Share

Bab 8

Judul: Aku tak mau bercerai.

Part: 8.

***

Pagi sekali jemputan di depan rumahku sudah datang. Dia tentunya si Ruben lelaki paling menyebalkan. 

"Assalamualaikum," sapanya yang terdengar begitu ramah dan sopan. 

Pandai sekali dia memanipulasi sikapnya di hadapan keluargaku.

"Walaikumsalam. Eh, Nak Ruben ... ayo masuk, Nak!" sambut Ibu antusias.

Beliau juga sama dengan Ruben. Mahir berpura-pura manis.

"Terima kasih, Tante."

"Wah, ada tamu pagi-pagi," sambung Adelia yang turut mengejar keluar.

Kini, kami semua berkumpul di ruang tengah. Aku pun sudah siap, karena aku ingat perintah Ruben kemarin. Aku juga sudah meminta izin libur pada Mirna.

"Maaf, jika kehadiran saya sepagi ini sangat mengganggu kalian," ucap Ruben.

"Ah, tidak sama sekali, Nak Ruben! Justru kami senang ada tamu spesial seperti, Nak Ruben."

"Tante baik sekali."

"Hem, tapi ngomong-ngomong Mas Ruben ada keperluan apa, ya? " tanya Adelia pula.

"Saya ada urusan dengan Kakakmu. Sebenarnya buru-buru. Jadi, saya tidak bisa ngobrol lama-lama di sini. Yuk, Tik!" 

Aku mengangguk kaku seraya memaksakan sebuah senyuman. "Se--sekarang?"

"Tahun depan aja!" ketusnya.

Dasar menyebalkan! Dia tadi bisa bicara manis dengan Adelia dan yang lain, tapi tidak denganku.

"Ya sudah, kalau kalian buru-buru, silakan berangkat sekarang! Titip Tika, ya, Nak Ruben!" ujar Ayah.

Sejuk hatiku setiap mendengar kalimat tulus yang keluar dari mulut beliau. Dia adalah cinta pertamaku. Satu-satunya lelaki yang tak pernah menyakiti hatiku.

"Aman, Om. Tenang saja! Tika akan saya jaga selama dia bersama saya. Jangankan tangisnya, tawanya saja, saya tidak akan biarkan jatuh untuk orang lain," papar Ruben.

Mataku terbelalak mendengar omong kosong yang konyol itu.

Adelia dan Ibu juga terlihat begitu kaget. Habislah aku. Setelah ini mereka pasti menanyakan banyak hal padaku.

_

_

Di perjalanan. 

"Lain kali jangan bicara omong kosong di hadapan orang tuaku!" 

"Omong kosong? Bagian mana yang menurutmu omong kosong?" Ruben menatapku sekilas, kemudian kembali fokus menyetir.

"Menjagaku! Apa kamu pikir itu lelucon? Orang tuaku bisa salah mengartikan ucapanmu!"

"Itu bukan urusan saya!"

Dasar egois dan menyebalkan. 

Kurang lebih dua puluh menit berjalan, aku dan Ruben akhirnya sampai di rumah yang bak istana tersebut.

"Ben, langsung aja yuk! Mami udah siap nih," seru Tante Ani yang seketika menyeret dua koper di kiri kanan tangannya.

"Semangat banget, Mi! Kayaknya seneng gitu ninggalin aku sendiri di sini."

"Kamu kan udah dewasa. Lagian ada Tika. Udah, jangan banyak drama!"

Aku tertawa mendengar Tante Ani mengatai Putranya itu.

_

_

Sepanjang perjalanan menuju bandara aku dan Tante Ani berbincang-bincang hangat. Sesekali Ruben ikut menimpali. 

Betapa menyenangkan andai aku memang memiliki mertua sebaik dan setulus beliau.

Ah, tapi tidak mungkin. Aku dan Ruben hanyalah berpura-pura. Lagipula, lelaki itu sama saja dengan Mas Farhan. Menyebalkan dan angkuh.

"Oya, Tik  ... mulai hari ini kamu harus lebih menyayangi dirimu sendiri! Rawat tubuhmu! Jangan sia-siakan kecantikan yang Tuhan anugerahkan itu!"

"Tante benar. Saya akan menyayangi diri saya sendiri. Saya tidak mau diremehkan karena memiliki berat badan berlebih begini."

"Kurangi sedikit saja, maka kamu akan terlihat gemoi. Sekarang wajahmu udah glowing tuh. Pasti Ruben tambah kasmaran. Kamu harus sadar, kalau kamu terlahir begitu unik dan cantik," pujinya.

Aku tersipu malu. Kalimat Tante Ani mengingatkan aku pada masa kuliah dulu. Hampir semua temanku memberikan pujian seperti itu. Namun, setelah menikah dengan Mas Farhan, tepatnya setelah tahun kedua perkawinan, berat badanku naik drastis. Wajahku kusam tak terawat.

_

_

Setelah mengantarkan Tante Ani ke bandara, kini Ruben kembali mengantarkan aku ke rumah.

Eh, tapi bukan arah rumahku. Melainkan arah rumahnya.

"Kenapa ke sini?" tanyaku menyelidik.

Laju mobil belum ia hentikan. Pagar rumahnya yang besar telah dibukakan oleh penjaga di sana. Aku ikut ke garasi. Setelah itu barulah ia mematikan mesin mobilnya.

"Loh, kok malah di parkir di dalam sih? Aku mau pulang ke rumah," ucapku lagi.

"Berisik! Kamu ikut saja!" titahnya.

Aku melangkah dengan kesal mengikuti langkahnya yang masuk ke dalam.

"Bersihkan kamar saya! Kebetulan hari ini si Mbok cuti pulang kampung. Mami juga nggak ada kan? Jadi, kamu gantikan tugasnya sementara. Setelah selesai kamu bisa pulang naik taksi!"

Apa? Lancang sekali dia.

"Heh! Itu tak termasuk dalam perjanjian kita! Jangan ngawur! Aku lebih baik ke butik Mirna. Kamu bersihin saja sendiri! Manja banget jadi orang!" cecarku.

"Saya bisa membayarmu hari ini dengan gajih sebulanmu di sana! Nurut sajalah!"

Aku bergeming. Ruben selalu mengikatku dengan urusan uang. Aku tak mungkin bisa menolaknya, sebab aku memang membutuhkan itu untuk Adelia dan orangtuaku.

Akhirnya aku menepis egoku dan rasa kesalku. 

Aku masuk ke dalam kamar Ruben yang terlihat begitu berantakan. Kamarnya besar dan mewah, tapi barang-barang bertaburan di mana-mana.

Aku memulai dengan merapikan selimutnya. Kemudian gitar, tas kecil, laptop, dan benda lain yang ditaruhnya asal-asalan.

Sekitar lima belas menit aku berada di dalam kamar Ruben, akhirnya semua selesai.

"Udah beres?" tanya Ruben yang muncul di ambang pintu.

Aku terperanjat kaget. "Huh!"

"Hem, boleh juga. Kalau begitu tugas merapikan kamar ini, saya serahkan padamu untuk seterusnya!"

"Apa? Tidak! Enak aja!"

"Tenang, saya akan bayar!"

Lagi-lagi kalimat itu yang membungkamku.

"Ya sudah, sekarang sudah selesai. Aku akan segera pulang!" 

Aku mencoba melewatinya yang berdiri di ambang pintu. Namun, tak disangka Ruben mencekal pergelangan tanganku.

Kini, posisi kami sangat dekat. Matanya menatap lekat ke arah mataku. Ada debaran tak menentu di jantung ini yang mungkin getarannya terdengar oleh telinga Ruben.

Dasar payah! Kenapa aku ditakdirkan begitu lemah.

"Jangan pergi!" pintanya.

Aku menelan ludah yang terasa pahit. "La--lalu?"

"Iya, jangan pergi meninggalkan jaket jelekmu itu!" Ruben menunjuk ke arah meja yang ada di dalam kamarnya.

Dasar menyebalkan. Aku sudah berpikir yang bukan-bukan. 

Aku segera meraih jaket yang tadi memang aku lepas. Setelah itu aku langsung beranjak pergi.

Ah, wajahku pasti merona tadi. Ternyata lelaki menyebalkan itu hanya mengerjai aku.

Tika, sadar diri, dong!

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status