangiku dengan kesal. Aku sih sudah tak perduli. Dua tahun berumah tangga, Ibu mertua semakin menjadi-jadi. Menikah dengan Mas Bima ternyata tak seindah hayalan. Aku ikhlas ikut bekerja banting tulang agar hidup semakin sejahtera. Namun, ternyata itu semua hanya isapan jempol belaka.
Aku tak mempermasalahkan jika Mas Bima memberi sedikit gajinya buat Ibu mertua. Karena aku tahu, surga suami ada pada ibunya. Tapi, jika sang Ibu menganggap bahwa segala kasih sayang yang diberikannya dari bayi hingga dewasa menjadi hutang budi, oh no no no itu yang aku tak suka. Belum lagi jika Mbak Yana, Kakak iparku meminjam uang. Katanya saja yang minjam. Tapi ujung-ujungnya menyakitkan. Jika pun dibalikkan, harus menunggu mulut si empunya berbusa-busa dulu untuk meminta uang kembali.
Brem … suara sepeda motor Mas Bima terdengar di telingaku. Kok jam segini, suamiku sudah pulang? Apa ada sesuatu?
"Assalamu'alaikum," salam Mas Bima terdengar di teras rumah.
"Waalaikum salam," jawab Ibu mertua cepat.
"Waalaikum salam Mas. Loh, kok sudah pulang? Apa ada yang ketinggalan?" tanyaku memastikan begitu ia sudah memasuki rumah.
"Enggak, Dek. Cuma tadi Ibu telepon katanya mau pinjem duit buat berobat," jawabnya lugu yang membuat mataku berkunang-kunang mendengarnya.
"Berobat?" tanyaku lagi memastikan.
"Bukannya tadi—"
"Iya, Bim. Ada duitnya? Ibu sudah nggak tahan lagi nih!" Ibu mertua memotong perkataanku dan menuju ke sofa. Dia duduk perlahan, pura-pura lemas di hadapan anak lelakinya.
"Bima cuma bisa minjam kantor satu juta, Bu. Karena kami masih punya bon." Mas Bima mengambil uang dari kantong celananya dan menyerahkan ke tangan Ibu mertuaku.
"Segini nggak cukup, Bim! Perlu sejuta lagi!" kata Ibu mertua sambil menadahkan tangannya kembali.
"Beneran, Bu. Bima sudah nggak pegang duit lagi. Jika masih ada, pasti Bima kasih saja ke Ibu." Wajah Mas Bima memelas melihat ibunya yang pura-pura lemas.
"Dek, pinjemin duit kamu dulu ya! Nanti Mas ganti kalau sudah gajian," pujuknya dengan memakai sedikit trik wajah memelas.
"Tapi, Mas—!"
"Udah, Dek. Pinjemin dulu ya. Nanti bulan depan, Mas tambahin lagi uang belanja kamu," tukasnya cepat sebelum aku menyelesaikan ucapan.
"Tapi uangnya sudah habis Mas buat bayar kontarakan kita. Trus, kalau kamu mau bayar pake uang gaji, uang gaji kamu saja sudah potong atas. Gimana bisa bayar, Firda?" protesku kesal.
"Pakai uang simpanan kamu dulu dong Firdaaaaa! Mas janji, nanti bulan depan Mas bayar sekalian gajian," terangnya lagi sedikit emosi.
Kulihat sekilas, Ibu mertua tersenyum mengejek kepadaku.
"Mas, Ibu kemari bilangnya minta duit sama Firda, bukan minjam. Lagian, uang itu dipakai bukan buat berobat melainkan bayar utang sama Bu Kokom, Iya kan Bu?" Aku lihat, Ibu mertua kaget dengan perkataanku. Dia jadi salah tingkah dan melotot nggak jelas.
"Lagian ya Mas, gajian semalam bukannya Mas udah kasih Ibu dua juta, ya? Ibu juga bilang kan, dua juta udah menutupi semua utang Ibu sama Bu Kokom. Terus ini utang yang mana lagi, Mas?"
Kulihat Mas Bima dan Ibu terdiam saling lirik. Ada yang mencurigakan dari tatapan mata mereka.
"Sudah lah Dek. Mungkin Ibu ada utang sama yang lain kali." Mas Bima terlihat gugup.
"Yasudah, kalau kamu nggak kasih uang kamu dulu, Mas utang kantor lagi aja. Toh, nggak papa tiap bulan gaji Mas dipotong atas langsung banyak!" Ancamnya seperti biasa, jika aku sudah menolak memberi tambahan jatah uang kepada ibunya.
"Ok baiklah Mas, kali ini aku mengalah lagi."
Aku berjalan malas menuju kamar tidur kami. Rasa sakitku seketika hilang, digantikan menjadi rasa amarah. Kita lihat Mas, apa yang bisa aku lakukan selanjutnya. Jangan kamu kira aku diam selama ini karena takut? Oh, tentu tidak. Aku diam karena malas berdebat dengan orang-orang tolol.
Kuberikan uang yang diminta ke tangan Mas Bima. Mas Bima langsung menyerahkan uang tersebut ke tangan Ibu mertua. Matanya seketika berbinar. Dia lupa, kalau tadi katanya dia sedang sakit. Kelihatan sekali jika Ibu mertuaku ini pandai bersandiwara.
Tanpa mau menunggu, aku langsung kembali langsung menuju kamar, meninggalkan mereka berdua di ruang tamu . Beberapa saat kemudian terdengar suara sepeda motor Mas Bima berlalu pergi meninggalkan rumah kontrakan kami ini.
Aku lelah, lelah terus-terusan menjadi kambing congek mereka.
***
Ku buka netra, melirik jam dinding di atas pintu kamar. Sudah pukul lima sore. Sepertinya tidurku nyenyak, efek obat yang kuminum tadi siang. Aku bangkit dari ranjang tidur. Segera memungut gawai di samping bantal yang kutiduri untuk mengetik pesan kepada Mas Bima.
[Mas, Firda masih demam, nggak masak. Mas nanti pulang belikan makanan ya, buat makan malam kita]
Send
Kulempar asal gawai di atas pembaringan lalu menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Hari ini aku lagi libur salat. Sesudahnya rumah dan halaman ku sapu bersih. Walau kondisi sedang tidak fit tapi untuk kebersihan rumah tetap kujaga, karena aku wanita pembersih. Ingat! Pem-ber-sih. Titik, nggak pake koma.
Waktu terus berlalu hingga senja menampakkan auroranya. Perut sudah minta diisi, tetapi Mas Bima belum pulang juga. Pasti lembur. Kuseduh air hangat manis, kucari simpanan roti gandum coklat. Ini teman yang cocok dikala kondisi darurat seperti saat ini. Kunyalakan televisi untuk mengusir kesendirian. Aku menonton siaran ikan terbang. Jalan ceritanya kebanyakan seperti jalan hidupku saat ini. Memompa adrenalin. Jika bukan mertua yang mengulah, ya menantu. Jika bukan suami yang selingkuh, ya istri. Jika … ah, banyak lagi lah. Itulah dinamika kehidupan.
Roti gandum dan teh manis hangat sudah habis kulahap, tapi mengapa masih lapar juga? Kucari kembali gawai di kamar, ingin menghubungi Mas Bima. Belum lagi nomor kontak kutekan, suara sepeda motornya sudah terdengar. Gegas kusambut dia di depan, mengharap makanan yang kupesan tadi sore, karena aku begitu lapar.
"Assalamu'alaikum," katanya lemah.
"Waalaikum salam," jawabku semangat.
Aku meraih punggung tangan dan menciumnya dengan takzim. Walau sekesal apapun aku terhadap Mas Bima, aku masih tetap menghormatinya sebagai imam dan kepala rumah tanggaku.
"Capek, Mas?" tanyaku manja.
"Iya Dek. Buatin Mas kopi susu, ya! Mas mau langsung mandi dulu. Gerah."
Dia berkata sembari berlalu menuju kamar. Aku mau menanyakan soal pesananku tadi, tapi kuurungkan. Biarlah kutunggu hingga Mas Bima selesai bersih-bersih. Apalagi dia baru pulang pasti capek sekali. Aku pun menuju dapur dan membuat kopi susu sesuai pesanannya tadi.
Sepuluh menit berlalu, kulihat Mas Bima sudah bersih dan wangi. Ia menuju sofa dan ikut duduk di sebelahku, lalu meraih kopi susu yang sudah terhidang manis di atas meja. Terlihat ia sangat menikmatinya.
"Mas, pesanan Firda mana? Ada kan?" tanyaku tak sabar.
"Pesanan apa, Dek?" jawabnya, membuat ginjalku langsung bergetar hebat.
"Pesanan apa katamu, Mas?" Suaraku sedikit meninggi melihat keluguan yang tidak pada tempatnya. Ya Allah, ciptaanmu yang satu ini sungguh kelewatan.
"Iya, pesanan apa Dek? Mas cuma baca pesan yang dikirim Ibu dari Hp Mbak Yana, yang minta dibelikan sate padang, itu saja."
Seketika darah kotorku naik ke ubun-ubun. Kutinggalkan Mas Bima sendiri di sofa. Aku keluar menuju warung Bu Ratna. Pintu kubanting.
Brak!
"Firdaaa!"Kudengar suara Mas Bima berteriak memanggil namaku. Aku tidak perduli. Rasa lapar dan amarah digodok menjadi satu kesatuan yang utuh, dan inilah hasilnya. Bisa-bisanya Mas Bima tak membaca pesan dariku, tapi dia bisa membaca pesan Mbak Yana. Apa pesanku dari kutub selatan, sedangkan pesan dari kakaknya itu dari kutub utara? Atau jangan-jangan dia punya dua Hp? Otakku benar-benar kram memikirkannya. Jika marah, warung yang biasa jauh mengapa tiba-tiba terasa di depan rumah? "Mie Goreng sed*pnya, Bu!" pintaku kepada Bu Ratna yang sedang tersenyum-senyum genit sambil mengotak-atik gawainya. "Bu Ratnaaa ... beli mie goreng sed*pnya, Buu!" kataku lagi mengulang permintaan. Bu Ratna kaget begitu melihatku berdiri di depan warungnya sambil melipat tangan di dada. "Loh Mbak Firda? Mau beli kok diam-diam aja sih?" tanyanya lugu. Hagh! Diam-diam saja katanya? Ck. Seketika uban-uban di rambutku bermunculan.Mau dilayan aku lapar. Nggak dilayan kok ngajak gelud. "Firda baru datan
Rantang kuamankan terlebih dahulu. Aku mengambil gawai di kantong celana. Kutekan nomor seseorang. Tak perlu mengotori tangan jika ada yang bisa melakukannya. "Halo … Bu, ni orangnya sedang di rumah. Kemari aja, Bu!" Aku mendengar suara dari seberang sana sebentar setelahnya gawai kumatikan. "Apa yang kau lakukan?" tanya Ibu mertua penasaran. "Nggak lakuin apa-apa Bu, cuma niat menolong Ibu aja," jawabku senang. Marniii ... Marniiii ....” Tiba-tiba terdengar suara merdu nan syahdu di telinga memanggil-manggil nama Ibu mertua. Mertuaku pun panik mencari tempat bersembunyi, karena dia kenal itu suara siapa. "Bu Kokom!" katanya panik. Aku semakin terhibur melihat ekspresi paniknya. “Yana, bilang Ibu nggak ada, awas kalau sampai ketahuan!” “Bu, bukannya berbohong itu dosa, ya?” kataku berbisik. “Diam kau, Firda! Ini pasti ulah mu kan! Awas ya, Ibu nggak akan tinggal diam.” Mertuaku cepat berlari masuk ke kamar tidur sambil mengancam. “Assalamu’alaikum!” salam Bu Kokom terdengar
"Paaaagi Firda, Sayaaang!" Sahabat sejatiku menyapa. Mood booster jika aku sudah di kantor. Aura positif selalu diberikannya buatku."Paaaagi, honey bunny sweety." Kami cipika cipiki, tos kepalan tangan, lalu saling meradukan pinggul. Akai kami jika sudah bertemu di kantor."Hullu … hullu. Gini nih kalau wanita-wanita kreak dah ketemu." Rima, teman sekantorku yang lain mengomentari aksi bocah yang kami lakuin."Iri … bilang bos … ha ha ha. Papale … papale ... palele ..." Kami berteriak bersama-sama lalu ketawa cekikian. Tak tahu tempat, yang penting kami heppi. Seluruh karyawan kantor cuma bisa geleng-geleng kepala dan ikut cekikian melihat tingkah kami berdua."Mumpung bos belum datang, Rima Sayaang," kataku lagi.Inilah suasana kantorku. Baru sehari saja tak masuk kantor, serasa seminggu ada yang kurang di dalam hidup. Lucu ya. Orang lain rasa saudara. Lah, saudara sendiri rasa orang lain.Sudah pernah sih Mas Bima menyuruhku agar tak usah bekerja lagi, agar aku bisa fokus di rumah
Sepeda motor melaju dengan santai. Itu memang mauku kepada Mas Bima, agar sampai ke rumah tidak terlalu cepat. Ingin bermanja-manja dan mesra-mesraan selama di atas motor. Padahal itu alasanku saja, karena aku malas berjumpa dengan Mak Lampir sesion kedua. "Mas, singgah sebentar yuk ke Indoapril!" ajakku. "Mau beli apa sih, Dek? Nanti malam aja kan bisa! Mas udah nggak sabar mau jumpa Tante Tika. Dah ada kali, setahun nggak ketemu," tolaknya kasar. "Pembalut Adek dah habis, Mas. Emang mau kececeran di mana-mana, gitu?" Alasanku kuat karena memang tadi pagi kuperlihatkan bungkus pembalutku kepadanya yang sudah kosong dan minta dibelikan lagi. "Ck, yodalah. Ayo!" jawabnya seperti kesal. Motor diputarkan kembali oleh Mas Bima karena sewaktu kuajak dia menolak, dia melewatinya dengan sengaja. Kami sampai di depan Indoapril. Aku segera turun. Kulihat Mas Bima masih nangkring di atas motor tak mau turun. "Ayo, Mas!" ajakku setengah memaksa. "Kamu aja deh, Mas tunggu di sini," katanya
"Dek!" Mas Bima mulai membuka suara. Istri dihina-hina dia berubah jadi putra malu. Lah, giliran istri membela diri sendiri, dia langsung berubah jadi UltraMen. Nasib … nasib! "Firda tau kok, Mas. Tapi kamu dengar sendiri kan, apa yang dikatain keluarga Mas barusan ke Firda!" timpalku ketika melihat Mas Bima berdiri dan mendekat ke arahku. "Hallah, kamu aja yang baperan. Nggak salah kan Tante Tika nanya kapan punya anak?" cibir mertuaku. "Nggak salah selagi Tante Tika bertanya dengan sopan, dan Ibu tidak menyudutkan Firda!" kataku mulai meninggi. "Kan emang jelas kalau keturunan kami itu subur-subur. Ibu, gitu nikah langsung dapat Yana. Tante Tika langsung dapat Viona karena suaminya keturunan dari Ibu. Yana juga langsung dapat Dini. Terus masih bisa kami katakan kalau yang bermasalah Bima? Nyadar kamu Fiiir." Ucapan Ibu mertua sudah benar-benar keterlaluan. "Kalau soal Ibu dan Tante cepat dapat keturunan, Firda emang nggak tau. Tapi kalau Mbak Yana, Firda tauuuu banget." Senga
Jarum kecil dipergelangan tangan melewati waktu biasanya. Aku telat. Tergesa-gesa menuju kursi kerja, kulihat oppa berdiri di depan meja Arimbi yang tertunduk. Aku duduk perlahan. Kurasakan mata elang oppa tertuju ke arahku. Oooh Tuhan. "Kamu yang bernama Firda?" Oppa bertanya, begitu kakiku mendarat manja di lantai bawah meja kerja. "Iya, Pak!" jawabku pelan. "Suara yang cempreng, mata yang minus, ditambah suka terlambat! Apa masih ada yang lain?" sindirnya sinis. "Maaf, Pak!" Hanya kalimat itu yang bisa aku keluarkan dari bibir mungilku ini. "Saya minta laporan klien yang dari kota Magelang, itu bagian kamu, kan?""I—iya, Pak! Tapi ….""Kamu mau bilang kalau belum selesai?" selanya diantara kebingunganku. "Hari ini, kamu pulang tidak seperti jam biasa. Setelah jam pulang kantor, kamu keruangan saya." Oppa berjalan angkuh meninggalkan aku yang masih syok sambil terduduk. "Mampus deh!" sungutku frustasi. "Tenang! Jajanan nanti aku yang siapkan!" Arimbi menyambung perkataanku
Hampir sampai di belokan menuju toilet aku berpapasan dengan oppa. Sepertinya dia juga barusan nyetor dari sana. Pandangan mata kami saling bertemu. Aku bergeser ke arah kanan, begitu juga dirinya. Aku bergeser ke arah kiri, begitu pun dirinya. Tiga kali kami saling melakukan senam kaki seperti itu. "Aduuh maaf Pak, saya sudah nggak tahan, Bapak diem sebentar di tempat, boleh?!" Instruksiku yang terkesan tak sopan maen perintah-perintah bos. Tapi anehnya permintaanku itu dilaksanakan segera oleh oppa. Dia berdiri sebentar di depanku. Lalu badannya bergerak sedikit ke samping. Aku langsung menerobos. "Terima kasih Pak," kataku sekilas. Aku langsung berlari masuk ke toilet wanita. Menumpahkan segala rasa yang ada.Tapi eh tapi mulesnya nggak mau udahan. Padahal rapat sudah mau dimulai. Walau masih mules, aku membersihkan diri. Keder juga jika oppa marah lagi. Aku berjalan cepat ke meja kerjaku. Arimbi sudah tidak ada. Map laporan kutarik asal dari meja, aku berlari kecil ke ruang rap
"Emang kamu tadi makan apa sih?""Nggak makan apa-apa pak. Nggak spesial juga. Cuma bakso mercon dua mangkok kecil," jawabku pasti dengan mimik yang biasa saja. "Heeh Satiyem, renyah banget omongan kamu ya! Bakso mercon dua mangkok kamu bilang nggak makan apa apa?" "Firda Pak, bukan Satiyem!" jawabku cepat. Dreet … dreeetGawaiku berdering. 'Sohib dunia' memanggil. Aku mau mengangkat tapi nggak enak di dengar Pak Alex. Aku diamin saja panggilan itu. "Kok nggak diangkat?" tanyanya memecah kesunyian begitu suara gawai mati. "Gak papa, Pak. Salah sambung," jawabku asal. Gawaiku berdering kembali. Masih, sohib dunia memanggil. "Angkat saja. Saya pura-pura nggak mendengar," katanya lagi yang membuatku jadi salah tingkah. Kutekan gambar warna hijau. Sambungan di sana langsung meracau. "Lu ke mana tadi, Fir? Gue tungguin nggak keluar-keluar dari kantor?" "Gue tadi sakit perut, diare! jawabku sambil berbisik-bisik menghadap ke kiri berusaha menjauhi sumber suara dari Pak supir, eh Pak