Share

Bab 2

Penulis: Stary Dream
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-18 16:37:57

Adam baru saja memantik nikotinnya di teras depan. Lalu datanglah tamu yang tak terduga di siang hari ini. Siapa lagi kalau bukan Zulfa dan anaknya, Gibran.

"Mbak Zulfa... Gibran!" Sapa Adam. Dia jadi senang kedatangan kakak sulung serta keponakan lucunya.

Gibran menghambur dalam pelukan Omnya ini. 

"Kamu nggak kerja?" Tanya Zulfa heran karena Adam masih memakai seragam pegawai.

"Istirahat makan siang. Mbak sudah makan? Masuklah dulu." Ajak Adam. Dia lalu mematikan api rokoknya dan menggandeng tangan mungil Gibran yang berusia 2 tahun.

Sesampainya di dalam rumah, Farida bukan main senangnya menerima kedatangan anak dan cucunya.

"Aku nggak mau pulang kesana lagi, bu."

Farida dan Adam terkejut akan ucapan Zulfa.

"Kenapa? Kamu ribut sama suamimu?" Tanya Farida.

Zulfa mengangguk. "Setiap hari kami ribut.. aku capek, bu."

"Ribut soal apa?" Giliran Adam yang bertanya.

"Mbak capek setiap hari harus mengasuh ibunya yang lumpuh itu. Mana pekerjaan rumah juga mbak yang ngerjain. Terus gaji malah dipegang sama ibunya. Capek! Makan hati!"

"Sudah tahu lumpuh malah megang gaji anaknya. Gimana ini? Nggak sadar apa suamimu itu kalau dia punya tanggung jawab sebagai seorang suami?" Dumal Farida jadi emosi.

Adam berdeham. Dia jadi merasa tersinggung. Masalahnya dia juga sama seperti kakak iparnya. Memberikan gaji seluruhnya kepada ibu kandungnya.

"Kalau kamu kan beda, nak." Nah, Farida jadi salah ucap. Takut kemakan omongannya sendiri.

Adam tak bergeming.

"Mas Handi tahu mbak kesini?" 

Zulfa menggeleng. "Biarin aja. Biar dia nyari!"

"Jangan begitu, mbak. Izin suami dulu."

"Benar itu!" Farida menimpali.

Zulfa mendengkus. "Udah, ah. Laper. Mau makan."

"Ya sudah makanlah. Ibu tadi masak."

Zulfa berjalan ke meja makan dan mencium bau harum dari dapur.

"Masak apa, Rum?"

Harum menoleh. "Mbak Zulfa? Kapan kemari?" Sungguh dia tak tahu ada iparnya datang.

"Baru aja.. kamu masak apa?"

"Ini telur dadar buat Shanum. Mbak sudah makan?"

"Belum." Zulfa lalu membuka tudung saji dan mengernyit. "Ikan asin, bu?"

"Ya.. kesukaanmu. Makanlah."

"Terus Gibran makan apa?" Mana mungkin anak umur dua tahun ini diberi makan ikan asin cabe hijau.

"Mau aku gorengin telur dadar, mbak?" Tawar Harum yang mengerti isi hati Zulfa.

Zulfa menggeleng. "Tiap hari dia makan telur. Bisa-bisa bisulan nanti. Beliin ayam goreng aja, bu." Zulfa beralih menatap ibunya.

Farida yang merasa disuruh lalu beralih pada Adam yang tengah bermain dengan Gibran.

"Anakmu mau makan ayam goreng, dam!"

"Bukannya Harum udah gorengin telur?" 

"Bukan Shanum. Tapi Gibran. Kasihan dia makan telur tiap hari." Ucap Farida.

Adam mengeluarkan dompet dan dua lembar uang sepuluh ribu. "Ini belilah. Aku mau balik kerja."

Bukan Farida melainkan Zulfa yang menerima uang tersebut dan membelanjakannya. Sementara Harum memperhatikan dari jauh saja. Padahal tadi Shanum sampai meronta-ronta depan ayahnya untuk dibelikan ayam goreng. Tapi, Adam malah marah. Namun sekarang.. dia malah royal pada keponakannya sendiri.

Sengaja Harum membawa anaknya makan di kamar. Kalau sampai Shanum melihat ayam goreng yang bukan untuknya pasti Shanum menangis lagi.

Hari berganti malam. Handi datang ke rumah dan ingin memboyong istri serta anaknya pulang ke rumah. Sayang sekali, Zulfa menolak. Apalagi ada Farida yang mendukungnya.

"Biarkanlah Zulfa disini dulu. Kasihan dia kecapekan." Ucap Farida.

"Maafkan saya, bu.." Handi tertunduk. Dia tahu penderitaan istrinya di rumah. Lelah fisik ditambah lelah mental karena tekanan dari mertuanya membuatnya muak.

"Makanya kamu cari perawat aja untuk mengasuh ibumu. Kasihan Zulfa. Mengurus satu anak saja dia kerepotan."

"Iya, bu." Handi meneguk ludah. 

Setelah berbincang sebentar, Handi memutuskan untuk pulang. Keputusannya, biarlah Zulfa dan Gibran menginap dulu di rumah Farida sampai tenang.

Shanum juga jadi senang karena kedatangan sepupunya yang bertubuh gempal itu. Itu sebab dia punya teman bermain.

"Jadi, mbak Zulfa tinggal disini?" Tanya Harum malam itu. Ketika tinggal mereka berdua saja di kamar 

"Iya. Biarkanlah dulu sampai tenang." Jawab Adam.

"Memangnya ada masalah apa, mas?" Tanya Harum tak tahu. Tadi dia tengah repot di dapur saat iparnya datang.

"Biasalah, ribut rumah tangga." Adam enggan menjelaskan. 

Harum juga tak mau lagi bertanya. Dari nada suara suaminya, sepertinya Adam tak mau membahasnya.

"Kemarilah. Mumpung Shanum lagi di luar."

Adam melebarkan tangannya. Harum tersenyum.

Betul. Mumpung Shanum tengah bermain. Dia punya kesempatan bermesraan dengan suaminya.

Baru saja masuk kepelukan suaminya. Adam sudah memprotes.

"Rambut kamu bau banget, sayang."

Harum terkejut. Dia jadi tak enak hati.

"Ketombean, mas."

"Kok bisa?"

"Salah shampoo."

Dahi Adam mengernyit. Padahal dulu rambut istrinya hitam begelombang. Kenapa sekarang jadi lepek dan lusuh. Eh, bau juga.

"Itu sih rambut kamu aja yang sensitif."

Harum menghela nafas. Dia beringsut bangun.

"Kenapa jadi merajuk?"

"Nggak." Kilah Harum.

"Walau bau tapi masih tetap cantik, kok." Adam terkekeh kecil.

Bukannya senang, Harum malah jadi menciut.

"Mas.. aku mau beli skincare."

Kedua mata itu kembali bertemu. Apalagi Harum menatapnya dengan penuh pengharapan.

"Kamu nggak minta sama ibu tadi?"

"Nggak enak, mas. Aku minta sama kamu aja."

"Nanti, ya. Kalau ada rezeki lain."

"Mas selalu ngomong begitu." Harum memprotes. Setiap dia meminta uang, selalu aja ada alasannya.

"Ya sudah jangan marah! Kamu layani aja aku dulu."

"Terus?"

"Nanti aku kasih uang buat beli skincare."

Harum tersenyum senang mendengarnya. Dia lalu masik kembali ke pelukan suaminya. Mudah-mudahan setelah membuat hati suaminya senang, dia bisa membeli skincare. Untung-untung dikasih lebih, bisa buat beli shampoo juga, kan?

"Cuma tiga puluh ribu, mas?" Harum bertanya saat suaminya memberikan uang padanya sesaat sebelum pergi kerja.

"Iya. Harga skincare kamu segitu, kan?" Adam menyelidik.

"Lebihin dikit boleh nggak, mas?"

"Buat apa, Rum? Udahlah.. aku aja rela sampai nggak beli rokoklah hari ini buat ngasih kamu." 

Harum hanya bisa menggigit bibir. Dengan uang ini, dia hanya bisa membeli pelembab yang dijual di warung saja. Padahal sebagai wanita, ia juga ingin membeli perangkat rias yang lain.

Tidak mau memprotes. Harum menerima ikhlas saja rezeki suaminya ini sembari berdo'a semoga rezeki Adam selalu dilancarkan.

Tak ada menu ikan asin hari ini karena Zulfa menginginkan yang lain. Padahal baru dua hari yang lalu, Farida pergi ke pasar. Hari ini Farida dan Zulfa bersama-sama pergi ke pasar lagi. Anak sulungnya ingin makan daging. Sebagai ibu yang penyayang, Farida mengabulkan. Toh, makan daging juga belum tentu sebulan sekali.

"Rendang?" Tanya Adam ketika ia pulang untuk makan siang dan melihat lauk yang tersaji di atas meja.

"Udah lama nggak makan rendang, kan? Lagian ada mbakmu disini." Jawab Farida senang.

Adam ikut menikmati saja apa yang dimasak ibunya.

"Kenapa nggak bawa bekal aja sih, dam? Dari pada pulang terus untuk makan siang.. kan sayang bensin motormu." Ucap Zulfa di sela makannya.

"Ibu mana sempet masak pagi-pagi, mbak."

"Ya suruh aja Harum. Dia kan istrimu. Dia yang harusnya masak untukmu."

"Mana mau dia masakan istrinya.. kalau disini dia cuma makan masakan ibu." Setelah itu Farida melipat bibir. Apalagi setelah melihat Adam melotot kepadanya.

Sementara Harum yang mendengar itu hanya terdiam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 37 (Ending)

    "Langsung pergi, nak?" Nani jadi merasa situasi menjadi canggung."Iya. Aku permisi dulu." Ucap Rendra tanpa membalas tatapan istrinya.Sontak saja Nani dan Harum saling melirik setelah kepergian Rendra."Apa dia mendengar kita tadi?""Mungkin aja." Jawab Harum jadi merasa bersalah. Jelas Rendra mendengarkan perbincangan dua wanita ini tadi.Malam tiba, Adam mengirim pesan pada Rendra yang mengabarkan bahwa dia ingin menghabiskan waktunya satu hari dengan Shanum."Adam ngabarin aku barusan." Ucap Rendra sambil merebahkan diri di sisi Harum. "Besok dia minta izin bertemu dengan Shanum.""Nggak masalah. Besok hari libur juga." Sahut Harum datar. Dia masih menyimak isi majalahnya."Kalau kamu mau ikut silahkan."Dahi Harum mengernyit, dia menatap Rendra yang kini berbalik memunggunginya."Untuk apa juga aku ikut?""Mungkin ada yang ingin kamu tanyakan pada mantan suamimu."Oh, Harum mengerti. Rendra pasti tengah marah sekarang. Segera saja dia melipat majalahnya dan bergeser sedikit mend

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 36

    Mata Harum menatap mantan suaminya dengan penuh pertanyaan. Sementara, Adam menjadi salah tingkah."Bu, Adam.. Taksi kita sudah di depan." Sahut Zulfa memecah rasa canggung ini."Kami permisi dulu. Terima kasih Rendra, Harum." Ucap Adam segera mengambil alih kursi roda ibunya."Hati-hati di jalan." Rendra menimpali."Nanti aku hubungi. Aku minta izin ingin bertemu Shanum lagi.""Boleh saja. Nggak masalah." Rendra jelas tak mau memisahkan hubungan antara ayah dan anak.Selesai berpamitan dengan suaminya. Rendra memutuskan untuk mengajak anak dan istrinya pulang. Namun, sepanjang perjalanan Harum hanya diam. Dia baru tahu jika Adam selama ini bekerja sebagai tukang ojek online."Kamu diam aja, sayang?" Rendra menegur."Nggak apa-apa." Sahut Harum segera memperbaiki sikapnya."Kamu mau ke toko atau pulang ke rumah?" Tawar Rendra. Kebetulan dia memang harus kembali praktek setelah ini."Aku mau ke rumah ibu aja. Udah lama nggak mampir.""Aku antar ke rumah ibu kalau begitu."Rendra memacu

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 35

    "Kamu nggak mau besuk ibumu?""Kamu tadi sudah, kan?""Aku belum melihat. Tadi kan aku bilang cuma belikan obat." Jelas Rendra."Kamu aja, deh. Sampaikan salam kami untuk ibu Farida."Rendra menghela nafas. Ia ikut berbaring di samping istrinya."Kamu masih marah?" Rendra mengelus lengan istrinya."Marah dengan siapa?" Tanya Harum acuh."Sayang.. ibu Farida sedang kritis sekarang. Aku minta kamu mendo'akannya.""Iya. Nanti aku do'akan.""Sayang!"Terpaksa Harum meladeni suaminya, padahal dia sudah bersikap selayaknya walau rasa tak senang itu terlihat di wajahnya."Ikhlaskan semua yang terjadi di masa lalu. Maafkan seluruh kesalahan orang-orang yang menyakitimu. Aku tahu luka di hatimu belum sembuh betul. Tapi kalau kamu belum bisa mengiklaskan semuanya, luka itu akan semakin sakit jika digores.""Aku cuma masih sedikit kecewa aja." Akhirnya Harum jujur. Sudah satu tahun lebih, tapi rasa marah, dongkol, kecewa akan perbuatan mantan suami serta keluarganya masih membekas di hati Harum.

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 34

    "Mbak Zulfa!" Terengah-engah Adam menghapiri Zulfa yang tengah melamun di ruang tunggu. Farida kini sudah terbaring lemah di ruang intensif."Adam!" Air mata Zulfa tumpah ruah ketika melihat adiknya datang. Sudah satu tahun, Adam tidak pulang ke kota. Selama itu juga Adam tak tahu penyakit berat apa yang menimpa Farida karena wanita itu tak mau membebani Adam yang tengah berjuang disana."Apa yang terjadi mbak?""Ibu tiba-tiba sesak tadi. Sekarang masuk ICU.""Sakit apa ibu?""Gagal ginjal..""Astaghfirullah." Kepala Adam menjadi sakit, ia seperti di hantam benda berat."Maaf, Adam.." lirih Zulfa. "Selama ini kami menyembunyikan kebenarannya darimu.""Jadi ibu sudah lama sakit begini? Kenapa baru kasih tahu aku, mbak?" Teriak Adam sedih."Kami nggak mau merepotkanmu.""Astaga! Tapi ibu itu juga ibuku. Aku berhak tahu." Adam meremas rambutnya dengan frustasi. "Jadi sekarang bagaimana kata dokter?""Ibu harus cuci darah, tapi tekanan darahnya masih rendah. Belum lagi.." Zulfa memberikan

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 33

    Malam ini Shanum menginap di rumah neneknya setelah menghabiskan waktu seharian dengan Adam di luar. Ayah Shanum ini mengajaknya pergi ke taman bermain dan juga tempat lain yang dulu suka sekali mereka singgahi. Tak lupa makan bakso langganan yang menjadi kesukaan Shanum."Kamu senang sekolah di tempat barumu?" Tanya Farida."Senang, nek.""Disana pasti cuma orang-orang kaya yang bisa masuk. Nenek dengar biaya masuknya aja mahal.""Nggak tahu juga, nek." Untung saja Shanum tak perduli dengan hal seperti itu. Masih bisa bersekolah saja dia bersyukur."Nanti bilang sama ibumu, kalau lebaran mampir kesini ya.""Iya, nek."Shanum menjawab sembari bermain dengan Gibran. Anak kecil itu juga sudah masuk usia 4 tahun, tengah aktif-aktifnya."Shanum.. sini dulu."Shanum akhirnya menghentikan aktivitas bermainnya dan mendekat kepada Farida."Kenapa, nek?""Kamu nggak kangen sama nenek? Dari datang tadi kamu cuma main sama Gibran.""Kangen, nek.""Kenapa nggak meluk?"Sekejap Shanum tampak berpi

  • Aku Tak Butuh Nafkah Darimu   Bab 32

    Anggaplah, Rendra saat ini sudah mendapatkan lampu hijau dari Nani. Sekarang tinggal bertanya pada ibunya sendiri. Takutnya perbedaan status ini membuat Suryani tak menyetujui hubungannya dengan Harum."Jadi kamu mau kepikiran untuk nikah? Mama nggak salah dengar, kan?" Suryani memastikan."Ya. Tapi wanita yang kusuka.. mungkin nggak sesuai ekspektasi mama.""Maksudmu? Dia bukan istri orang, kan?""Bukanlah, ma." Rendra tertawa pelan. "Tapi pernah jadi istri orang.""Janda maksudmu?"Mendengar intonasi suara Suryani, Rendra tiba-tiba jadi keringat dingin."Harum?""Eh!" Rendra terlonjak kaget. "Main nyebutin nama aja.. padahal aku belum kasih inisial ini loh.""Ya siapa lagi wanita yang buat kamu nggak bisa move on? Memang kamu pikir mama nggak curiga saat pertama kamu datang ke mama minta pekerjaan buat Harum? Terus kamu bilang minta mama untuk ajarin Harum jadi wanita mandiri?""Tapi saat itu aku belum ada rasa, ma. Koreksi. Harum masih jadi istri orang lain. Jadi aku nggak mau berh

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status