Adam baru saja memantik nikotinnya di teras depan. Lalu datanglah tamu yang tak terduga di siang hari ini. Siapa lagi kalau bukan Zulfa dan anaknya, Gibran.
"Mbak Zulfa... Gibran!" Sapa Adam. Dia jadi senang kedatangan kakak sulung serta keponakan lucunya. Gibran menghambur dalam pelukan Omnya ini. "Kamu nggak kerja?" Tanya Zulfa heran karena Adam masih memakai seragam pegawai. "Istirahat makan siang. Mbak sudah makan? Masuklah dulu." Ajak Adam. Dia lalu mematikan api rokoknya dan menggandeng tangan mungil Gibran yang berusia 2 tahun. Sesampainya di dalam rumah, Farida bukan main senangnya menerima kedatangan anak dan cucunya. "Aku nggak mau pulang kesana lagi, bu." Farida dan Adam terkejut akan ucapan Zulfa. "Kenapa? Kamu ribut sama suamimu?" Tanya Farida. Zulfa mengangguk. "Setiap hari kami ribut.. aku capek, bu." "Ribut soal apa?" Giliran Adam yang bertanya. "Mbak capek setiap hari harus mengasuh ibunya yang lumpuh itu. Mana pekerjaan rumah juga mbak yang ngerjain. Terus gaji malah dipegang sama ibunya. Capek! Makan hati!" "Sudah tahu lumpuh malah megang gaji anaknya. Gimana ini? Nggak sadar apa suamimu itu kalau dia punya tanggung jawab sebagai seorang suami?" Dumal Farida jadi emosi. Adam berdeham. Dia jadi merasa tersinggung. Masalahnya dia juga sama seperti kakak iparnya. Memberikan gaji seluruhnya kepada ibu kandungnya. "Kalau kamu kan beda, nak." Nah, Farida jadi salah ucap. Takut kemakan omongannya sendiri. Adam tak bergeming. "Mas Handi tahu mbak kesini?" Zulfa menggeleng. "Biarin aja. Biar dia nyari!" "Jangan begitu, mbak. Izin suami dulu." "Benar itu!" Farida menimpali. Zulfa mendengkus. "Udah, ah. Laper. Mau makan." "Ya sudah makanlah. Ibu tadi masak." Zulfa berjalan ke meja makan dan mencium bau harum dari dapur. "Masak apa, Rum?" Harum menoleh. "Mbak Zulfa? Kapan kemari?" Sungguh dia tak tahu ada iparnya datang. "Baru aja.. kamu masak apa?" "Ini telur dadar buat Shanum. Mbak sudah makan?" "Belum." Zulfa lalu membuka tudung saji dan mengernyit. "Ikan asin, bu?" "Ya.. kesukaanmu. Makanlah." "Terus Gibran makan apa?" Mana mungkin anak umur dua tahun ini diberi makan ikan asin cabe hijau. "Mau aku gorengin telur dadar, mbak?" Tawar Harum yang mengerti isi hati Zulfa. Zulfa menggeleng. "Tiap hari dia makan telur. Bisa-bisa bisulan nanti. Beliin ayam goreng aja, bu." Zulfa beralih menatap ibunya. Farida yang merasa disuruh lalu beralih pada Adam yang tengah bermain dengan Gibran. "Anakmu mau makan ayam goreng, dam!" "Bukannya Harum udah gorengin telur?" "Bukan Shanum. Tapi Gibran. Kasihan dia makan telur tiap hari." Ucap Farida. Adam mengeluarkan dompet dan dua lembar uang sepuluh ribu. "Ini belilah. Aku mau balik kerja." Bukan Farida melainkan Zulfa yang menerima uang tersebut dan membelanjakannya. Sementara Harum memperhatikan dari jauh saja. Padahal tadi Shanum sampai meronta-ronta depan ayahnya untuk dibelikan ayam goreng. Tapi, Adam malah marah. Namun sekarang.. dia malah royal pada keponakannya sendiri. Sengaja Harum membawa anaknya makan di kamar. Kalau sampai Shanum melihat ayam goreng yang bukan untuknya pasti Shanum menangis lagi. Hari berganti malam. Handi datang ke rumah dan ingin memboyong istri serta anaknya pulang ke rumah. Sayang sekali, Zulfa menolak. Apalagi ada Farida yang mendukungnya. "Biarkanlah Zulfa disini dulu. Kasihan dia kecapekan." Ucap Farida. "Maafkan saya, bu.." Handi tertunduk. Dia tahu penderitaan istrinya di rumah. Lelah fisik ditambah lelah mental karena tekanan dari mertuanya membuatnya muak. "Makanya kamu cari perawat aja untuk mengasuh ibumu. Kasihan Zulfa. Mengurus satu anak saja dia kerepotan." "Iya, bu." Handi meneguk ludah. Setelah berbincang sebentar, Handi memutuskan untuk pulang. Keputusannya, biarlah Zulfa dan Gibran menginap dulu di rumah Farida sampai tenang. Shanum juga jadi senang karena kedatangan sepupunya yang bertubuh gempal itu. Itu sebab dia punya teman bermain. "Jadi, mbak Zulfa tinggal disini?" Tanya Harum malam itu. Ketika tinggal mereka berdua saja di kamar "Iya. Biarkanlah dulu sampai tenang." Jawab Adam. "Memangnya ada masalah apa, mas?" Tanya Harum tak tahu. Tadi dia tengah repot di dapur saat iparnya datang. "Biasalah, ribut rumah tangga." Adam enggan menjelaskan. Harum juga tak mau lagi bertanya. Dari nada suara suaminya, sepertinya Adam tak mau membahasnya. "Kemarilah. Mumpung Shanum lagi di luar." Adam melebarkan tangannya. Harum tersenyum. Betul. Mumpung Shanum tengah bermain. Dia punya kesempatan bermesraan dengan suaminya. Baru saja masuk kepelukan suaminya. Adam sudah memprotes. "Rambut kamu bau banget, sayang." Harum terkejut. Dia jadi tak enak hati. "Ketombean, mas." "Kok bisa?" "Salah shampoo." Dahi Adam mengernyit. Padahal dulu rambut istrinya hitam begelombang. Kenapa sekarang jadi lepek dan lusuh. Eh, bau juga. "Itu sih rambut kamu aja yang sensitif." Harum menghela nafas. Dia beringsut bangun. "Kenapa jadi merajuk?" "Nggak." Kilah Harum. "Walau bau tapi masih tetap cantik, kok." Adam terkekeh kecil. Bukannya senang, Harum malah jadi menciut. "Mas.. aku mau beli skincare." Kedua mata itu kembali bertemu. Apalagi Harum menatapnya dengan penuh pengharapan. "Kamu nggak minta sama ibu tadi?" "Nggak enak, mas. Aku minta sama kamu aja." "Nanti, ya. Kalau ada rezeki lain." "Mas selalu ngomong begitu." Harum memprotes. Setiap dia meminta uang, selalu aja ada alasannya. "Ya sudah jangan marah! Kamu layani aja aku dulu." "Terus?" "Nanti aku kasih uang buat beli skincare." Harum tersenyum senang mendengarnya. Dia lalu masik kembali ke pelukan suaminya. Mudah-mudahan setelah membuat hati suaminya senang, dia bisa membeli skincare. Untung-untung dikasih lebih, bisa buat beli shampoo juga, kan? "Cuma tiga puluh ribu, mas?" Harum bertanya saat suaminya memberikan uang padanya sesaat sebelum pergi kerja. "Iya. Harga skincare kamu segitu, kan?" Adam menyelidik. "Lebihin dikit boleh nggak, mas?" "Buat apa, Rum? Udahlah.. aku aja rela sampai nggak beli rokoklah hari ini buat ngasih kamu." Harum hanya bisa menggigit bibir. Dengan uang ini, dia hanya bisa membeli pelembab yang dijual di warung saja. Padahal sebagai wanita, ia juga ingin membeli perangkat rias yang lain. Tidak mau memprotes. Harum menerima ikhlas saja rezeki suaminya ini sembari berdo'a semoga rezeki Adam selalu dilancarkan. Tak ada menu ikan asin hari ini karena Zulfa menginginkan yang lain. Padahal baru dua hari yang lalu, Farida pergi ke pasar. Hari ini Farida dan Zulfa bersama-sama pergi ke pasar lagi. Anak sulungnya ingin makan daging. Sebagai ibu yang penyayang, Farida mengabulkan. Toh, makan daging juga belum tentu sebulan sekali. "Rendang?" Tanya Adam ketika ia pulang untuk makan siang dan melihat lauk yang tersaji di atas meja. "Udah lama nggak makan rendang, kan? Lagian ada mbakmu disini." Jawab Farida senang. Adam ikut menikmati saja apa yang dimasak ibunya. "Kenapa nggak bawa bekal aja sih, dam? Dari pada pulang terus untuk makan siang.. kan sayang bensin motormu." Ucap Zulfa di sela makannya. "Ibu mana sempet masak pagi-pagi, mbak." "Ya suruh aja Harum. Dia kan istrimu. Dia yang harusnya masak untukmu." "Mana mau dia masakan istrinya.. kalau disini dia cuma makan masakan ibu." Setelah itu Farida melipat bibir. Apalagi setelah melihat Adam melotot kepadanya. Sementara Harum yang mendengar itu hanya terdiam."Kamu jangan seperti itu, Zulfa. Bagaimanapun, Gibran itu anakku!" Handi berkata tegas. Zulfa menggeleng. "Bukannya sudah aku bilang kalau aku mau bercerai?"Astaga! Farida sampai menoleh kanan-kiri. Pas sekali ini jam besuk pasien. Pertengkaran ini menjadi tontonan gratis pengunjung rumah sakit."Sudah cukup kalian ini.." Farida berkata lembut. "Handi hanya ingin menjenguk anaknya. "Menafkahi saja nggak pernah. Sok-sok an mau menjenguk!" Ketus Zulfa. "Lagian tau dari mana kamu kalau Gibran dirawat? Sebelum-sebelumnya kamu nggak pernah nanya-nanya soal anakmu!" "Adam yang ngasih tahu aku tadi." Jawab Handi. Yang disebut namanya langsung membuang muka."Kamu!" Hardik Zulfa pada Adam."Terserah kalau kalian mau bertengkar. Tapi, ingat! Ini rumah sakit. Nggak malu dari tadi dilihat orang." Ucap Adam jengah. Niatnya baik ingin mempertemukan ayah dan anak, eh malah ujungnya jadi ribut.Gibran yang tertidur sontak menangis terkejut atas keributan ini. Zulfa pun langsung memeluk anaknya
Tepat pukul 8 pagi, Adam dan Farida tiba di rumah. Pintu depan beberapa kali diketuk dan tak terdengar sahutan dari dalam. Akhirnya, Farida sadar jika rumah sedang kosong. Kunci pintu berada di pot bunga gantung tempat biasanya mereka memang menaruh kunci ketika bepergian."Istrimu kemana?" Farida penasaran karena tumben sekali menantunya ini tidak di rumah. Adam pun bingung. Istrinya tak pernah pergi tanpa izin. Ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi Harum. Namun, Nihil jawaban. Bukan dia tak tahu kalau Harum menelponnya semalaman, tapi dia sengaja tak mengangkatnya.Kepala Adam begitu sakit dan dia ketiduran. Paginya, dia sudah sibuk membeli sarapan untuk Farida dan Zulfa di rumah sakit.Ini saja, Farida harus kembali ke rumah sakit lagi. Mereka kembali hanya untuk menaruh pakaian kotor saja."Abis makan siang aja kita ke rumah sakit lagi." Farida menghela nafas setelah merendam pakaian kotor dari rumah sakit.Adam mengiyakan."Kamu nggak apa izin kerja terus?""Kepotong cuti, bu
Dengan berat hati, Harum tak mengizinkan anaknya untuk mengikuti kegiatan belajar di luar. Termasuk berekreasi ke kebun binatang. Terpaksa Harum memberi alasan kalau mereka ada acara keluarga. Supaya Shanum tidak terlalu malu.Tapi tetap saja Shanum memprotes."Kamu kan masih batuk, sayang.." Harum membujuk. "Kalau misalkan nanti batuknya tambah parah gimana?"Sebenarnya sebelum Gibran jatuh sakit. Shanum sudah batuk terlebih dahulu, akan tetapi tak separah sepupunya.Shanum hanya bisa cemberut."Maaf, ya.. ibu janji suatu saat nanti ibu akan ajak kamu jalan-jalan." Harum mengeluarkan jari kelingkingnya."Janji ya, bu?" Shanum mengaitkan jarinya pada ibunya. Sedih pasti. Tapi mau bagaimana lagi.Melihat anaknya yang selalu legowo menerima keputusan orang tuanya membuat Harum menjadi sedih. Di usianya sekecil ini, Shanum selalu dituntut untuk mengerti kondisi orang tuanya. Namun, Harum berjanji. Jika ia punya uang nanti. Dia akan membuat Shanum bahagia.Tapi, bagaimana caranya? Sedangk
Kendali keuangan dipegang lagi oleh Farida sebagai yang tertua. Selama itu juga, Harum bisa melihat Zulfa dan ibunya yang senang sekali ke pasar untuk berbelanja. Padahal, kebutuhan dirasa cukup kemarin dibeli oleh Harum.Harum hanya bisa berpikiran positif. Mungkin ada keperluan yang lain di luar sana. Yang pasti, dia patut bersyukur karena uang saku untuk anaknya sudah ia sisihkan. Begitu juga uang untuk membeli skincare. Harum juga masih ingat untuk memberikan uangnya untuk tante Sri yang katanya tengah kesulitan ekonomi. Sesuai janjinya pada Mulya.Namun ada satu pengeluaran yang tak terduga. Ya, sumbangan sekolah sebelum siswa melalukan ujian akhir. Harum terpaksa harus meminta lagi kepada suaminya."Akal-akalan gurunya aja itu. Nggak usah kasih." Sanggah Adam. Dia tak percaya. Masalahnya, Shanum ini bersekolah di sekolah negeri.Sebab tak diberi uang, terpaksa Harum mengeluarkan uang yang ia tabung untuk keperluan Shanum kegiatan b
Sudah satu bulan tinggal bersama. Harum semakin tidak nyaman saja dibuatnya. Apalagi mertuanya ini malah condong untuk selalu mengikuti kemauan dari anak sulung serta cucu laki-lakinya.Bukannya Harum tak tahu kalau ada sosis dan nugget di dalam freezer. Tapi dia enggan untuk menyentuh walau anaknya ini terus mendesak."Ayolah buu.. mau makan sosis goreng." Pinta Shanum memelas."Itu punya Gibran, sayang." "Minta sedikit aja.." Mau tak mau Harum jadi meminta izin pada Zulfa untuk membagi sosis milik Gibran untuk anaknya."Ambil aja nggak papa. Itu ibu yang beli kok."Bahu Harum merosot. Dia pikir Zulfa yang membeli. Rupanya, malah mertuanya. Itu artinya, yang dipakai adalah uang suaminya. Kalau begitu Harum tak sungkan lagi.Baru saja mau nikmat makan sosis, Farida sudah menegur."Jangan banyak-banyak. Itu punya Gibran. Kasian dia lagi susah makan.""Iya, bu
Sudah dua minggu Zulfa dan anaknya tinggal dirumah ini. Selama itu juga stok bahan makanan terkuras.Contohnya ini, beras yang biasanya cukup satu karung untuk satu bulan malah habis dalam dua minggu. Minta pada Adam, lelaki ini malah mendumel."Nggak mungkin juga ibu minta sama mbakmu, nak!" Sanggah Farida."Aku nggak bermaksud perhitungan, bu. Tapi gimana ya? Ini masih tengah bulan. Masih lama gajian. Gajiku semuanya kan sdh ku kasih ke ibu.""Ya sudah, kalau gitu kita nggak usah makan aja semua." Farida jadi merajuk."Bukan begitu maksudnya, bu." Adam jadi tak enak hati. Takut Farida tersinggung."Harusnya kamu jangan hitung-hitungan gitu dong sama mbakmu. Inget nggak atas jasa siapa kamu bisa kuliah kalau bukan karena Zulfa? Dia sampai mengalah demi kamu. Dia ikut nyari uang untuk biayain kamu kuliah." Kalau sudah begini, Adam hanya bisa menghela nafas panjang. "Ya sudah. Adam liha