Share

Bab 5

Judul: Aku tak mau bercerai.

Part: 5

***

Aku berangkat ke butik dengan perasaan yang gelisah.

Mirna selalu mengerti suasana hatiku.

"Kenapa lagi, Tik?" tanya Mirna.

"Mas Farhan tadi ke rumah."

"Terus?"

"Dia melihatku semobil dengan Ruben."

"Lalu apa lagi? Farhan cemburu?"

Aku menggeleng.

"Dia hanya mencibir, katanya aku sama saja seperti wanita lainnya. Tak setia."

"Egois sekali dia! Biarkan ajalah, Tik. Mending kamu beneran sama Ruben. Aku sudah cukup mengenalnya sejak Angga sering bertemu denganku dan mengajak Ruben. Ruben baik, Tik. Aku rasa cocok denganmu."

"Ah, kamu ada-ada saja. Ruben sangat tampan dan kaya. Mana mungkin tertarik padaku, dan lagi pula aku juga tidak akan jatuh cinta pada laki-laki lain."

"Kamu terlalu bucin pada Farhan, Tik. Buka matamu! Dia sudah menginjak-nginjak harga dirimu."

Aku bergeming. Mirna memang berkata benar. Namun, hatiku tetap saja mencintai Mas Farhan.

Kenapa?

Ditengah percakapanku dengan Mirna, tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari Ruben.

[Pulang kerja nanti saya jemput. Bersiaplah, dan pilih baju yang pantas di butik Mirna! Biar saya transfer uangnya ke rekening Mirna sekarang.]

Aku menarik napas panjang. Lagi-lagi aku harus pergi dengan Ruben. Rasanya sungguh tak nyaman. Aku takut Mas Farhan melihat aku lagi.

"Tik, Ruben mengirim pesan padaku. Dia sudah transfer nih. Katanya kamu pilih saja baju yang kamu suka. Transferannya ada dua juta," ujar Mirna.

"Apa? Dua juta, Mir?" tanyaku melotot.

Mirna mengangguk dengan antusias.

"Banyak sekali. Kira-kira baju apa yang pantas untukku?"

"Bentar, biar aku yang pilihkan." Mirna berdiri dan mengitari satu persatu baju miliknya.

"Nah, ini Tik! Kamu pasti terlihat cantik memakai dres ini."

"Ya ampun, aku gak cocok pakai baju begituan, Mir."

Mirna memberikan dres yang panjangnya di bawah lutut, berwarna biru muda. 

"Cocok, percaya deh. Ruben pasti terkesima," ucap Mirna dengan langsung membungkus dres tersebut.

"Oya, Tik. Harganya cuma delapan ratus ribu, sisanya aku balikin ke kamu nih."

"Makasih, Mir. Lumayan buat Ibu," ucapku tersenyum senang.

"Simpan aja, Tik. Lagian kan kemarin kamu baru kasih uang ke Ibumu. Nanti pas dia marah-marah minta uang, baru kamu kasih."

Aku berpikir sejenak, sepertinya saran Mirna ada benarnya juga.

Baiklah, Mirna memang yang paling mengerti.

-

-

Jam pulang kerja, aku langsung mengganti pakaianku di butik Mirna.

"Kan cantik. Kamu itu cuma perlu sedikit perawatan. Maka kecantikanmu yang dulu akan kembali terpancar. Farhan pasti menyesal telah meninggalkanmu, Tik."

"Benarkah? Kalau begitu aku akan rajin merawat diri, dan diet. Mas Farhan harus kembali lagi padaku."

"Dih, mending sama Ruben," ujar Mirna.

Aku bergeming. Kutatap penampilanku di depan cermin besar. Ternyata Mirna benar, aku terlihat sedikit lebih menarik menggunakan dres ini.

Wajahku sudah dipoles dengan make up tipis. Sepertinya aku memang harus merawat diri demi mengembalikan hati Mas Farhan.

Ya, aku masih mengharapkannya.

"Hey, Mir! Angga belum menjemputmu?" tanya Ruben yang muncul secara tiba-tiba di depan pintu butik.

"Eh, Ruben. Buat kaget saja. Angga katanya sedikit telat menjemputku. Kalian duluan saja, nanti kami menyusul" papar Mirna.

Jadi Mirna dan Angga akan pergi juga?

Sebenarnya mau ke mana?

Ah, aku bahkan enggan untuk bertanya.

"Tik, ini kamu ...." Ruben menatapku cukup lama.

Aku salah tingkah, mungkinkah Ruben terkesima seperti yang dikatakan Mirna?

Wajahku merona-rona, aku mengangguk dengan senyuman yang sedikit malu-malu.

Detik berikutnya Ruben tertawa terbahak-bahak.

"Ha-ha ... kamu terlihat seperti badut. Nggak cocok pakai begituan."

Apa?

Aku menahan amarahku. Bukan hanya Mas Farhan, tapi Ruben juga menghinaku.

"Hus, ini penampilan terbaik Tika selama berat badannya naik," sambung Mirna.

Ah, Mirna. Dia juga terdengar meledekku.

"Kalau begitu ajak saja wanita cantik dan langsing. Kenapa selalu mengajak aku? Oya, satu lagi. Ambil uang ini, dan baju ini akan aku buka kembali."

Masuk aku ke ruang ganti untuk memakai baju yang semula aku kenakan.

Setelah itu aku kembali keluar.

"Ini, Mir! Pasang saja lagi, dan kembalikan uang Ruben! Aku tak sudi pergi dengannya lagi," ucapku dengan hati yang dilanda emosi.

Mirna dan Ruben tercengang tanpa berkata apa-apa. Aku bergegas pergi dengan naik ojek yang sedang mangkal di depan.

Jika aku berjalan, pasti Mirna akan menyusulku. Jadi sudah aku putuskan untuk naik ojek saja.

"Kang, antar saya ke gang camar!"

"Siap, Mbak."

Aku melaju dengan helm yang sudah terpasang.

"Tik, tunggu!" teriak Mirna.

Aku tak menghiraukannya.

-

-

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar.

Berdiri aku di depan cermin lagi. Tubuh gendut ini, wajah kusam ini, sampai kapan menjadi bahan olok-olokan?

Padahal dulu sewaktu kuliah, aku adalah incaran para laki-laki. Namun, sejak memasuki tahun kedua pernikahan, berat badanku bertambah drastis. Wajahku tak terurus karena Mas Farhan tak memberikan aku uang lebih untuk sekedar membeli skincare. 

Lalu ini salah siapa?

Tetap saja ini salahku. Harusnya aku tidak gendut.

Aku berjanji akan merubah kembali penampilanku seperti dahulu.

"Sayang, bagaimana mungkin dirimu tercipta sesempurna ini," rayu Mas Farhan.

"Ah, Mas jangan suka menggombal. Ini sudah satu tahun kita menikah, masa iya masih mau bicara modus padaku," ucapku malu-malu.

"Mas serius, sayang. Tidak ada wanita lain yang mampu membuat pandangan Mas berpaling dari pesonamu."

Aku dengan refleks melempar ponselku ke kaca cermin, dan kaca itu pecah.

"Tik, ada apa?" teriak Ibu dari luar kamar.

Aku tersadar dari kekesalanku karena terbayang dengan kata-kata manis Mas Farhan di waktu yang silam.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status