Share

Bab 7. Resmi bercerai

Judul: Aku tak mau bercerai.

Part: 7.

Tak terasa waktu cepat berlalu, hari ini adalah keputusan akhir dari sidang perceraianku dengan Mas Farhan.

Aku sah menjanda. Air mataku jatuh begitu saja. Namun, kulihat seulas senyum puas terpancar dari wajah Mas Farhan dan juga Lia. Mereka tertawa di atas lukaku.

"Tik, Minggu depan datang, ya! Resepsi pernikahan kami akan segera dilaksanakan," ujar mantan suamiku itu saat kami berpapasan hendak beranjak dari pengadilan.

Aku bergeming. Tak mau aku terpancing dengan kata-katanya yang sengaja ingin memanasi hatiku. 

Tit! Tit! 

Suara klakson mobil tiba-tiba mengalihkan perhatianku. 

"Tik, ayo cepat masuk!" titah Ruben seraya membukakan pintu mobilnya.

Seketika mata Mas Farhan membesar. Aku pun melengos mendahuluinya dan segera menuruti perintah Ruben. 

"Terima kasih," ucapku dengan sengaja mengukir senyum.

Dari balik kaca mobil, aku masih bisa menyaksikan mantan suamiku terpaku menatap ke arah kami. 

Aku bersumpah akan membuatnya menyesal, karena sudah menjandakan aku demi seorang wanita sekelas Lia.

"Move on, dong!" cibir Ruben yang membuka suara di tengah perjalanan.

"Kamu tahu apa? Hubunganku dengan Mas Farhan bukan sekedar ikatan pacaran. Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya kehilangan dan dicampakkan seperti ini!" hardikku dengan mata yang terasa panas. Aku menahan sebisa mungkin agar aku tak menangis di hadapan lelaki angkuh ini.

"Justru karena kau yang merasakannya, maka kau harus menjadi wanita yang lebih berkualitas! Apa kau pikir dengan menangisi dan meratapi nasibku, mantan suamimu itu akan kembali? Tidak, bukan? Apa bagimu dia masih pantas untuk kau perjuangkan setelah harga dirimu diinjak-injak olehnya?"

Kata-kata Ruben menghantam jantungku. Aku sadar, semua yang diucapkannya memang benar. Aku tak bisa menahan tangisku kali ini. 

"Tidak masalah, Nona gendut! Kau boleh menangis!" desisnya.

"Kenapa kaum lelaki hanya memandang fisik saja? Dulu ketika aku langsung dan cantik, semua mendekatiku."

"Hem, karena wanita jelek tentunya tak enak dipandang mata. Namun, harus saya akui, kalau kau bukan jelek. Kau hanya gendut dan tak merawat dirimu!"

Tumben dia berkata sedikit manis begitu. 

"Turun!" titahnya pula.

Aku ternganga saat mobilnya berhenti di sebuah salon kecantikan yang ternama di kota. 

"Ngapain ke sini?" tanyaku menatap penuh curiga.

"Saya sudah membayar di salon ini untuk perawatanmu. Kamu bebas mau apa saja di sana. Kabari, jika sudah selesai! Saya akan menjemputmu kembali," paparnya.

Aku terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Ruben yang jutek dan terlihat angkuh, ternyata memiliki sisi baik yang tak terduga. Benar yang dikatakan Mirna.

Aku turun dari mobilnya, dan Ruben segera melaju meninggalkanku.

Ah, tunggu dulu! Bagaimana, jika Ruben hanya mengerjai aku? 

Apa buktinya kalau dia sudah membayar salon ini untuk perawatan diriku?

Tidak! Lebih baik aku segera memesan taksi online dan pulang ke rumah. 

"Mbak Tika Pramita, ya?" tanya seorang wanita yang tiba-tiba mendekatiku.

Aku mengangguk kaku. "I--iya."

"Ayo masuk, Mbak! Pak Ruben meminta kami semua yang ada di sini melayani Mbak Tika dengan baik."

Aku akhirnya tersenyum sumringah. Otakku terlalu payah dalam berprasangka tentang Ruben. 

"Ba--baik. Terima kasih, banyak."

Aku langsung mengekor di belakang pegawai salon kecantikan tersebut.

_

_

Kurang lebih tiga jam aku menghabiskan waktu di sini. Kini, wajahku terlihat bersih dalam sekejap saja. Tidak ada lagi Tika si wajah kusam. Hanya tubuhku yang masih gendut. 

Aku akan lebih serius lagi dalam melakukan proses diet.

"Oya, Mbak ... seminggu sekali Mbak Tika diwajibkan datang ke tempat ini."

"Apa? Seminggu sekali?" 

"Iya. Tempat ini adalah milik Nyonya Ani. Beliau yang memberikan perintah ini."

Aku bergeming. Lagi-lagi Tante Ani dibalik semua ini. Pantas saja Ruben begitu baik. Ternyata semua atas perintah Maminya.

Aku semakin merasa bersalah pada beliau.

Tak lama sebuah jemputan kembali datang. Tentu saja itu Ruben. Padahal aku tidak mengabarinya kalau aku sudah selesai.

"Buruan, Tik! Saya masih punya kerjaan lain, selain ngurusin kamu," ketusnya.

"Ngapain kamu jemput? Aku bisa pulang sendiri kok."

"Ya sudah! Kalau begitu saya tinggal saja!" Ruben menyalakan mesin mobilnya lagi. 

Aku benar-benar dibuat kesal dengan lelaki satu ini.

"Kalau kamu berani ninggalin aku di sini, aku bakal laporin ke Tante Ani!"

"Oh, sudah pandai mengancam sekarang, ya?"

Aku tertawa lepas mendapat kelemahan Ruben. 

Ah, lega sekali rasanya. Entah kapan terakhir aku bisa tertawa seperti ini. Kehancuran rumah tanggaku seolah membuat runtuh segala warna cerah di hidupku.

_

_

Aku dan Ruben sudah sampai di depan halaman rumah kayu milik orang tuaku. Sangat berbeda dengan rumah mewah yang dihuni Ruben. Namun, aku tetap bersyukur. Setidaknya sekarang Ibu sedikit lebih ramah padaku, karena aku memiliki penghasilan tambahan dari kerjasamaku dengan Ruben.

"Mami besok ke luar negeri menyusul Papi. Jadi, kamu kamu izin ke Mirna buat tidak masuk kerja. Karena saya akan menjemputmu pagi-pagi untuk mengantarkan Mami ke bandara," ujarnya sebelum aku melangkah keluar dari dalam mobil.

"Oke. Nanti aku bakal minta izin sama Mirna."

"Hem, ya sudah turun buruan!" usirnya dengan ketus.

Aku cepat-cepat keluar dari mobil mahal lelaki menyebalkan itu.

Seperdetik berikutnya Ruben langsung melaju dan hilang dari pandanganku.

"Tika, masuk! Ibu mau bicara serius sama kamu!" titah Ibu yang muncul dari ambang pintu.

Aku mengangguk setuju dan segera mengikuti langkahnya.

"Mau bicara soal apa, Bu?" tanyaku.

"Ibu perhatikan kedekatan kamu dengan Ruben itu bukanlah sebatas pekerjaan saja. Apa kamu menjalin hubungan dengannya?"

"Mana mungkin, Bu! Aku dan Ruben bagai langit dan bumi. Kami sama sekali tidak memiliki hubungan lebih."

"Bagus kalau begitu, Kak! Biar Adel yang mendekatinya. Adel tentu jauh lebih pantas berdampingan dengan Mas Ruben. Kakak hanya perlu membukakan jalan bagi kami. Gimana?" sambung Adelia yang turut bergabung di tengah percakapanku dengan Ibu.

Aku menelan ludah getir.  Bagaimana bisa aku mendekatkan Adel dengan Ruben? Sedangkan yang Tante Ani tahu, aku ini adalah kekasih Putranya.

"Kamu dengar itu kan, Tik? Ruben harus bisa jadi milik Adelia! Itu tugas kamu! Ibu tidak mau tahu dan tidak mau mendengar kegagalan darimu!" tegas Ibu.

"Ba--baik, Bu. Aku akan coba dekatkan Adel dengan Ruben, tapi hasil akhirnya aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Karena aku sendiri tak tahu apakah Ruben sudah memiliki pacar atau belum."

"Tak masalah, Kak! Selama Mas Ruben belum menikah, berarti Adel masih memiliki kesempatan."

"Yang sudah menikah saja masih bisa ditikung. Contohnya kan sudah ada di depan mata," tambah Ibu pula.

Aku menarik napas panjang. Kata-kata Ibu kembali mengungkit luka di hatiku. 

Detik berikutnya aku bergegas berlalu ke dalam kamar.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status