Karena masih mengambil cuti, Kieran berniat untuk mengajak Ayyara honeymoon seperti yang dilakukan pasangan pengantin baru pada umumnya. Dia sudah berencana memesan tempat penginapan. Namun Kieran bingung, bagaimana cara mengatakan semua ini pada Ayyara?
Sejak tadi, dia terus berjalan bolak-balik di depan kamarnya. Ingin masuk dan menemui Ayyara, tapi Kieran belum menemukan kalimat yang pas untuk mengatakan semua itu.
Namun tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ayyara yang sejak tadi di dalam kamar, kini keluar dengan pakaian yang sudah rapih. Membuat Kieran menatapnya dengan sorot bingung.
"Ayyara, pagi-pagi seperti ini mau kemana?"
"Aku mau ke tempat kerja. Ya, walaupun cutiku masih ada tiga hari, tapi aku ingin masuk kerja sekarang saja. Lagi pula, apa yang harus kulakukan jika terus di rumah."
Kieran hanya menghela nahas pelan.
"Kamu masih ingin bekerja?"Ayyara mengernyit, menatap Kieran tak paham.
"Apa maksudmu bertanya seperti itu?"
Kieran diam sesaat. Baru berkata seperti itu saja, Ayyara sudah terlihat marah. Apalagi ketika dia mengatakan maksud ucapannya barusan.
"Apa kamu tidak suka jika aku masih bekerja? Apa kamu ingin memecatku?"
Kieran segera menggeleng, tak membenarkan apa yang Ayyara katakan barusan. Dia kemudian langsung menjelaskan, "aku pikir setelah kita menikah, sebaiknya kamu tidak perlu bekerja lagi. Aku takut, kamu akan kelelahan karena itu. Kamu harus mengurus pekerjaan rumah, dan juga harus bekerja di luar rumah. Pasti itu sangat melelahkan."
Ayyara mengangguk. Setelah dipikir-pikir, apa yang dikatakan Kieran barusan ada benarnya juga. Apalagi saat ini semua kebutuhannya juga telah ditanggung Kieran. Untuk apa Ayyara harus lelah-lelah bekerja? Jika dia ingin uang, pasti Kieran langsung memberinya.
Namun, ada satu hal yang membuat Ayyara berpikir sekali lagi untuk meninggalkan pekerjaannya. Dia pasti sulit bertemu dengan Bagas, jika bukan di tempat kerja, bukan?
"Jadi aku menyarankan, lebih baik kamu tidak perlu bekerja lagi, Ayyara."
Ayyara menggeleng, menolak saran laki-laki itu. "Aku ingin bekerja. Jika kamu melarangku untuk ini, aku akan marah denganmu. Aku tidak mau berbicara lagi denganmu."
"Tidak, bukan aku ingin melarangmu. Ini hanya saranku saja, kamu bisa menurutinya atau tidak, itu terserahmu. Jika kamu masih ingin tetap bekerja, aku juga tidak akan melarang."
Ayyara mengangguk, paham. Sekarang dia tahu, hal yang ditakutkan Kieran adalah saat dirinya marah. Mungkin jika ada suatu permintaanya yang Kieran sulit kabulkan, Ayyara akan berpura-pura marah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Ayyara menahan senyum senang. Dia tak menyangka, walau penuh paksaan, namun ternyata menjadi istri Kieran itu menyenangkan juga.
"Baiklah. Aku ingin tetap bekerja. Itu keputusanku. Dan, aku tidak akan meninggalkan pekerjaanku ini, sampai kapanpun."
Kieran mengangguk, menyetujuinya saja. Dia lebih baik mengikuti apa yang Ayyara mau, daripada dia melarang ini itu, takutnya itu justru membuat Ayyara tak nyaman berada di sisinya.
"Tapi berjanjilah padaku, jika kamu lelah jangan lupa istirahat. Jangan terlalu bekerja berat, aku tidak suka melihatmu lelah."
Ayyara menghela nafas tak peduli. Ayyara sama sekali tidak tersentuh dengan ucapan laki-laki itu. Perempuan itu justru berpikir, jika Kieran pasti sengaja melebihkan perhatiannya pada dirinya, hanya sekedar menarik simpati Ayyara. Padahal kenyataannya, Kieran benar-benar tulus mengkhawatirkan perempuan itu.
"Jika ada sesuatu terjadi padamu, tolong segera kabari aku," pinta Kieran sekali lagi.
Entah kenapa, dia masih tak tega melihat sang istri harus bekerja seperti ini. Padahal tanpa Ayyara bekerja, Kieran yakin uangnya juga lebih dari cukup untuk sekedar memenuhi semua kebutuhan perempuan itu.
"Ayyara, apa kamu ingin berganti jabatan di kantor? Atau kamu ingin beralih bekerja di kantor pusat, agar aku bisa melihat keadaanmu setiap saat."
"Tidak perlu. Aku ingin menjadi karyawan biasa saja seperti sebelumnya. Aku sudah nyaman dengan pekerjaanku ini. Dan, hanya karena aku istrimu, aku mohon jangan perlakukan aku berbeda dengan karyawan lainnya. Aku tidak apa-apa bekerja di kantor cabang, dengan gaji yang tak seberapa. Lagi pula, jika gajiku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keseharianku, aku bisa meminta uang padamu 'kan? Jadi anggap saja, aku bekerja hanya untuk sekedar mengisi waktu. Dan jika setiap hari hanya di rumah saja, pasti aku bosan."
Kieran mengangguk, sekarang dia paham. Dia lalu tersenyum, mengagumi cara berpikir perempuan itu.
"Yasudah, aku berangkat. Jika terus seperti ini, bisa-bisa aku akan terlambat."
Perempuan itu nyaris melangkah pergi, namun Kieran justru menahannya kembali.
"Tapi, kenapa harus hari ini? Kita baru saja menikah, kenapa tidak menikmati waktu libur kita untuk bersenang-senang bersama? Lagi pula, sekarang kamu sudah menjadi istriku. Tidak masalah jika kamu mengambil cuti lama, tidak ada yang akan memarahimu. Jika managermu marah denganmu, segera katakan padaku."
Ayyara paham. Tentu saja, pak Ardi sebagai pemimpin di perusahaan di tempatnya bekerja, sekarang mungkin tak berani lagi memarahinya walau dia hanya sekedar karyawan biasa. Karena saat ini Ayyara telah menjadi istri Kieran, CEO perusahaan Bimantara group. Tapi Ayyara tetap tak akan merubah keputusannya.
"Aku sudah katakan padamu barusan, mas. Tidak ada yang harus aku lakukan sekarang di rumah ini, jadi aku ingin masuk kerja saja. Dan aku minta jangan larang siapapun untuk memarahiku di kantor. Dan, jangan minta pak Ardi untuk memperlakukan aku berbeda dengan karyawan lainnya."
"Tapi Ayy -"
"Kamu tidak ingin aku marah padamu 'kan?"
Kieran menghela nafas, pasrah. Dia kemudian mengangguk, menyetujui apa yang perempuan itu minta barusan. Tapi dia masih tidak rela jika Ayyara akan masuk kerja hari ini.
"Baiklah, jika itu maumu. Aku tidak akan meminta pak Ardi untuk memberi perlakuan khusus padamu. Tapi untuk hari ini bisakah jangan masuk kerja lebih dulu? Aku masih libur, apa kamu tidak mau menemaniku?"
Ayyara menggeleng, dia sudah bulat dengan keputusannya. Ayyara lebih tertarik untuk segera menemui Bagas dari pada harus menemani Kieran di rumah.
"Jika kamu tidak mau di rumah sendiri, maka cari kesibukan lain saja di luar. Aku tidak mau menemanimu."
Tak mau membuang waktunya lagi, Ayyara kemudian berbalik. Dia ingin segera berangkat ke tempat kerjanya. Namun Kieran mencekal tangannya, membuat perempuan itu kembali menunda langkahnya. Ayyara berdecak kesal.
"Ada apa lagi mas?"
Mengetahui Ayyara kembali kesal padanya, Kieran memilih cara aman. Dia tak mau Ayyara sampai marah lagi padanya. Terpaksa dia menyetujui kemauan Ayyara saat ini.
"Baiklah jika kamu ingin bekerja. Tapi, biar aku yang mengantarkanmu berangkat."
Kali ini Ayyara mengizinkan. Membiarkan Kieran mengantarkannya.
Beberapa menit kemudian, mobil putih yang Kieran kemudikan akhirnya sampai di depan sebuah gedung tinggi. Itu adalah perusahaan cabang Bimantara group yang saat ini menjadi tempat Ayyara bekerja.
Kieran menoleh ke samping, istrinya itu sudah bersiap untuk keluar dari mobil.
"Kamu pulang jam berapa?"
Pertanyaan Kieran berhasil menghentikan Ayyara yang nyaris saja membuka pintu mobil itu. Perempuan itu kini menatap Kieran, sambil berpikir.
"Aku tidak tahu, biasanya jam tujuh malam aku pulang. Tapi jika pekerjaan belum selesai, mungkin aku akan pulang terlambat."
"Jika ingin pulang, telepon aku ya. Aku akan menjemputmu."
Ayyara segera menggeleng, tak mengizinkan.
"Aku bisa pulang sendiri. Aku bisa mencari taksi atau memesannya secara online. Jadi, tidak perlu repot-repot untuk menjemputku. Aku mengizinkanmu mengantarkanku saat ini juga karena aku terpaksa."
Kieran berusaha untuk tetap sabar setelah mendengar jawaban sang istri. Dia kemudian mengukir senyum tulus.
"Itu tidak merepotkan. Kamu, istriku. Itu sudah menjadi kewajiban untukku, mengantar dan menjemputmu kemanapun kamu pergi."
Tangan Kieran terulur mengusap pucuk kepala Ayyara dengan lembut. Berharap Ayyara paham bahwa dirinya benar-benar tulus akan melakukan apapun demi membuat Ayyara nyaman.
Namun menerima perlakukan tersebut, Ayyara justru merasa risih. Dia segera menyingkirkan tangan Kieran dari atas kepalanya. Mungkin itu akan terasa romantis jika mereka saling mencintai, namun sayangnya ini justru sebaliknya.
Kali ini Ayyara memilih mengalah, tak menjawab lagi ucapan Kieran. Lagi pula, jika dia tak ingin Kieran menjemputnya, Ayyara tidak perlu menelponnya, bukan?
"Baiklah. Kalau begitu aku keluar dulu."
Sebuah taksi, mendadak berhenti tak begitu jauh dari mobil Kieran. Seorang laki-laki dengan kemeja rapi keluar dari taksi itu. Ayyara yang melihatnya, seketika sorot perempuan itu berubah berbinar senang. Kieran bisa melihat, ada isyarat rindu di mata sang istri. Membuat hati Kieran perlahan kembali perih.
"Bagas."
Pemakaman selesai, seorang perempuan berpakaian serba hitam masih setia duduk di samping makam tersebut. Tangannya tak berhenti mengusap pelan nisan yang bertulis nama Kieran Bimantara.Kini Ayyara tak bisa melihat suaminya lagi, kini Ayyara tak bisa memeluk tubuh Kieran lagi. Terakhir dia melihat Kieran hanya di rumah sakit, setelah dibawa pulang dia tak diijinkan lagi melihat jasad suaminya. Proses pemakaman pun juga terlaksana cukup tertutup, tak ada yang bisa melihat wajah Kieran terakhir kalinya kecuali Raymond dan beberapa orang suruhan Raymond. Entah kenapa, Ayyara juga tak paham. "Ayyara. Ayo kita pulang," bisik Daria yang sejak tadi masih berada di samping sang menantu tersebut. Namun Ayyara menggeleng pelan, menandakan bahwa dirinya tak mau pergi dari sana."Ayyara ingin tetap di sini ma." Mata sembabnya kini menatap gundukan tanah yang masih basah di hadapannya, dia lalu tersenyum sedih. "Dulu, mas Kieran pernah berjanji pada Ayyara.
Di depan sebuah ruang IGD, seorang perempuan terisak. Dia berjongkok sambil memeluk seorang anak laki-laki. Rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Bara yang sejak tadi berada di pelukan sang mama hanya bisa diam, tak peduli bau amis darah begitu menusuk ke penciumannya dan akan ikut mengotori seragam sekolahnya. Dia tak bisa menenangkan tangisan sang mama.Jujur, Bara sendiri juga masih shock melihat papanya tertabrak di hadapannya. Tapi dia tak bisa menangis, dia hanya bisa menahan rasa khawatir di pelukan mamanya. "Papa enggak apa-apa kan ma?"Akhirnya Bara bersuara, namun Ayyara tak sanggup untuk menjawabnya."Ayyara!"Bara menoleh, dari arah kejauhan sepasang suami istri menghampiri keberadaan Ayyara dan Bara. Mereka adalah Raymond dan Daria. Tampak jelas kekhawatiran di raut keduanya. Daria langsung berjongkok di hadapan sang menantu, memegang bahu Ayyara. Menyadarkan Ayyara bahwa mereka sudah datang.
Setelah Bagas dan Viona melangkah pergi, mata Ayyara mulai menggenang. Hatinya benar-benar sakit dan hancur, Bagas tidak seperti dulu lagi. Ayyara telah kehilangan laki-laki yang dia cintai.Dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang tak dia cintai, melahirkan anak dari laki-laki yang dia benci, ibunya kini meninggal, dan sekarang Ayyara benar-benar dilupakan oleh seseorang yang sangat dia sayangi. Sepahit itukah kehidupannya? Kenapa takdir begitu sangat kejam?"Jika tidak ada kebahagiaan dalam hidupku, kenapa aku harus dilahirkan?" Satu tetes air mata akhirnya terjatuh. Ayyara mulai berjalan gontai memasuki mobilnya kembali, dengan air mata yang semakin mengalir deras. Mobil berwarna merah itu mulai melaju kencang, menyusuri jalanan yang ramai. Ayyara seakan tak peduli dengan keselamatannya maupun sekitarnya. Tatapannya kosong, pikirannya kembali mengingat rantai kehidupannya sejak pertama dia menikah dengan Kieran. Dia sudah tak mempunyai kebahagiaan, bahkan tak tau lagi tujuan unt
Kieran yang masih menemani anaknya bermain di ruang tengah, sejak tadi tak bisa tenang setelah tahu istrinya ternyata meninggalkan rumah secara diam-diam. Apalagi berita tentang dirinya dan Ayyara terus saja semakin menyebar. Kieran takut akan terjadi sesuatu pada sang istri di luar sana.Namun tak beberapa lama, terdengar suara pintu utama terbuka. Kieran segera beringsut berdiri tanpa mempedulikan anaknya, dan langsung menghampiri ke arah pintu utama. Melihat Ayyara berjalan gontai sambil menghapus bekas air mata di pipinya yang masih basah, membuat Kieran seketika khawatir. "Apa yang terjadi padamu Ayyara?"Langkah Ayyara terhenti, tepat di samping Kieran. Pertanyaan laki-laki itu justru membuat air matanya mengalir deras, Ayyara mulai terisak.Kieran semakin bingung, istrinya sedikit pun tak mau menjelaskan. Dia ingin memeluk tubuh Ayyara untuk memberi ketenangan, namun tertunda saat Bara datang dan langung menggenggam salah satu ta
Saat ini Bagas tertunduk, merasa frustasi dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dia berada di sebuah kafe, bersama Kieran dan juga Nasya. Bagas sudah menceritakan semuanya apa yang terjadi pada Kieran maupun Nasya. Karena Bagas tak punya siapa-siapa lagi untuk meminta bantuan selain pada mereka. "Sebenarnya saya tidak masalah jika harus menikahi Viona, walau karena kesalahpahaman ini. Tapi masalahnya, ayah Viona meminta saya untuk melunasi hutangnya pada pak Raymond sebelum pernikahan berlangsung. Jika saya tidak mau melunasi dan tidak mau melunasi hutangnya, ayah Viona akan melaporkan saya ke polisi karena telah melecehkan Viona. Saya yakin polisi juga tidak akan menyalahkan saya karena tidak ada bukti yang kuat jika saya telah melecehkan Viona, tapi Viona bilang jika saya tidak mengikuti keinginan ayahnya kemungkinan Viona yang akan dalam masalah."Nasya mengangguk paham. "Walau hanya melihatnya sekali saja, tapi saya tahu bagaimana sifat ayah Viona. Saya s
Seminggu setelah pemakaman Mira. Ayyara tak pernah lagi bertemu ataupun berniat untuk menemui sang kakak, Ayuma. Agra, yang saat ini sudah masuk di bangku SMP, Kieran yang membiayai sekolahnya di luar kota. Sesuai permintaan Ayyara, yang tak mau jika sang adik sampai diurus oleh sang kakak. Sampai saat ini kematian Mira membuat Ayyara berpikiran buruk pada sang kakak. Dari sifatnya Ayyara sudah tau, mana mungkin Ayuma mau mengurus adiknya. Bahkan Ayyara masih berpikiran, mungkin saja penyakit ibunya semakin parah hingga menyebabkan kematian pasti karena Ayuma yang tak merawat ibunya dengan baik.Sebenarnya Ayyara ingin menginterogasi Ayuma atas kematian ibunya, namun dicegah oleh Kieran. Dengan alasan, tak mau Ayyara semakin mendapat masalah di saat masalahnya bersama Kieran kini belum juga usai."Apa yang dikatakan mas Kieran memang benar. Kak Ayuma bisa saja balik menuduhku, menyalahkanku karena sudah sangat tak menjenguk ibu. Tapi aku kan mel