Sudah dua minggu Zulfa dan anaknya tinggal dirumah ini. Selama itu juga stok bahan makanan terkuras.
Contohnya ini, beras yang biasanya cukup satu karung untuk satu bulan malah habis dalam dua minggu. Minta pada Adam, lelaki ini malah mendumel. "Nggak mungkin juga ibu minta sama mbakmu, nak!" Sanggah Farida. "Aku nggak bermaksud perhitungan, bu. Tapi gimana ya? Ini masih tengah bulan. Masih lama gajian. Gajiku semuanya kan sdh ku kasih ke ibu." "Ya sudah, kalau gitu kita nggak usah makan aja semua." Farida jadi merajuk. "Bukan begitu maksudnya, bu." Adam jadi tak enak hati. Takut Farida tersinggung. "Harusnya kamu jangan hitung-hitungan gitu dong sama mbakmu. Inget nggak atas jasa siapa kamu bisa kuliah kalau bukan karena Zulfa? Dia sampai mengalah demi kamu. Dia ikut nyari uang untuk biayain kamu kuliah." Kalau sudah begini, Adam hanya bisa menghela nafas panjang. "Ya sudah. Adam lihat tabungan dulu." Hari mulai larut, Adam belum tidur. Dia masih berkutat di depan komputer pintarnya. Mengerjakan laporan yang akan dikumpul akhir bulan. "Ini teh hangatnya, mas." Memang istri pengertian. Tahu suaminya sedang lembur, Harum menyiapkan teh untuk suaminya. "Makasih.." jawab Adam datar. Melihat gelagat istrinya, Adam tahu jika ada sesuatu yang ingin Harum sampaikan. "Ada apa?" "Nggak ada apa-apa." Harum kikuk. "Duduklah disini." Adam menepuk kursi di sebelahnya. Harum manut dan duduk di sebelah suaminya. "Tolong pijit bahuku. Pegal banget." Titah Adam. Harum kemudian memijit bahu yang terasa tegang itu. Setelah selesai barulah Harum memberanikan diri. "Mas.. tadi ibu nelpon." Kata Harum pelan. "Kenapa?" "Ibu minta uang.." jawab Harum tersendat. Adam menoleh ke arah istrinya. "Tumben. Nggak biasa aja." Yang Adam tahu, mertuanya ini sombong. Tak mau menerima uang kiriman dari anak dan mantunya. Mungkin karena masih kesal melihat Harum yang sehabis kuliah malah menikah, bukan bekerja. "Bukan untuk ibu. Tapi untuk tante Sri." "Kenapa lagi tante Sri?" "Katanya lagi kesulitan ekonomi. Jadi ibu minta kita bantu beliau." Adam menggeleng. "Aneh-aneh aja. Giliran susah baru ke kita. Pas senang malah lupa." Harum menggigit bibir. "Jadi, gimana?" "Bilang aja kita nggak bisa bantu!" "Ibu nggak banyak kok minta. 100 ribu aja katanya." Sambung Harum takut-takut. Adam menatap tajam istrinya. "Itu banyak, Rum. Kita masih banyak keperluan yang lain. Lihat! Belum akhir bulan aja, beras sudah habis. Stok makanan menipis. Pusing aku! Tadi ibu udah minta uang lagi ke aku." Harum terunduk mendengar ucapan suaminya. Matanya mulai memerah. "Bilang aja ini akhir bulan. Mas belum gajian!" "I-iya, mas." Jawab Harum tersendat. "Satu lagi, mas.." mumpung Harum ingat. "Apa lagi?" "Dapet info dari gurunya Shanum. Nanti akhir semester para siswa disuruh ikut kegiatan luar." "Kegiatan apa?" Tanya Adam menyelidik. "Seperti study bersama alam. Mungkin ke kebun binatang atau ke cagar budaya." "Jadi.. butuh uang?" Harum mengangguk. "Ada-ada aja. Dulu kita sekolah nggak ada tuh begitu. Dasar akal-akalan gurunya aja itu. Udahlah nanti aja mikirinnya. Masih dua bulan lagi juga, kan? Lihat aja dulu. Kalau nggak penting. Nggak usah ikut." Harum lagi-lagi mengiyakan. Yang dikatakan Adam memang benar. Jika memang tidak terlalu penting, sebaiknya Shanum tidak ikut. Tapi yang jadi masalah, bagaimana ini menjelaskan ke ibunya kalau Harum tak bisa ikut membantu tante Sri yang sedang kesusahan? Duh lah, Harum jadi bingung. Besoknya, sebelum berangkat. Adam memberikan selembar uang seratus ribu untuk Farida membeli beras. Untuk kebutuhan yang lain nanti saja. Adam cari duit dulu. Sementara itu, Zulfa dan Gibran ikut Adam keluar. Sekalian Adam kerja, Zulfa ingin pulang sebentar ke rumah mertuanya. Ada barang yang ingin diambil. Sore menjelang, barulah Zulfa dan Gibran dijemput lagi oleh Adam. Walau adik Zulfa ini harus menggerutu karena sepertinya Zulfa malah tak mau berbaikan dengan suaminya. "Gibran ada es krim!" Baru saja sampai, bocah dua tahun ini malah pamer makan es krim di depan Shanum. Sontak Shanum langsung memandang ayahnya. "Es krim untuk Shanum mana?" Tanya Shanum polos. "Nggak ada." Jawab Gibran. "Ayah cuma beliin untuk Gibran." "Ayah!" Panggil Shanum ketika Adam malah melarikan diri ke kamar. "Es krim untuk Shanum mana?" Rengeknya mengejar Adam yang disusul oleh Harum. "Apa sih, nak?" Adam menghela nafas. "Gibran dibeliin es krim. Shanum nggak!" Shanum hampir menangis. Dia lalu melirik ke ibunya seakan mengadu. Akhirnya Harum menatap suaminya. Adam jadi merasa tak enak. "Tadi Gibran merengek di jalan minta dibelikan es krim. Kalau nggak dibelikan dia nangis. Jadi terpaksa mas beliin." Jelas Adam. Harum mengangguk mengerti dan mengambil alih situasi. Dia merangkul bahu putrinya. "Kamu kan lagi batuk, sayang.. kalau makan es krim nanti tambah sakit." Adam bisa bernafas lega setelah istrinya berhasil menenangkan Shanum. Walau ia tak tahu kalau hati istrinya saat ini tengah bergemuruh. Harum baru saja disindir habis-habisan oleh ibu kandungnya sendiri. "Masa 100 ribu aja kamu nggak punya!" Gerutu Mulya, ibu Harum di ujung telpon. "Bukan begitu, bu. Harum kan nggak kerja. Jadi apa-apa harus izin suami dulu. Apalagi ini baru pertengahan bulan. Insya Allah kalau Harum ada rezeki, Harum pasti ngasih tante Sri." Harum jadi tak enak hati. "Bukannya ibu nggak tahu kalau suamimu itu begitu pelit. Apalagi kalian udah tinggal disana sama mertuamu itu. Makanya, Harum! Habis kuliah itu kerja dulu. Ini malah maksa mau nikah." Tak mau memperpanjang persoalan yang melebar kemana-mana. Harum segera memutus sambungan ponselnya. Malang sekali nasibnya, setelah menikah ia malah merasa hubungan dengan orang tuanya semakin berjarak. Mungkin sebab orang tua Harum yang memang tak merestui hubungan Harum dan Adam."Kamu jangan seperti itu, Zulfa. Bagaimanapun, Gibran itu anakku!" Handi berkata tegas. Zulfa menggeleng. "Bukannya sudah aku bilang kalau aku mau bercerai?"Astaga! Farida sampai menoleh kanan-kiri. Pas sekali ini jam besuk pasien. Pertengkaran ini menjadi tontonan gratis pengunjung rumah sakit."Sudah cukup kalian ini.." Farida berkata lembut. "Handi hanya ingin menjenguk anaknya. "Menafkahi saja nggak pernah. Sok-sok an mau menjenguk!" Ketus Zulfa. "Lagian tau dari mana kamu kalau Gibran dirawat? Sebelum-sebelumnya kamu nggak pernah nanya-nanya soal anakmu!" "Adam yang ngasih tahu aku tadi." Jawab Handi. Yang disebut namanya langsung membuang muka."Kamu!" Hardik Zulfa pada Adam."Terserah kalau kalian mau bertengkar. Tapi, ingat! Ini rumah sakit. Nggak malu dari tadi dilihat orang." Ucap Adam jengah. Niatnya baik ingin mempertemukan ayah dan anak, eh malah ujungnya jadi ribut.Gibran yang tertidur sontak menangis terkejut atas keributan ini. Zulfa pun langsung memeluk anaknya
Tepat pukul 8 pagi, Adam dan Farida tiba di rumah. Pintu depan beberapa kali diketuk dan tak terdengar sahutan dari dalam. Akhirnya, Farida sadar jika rumah sedang kosong. Kunci pintu berada di pot bunga gantung tempat biasanya mereka memang menaruh kunci ketika bepergian."Istrimu kemana?" Farida penasaran karena tumben sekali menantunya ini tidak di rumah. Adam pun bingung. Istrinya tak pernah pergi tanpa izin. Ia lalu mengambil ponsel dan menghubungi Harum. Namun, Nihil jawaban. Bukan dia tak tahu kalau Harum menelponnya semalaman, tapi dia sengaja tak mengangkatnya.Kepala Adam begitu sakit dan dia ketiduran. Paginya, dia sudah sibuk membeli sarapan untuk Farida dan Zulfa di rumah sakit.Ini saja, Farida harus kembali ke rumah sakit lagi. Mereka kembali hanya untuk menaruh pakaian kotor saja."Abis makan siang aja kita ke rumah sakit lagi." Farida menghela nafas setelah merendam pakaian kotor dari rumah sakit.Adam mengiyakan."Kamu nggak apa izin kerja terus?""Kepotong cuti, bu
Dengan berat hati, Harum tak mengizinkan anaknya untuk mengikuti kegiatan belajar di luar. Termasuk berekreasi ke kebun binatang. Terpaksa Harum memberi alasan kalau mereka ada acara keluarga. Supaya Shanum tidak terlalu malu.Tapi tetap saja Shanum memprotes."Kamu kan masih batuk, sayang.." Harum membujuk. "Kalau misalkan nanti batuknya tambah parah gimana?"Sebenarnya sebelum Gibran jatuh sakit. Shanum sudah batuk terlebih dahulu, akan tetapi tak separah sepupunya.Shanum hanya bisa cemberut."Maaf, ya.. ibu janji suatu saat nanti ibu akan ajak kamu jalan-jalan." Harum mengeluarkan jari kelingkingnya."Janji ya, bu?" Shanum mengaitkan jarinya pada ibunya. Sedih pasti. Tapi mau bagaimana lagi.Melihat anaknya yang selalu legowo menerima keputusan orang tuanya membuat Harum menjadi sedih. Di usianya sekecil ini, Shanum selalu dituntut untuk mengerti kondisi orang tuanya. Namun, Harum berjanji. Jika ia punya uang nanti. Dia akan membuat Shanum bahagia.Tapi, bagaimana caranya? Sedangk
Kendali keuangan dipegang lagi oleh Farida sebagai yang tertua. Selama itu juga, Harum bisa melihat Zulfa dan ibunya yang senang sekali ke pasar untuk berbelanja. Padahal, kebutuhan dirasa cukup kemarin dibeli oleh Harum.Harum hanya bisa berpikiran positif. Mungkin ada keperluan yang lain di luar sana. Yang pasti, dia patut bersyukur karena uang saku untuk anaknya sudah ia sisihkan. Begitu juga uang untuk membeli skincare. Harum juga masih ingat untuk memberikan uangnya untuk tante Sri yang katanya tengah kesulitan ekonomi. Sesuai janjinya pada Mulya.Namun ada satu pengeluaran yang tak terduga. Ya, sumbangan sekolah sebelum siswa melalukan ujian akhir. Harum terpaksa harus meminta lagi kepada suaminya."Akal-akalan gurunya aja itu. Nggak usah kasih." Sanggah Adam. Dia tak percaya. Masalahnya, Shanum ini bersekolah di sekolah negeri.Sebab tak diberi uang, terpaksa Harum mengeluarkan uang yang ia tabung untuk keperluan Shanum kegiatan b
Sudah satu bulan tinggal bersama. Harum semakin tidak nyaman saja dibuatnya. Apalagi mertuanya ini malah condong untuk selalu mengikuti kemauan dari anak sulung serta cucu laki-lakinya.Bukannya Harum tak tahu kalau ada sosis dan nugget di dalam freezer. Tapi dia enggan untuk menyentuh walau anaknya ini terus mendesak."Ayolah buu.. mau makan sosis goreng." Pinta Shanum memelas."Itu punya Gibran, sayang." "Minta sedikit aja.." Mau tak mau Harum jadi meminta izin pada Zulfa untuk membagi sosis milik Gibran untuk anaknya."Ambil aja nggak papa. Itu ibu yang beli kok."Bahu Harum merosot. Dia pikir Zulfa yang membeli. Rupanya, malah mertuanya. Itu artinya, yang dipakai adalah uang suaminya. Kalau begitu Harum tak sungkan lagi.Baru saja mau nikmat makan sosis, Farida sudah menegur."Jangan banyak-banyak. Itu punya Gibran. Kasian dia lagi susah makan.""Iya, bu
Sudah dua minggu Zulfa dan anaknya tinggal dirumah ini. Selama itu juga stok bahan makanan terkuras.Contohnya ini, beras yang biasanya cukup satu karung untuk satu bulan malah habis dalam dua minggu. Minta pada Adam, lelaki ini malah mendumel."Nggak mungkin juga ibu minta sama mbakmu, nak!" Sanggah Farida."Aku nggak bermaksud perhitungan, bu. Tapi gimana ya? Ini masih tengah bulan. Masih lama gajian. Gajiku semuanya kan sdh ku kasih ke ibu.""Ya sudah, kalau gitu kita nggak usah makan aja semua." Farida jadi merajuk."Bukan begitu maksudnya, bu." Adam jadi tak enak hati. Takut Farida tersinggung."Harusnya kamu jangan hitung-hitungan gitu dong sama mbakmu. Inget nggak atas jasa siapa kamu bisa kuliah kalau bukan karena Zulfa? Dia sampai mengalah demi kamu. Dia ikut nyari uang untuk biayain kamu kuliah." Kalau sudah begini, Adam hanya bisa menghela nafas panjang. "Ya sudah. Adam liha