Share

Bab 4

Judul: Aku tak mau bercerai.

Part: 4

***

Aku pulang ke rumah dengan perasaan tak menentu. Diperlakukan baik oleh Tante Ani membuat aku bahagia. Akhirnya aku tahu, bagaimana rasanya dapat kasih sayang dari seorang Ibu.

Bahkan mertuaku pun dulu tak begitu baik padaku. Apa lagi setelah aku menjadi gendut. Mama sering menyindirku.

Namun, malam ini aku sangat diistimewakan oleh Tante Ani.

"Ini bayaran untuk kerjasamamu!" Ruben menyodorkan sejumlah uang di dalam mobil.

"Terima kasih, tapi sepertinya ini kebanyakan."

"Tak apa. Ambilah! Ingat, sandiwara ini tentunya belum selesai, sampai saya benar-benar menemukan gadis yang akan mampu merebut hati saya."

Aku bergeming, sebenarnya aku tak suka berada dalam posisi ini. Bagaimana jika Mas Farhan tahu?

Aku masih belum siap bercerai dengannya.

Aku ingin Mas Farhan membatalkan gugatannya.

Aku sangat mencintainya.

-

-

Sampai di rumah. Aku langsung memberikan uang yang aku dapat pada Ibu.

"Wah, ini banyak banget. Kamu dapat dari mana?" tanya Ibu dengan mata yang berbinar.

"Dipinjemin temanku yang tadi itu, Bu."

"Berarti harus dibayar?" tanya Ibu lagi.

"Iya. Dibayar dengan jasa. Aku bekerja untuknya. Setelah pulang dari butik, aku terikat kontrak kerjasama juga pada Ruben."

"Bagus. Kamu memang harus bekerja keras demi mensejahterakan keluarga ini. Sekarang istirahatlah! Besok Ibu akan membuat sarapan yang enak," ucap Ibu yang masih menghitung jumlah uang itu.

Aku tersenyum sambil berlalu. Ada bahagia di hatiku saat melihat Ibu merasa senang dan bersikap manis padaku.

Ya, walaupun hanya dengan uang aku bisa membuat Ibu menyayangiku. 

Mulai detik ini, aku berjanji akan sukses untuk Ibu dan Ayah, untuk Adelia juga.

Sebagian penghasilanku harus bisa aku sisihkan. Agar suatu hari aku juga bisa membuka usaha sendiri, walau kecil-kecilan.

-

-

Pagi ini semua sarapan tersedia di atas meja. Ada nasi goreng, roti bakar dan yang lain.

Entah kapan Ibu belanja hingga bisa tersedia sepagi ini.

"Adel, ini kamu sarapan dulu sayang!" ujar Ibu.

"Wah, makan enak kita, Bu." Adel pun tampak senang.

Aku duduk di sebelah Ayah. Hanya beliau yang terlihat biasa-biasa saja.

"Nak, bagaimana dengan rumah tanggamu? Apakah tak mungkin lagi bisa diperbaiki?" tanya Ayah dengan lembut.

"Tidak tahu, Yah. Aku sebenarnya masih sangat mengharapkan Mas Farhan. Namun, mau gimana lagi. Mas Farhan tak pernah menghubungiku."

"Sudahlah, Tik! Terima saja takdirmu ini," sambung Ibu.

Aku berdehem sambil memejamkan mata beberapa detik. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu.

"Buka dong, Kak!" perintah Adel.

Aku mengangguk dan segera menuju ke depan pintu.

"Tika."

Mataku berbinar-binar ketika mendapati Mas Farhan yang datang. Seketika aku ingin memeluknya. Namun, tersadar kalau aku sudah dijatuhkan talak. Maka haram bagiku menyentuhnya kecuali ada kata sepakat untuk rujuk.

"Mas, ayo masuk dulu!" ajakku.

Mas Farhan menurut, ia melangkah ke dalam dan semua keluargaku tercengang melihatnya.

"Nak Farhan. Duduk di sini, Nak!" ujar Ayah.

Aku menahan gejolak hatiku yang ingin bersorak riang. Rinduku pada Mas Farhan sudah menumpuk walau baru berapa hari berpisah.

"Saya tidak ingin berbasa-basi. Kedatangan saya ke sini untuk mengatakan sesuatu," ucap Mas Farhan.

"Katakanlah, Nak!" Ayah masih menanggapi dengan lembut.

"Kemarin Mas melihatmu, Tik. Dan kamu juga melihat Mas, bukan? Ternyata kamu cukup hebat karena telah bisa menggandeng gebetan baru sebelum sah bercerai dengan Mas," paparnya.

"A--aku ... bu--bukan, Mas. Dia cuma ...."

Ucapanku dipotong oleh Ibu. "Bukannya kamu juga sudah memiliki wanita lain, dan lebih memilihnya? Lalu apa masalahnya jika Tika juga melakukan hal yang serupa?"

Aku melihat tangan Mas Farhan mengepal menahan amarahnya. 

"Beda dong, Bu. Saya laki-laki, bebas untuk memiliki berapa wanita pun. Sedangkan Tika? Wanita yang selalu berkata menjunjung tinggi kesetiaan. Nyatanya tak ada beda."

Air mataku jatuh, rasanya sangat sakit mendengar ucapan Mas Farhan.

"Mas salah faham. Dia bukan siapa-siapa. Aku hanya bekerja untuknya," ujarku mencoba membuat keadaan membaik.

"Terserah! Mas sudah tak ingin peduli. Keputusan berpisah denganmu sepertinya memang tepat. Tunggu saja surat gugatan akan segera sampai ke rumah ini. Permisi."

Tubuhku melemah, jika tak ada Ayah yang menguatkan mungkin aku akan pingsan lagi.

"Sabar, Nak! Farhan bukan yang terbaik untukmu. Ayah juga tidak akan menerimanya lagi dengan melihat langsung sikapnya yang seperti ini terhadapmu."

Aku memeluk Ayah. Sedangkan Adel dan Ibu tak peduli. Mereka asik menghabiskan makanan yang tersedia.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status