Share

Aku Tidak Mandul, Mas!
Aku Tidak Mandul, Mas!
Penulis: Jannah Zein

Dia Sudah Dimadu!

Penulis: Jannah Zein
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-02 18:18:40

Bab 1

"Cepat tanda tangan, Sania! Kita sudah tidak punya banyak waktu. Tuh lihat, penghulu sudah datang dan menunggu tanda tangan dari kamu," desak ibu mertuanya. Mata wanita paruh baya itu melotot. Ekspresi wajahnya demikian bengis.

Sania menelan ludah menatap nanar lembaran kertas itu. Benda yang seharusnya tidak perlu berada di hadapannya, karena selamanya dia tidak akan menyetujui pernikahan kedua suaminya. 

Tak ada seorangpun wanita yang mau dimadu, apapun alasannya. 

Namun kenyataannya ia kalah suara. Sebesar apapun penolakannya, tetap saja pernikahan Randy dan Mutia harus terjadi. Dan kini tanda tangannya sedang dibutuhkan sebagai tanda persetujuannya sebagai istri pertama.

"Ayo cepat! Akad nikah akan segera dimulai," timpal Nuri. Dia malah mengambil pulpen dan meletakkannya ke telapak tangan Sania. "Kamu harus tanda tangan. Kalau kamu nggak mau tanda tangan, maka Kakak akan minta Randy untuk menceraikanmu sekarang juga!"

"Iya nih, jadi istri kok nggak berguna banget. Sudah nggak bisa ngasih anak, malah nggak mengizinkan suaminya nikah lagi. Jangan serakah kamu, Sania. Keluarga kami butuh keturunan!" Wanita paruh baya itu beringsut, merapatkan tubuhnya pada Sania sehingga lututnya kini menyentuh lutut wanita muda itu.

"Anak itu adalah titipan Allah, Ma, bukan kita yang atur. Aku juga pengen punya anak, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin memang belum waktunya. Aku sudah melakukan segala cara supaya mendapatkan momongan."

"Justru itu, Sania. Salah satu cara mendapatkan anak adalah membiarkan suami kamu menikah lagi! Harus berapa kali Mama bilang itu kepadamu." Ibu mertuanya mendengus. 

Padahal posisi tubuh mereka saling merapat tetapi tetap saja wanita paruh baya itu berbicara dengan sangat keras sehingga kalimat yang meluncur dari mulut ibu mertuanya terasa memekakkan di telinga Sania

"Nanti kalau Randy dan Mutia punya anak, artinya kamu juga akan punya anak. Kamu akan ikut merawat bayi itu. Toh kamu juga yang senang, kan? Makanya jadi perempuan itu jangan serakah. Biarkan saja suamimu nikah lagi. Lagi pula, Mutia itu saudara sepupumu, kan? Jadi kamu sudah sangat mengenalnya!" Bujukan sang ibu mertua lebih bernada memaksa.

"Please, Ma. Jangan paksa aku...."

"Stop, Sania! Jangan berdebat. Ini adalah acara akad nikah dan kamu nggak bisa menolak lagi. Tapi acara ini nggak bisa dimulai kalau kamu nggak mau tanda tangan. Tolong, jangan mengacaukan acara ini dan membuat malu seluruh keluarga. Ayo, cepat tanda tangan!"

Sania tidak punya pilihan kecuali membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Setelah itu, Asih, ibu mertuanya dan Nuri, kakak iparnya segera kembali ke ruangan depan tempat acara akad nikah itu berlangsung dengan membawa surat itu.

Sania menghembuskan nafas berat ketika kedua perempuan itu sudah menjauh darinya. Butiran bening jatuh membasahi pipinya, tak bisa ia cegah.

Tak ada seorang wanita pun rela dimadu, meski Sania tahu kekurangannya. Lima tahun pernikahannya dengan Randy, namun ia tidak kunjung hamil. Sudah berulang kali kontrol ke dokter. Dia pun melakukan semua saran dari dokter, tetapi sampai saat ini usahanya belum juga membuahkan hasil. Dia belum juga hamil. 

Sania meraba perutnya yang masih rata tatkala lamat-lamat telinganya mendengar suara suaminya melafalkan akad untuk seorang perempuan bernama Mutia Artamevia.

Mutia itu adik sepupunya. Ayah Mutia adalah saudara ibunya. Kini adik sepupunya resmi menjadi adik madunya.

Rasanya separuh nyawanya hilang, tetapi Sania tidak bisa berbuat apa-apa. 

Randy sudah berjanji untuk bersikap adil, meski sebenarnya Sania tidak yakin.

Mungkin jika wanita lain akan langsung meminta cerai saat suaminya memutuskan untuk menikah lagi, tetapi tidak bagi Sania. Dia ingin membuktikan kepada keluarga ini bahwa dia tidak mandul.

"Aku tidak mandul, Mas!" Berulang kali Sania mesugesti dirinya sendiri supaya kuat dalam menerima pernikahan kedua suaminya. Hati kecilnya mengatakan bahwa pernikahan ini akan menjadi taruhan untuk membuktikan siapa sebenarnya yang bermasalah. Sania atau Randy.

Jika akhirnya Mutia tidak kunjung hamil juga, maka bisa dipastikan Randy lah yang bermasalah.

"Kuat, Sania! Kuat! Biarlah waktu yang akan membuktikan jika aku sebenarnya tidak mandul." Wanita muda itu menggumam.

Dia sudah memeriksakan dirinya berulang kali ke dokter. Tidak ada masalah pada kandungannya. Dia wanita yang subur. Mungkin hanya waktu saja atau jangan-jangan suaminya yang justru mandul? 

Sania menggigit bibirnya tatkala teringat bahwa suaminya selalu menolak untuk diajak periksa ke dokter. Suaminya selalu melimpahkan kesalahan kepadanya yang menyebabkan mereka sampai saat ini tidak juga diberi keturunan.

Randy selalu yakin bahwa dia sangat subur.

Sania sudah pernah mengucapkan kemungkinan itu kepada ibu mertuanya, tetapi hanya hinaan dan cercaan yang Sania dapatkan.

Bukankah seorang ibu akan selalu membela anaknya? 

Sania menggigit bibirnya, berusaha untuk menahan tangis. Sania tidak ingin suara isakannya terdengar, apalagi di luar sana orang-orang nampak bersorak-sorai. 

Memang, akad nikah ini tidak mengundang banyak orang, hanya beberapa anggota keluarga saja bahkan dari keluarga Mutia, hanya ada ibu dan pamannya. Namun kemeriahan itu tanpa begitu terasa.

Atau jangan-jangan dirinya yang terlalu sensitif, terlalu meratapi nasib?

"Sabar, Nak. Sabar. Setidaknya adik madu kamu bukan orang lain. Dia sepupumu. Jikalau mereka nanti memiliki anak, maka itu akan menjadi anakmu juga, sekaligus keponakanmu." Sebuah tepukan lembut dan terasa hangat mampir di pundak Sania yang membuat seketika wanita muda itu menoleh.

"Paman...."

Sania mengambil tisu dan menghapus sisa air matanya.

"Paman mengerti perasaan kamu, tapi Paman tidak punya pilihan, kecuali menikahkan Mutia dengan suamimu. Apalagi selama ini mereka sudah begitu dekat. Mutia tinggal dalam satu rumah dengan kalian dan bekerja dalam satu perusahaan pula dengan Randy. Paman sangat khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Saudara ibunya yang bernama Dimas itu nampak menelan ludah sebelum memutuskan untuk melanjutkan kata-katanya. 

"Lagi pula suamimu sangat menginginkan keturunan. Jadi apa salahnya jika kita coba saja? Kamu akan tetap menjadi istri pertama Randy. Selamanya istri pertama itu lebih unggul," bujuk pria setengah baya itu yang kini duduk di hadapan Sania.

Namun hanya senyum getir yang Sania tunjukkan. 

"Aku tidak yakin, Paman. Mutia itu lebih cantik dan muda dariku. Pasti ujung-ujungnya Mas Randy akan lebih cenderung kepada Mutia. Tapi ya, kita lihat saja bagaimana nanti."

***

Hari sudah berangsur siang. Keriuhan yang terjadi di ruang depan tampaknya sudah mulai surut. Tamu-tamu sudah meninggalkan rumah itu dan kini hanya menyisakan keluarga inti saja. 

Sania akhirnya memasuki ruang depan. Matanya nanar memindai sekeliling ruangan, ruangan yang di hias indah untuk keperluan acara yang barusan selesai itu. Meski masih terbilang sederhana, tetapi tetap saja hatinya tersayat.

Dia sudah dimadu!

Tak pernah terbayang dibenaknya jika rumah tangganya akan dicederai oleh kehadiran perempuan lain sebagai adik madu.

Sania mengusap wajahnya dengan kasar, lantaran merasakan basah di telapak tangannya.

Ya Tuhan, dia menangis lagi.

Tak ingin larut dalam kesedihannya, dia mulai mengumpulkan piring-piring kotor dan perangkat makan yang lainnya, kemudian membawanya ke tempat pencucian piring di belakang rumah. Tidak ada yang membantunya, padahal ia harus bolak-balik dari ruang makan ke belakang rumah untuk membawa perangkat makan yang sudah digunakan itu. 

Hanya Sania sendiri yang menyelesaikan pekerjaan ini. Dia memang terbiasa mengerjakan segala sesuatunya di rumah ini.

"Sania," panggil ibu mertuanya

Wanita itu menoleh. Dia menghentikan sejenak kegiatannya menyabuni tumpukan piring kotor di hadapannya.

"Ya, Ma. Ada apa?"

"Tinggalkan saja dulu pekerjaanmu. Kembalilah ke kamar dan segera kemasi barang-barangmu...."

"Barang-barangku?" sela Sania. Dadanya seketika berdegup dengan tubuh yang mulai terasa lemas. Pikiran buruk mulai berseliweran dibenaknya. Sania menatap Ibu mertuanya dengan intens, berusaha mengalami isi otak wanita baya itu.

Apakah ibu mertuanya akan mengusirnya, setelah semua pengorbanan yang ia lakukan untuk keluarga ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Ipar Adalah Maut!

    Bab 53Setelah Mutia dan ibunya berhasil ia usir, Sania kembali masuk ke dalam rumah bibinya. Dia tersenyum getir manakala mendapati ibunya yang berbaring di lantai tanpa alas kain, hanya dengan sebuah bantal sebagai penyangga kepala."Mama...." Perempuan itu berjalan menghampiri. "Maafkan Sania, Ma.""Apa benar apa yang dikatakan oleh Wina dan Mutia itu, Nak?" tanya bibi Salma."Katakan jika mereka berbohong...."Namun Sania justru menggeleng. Sudah terlanjur, lebih baik ia jujur. Apa gunanya menyimpan kebusukan, toh akhirnya tercium juga oleh ibunya. Tadi selintas dia sudah memikirkan. Sania jadi mengerti, kedatangan tante Wina dan Mutia hanya salah satu jalan yang ditunjukkan Tuhan agar ibunya mengetahui semua hal buruk yang sudah ia lakukan bersama dengan Raka.Dia memang salah, jadi lebih baik mengaku saja."Aku mengaku khilaf. Raka sangat baik dan perhatian padaku. Di rumah itu, hanya Raka yang mau peduli, sementara Mas Randy lebih mengutamakan Mutia. Jadi bagaimana mungkin aku

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Ambil Saja Suamiku!

    Bab 52"Apa kamu bilang...?" Hilda terbata-bata. Tubuhnya seketika lemas, yang untung saja segera diraih oleh Salma. Dipeluknya sang kakak, lalu diusapnya punggungnya penuh kelembutan. Dibandingkan saudara mereka yang lain, Salma lah yang paling baik pemahamannya pada Hilda. Salma pula yang setia merawat dan menemani Hilda, karena rumah mereka memang bersebelahan."Nggak usah ngada-ngada kamu, Wina. Jangan bikin fitnah di sini. Mana mungkin Sania melakukan hal seperti itu? Mungkin dia hanya berteman dengan Raka. Dia dekat, tapi bukan berarti mereka pacaran. Lagian, Raka itu anak baik kok. Dia nggak pernah aneh-aneh, apalagi sama kakak ipar sendiri." Tentu saja Salma langsung membantah. Pasalnya setiap kali kemari, Raka selalu berperilaku baik dan sopan."Kalian yang terlalu polos. Tante pikir aja sendiri! Emangnya keuntungan rumah catering itu berapa? Walaupun laris, tapi bahan-bahan baku mahal, belum lagi harus bayar karyawan." Mutia menerangkan. Dari raut wajahnya terlihat jelas, i

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Pencapaian Macam Apa Ini?

    Bab 51"Daripada Mama berbicara dengan Raka, yang ujung-ujungnya hanya malu-maluin aku, lebih baik Mama berbicara dengan tante Hilda. Lebih baik kita ceritakan soal perselingkuhan Sania dengan Raka. Pasti Tante Hilda shock. Kalau perlu kita bikin penyakitnya kambuh. Jadi otomatis Sania pasti akan sedih dan tidak jadi deh itu renovasi rumah....""Ah.... Kamu memang pintar, Sayang." Perempuan itu meletakkan ponsel di pangkuannya, lalu menepuk jidat. "Kenapa Mama nggak kepikiran tadi ya?""Itu karena yang ada di otak Mama cuma uang, tetapi tidak mau berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak!" geram Mutia. Tentu saja ia kesal. Ibunya memang tidak bekerja. Dia hidup dengan mengandalkan uang pensiunan papanya, dan juga uang pemberian darinya. Namun wanita paruh baya itu selalu bergaya hidup mewah.Buah itu biasanya akan jatuh tidak jauh dari pohonnya.Mutia menjelma sebagai gambaran ketika Wina masih muda dulu.Akhirnya di sinilah mereka berada. Rumah ini juga sederhana, rumah

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Ide Mutia

    Bab 50"Istri bukan, pacar juga bukan. Aku itu cuma kakak ipar. Memangnya Raka mau kasih aku uang?" sinis Mutia. Miris sekali dengan tingkat konektivitas ibunya. Mutia sampai menggaruk kepala saking gemesnya."Buktinya kalau sama Sania, Raka itu royal, padahal toh dia kakak iparnya juga, kan?" Tuh, kan? Tante Wina masih juga tidak mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya, padahal Mutia sudah menjelaskan panjang lebar."Ya, nggak sama. Mereka itu kan sudah jadi pasangan. Aku nggak tahu dan nggak pernah melihat, tapi aku yakin pasti mereka sudah tidur bareng." "Ya udah. Kamu tidur bareng aja sama Raka. Yang penting kan nggak ketahuan sama Randy. Ya udah, kakak adik kamu ambil sekalian, jadi nggak kalah kan sama Sania. Mama juga heran, Sania itu di poligami sama kakaknya, terus malah pacaran sama adiknya. Kamu tiru aja dia, biar kamu dapat uang lebih kayak Sania." Perempuan itu terus mengompori Mutia.Masa lalu tante Wina juga tidak baik. Dia pun juga hamil diluar nikah saat menikah

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Uh... Sial Sial!

    Bab 49"Ya iyalah. Pasti Mama bantuin kok. Cuma masalahnya, Mama bisa bantu apa? Kamu kan tahu gimana keadaan keuangan kita sekarang?" balas ibunda Mutia ini."Duit aja yang Mama pikirin! Otak ini kudu diajak mikir, Ma," keluh Mutia. Dia mengusap perutnya yang membuncit. Ya, benar sekali dugaan Raka dan Sania. Itu memang bukan milik Randy, tapi seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa. "Bagaimana bisa mikir, kalau kamu akhir-akhir ini nggak pernah kasih Mama uang? Dulu aja sebelum kamu punya suami, kamu sering ngasih uang sama Mama. Tapi sekarang mah boro-boro! Kamu itu punya suami apa enggak sih?" Tante Wina malah mengomel. Perempuan paruh baya dengan dandanan menor ini memang dari awal mata duitan. Kelakuan yang sudah mendarah daging sejak ia masih muda."Kalau aku nggak punya suami, bagaimana aku bisa melahirkan anak ini, Ma. Ngomong sih enak," dengus Mutia. Dia baru saja pulang kerja dan langsung pergi ke rumah ibunya, maksud hati ingin melampiaskan kekesalannya yang menggumpal

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Salah Pilih Suami (2)

    Bab 48"Aku berangkat dulu ya, Sayang. Semoga hari kamu menyenangkan."Raka memeluk kekasihnya, lalu mencium kening itu dengan lembut."Hati-hati di jalan ya. Maaf belum bisa mengantar keluar. Aku belum bisa keluar kamar, takut Lia dan Aya curiga dengan cara berjalanku." Perempuan itu tersipu malu karena sadar dengan aktivitas mereka tadi malam membuat cara jalannya akan berubah. Dia pasti akan menjadi bahan ledekan Aya dan Lia jika berani keluar dari kamar."Pastinya. Kamu nggak perlu keluar kamar. Cukup di sini saja, tunggu aku pulang. Aku usahakan pulang cepat. Nanti berkas-berkas ini akan langsung aku serahkan sama Mbak Windy. Oke." Raka mengacungkan sebuah map.Berkas-berkas yang diperlukan untuk keperluan perceraiannya dengan Randy sudah disatukan Sania ke dalam satu map saja, sehingga gampang untuk dibawa.Sania mengangguk. Dia membiarkan Raka berlalu dari kamarnya. Sementara itu, dia kembali berjalan menuju pembaringan. Sudah tak sabar ingin segera kembali beristirahat.Aktivi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status