Bab 2
"Ya, barang-barangmu! Kamu harus segera mengeluarkan barang-barangmu dari kamar utama, karena Mutia yang akan menempati kamar utama bersama dengan Randy," beritahu wanita paruh baya itu. Pemberitahuan yang bersifat sebuah perintah.
"Mutia? Bukannya selama ini dia menempati kamar tamu?" Sania mengerutkan kening, karena setahunya kamar tamu itulah yang dihias menjadi kamar pengantin, bukan kamar utama.
Rumah ini cukup luas, dengan 5 buah kamar tidur. Satu kamar tidur utama, satu kamar tidur tamu dan dua kamar tidur yang biasa ditempati oleh ibu mertuanya dan Raka, anak paling bungsu di keluarga ini. Satunya lagi adalah kamar pembantu yang ukurannya lebih kecil dan terletak di belakang dekat dapur.
"Iya, memang. Tapi mulai besok, Mutia yang akan menempati kamar utama," sahut wanita paruh baya itu.
"Dan aku yang menempati kamar tamu, begitu, Ma? Jadi aku bertukar kamar tidur?" Sepasang mata beningnya menatap sang ibu mertua dengan dadanya yang terus berdebar.
Sania berpikir kamar tamu pun tidak jelek, karena ukuran dan fasilitasnya hampir sama dengan kamar tidur utama yang biasa ia tempati bersama dengan Randy. Ada juga kamar mandi di dalam serta walk in closed. Tak masalah. Dia bisa tinggal di kamar itu, apalagi kamar tamu dan kamar utama letaknya bersebelahan. Mungkin ini memang sengaja Randy lakukan untuk memudahkan menggilir istri-istrinya.
Sejauh ini Sania tetap berpikiran positif.
"Baiklah, Ma." Sania mengangguk lalu segera membersihkan tangannya yang sebelumnya penuh dengan busa sabun.
"Aku akan membereskan barang-barangku dan memindahkannya ke kamar tamu, tetapi apakah Mutia sudah mengeluarkan barang-barangnya? Aku hanya tidak enak jika harus mengemasi barang-barang milik orang lain...."
"Siapa bilang kamu akan menempati kamar tamu?!" tuding ibu mertuanya saat Sania berjalan mendekat dan bermaksud akan melewatinya.
"Maksud Mama?" Sania menghentikan langkahnya. Dia tak mengerti. "Bukankah aku dan Mutia akan bertukar kamar?"
"Sania!" Mata ibu mertuanya melotot. Wajah wanita setengah tua itu seketika memerah. "Makanya dengar dulu penjelasan Mama. Jangan langsung main pergi aja. Kamar tamu itu akan segera ditempati oleh Nuri, jika kebetulan ia berkunjung ke rumah ini. Jadi, tempat kamu itu di kamar belakang...."
"Apa?! Aku harus menempati kamar belakang?!"
Sania sangat terkejut, dan saking terkejutnya, tubuhnya tiba-tiba saja lemas. Dia berpegangan pada salah satu tiang yang berada di dekatnya untuk menopang tubuhnya agar tidak luruh ke lantai.
"Itu kamar pembantu, Ma. Terakhir ditempati oleh Bik Nah sebelum beliau pamit pulang kampung lantaran diminta oleh anaknya untuk berhenti bekerja di rumah ini," protes Sania. Pegangannya pada tiang kian bertambah erat karena ia merasakan pandangannya mulai sedikit berkunang-kunang.
"Karena kamu memang pantas menempati kamar itu! Apalagi yang diharapkan dari seorang wanita mandul kayak kamu?! Seharusnya kamu sadar posisimu di mana! Kamu itu hanya berguna untuk mengurus rumah ini!"
Hati Sania seketika kembali tersayat. Seperti itukah sekarang ibu mertua memandang dirinya? Hanya karena ia belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya, apakah lantas keluarga suaminya boleh memperlakukannya seperti pembantu?
"Tempatmu adalah di kamar belakang, di kamar pembantu, karena kamu hanya diperlukan untuk mengurus rumah ini. Sebagai istri, kamu sama sekali nggak berguna!" Perempuan bernama Asih itu mengibaskan tangan, lalu segera berbalik dan meninggalkan Sania sendiri yang tubuhnya akhirnya harus luruh ke lantai karena tangannya pun terasa lemas sehingga tidak bisa lagi mencengkeram tiang penyangga rumah ini.
Untung saja dia tidak langsung jatuh pingsan mendengar perkataan sepahit ini, sebab jikalau ia sampai jatuh pingsan, tidak akan ada orang yang akan menolongnya.
Tak ada yang peduli pada kondisi tubuhnya, apalagi dengan perasaannya.
Sakit.
Perih.
Selama 5 tahun ia menikah dan mengabdi kepada keluarga ini, tidak pernah ia merasakan sesakit ini.
Selama 5 tahun terakhir, dialah yang mengurus rumah ini, sementara pembantu yang biasa mengurus rumah ini berhenti bekerja, sebulan setelah pernikahan Sania dan Randy. Dan setelah itu, tidak ada pembantu baru yang direkrut oleh ibu mertuanya untuk membantu mengurus rumah sebesar ini.
Sania sama sekali tidak keberatan mengurus rumah ini, melayani mertua, suami dan kakak iparnya. Namun kenyataannya, semua pengabdiannya masih belum cukup. Dia pun masih dimintai persetujuan untuk dimadu dan sekarang tinggal bersama adik madu.
Apalagi hal yang lebih menyakitkan selain ini?
Sania tergugu sendirian meratapi nasibnya. Air matanya mengalir deras. Namun sudut di hatinya seolah berteriak bahwa ia harus bangkit. Bukankah tujuan ia tetap bertahan di rumah ini karena ingin membuktikan bahwa dia tidak mandul?
Sania tidak mandul, dan itu dibuktikan oleh pemeriksaan dari beberapa orang dokter spesialis kandungan di kotanya. Semua dokter yang ia temui menyatakan jika ia subur.
"Aku harus kuat! Aku harus bertahan! Walaupun suamiku memiliki istri lagi, setidaknya aku tetap akan mendapatkan jatah malam untuk melayani suamiku. Di situlah aku harus membuktikan, jika aku tidak mandul. Aku tidak mandul, Mas!" gumam Sania seraya mengepalkan tangan.
Akhirnya Sania pun bangkit, dan dengan langkah terseok-seok dia berjalan menuju kamarnya. Sempat berdiri sejenak di depan pintu kamar tamu lantaran mendengar suara-suara desahan erotis yang membuat Sania seketika mengusap-usap dadanya yang terasa kian sesak. Namun Sania akhirnya melanjutkan langkah menuju kamar utama.Begitu memasuki kamar ini, Sania memindai sekelilingnya. Ruangan yang selalu terlihat bersih dan rapi karena ia merawatnya sepenuh hati. Peraduannya yang dilapisi oleh sprei berwarna biru muda, warna kesukaan Randy. Peraduan tempat mereka seringkali bercinta, meskipun sampai sekarang belum juga dikaruniai seorang momongan.
Sejatinya Randy adalah pria yang romantis, terkecuali akhir-akhir ini setelah Mutia tinggal di rumah ini.
Salahnya juga yang bersedia membawa Mutia tinggal di rumah ini, walaupun itu atas permintaan tante Wina, ibunya Mutia. Tante Wina yang meminta kepadanya agar Mutia tinggal di rumah ini, lantaran tempat kerjanya yang tidak jauh, apalagi Randy dan Mutia bekerja dalam satu perusahaan.
Sania yang polos tidak pernah berpikiran buruk, apalagi sampai menganggap jika tantenya itu punya rencana untuk menghancurkan rumah tangganya.
Dia hanya tidak menyangka jika ia sudah memasukkan ular berkepala manusia ke rumahnya.
Sania menjadi curiga. Entah sejak kapan Randy dan Mutia berhubungan. Apakah sejak hubungan mereka menjadi hambar setelah kehadiran Mutia di rumah ini?
Wanita itu mengusap-usap dadanya, lalu duduk di tepi ranjang.
"Kenapa aku tidak peka dengan perubahan yang terjadi pada Mas Randy? Padahal dulu sebelum kehadiran Mutia di rumah ini, gairah bercintanya kepadaku begitu besar. Aku pikir waktu itu Mas Randy hanya kecapean kerja, sehingga tidak lagi berminat bercinta denganku....."
Tak ingin tenggelam dalam lamunannya dan membuang-buang waktu sehingga membuat ibu mertuanya kembali marah, akhirnya Sania bangkit dan mulai membuka pintu lemari. Dia mengeluarkan seluruh pakaiannya yang sebenarnya memang tidak seberapa. Selama menikah dengan Randy, Sania memang hampir tidak pernah membeli pakaian. Uang belanja dapur diatur oleh ibu mertuanya, sementara Randy sendiri jarang memberinya uang jajan.
***Meski di hatinya terbersit rasa ragu, tetapi Sania tetap membuka pintu kamar belakang. Bau tidak enak langsung menyeruak saat pintu terbuka. Maklumlah, kamar belakang ini sudah difungsikan sebagai gudang tempat untuk menaruh barang-barang yang tidak terpakai.
Sania terbatuk-batuk dan langsung menutup hidung dan mulutnya saat masuk ke dalam ruangan ini. Dia membuka jendela dan membiarkan udara dari luar masuk.
"Aku harus segera membersihkan tempat ini sebelum malam tiba. Jika tidak, aku mau tidur di mana?" Sania segera berbalik setelah memastikan kondisi kamar. Dia mengambil sapu dari dapur dan mulai membersihkan ruangan ini.
Bab 32Benar, Randy memang memeluknya sepanjang malam, tapi besok pagi dia harus mendapat omelan dari Mutia. Janjinya tanggung jawab, tapi ternyata Randy tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela dirinya.Sania benar-benar geram. Dia memutuskan untuk tidak membuat sarapan pagi ini. Biarkan saja seisi rumah kelaparan. Dia langsung mandi dan bersiap untuk menuju rumah kontrakannya, karena tentu masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan."Biar aku sarapan di rumah kontrakan saja bersama dengan Aya dan Lia," gumam Sania setelah ia mengunci kamar dan melangkah keluar."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?" tegur mama Asih. Wanita itu tengah duduk menghadap meja makan yang kosong."Aku mau pergi, Ma. Mama bikin sarapan sendiri ya," ujar Sania ringan seolah tanpa beban dan terus melangkah melewati ruang makan menuju ruang tamu."Bikin sarapan dulu, Sania. Jangan main pergi aja! Urus dulu suamimu!" teriak mama Asih yang kaget dengan respon Sania yang membangkang perintahnya. Wanita it
Bab 31Makan malam kali ini sangat tenang, tanpa drama seperti biasanya. Malam ini Mutia tidak protes, meski hanya ada ikan gurame goreng, sayur labu kuning dan tempe goreng Mereka nampak makan sangat lahap, meskipun hanya ada Sania, Randy, Mutia dan mama Asih. Malam ini Raka kembali absen. Pria itu memang datang dan pergi sesukanya. Akhir-akhir ini dia lebih sering menginap di apartemen ketimbang di rumah. Terkadang Sania berpikir, Raka tersinggung lantaran kini ia tidak lagi bergantung kepada Raka.Sania sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup lumayan, keuntungan dari rumah cateringnya. Rekening pribadinya kini mulai terisi dan terus menggendut saldonya."Sania," panggil Randy ketika Sania baru saja selesai mengemas meja makan."Akhir-akhir ini kamu selalu pulang sore, bahkan hampir malam. Sebenarnya kamu sibuk apa sih di luar sana?""Itu bukan urusanmu, Mas," sahut Sania datar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya."Tapi Mas harus tahu, karena kesibukan kamu itu membuat ru
Bab 30Glek.Ucapan Sania langsung menohok. Dia memang tidak perlu berbasa-basi, mengatakan apa adanya. Bukankah seharusnya setiap tetes keringat yang sudah dikeluarkannya harus ada imbalannya? Bukan sekedar materi, tapi setidaknya mereka bisa memperlakukannya lebih manusiawi, bukan dianggap sebagai robot pekerja rumah tangga. Jujur dia sudah muak dengan semua ini. Tapi saat yang ia nantikan itu belum tiba. Dia hanya ingin bermain cantik.Mungkin beberapa bulan lagi dan itu tidak lama. Saatnya akan segera tiba."Sudah berani itung-itungan kamu ya?" Wanita paruh baya itu mendengus kasar."Mama aja itung-itungan denganku. Masa aku nggak boleh itung-itungan dengan Mama?" cetus Sania."Memangnya Mama pernah memberi uang lebih setiap kali menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan rumah? Padahal Mama sendiri tahu jika aku hampir nggak pernah dikasih uang jajan sama Mas Randy," sambungnya lagi."Sudah berani protes kamu ya? Sudah nggak betah lagi jadi istri anakku?!" Ancaman itu melunc
Bab 29"Shilla itu bukan anak kandung Azka. Azka belum menikah," beritahu Bu Rina seolah paham kegelisahan Sania."Maksudnya? Saya tidak mengerti." Otaknya langsung mencerna ucapan ibu Rina."Azka menemukan Shilla berada di dalam kardus tepat di depan pintu rumahnya. Kondisinya waktu itu sangat mengenaskan. Dia menangis lantaran kehausan dan kelaparan, dengan tali pusat yang belum terpotong. Azka memutuskan membawa Shilla ke rumah sakit, kemudian memilih mengadopsinya."Mulia sekali," komentar Sania seraya menatap kagum pria yang sejak tadi tetap saja memasang wajah datar.Tapi kenapa orang tua bayi itu malah meletakkan bayinya di depan rumah Azka? Pertanyaan itu hanya bisa Sania simpan dalam hati, karena ia tidak mau mencampuri urusan keluarga bu Rina. Sania membayangkan seperti novel-novel, jika bayi itu sebenarnya adalah anak kandung Azka dari seorang wanita yang tidak sengaja digaulinya. Namun Sania menepis pikiran itu. Dia melihat sosok yang meski selalu memasang wajah dingin d
Bab 28"Sania," panggil Raka setelah ia kembali menutup pintu kamar dan menguncinya. Raka tidak ingin jika ada orang yang memergoki dirinya ada di kamar ini. Untuk saat ini, terlalu berbahaya jika ada orang di rumah ini yang mengendus kedekatannya dengan Sania. Raka tidak ingin menambah penderitaan wanita itu.Mata yang tengah terpejam itu kembali terbuka. Pria itu tersenyum dan melangkah mendekat, meski dadanya bergetar hebat. Tubuh itu hanya di tutupi oleh selimut yang pasti di dalamnya Sania tidak mengenakan apapun. Raka menarik nafas, menekan keinginannya sebagai lelaki yang ingin menerkam Sania saat itu juga.Dia pria normal. Mendapati pemandangan seperti itu, rasanya akan sulit melewatkan begitu saja."Apakah rasanya sakit?" tanya Raka dengan lembut. Dia menempelkan telapak tangannya di dahi Sania. Dahi itu terasa agak panas. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Wajah cantik, tapi sedikit pucat."Dia memaksaku, tapi akhirnya aku menikmati juga." Bibirnya bergetar hebat.Nye
Bab 27"Please Mas, jangan mempersulitku seperti ini. Aku tidak mau lagi berurusan dengan Mutia. Kamu sudah tahu resikonya, kan, jika kamu tetap berada di kamar ini?" ucap Sania dengan suaranya yang teramat lirih bernada membujuk.Dia sudah teramat lelah bertengkar dengan Mutia. Setiap kali Randy bermalam di kamarnya, pasti sepupu sekaligus adik madunya itu akan mengomel panjang pendek. Dan yang lebih mengesalkan, ibu mertuanya malah lebih membela Mutia.Sania tak mau rebutan giliran, hal yang akan membuat Randy besar kepala. Dia akan tetap jual mahal sembari menunggu saat itu tiba."Aku tidak peduli. Yang aku mau sekarang adalah kamu." Randy mengeratkan pelukannya, dia bahkan mencium secara brutal. Sania berontak. Dia tidak sudi disentuh oleh pria itu, meski ia sepenuhnya sadar jika Randy itu suaminya.Salah satu pengalaman terburuknya saat disentuh oleh Randy adalah mendapati dirinya dimaki-maki dan ditendang oleh Mutia lantaran dianggap sebagai perebut jadwal gilirannya, padahal Mu