Share

Bab 6

Judul: Aku tak mau bercerai.

Part: 6

***

Pagi harinya, aku berangkat ke butik seperti biasa.

Mirna menyambutku dengan wajah tak enak hati. 

"Tik, udah sarapan?" tanya-nya ragu-ragu.

Aku mengangguk sambil meraih sapu. 

"Udah aku sapu tadi, Tik. Kamu duduk saja dulu! Oya, soal kemarin Ruben minta maaf, katanya cuma bercanda."

"Iya, tidak apa-apa."

Aku menanggapi acuh tak acuh. Sebenarnya aku masih kesal, dan aku bersungguh-sungguh ingin merubah penampilanku.

Aku mulai menjalani program diet sehat.

"Nanti aku traktir makan deh, biar kamu nggak marah lagi," ujar Mirna pula.

"Aku tidak marah padamu. Aku cuma kesal, kenapa para laki-laki begitu menyebalkan. Mereka hanya memandang dari fisik saja."

"Kamu salah faham, Tik. Ruben sebenarnya baik, dan berbeda."

"Ah, sudahlah! Aku malas mendengar nama orang itu. Sekarang aku ingin fokus membuat Mas Farhan kembali."

Mirna membuang napas kasar mendengar ucapanku. Tak lama kemudian datang seseorang, dan ternyata ....

"Mas Farhan," lirihku menatapnya dengan berbinar-binar. "Baru saja aku membicarakanmu, Mas."

"Oya?" sambung Lia yang juga muncul dari belakang Mas Farhan.

Aku menelan ludah dengan getir. Wanita sok seksi itu selalu saja bersama Mas Farhan.

"Mas ke sini cuma mau memberikan ini. Mas tahu kau bekerja di tempat ini. Terimalah! Semakin cepat kita berpisah, maka semakin baik. Mas dan Lia sudah tak sabar untuk tinggal serumah," papar Mas Farhan membuat saluran pernafasanku seolah tersumbat.

Oh, sungguh sesak.

Aku meraih amplop yang ia berikan. Tentu saja aku sudah tahu isinya apa. Ini adalah surat panggilan pertama dari pengadilan agama.

Ya, Mas Farhan benar-benar menceraikan aku. 

Baiklah, kita lihat saja nanti, Mas. Aku pastikan dirimu akan menyesal.

"Jangan pingsan ya, Mbak! Harus kuat menerima takdir, makanya punya tubuh dirawat," cibir Lia.

Mas Farhan seolah mengiyakan dengan seulas senyum yang ia suguhkan.

Seperginya mereka, aku tersungkur lemah di lantai. Untung Mirna selalu ada untuk menguatkan.

"Kamu jangan mau diperlakukan seperti ini terus, Tik. Aku mendukungmu untuk bangkit, dan jadi Tika yang dulu," ujar Mirna.

"Iya, Mir. Aku berjanji akan membalas Lia. Mas Farhan pasti aku dapatkan lagi."

"Hem, balas saja! Tapi tak perlu kembali pada laki-laki seperti itu."

Aku terdiam, Mirna menentang keras aku untuk kembali dengan Mas Farhan. Namun, aku mencintainya.

Saat ini rasanya duniaku sudah gelap. Hidupku tak berarti tanpa dirinya. Ingin aku berteriak melampiaskan kekecewaan atas kenyataan ini.

Suami yang sangat aku sayangi, menceraikan aku dan memilih wanita lain.

Ini sungguh kejam, bukan?

-

-

Pulang dari butik, aku sengaja berjalan kaki. Tak ingin diantarkan Mirna. 

Aku juga tak langsung pulang ke rumah. Aku mengitari taman, sambil berlari kecil untuk berolahraga.

Perutku terasa perih, menahan lapar sungguh membuat aku tersiksa. Sedari pagi aku hanya makan buah dan sayur saja. 

Pokoknya aku tidak boleh gagal untuk menurunkan berat badan.

Dua kali putaran sudah aku mengitari taman. Untuk putaran yang ketiga sepertinya aku tak akan sanggup.

Nafasku sudah terengah-engah. Sejenak aku beristirahat, duduk di kursi kayu yang ada di taman ini.

Siapa sangka laki-laki menyebalkan itu juga ada di sini.

Aku memalingkan wajah, dan berdiri. Maksud hati ingin segera pergi, tapi ....

"Tika, tunggu!" teriak Ruben.

Ah, mau apa lagi dia? Semua kontaknya sudah aku blokir, bahkan aku tak mau berhubungan lagi dengannya. 

"Hey, tunggu! Jangan egois kamu!" 

Sontak aku menoleh ke arahnya dan ia mendekat.

Belum sempat aku bicara, ia terlebih dulu menghardikku! "Tik, kamu tidak lupa kan dengan perjanjian kita? Kamu kira kamu penting, hingga membuat saya harus mencari-cari kamu!"

Mataku membesar, amarahku semakin menumpuk. Ingin rasanya aku menampar laki-laki di hadapanku ini, tapi mana mungkin aku berani.

"Janji apa? Aku tidak memintamu untuk mencariku, justru sebaliknya. Jangan pernah munculkan diri di hadapanku lagi!" bentakku.

Orang-orang yang berada di sekitar taman menatap ke arah kami.

"Mbak, sebaiknya selesaikan urusan percintaan kalian di tempat yang lebih pantas. Di sini terlalu ramai, tidak dewasa jika kalian harus ribut di sini," ujar salah seorang wanita yang usianya kutafsir lebih tua dariku.

Apa? Masalah percintaan?

Ruben dengan sigap menarik tanganku, padahal aku ingin menjelaskan kalau aku dan Ruben bukan sepasang kekasih.

"Ayo masuk mobil" perintah Ruben dengan mencengkram keras pergelangan tanganku.

Sampai di dalam mobil.

"Apa-apaan sih? Aku tidak mau ikut kamu! Kita sudah tak ada urusan!" hardikku.

Ruben tak merespon ucapanku. Ia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

"Kamu tuli? Atau kamu sudah tak waras? Hentikan laju mobilmu ini! Aku ingin pulang!"

Ruben tetap tak merespon. Aku semakin kesal, hingga aku tak berhenti bicara. Namun, akhirnya kami sampai di sebuah rumah mewah.

Rumah ini aku pernah mendatanginya.

Ya, tentu saja. Karena ini adalah rumah orang tua Ruben.

"Turun! Mami ingin bertemu denganmu," ujar Ruben dengan raut wajah datar.

"Ta--tapi ...."

"Turun, atau mau saya gendong ke dalam?"

Ah, dasar menyebalkan. 

Akhirnya aku turun dari mobil dengan terpaksa. Masa iya aku bertemu keluarga orang kaya dengan penampilan kucel begini. 

Mana tubuhku terasa lengket dengan keringat karena olahraga tadi. 

"Mi, ini dia tersangkanya," ucap Ruben.

Mataku membesar dikatakan 'tersangka'

Apa salahku?

"Ha-ha, kamu Ben. Lihat tu wajah Tika langsung berubah tegang," papar Tante Ani.

"Biarin, Mi. Dia memang sensitif banget. Orang becanda sering dianggap serius," sahut Ruben.

Aku memaksakan senyuman walau aku yakin, ekspresiku tetap tegang.

"Tidak apa-apa. Kamu baru pulang kerja, Nak?" tanya Tante Ani dengan lembut.

"Iya, Tante. Sepetinya saya sedikit bau," ucapku gelisah.

"Kalau begitu kamu mandi dulu! Nanti Tante pinjemin baju. Tante ada baju yang kebesaran di badan, Tante. Kalau kamu yang pakai pasti pas."

Ah, aku tak bisa menolak. Karena memang keringat ini membuat aku tak percaya diri. Namun, ucapan Tante Ani membuat aku semakin sadar diri. 

Berat badanku harus segera diturunkan. Kalau tidak, maka aku akan terus dikatakan gendut. 

-

-

Selesai mandi, aku memakai baju yang disediakan Tante Ani.

Bajunya benar-benar besar. Walau di badanku tetap terasa ketat.

"Sayang, jangan tersinggung, ya! Tante punya skincare lebih. Tante memang sengaja memesan dua paket. Yang satu tentunya untuk Tante, satu lagi untukmu. Kamu pada dasarnya sudah cantik, hanya saja sebagai perempuan kita harus tetap merawat wajah serta tubuh kita. Ini kamu terima, ya."

Tante Ani memberikan sepaket skincare yang ketika aku lihat membuat aku langsung terkejut.

Skincare ini pernah menjadi incaranku, walau tak bisa aku membelinya, karena harganya yang sangat fantastis.

Mataku berbinar-binar, tanganku gemetar menerimanya.

"Terima kasih, Tante. Saya tidak tahu harus dengan apa membalas kebaikan Tante," ucapku tulus.

"Sama-sama sayang. Tante hanya ingin Ruben mendapatkan pasangan yang pas. Dan Tante menyukaimu. Tetaplah bersamanya sampai ke pelaminan. Anak Tante memang suka bertingkah yang membuat kesal, tapi percayalah, Ruben baik dan tidak pernah kasar pada wanita. Kenapa Tante bilang begitu? Karena selama ini Ruben tak pernah menjawab Tante dengan nada bicara yang tinggi," papar Tante Ani.

Aku bergeming. Ada rasa bersalah karena telah membohonginya. Sandiwara ini pasti mengecewakan Tante Ani suatu hari nanti.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status