Hanan pulang dengan langkah gontai, setelah diusir oleh Naya. Hanan tahu kesalahannya tak bisa dimaafkan, tapi Hanan masih sangat mencintai Naya. Dia tidak mau kehilangan Naya apapun yang terjadi.
Baktinya kepada Ratih sang Ibu membawa luka mendalam pada Naya, Hanan bingung harus bagaimana meminta maaf pada Naya.
Hanan pun tahu semenjak dahulu Ibunya tak begitu suka pada istrinya itu, tapi Hanan tidak bisa meninggalkan Naya. Nayalah wanita pilihan Hanan, dia tidak ingin rumah tangganya dengan Naya berakhir.
Dering ponsel Hanan menyadarkannya dari lamunan, dilihatnya ponsel tersebut. Lidahnya berdecak kala melihat siapa yang telah menelfonnya. Ternyata panggilan telfon tersebut dari Melisa. Hanan pun menjawab panggilan tersebut dengan malas.
"Assalamu'alaikum Melisa, ada apa?"
"W*'alaikum salam Mas, kapan Mas pulang?" tanya Melisa dari ujung telfon.
"Aku belum tahu, aku sedang ingin sendiri," jawab Hanan sedikit jengah dengan pertanyaan Melisa.
"Kenapa, Mas? Pokoknya aku tidak mau tahu, Mas harus segera pulang sekarang!" Melisa menuntut Hanan untuk segera pulang.
"Jangan paksa aku jika aku belum mau pulang!" balas Hanan dengan dingin.
"Mas pasti ada di rumah Mbak Naya 'kan? Aku tahu Mas pasti ke sana. Aku juga istrimu Mas, aku juga berhak atas waktumu!" tegas Melisa lalu dia pun mematikan sambungan telfon secara sepihak.
Hanan merasa kesal atas ucapan Melisa, dia tidak sopan sekali mematikan sambungan telfon tanpa mendengar jawaban darinya.
Hanan memutar kemudi menuju rumah Ibunya, setelah Hanan menikah dengan Melisa, Ratih menginginkan mereka tinggal di rumahnya. Ratih ingin agar mereka segera memberikan cucu.
Terkadang Hanan merasa iri akan kedekatan Ibunya dan Melisa. Kenapa Ibunya tidak bisa sedekat itu dengan Naya, padahal Naya tidak pernah melawan apapun permintaan Ratih. Naya menantu yang baik, di saat gaji Hanan sebagian besarnya diminta Ratih pun Naya tidak pernah mengeluh ataupun marah.
Naya istri yang mandiri, Hanan tidak pernah tahu Naya menpunyai usaha di bidang apa. Yang Hanan tahu terkadang Naya sibuk mengurus bisnisnya. Hanan sangat bangga sekali mendapatkan Naya menjadi istri.
Selang dua puluh menit Hanan telah sampai, mobil Hanan pun memasuki halaman rumah Ratih, dia beranjak turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah.
"Assalamu'alaikum, Bu," salam Hanan begitu melihat Ratih.
"W*'alaikum salam Han, sudah pulang kamu? Dari mana saja kamu? Dari tadi Melisa mencarimu?" Ratih sudah memberondong Hanan dengan banyak pertanyaan begitu dia masuk.
"Aku pulang ke rumah Naya, Bu," jawab Hanan dengan santai.
"Untuk apa kamu pergi ke sana? Di sini sudah ada Melisa yang mengurusmu, jadi tidak perlu kamu sering ke rumah Naya," ucap Ratih membuat Hanan sedikit jengah.
"Tidak bisa Bu, Naya juga istriku. Aku akan tetap menemuinya."
"Untuk apa kamu pertahankan istri tidak berguna dan mandul seperti dia?" maki Ratih. Hanan menggeram, dia sudah tidak bisa mendengar Ibu selalu menghina istrinya.
"Cukup, Bu! Aku sudah menuruti semua permintaan Ibu, bahkan untuk mengkhianati Naya, jadi jangan larang aku menemui istriku sendiri." Hanan tidak menyangka Ibunya bisa berbicara seperti itu tentang Naya, Hanan tidak rela jika Ibunya terus menghina Naya seperti itu.
Hanan memilih pergi ke kamar daripada bertengkar melawan Ibunya. Di dalam kamar Hanan tak mendapati Melisa, Hanan berpikir Melisa sedang berada di dapur. Akhirnya dia memutuskan mandi untuk menyegarkan badannya.
Selesai Hanan mandi ternyata Melisa sudah ada di kamar, padahal Hanan berpikir ingin beristirahat sejenak tanpa kehadiran Melisa. Hanan merasa lelah tubuh dan pikirannya.
Melihat Melisa, Hanan hanya diam, enggan menyapanya. Hanan pun masih merasa kesal dengan ucapan Melisa.
Hanan melangkah menuju pembaringan dengan diam, dia merebahkan tubuhnya membelakangi Melisa. Hanan ingin tidur barang sejenak untuk melepas penat.
"Mas kenapa diam saja?" tanya Melisa membuat Hanan kembali membuka mata.
"Aku capek Mel, aku ingin istirahat sebentar," ucap Hanan tanpa menoleh ke arah Melisa.
"Mas, kenapa Mas begitu dingin padaku?" Kembali Melisa bertanya hal yang membuat Hanan muak.
"Sudahlah Mel, aku tidak kenapa-kenapa. Aku cuma ingin istirahat sebentar. Aku capek sekali." Hanan jengah sekali dengan sikap Melisa yang kekanak-kanakan.
"Tidak, ini pasti karena Mas baru pulang dari rumah Mbak Naya 'kan?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Naya, jangan membawa Naya dalam perdebatan kita."
"Lalu aku harus bagaimana, Mas? Tidak biasakah Mas membagi sedikit saja cinta untukku?" tanya Melisa dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat mengharapkan balasan cinta dari Hanan.
"Aku sudah pernah menegaskan kepadamu sebelum kita menikah, aku sangat mencintai Naya. Dan kamu tidak keberatan akan itu!" Hanan mulai geram dengan Melisa, dia terlalu banyak menuntut.
"Tapi aku hanya meminta sedikit saja cintamu untukku Mas, aku juga istrimu!"
"Aku tahu, aku tahu kamu juga istriku. Maka dari itu aku tetap pulang kerumah Ibu untukmu. Jangan meminta lebih lagi, karena pernikahan ini bukan keinginanku," tegas Hanan.
"Tapi Mas juga setuju menikah denganku. Mas juga menginginkan keturunan yang tidak bisa Mbak Naya berikan. Jadi jangan hanya menyalahkanku, Mas." Melisa masih belum merasa puas dengan jawaban Hanan.
"Sudah aku bilang jangan bawa Naya dalam pertengkaran kita!"
"Memang semua salah Mbak Naya, Mas. Dia tidak bisa menerima pernikahan kita tapi dia juga tidak bisa memberikan Mas keturunan."
"Diam! jangan menyalahkan Naya atas semuanya!" Suara Hanan mulai meninggi, emosinya kembali naik.
Melisa terkejut karena Hanan membentaknya, lelah tubuh dan pikiran Hanan membuat emosinya tak terkendali. Melisa pun tidak bisa menahan rasa kecewanya, dia menangis melangkah pergi meninggalkan kamar.
Hanan memijit keningnya, dia merasakan pening di kepalanya. Sejak pagi Hanan sudah bertengkar dengan semua orang. Ternyata keputusannya untuk menuruti keinginan sang ibu berubah menjadi bumerang untuknya sendiri.
Hanan menyesal mengikuti perintah Ibunya, hidupnya jadi tak karuan setelah menikah dengan Melisa. Hanan kira Melisa wanita yang lembut dan penyabar, tapi ternyata dia suka menuntut dan posesif.
Hanan berfikir harus bisa meluluhkan hati Naya kembali, Hanan tidak mau Naya meninggalkannya. Nayalah satu-satunya wanita yang sangat Hanan cintai.
Hanan akan mencoba membujuk Naya untuk memaafkannya. Hanan sungguh sangat merindukan Nayanya yang dulu, yang selalu mencintainya. Memperlakukannya menjadi suami paling bahagia memiliki istri sepertinya.
Hanan berdoa semoga Naya bisa memaafkannya dan menerimanya kembali. Hanan akan meninggalkan Melisa jika Naya memintanya untuk memilih.
Pov Naya"Bagaimana, Mbak? Apakah Mbak masih mengharapkan laki-laki yang sudah membuatmu menderita? Apakah Mbak masih saja terjebak dalam masa lalu, hingga tidak berani memberi kesempatan pada Pak Alan? Apakah terlalu sulit menghilangkan bayang-bayang masa lalu yang menyedihkan?" tanya Dinda bertubi-tubi semakin membuatku kalut.Tanganku meremas satu sama lain, pertanyaan Dinda menusuk hatiku. Sedikit banyak apa yang Dinda tanyakan memanglah benar. Aku memang belum bisa melupakan bayang-bayang masa lalu.Bukan aku ingin kembali pada Mas Hanan, akan tetapi perasaan takut dan trauma selalu menghantuiku.Kurasakan tangan Dinda meremas tanganku dengan lembut, aku pun menatap mata Dinda dalam."Mbak juga berhak untuk bahagia, jangan terlalu tenggelam dalam masa lalu, Mbak. Kami semua juga ingin melihat Mbak Naya bahagia dengan pasangan baru Mbak Naya. Janganlah takut untuk memulai kembali, mungkin saja Pak Alan adalah jodoh terakhir untukmu, Mbak," ucap Dinda sembari tersenyum lembut.Aku
Naya bergegas kembali ke dalam restoran saat tak menemukan sosok Hanan. Dia berjalan menunduk kembali merasakan perasaan sedih karena teringat Hanan.Naya berjalan sembari mengusap air mata yang tak bisa dia tahan."Bruk—." Naya terjatuh karena tidak sengaja menabrak seseorang di depannya.Naya meringis saat sikunya terbentur lantai dengan keras. Dia masih menunduk mengusap-usap sikunya dengan telapak tangannya."Maaf, saya tidak sengaja," ucap seseorang yang telah menabrak Naya."Tidak apa-apa," sahut Naya sembari mendongakkan kepala.Netra Naya membulat ketika melihat siapa yang telah menabraknya, perlahan dia melebarkan senyum melihat sosok tersebut."Ibu Naya?" tanya sosok tersebut juga ikut terkejut.Naya pun bangkit dari posisinya terjatuh dan berdiri di depan sosok tersebut."Iya, Pak Alan. Ini saya," jawab Naya sembari tersenyum.Alan mengembangkan senyumnya dan bertanya, "Apa kabar, Bu? Sudah lama sekali saya tidak pernah melihat Ibu Naya?""Alhamdulillah, baik. Bagaimana d
"Sudah sampai, Bu," ucap sopir pada Naya yang sedang melamun sembari mengelus-ngelus puncak kepala Aryan—anak semata wayangnya."Oh iya, Pak." Naya pun beranjak turun dari mobil sembari menggendong Aryan.Netra Naya memandang restorannya yang sudah banyak berubah semenjak dia meninggalkannya, sudah hampir dua tahun Naya meninggalkannya untuk diurus Dinda.Perlahan Naya melangkahkan kaki masuk ke dalam restoran, nampak suasana ramai menyambut kedatangannya kembali.Di ambang pintu sudah ada Dinda dan Arya, sekarang mereka telah menjadi sepasang suami istri. Tidak menyangka dokter yang dulu pernah menaruh hati pada Naya sudah menemukan jodohnya.Naya mengulum senyum membayangkan bagaimana dulu mereka dekat hingga akhirnya berakhir menjadi sahabat.Arya sempat menyatakan perasaannya kepada Naya tapi dia tentu tidak bisa membohongi perasaannya dengan menerima Arya.Naya sungguh merasa tidak pantas bersanding dengan Arya mengingat status yang telah dia sandang. Lebih baik mereka menjadi sa
Pov Hanan Dua tahun masa hukumanku akan segera berakhir, aku tidak sabar keluar dari sini dan mencari keberadaan Naya. Aku ingin melihat wajah anakku seperti apa, apakah dia akan seperti Naya atau sepertiku.Bolehkah aku berharap untuk kembali bersama Naya lagi? Merajut rumah tangga bahagia seperti dulu lagi. Apalagi aku sudah sepenuhnya berpisah dari Melisa.Tidak akan ada yang akan menghalangi kebahagiaan kami lagi. Apakah Naya mau menerimaku kembali menjadi suaminya jika aku keluar dari sini? Aku sungguh berharap bisa bersatu kembali dengan Naya.Semoga saja aku masih diberi kesempatam untuk memperbaiki semua kesalahanku pada Naya. Aku janji, akan memperlakukan Naya lebih baik lagi, jika dia mau kembali padaku. Aku tidak akan menyakitinya lagi, aku akan selalu membahagiakannya.Aku mencoba memejamkan mata, berharap hari esok cepat datang, dan aku akan segera keluar dari sini.***Hari yang aku tunggu pun datang, aku sudah bebas hari ini. Aku berada di pinggir jalan, menanti ibu da
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, Naya melalui hari-hari damainya di rumah Irham. Di rumah Irham terdiri dari tiga anggota keluarga, ada Irham, Alina dan juga Alisa–gadis kecil buah hati mereka.Untunglah Naya tidak terlalu kesepian karena ada mereka. Apalagi Alisa sangat menggemaskan. Di usianya yang baru menginjak lima tahun, Alisa tumbuh dengan baik. Tidak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.Sejenak Naya merasa iri dengan kehidupan Alisa, dalam benaknya Naya bertanya-tanya, akankah anaknya kelak akan tumbuh ceria seperti Alisa di saat hanya ada ibunya yang membesarkannya.Ketakutan akan ketidak mampuannya membesarkan anaknya kelak, selalu menghantui Naya.Apalagi jika kelak dia ditanya oleh anaknya di mana ayahnya berada, mau bagaimana Naya menjawabnya? Tidak mungkin Naya menceritakan semua pada anaknya. Naya takut akhirnya anaknya akan membenci ayahnya sendiri.Apakah Naya sanggup menghadapi pertanyaan-pertanyaan anaknya tentang ayah kandungnya? Naya menghela
Pov Hanan Netraku mulai meneteskan air mata begitu mendengar ketukan palu dari Hakim pertanda berakhirnya sidang perceraianku dengan Naya.Dengan begitu, berakhir pula pernikahan yang sudah sepuluh tahun aku bina dengan Naya. Pernikahan yang membuatku menjadi lelaki paling bahagia karena bisa mendapatkan istri seperti Naya.Setiap yang ada pada diri Naya adalah dambaan semua lelaki. Seharusnya aku merasa beruntung memiliki Naya, bukan malah menyakitinya begitu saja.Apalagi sekarang Naya sedang mengandung anakku, darah dagingku. Seharusnya pernikahanku dengan Naya dipenuhi dengan kebahagiaan menanti kehadiran anak pertama kami.Aku tidak akan bisa melihat kelahiran anak pertamaku yang begitu aku tunggu-tunggu. Karena masa hukumanku yang masih lama. Saat anakku lahir, aku masih berada di dalam penjara.Entah Naya kelak mengijinkan aku untuk bertemu dengan anakku sendiri atau tidak. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.Sesungguhnya aku sangat berharap Naya mau memberikan