Share

Ditolong Adik Ipar

Author: Jannah Zein
last update Last Updated: 2024-05-07 10:39:46

Bab 4

Bukan hal yang mudah untuk membujuk Mutia, karena gadis yang sekarang tidak lagi menjadi gadis itu memang pilih-pilih makanan. Mutia memang tidak menyukai sayur, apalagi tauge yang dianggapnya memiliki bau yang tidak sedap, padahal Sania sudah merendamnya di air yang mendidih supaya bau yang tidak enak itu hilang.

Jadi tauge yang dipakai untuk campuran gado-gado itu dalam kondisi yang masak, bukan mentah. Tapi tetap saja Mutia tidak menyukainya.

Sania menghela nafas sembari tangannya terus bergerak untuk mencuci perkakas bekas ia memasak tadi. Malam ini juga semuanya harus beres. Sania paling tidak suka meninggalkan dapur dalam keadaan berantakan.

Sekarang atau nanti, toh sama saja. Tetap saja dia yang harus membereskan ruangan ini. Tidak ada ceritanya Asih atau Nuri membantunya mengerjakan pekerjaan rumah.

Setelah selesai menyapu lantai dapur, Sania pun duduk di lantai dengan posisi kaki berselonjor. Matanya kosong menatap sekeliling ruangan. Orang-orang masih saja berada di ruang makan, asyik menikmati makanan tanpa sedikitpun menawarinya untuk ikut makan bersama. 

Sania tidak merasa tersinggung. Dia sudah biasa makan paling akhir.

Sejauh ini dia memang tidak pernah komplain dengan kebiasaan yang diterapkan oleh keluarga suaminya. Lagi pula, setelah menata hidangan, dia biasanya akan membereskan dapur terlebih dulu, sebelum akhirnya makan. 

Begitu kebiasaan yang berlaku selama bertahun-tahun, bahkan Sania jarang makan bersama dengan suaminya. Selalu saja ia makan sendirian di dapur setelah membereskan meja bekas makan seluruh anggota keluarga.

"Kepalaku kok pening ya?" Sania memijat kepalanya. Baru ia merasakan jika perutnya sudah lapar. Dia memang tidak sempat makan tadi siang, karena setelah selesai acara akad nikah, dia langsung membereskan seisi rumah, kemudian harus pula mengeluarkan barang-barangnya dari kamar utama, membersihkan kamar pembantu dan menatanya, lalu memasak untuk makan malam.

Dia melupakan kebutuhan perutnya sendiri.

Sania menatap ke arah kompor. Semua makanan sudah ia hidangkan dan tak ada yang tersisa di dapur. Lagi pula ia memang lebih terbiasa makan paling akhir.

"Sabar ya perutku. Sebentar lagi mereka selesai makan," batin Sania seraya mengelus perutnya. 

Merasa tak ada lagi yang perlu ia kerjakan, akhirnya Sania bangkit. Dia bermaksud untuk masuk ke dalam kamarnya, tapi ketika ia baru saja berdiri, tiba-tiba saja tubuhnya limbung. Pandangannya berkunang-kunang dan sedikit gelap. Sania tidak bisa menahan keseimbangan tubuhnya.

"Sania, kamu kenapa?" Suara berat itu terdengar disertai dengan tubuhnya yang terasa melayang. Seketika itu pula, rasa hangat menjalari tubuhnya.

"Raka," lirih Sania. Meski pandangannya gelap, tetapi ia mengenal suara itu. Itu adalah Raka, adik Randy. Lantaran merasa tak berdaya, Sania membiarkan tubuhnya digendong oleh Raka.

"Kamarku yang itu, Raka. Kamar pembantu, bukan kamar utama. Kamar utama ditempati oleh Mas Randy dan Mutia." Suara Sania lirih, tetapi cukup didengar oleh Raka dan membuat pria itu sangat terkejut, karena semula ia bermaksud akan membawa Sania masuk ke dalam kamar utama.

Namun Raka tidak membantah. Akhirnya ia membawa Sania ke sebuah ruangan yang berada di samping dapur. Itu ruangan yang difungsikan sebagai kamar pembantu. Raka mendorong pintu dengan kakinya dan pintu pun terbuka. Raka merebahkan Sania di kasur dengan hati-hati, lantaran melihat kasur itu cukup tipis

"Apa yang terjadi, Sania?" tanya pria itu sembari memindai sekeliling kamar.

Tentu saja ia tidak tahu menahu keadaan terkini di rumah ini, karena ia baru saja pulang dari luar kota dalam rangka mengurus usahanya. 

Di pernikahan kedua sang kakak pun dia tidak hadir, karena menganggap itu bukan hal yang penting. 

"Aku disuruh Mama untuk pindah ke kamar ini, karena katanya kamar utama akan ditempati oleh Mutia dan Mas Randy," papar Sania lirih. Kepalanya masih saja pusing, meski rasa hangat itu tetap saja menjalari tubuhnya saat telapak tangan Raka menempel di dahinya.

"Kok bisa begitu? Aturan macam apa ini? Masa iya istri pertama malah disuruh menghuni kamar belakang? Ini kamar pembantu, Sania!" Pria itu kontan bangkit dengan wajah yang seketika memerah. Namun Sania menahan pria itu dengan memegang lengannya.

"Tidak apa-apa, Raka. Aku bersedia tinggal di sini. Di kamar manapun sama saja. Nanti mas Randy juga akan mengunjungiku di kamar ini. Aku tetap akan kena giliran kok."

"Nia...." Pria itu menatap Sania dengan iba. Bagaimana tidak? Tubuh itu terlihat begitu lelah. Wajahnya pun sedikit pucat. Raka berani bertaruh, jika Sania pasti belum makan seharian dan dia pasti juga kelelahan mengurus rumah ini, menyiapkan untuk acara akad nikah, kemudian membereskan seisi rumah setelah acara itu sendirian.

Meski jarang pulang ke rumah ini, tetapi Raka tahu, tidak ada sejarahnya ibu dan kakaknya mau membantu Sania untuk mengurus rumah sebesar ini. Mereka selalu saja mengandalkan tenaga Sania.

"Maafkan Mas Randy ya, Nia. Andai bisa, aku pasti akan mencegah pernikahan itu, tetapi aku kalah suara. Kamu tahu kan, dalam hal apapun, Mama dan Kak Nuri lah yang menang." Pria itu tersenyum kecut. Tangannya lagi-lagi terulur mengusap pipi Sania dengan lembut.

"Nggak apa-apa, Raka. Aku baik-baik saja kok, hanya saja mungkin hari ini aku sedikit lelah. Jadi ya beginilah...." Sania balas tersenyum. Dia menepis tangan Raka dari pipinya dengan halus.

Tubuh wanita itu menggeliat, berusaha untuk bangkit, karena teringat bahwa orang-orang di rumah ini pasti sudah selesai makan dan dia harus membereskan meja makan.

"Kamu nggak perlu berpura-pura di hadapanku. Aku tahu, kamu butuh bahu untuk bersandar." Pria itu malah merapatkan tubuhnya. Tangannya mengusap bahu Sania berkali-kali, elusan yang sungguh membuat wanita muda itu sebenarnya merasa nyaman dan sedikit lebih tenang.

"Aku bisa menjadi bahu tempatmu bersandar. Sania, berceritalah. Kamu boleh memaki-maki kakakku kok. Aku tidak akan marah, karena memang kakakku, ya seperti itu. Mas Randy memang salah, hanya saja dia sama sekali nggak bisa dinasehati, apalagi aku yang dianggapnya sebagai anak bau kencur." Lagi-lagi pria itu terkekeh, meski suaranya cukup lirih.

"Terima kasih atas perhatianmu, Raka, tapi sungguh aku nggak apa-apa kok. Lihatlah, aku masih kuat untuk duduk." Sania memang sudah berhasil duduk, meski dengan cara bersandar di dinding, karena ia membentangkan kasur merapat ke dinding. Tubuhnya pun sebenarnya masih lemah, tapi ia tidak mau terlihat hancur di hadapan adik iparnya ini. Sania tidak ingin membuat iba pria ini. 

Dia dan Raka sebenarnya tidak terlalu dekat, karena pria itu jarang pulang ke rumah ini. Yang ada di rumah ini hanya Randy dan ibunya, juga Mutia. Nuri pun hanya sesekali berkunjung ke rumah ini, karena ia punya rumah sendiri yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah ini.

"Kamu mau ke mana, Sania? Diamlah. Jangan melakukan apapun. Kamu harus istirahat," cegah Raka mendapati Sania yang bermaksud bangkit dari kasur. Spontan ia menekan dada wanita muda itu. Tangannya yang tanpa sadar menekan gundukan kenyal di dada Sania membuat darahnya seketika berdesir. Ada rasa yang tak biasa menjalari tubuhnya.

Debaran di tubuhnya seolah membangunkan sesuatu yang selama ini tertidur.

"Tampaknya Mama, Kak Nuri, dan Mas Randy sudah selesai makan. Aku harus membereskan meja makan, Raka...." Lagi-lagi Sania menepis tangan Raka seraya menggeleng.

"No, kamu nggak boleh kemana-mana. Biar nanti aku yang membereskan meja makan. Kamu diamlah." Pria itu kembali bangkit, tapi tangan Sania kembali menahan.

"Jangan, Raka. Biar aku saja. Itu sudah menjadi tugasku kok, lagi pula nggak enak dilihat kalau meja makan berantakan. Aku nggak suka...."

Namun Raka kembali menggeleng. 

"Aku yang akan membereskannya. Kamu diam di sini. Nanti sekalian aku akan bawakan makan malam buat kamu. Kamu tunggu di sini ya. Nggak usah khawatir, tidak akan ada yang tahu jika akulah yang membereskan meja makan. Aku akan melakukannya tanpa sepengetahuan mereka. Oke?!" Pria itu membungkuk dan menepuk bahu Sania berkali-kali, lalu memutar tubuhnya dan berbalik menuju pintu.

***

Raka benar-benar mendekati janjinya. Tidak sampai setengah jam kemudian, pria itu masuk kembali ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi makanan. 

Namun wajahnya nampak sedikit keruh saat meletakkan nampan di lantai sisi kasur.

"Maaf Sania, gado-gadonya sudah habis. Capcaynya pun tinggal sedikit, jadi capcaynya aku masak ulang pakai mie instan. Nggak apa-apa ya." Pria itu meringis sembari mengangkat piring berisi campuran mie instan dengan sisa capcay. Dia menyendok makanan itu dan menyuruh Sania untuk membuka mulut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
goblook kho di pelihara thoor sdh di khianati di jadiian babu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Aku Kangen, Sayang

    Bab 39"Mau ke toko kosmetik, Tante. Barusan kan aku beres-beres kamar. Nah, ternyata skincare ku nggak ada, hilang gitu. Nggak tahu tuh siapa yang ngambil." Sania menyebut tanpa tedeng aling-aling.Percuma juga beralasan ini itu, toh pada kenyataannya beberapa produk perawatan wajahnya hilang dan kemungkinan diambil oleh tante Wina."Kamu nuduh Tante yang udah ngambil skincare kamu?! Sok kegayaan pakai skincare segala. Percuma, Sania. Kamu pikir skincare murahan kamu itu bisa membuat kamu lebih cantik daripada Mutia?! Nggak ngaruh sama perhatian Randy sekarang pada Mutia, apalagi mereka akan segera punya anak!" balas perempuan paruh baya itu. Bicaranya sedikit ngegas, meski bagi perempuan paruh baya itu biasa saja.Namun Sania melihat gerak-gerik perempuan itu, yang refleks memegang tas tangannya lebih erat.Tak salah lagi, pasti Tante Wina pelakunya. Hanya saja dia malas untuk membuktikan dengan cara menggeledah tas milik perempuan itu.Lebih baik beli yang baru, habis perkara."Aku

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Kena Mental

    Bab 38"Kalau mau kalung juga, minta aja sama Mas Randy! Bilang sama dia, Tante! Aku nggak ikut-ikutan ya, karena bukan urusanku. Jadi jangan dilibatin aku. Apalagi sampai menyuruh aku untuk meminta kepada Mas Randy supaya membelikan kalung untuk Tante!" Perempuan itu menatap dua perempuan paruh baya itu bergantian."Ingat, yang menjadi istri kesayangan Mas Randy itu sekarang adalah Mutia. Kehadiranku udah nggak berarti bagi Mas Randy. Asal Tante tahu, sekarang aku bahkan sedang menimbang-nimbang untuk mengajukan perceraian!""Percaya diri sekali kamu, Sania. Mentang-mentang sekarang sudah punya tabungan sendiri, jadi berani minta cerai sama anakku begitu?!" dengus mama Asih. Dia masih memegang buku tabungan milik Sania. Sebenarnya dia iri karena Sania bisa mengumpulkan uang, bisa menabung, sementara dia tidak bisa. Memang, lebih dari separuh gaji Randy diberikan kepadanya, tetapi itu dialokasikan untuk memenuhi semua keperluan seisi rumah ini. "Ya jelas dong! Tapi sayangnya Mas Rand

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Jatuh Cinta

    Bab 37Perempuan itu hanya mengangguk. Tak ada tanggapan. Dia memilih cepat-cepat masuk ke dalam rumah.Tidak mungkin ia meladeni perempuan tetangga sebelah rumahnya. Dia tak bisa berbohong lagi. Kebohongan satu akan berujung pada kebohongan yang lain.Terlalu banyak dosanya. Pekerjaan pagi ini bisa di handle Aya dan Lia. Dia hanya kebagian membuat bumbu. Membuat bumbu memang pekerjaan yang harus ditangani sendiri, karena menyangkut rahasia dapurnya. Tidak ada orang yang bisa di percayai seratus persen, bukan?Setelah selesai membuat bumbu, Sania kembali ke kamarnya. Dia mulai menyusun bantal, melipat selimut, dan ya... Aroma Raka tertinggal di pembaringan ini. Dia mencium selimut itu, mencoba menghadirkan sosok Raka disini."Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada adik iparku sendiri?" Sania mengerang lirih. "Kenapa aku bisa luluh padanya? Bagaimana kalau orang-orang tahu hubungan kami?" Sania mengenang sapaaan tetangganya barusan. Mungkin hari ini masih aman, tapi entahlah kal

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Sarapan Bersama

    Bab 36"Aya!" pekik Sania. Matanya seketika melotot.Ingin rasanya memarahi dua gadis itu, tapi dia tidak sanggup. Aya dan Lia, dua kakak beradik itu benar-benar menggemaskan dan sangat disayanginya, namun sekaligus menyebalkan jika sudah seperti ini."Tenang, Kak. Ayo tarik nafas dulu." Lia memeluk Sania dari belakang. Dia baru saja selesai mencuci piring. Tangannya yang basah ikut membuat lengan Sania juga basah."Kami sayang Kakak. Kami hanya punya Kakak, dan kami ingin Kakak bahagia bagaimanapun caranya. Jangan marahin Aya ya, Kak," lirih Lia. Sementara saudaranya hanya menunduk takut."Tapi akibatnya itu membuat Raka bisa bebas keluar masuk rumah ini. Itu kesalahanmu, Aya!""Memangnya kenapa kalau Kak Raka bebas keluar masuk ke rumah ini? Dia bukan pencuri loh.""Siapa bilang dia bukan pencuri? Dia itu mencuri sesuatu yang ada di sini, Aya." Sania menunjuk dadanya. Suaranya serak. "Kamu paham maksud Kakak?""Itu hal yang wajar, Kak. Aku melihat Kak Raka itu orangnya baik. Dia say

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Cinta Yang Terlarang

    Bab 35 "Raka... kenapa nekat datang malam-malam begini?!" Sania sangat terkejut. Dia baru saja keluar dari kamar, tetapi Raka sudah muncul di ruang tamu. Artinya, pria itu sudah membuka pintu rumah lebih dulu, padahal Sania memastikan pintu rumah sudah terkunci dengan benar. Pria itu melepaskan helm dan jaketnya, sehingga yang tersisa kini hanya kaus ketat yang mencetak tubuh kekarnya serta celana panjang yang pas membalut bagian bawah tubuh Raka. "Memang sudah niat, karena aku tahu kamu pasti akan menginap di rumah ini. Aku bahkan meminta Aya agar meletakkan kunci di luar rumah, di tempat yang sudah aku tentukan," ujarnya tanpa beban. "Aya?" Sania langsung ternganga. Sampai sejauh itu dua asisten rumah catering-annya ini mendukung hubungannya dengan Raka. Ya Tuhan, ini sudah tidak benar. Dia sudah menasehati dua gadis itu, bahwa perbuatannya dengan Raka bukan hal baik untuk di tiru. Memberikan kunci cadangan untuk Raka sama artinya dengan mengundang harimau masuk ke da

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Seperti Dunia Milik Berdua

    Bab 34"Cie cie... romantis amat. Seperti dunia milik berdua, yang lainnya pada ngontrak, seperti kami ini," celetukan Lia disertai tawa kecil Aya."Kalian...." Mata Sania seketika melotot. Refleks dia memukul lengan pria itu, lalu beberapa detik kemudian dia menunduk. Malu sekali rasanya. Seharusnya mata dua gadis itu tak perlu ternoda oleh adegan tak pantas.Menyesal sekali. Dia merasa sudah mencontohkan hal yang terbaik pada dua gadis itu."Tidak apa-apa. Aya dan Lia bisa dipercaya, kan?" ujar pria itu terdengar sangat santai sembari menunjuk dua gadis yang masih tetap asyik dengan pekerjaannya."Aman, Kak. Kita semua bisa dipercaya, asalkan bayarannya cocok....""Dasar mata duitan!" sembur Sania. Wanita itu merasa semakin malu, malu tak terkira. Dan sekali lagi dia mencubit lengan Raka yang tetap dengan ekspresinya seolah tanpa dosa.Kenapa pria itu sangat percaya diri?Sania benar-benar tidak habis pikir."Setiap orang butuh duit. Itu pengalaman kami saat masih di jalanan." Tawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status