เข้าสู่ระบบBab 3
Tak terasa satu jam sudah berlalu dan ruangan ini akhirnya kembali bersih. Sania menyapu dan mengepelnya sekaligus bahkan hingga dua kali. Meski ukuran kamar ini tidak seluas kamar utama ataupun kamar tamu, tetapi setidaknya cukup nyaman untuk ditinggali.Sania sudah menyingkirkan barang-barang yang tidak terpakai. Dia membawanya ke halaman belakang. Beberapa barang memang sudah waktunya untuk dibuang, sementara beberapa barang lain Sania masukkan ke dalam kardus ukuran besar dan ditaruhnya di samping kamar mandi. Area itu memang tidak terpakai dan memang biasanya digunakan oleh bik Nah untuk menyimpan barang-barang yang sudah tidak digunakan lagi.
Tidak ada ranjang, hanya kasur berukuran sedang yang Sania gelar untuk alas tidurnya. Sungguh kontras sekali dengan kamar utama yang memiliki ranjang ukuran besar, bahkan hanya ada lemari pakaian berukuran kecil dan dulunya memang digunakan oleh pembantu untuk menaruh barang-barang pribadi.
"Benar-benar penampakanku seperti pembantu dan aku pun diperlakukan seperti pembantu." Sania berkaca di cermin dan melihat wajah dan tubuhnya yang kotor. Baju yang dikenakannya pun bukanlah baju baru yang seharusnya dipakai untuk melekatkan identitasnya sebagai nyonya rumah ini.
Tetap saja posisi tertinggi dimiliki oleh ibu mertuanya. Asih, wanita paruh baya itulah yang bertugas mengendalikan semua uang dan keputusan di rumah ini, sementara Sania hanya menerima begitu saja, bahkan Sania pun tidak berdaya saat Asih dan Nuri memintanya untuk menandatangani surat persetujuan jelang acara akad nikah itu.
"Bukan aku tidak berdaya untuk meminta cerai, tetapi aku memilih bertahan untuk membuktikan bahwa aku tidak mandul. Aku tidak mandul! Kalian harus tahu itu. Jika memang sampai saat ini aku belum bisa memberikan keturunan untuk kalian, bisa jadi anak dan adik kalianlah yang bermasalah. Lagi pula selama ini dia selalu menghindar jika aku ajak ke dokter. Aku bisa pastikan jika Mutia tidak akan pernah bisa menghasilkan keturunan. Mutia tidak akan pernah bisa hamil dan punya anak," gumam Sania dalam hati. Dia sangat menantikan momen itu, momen yang membuktikan praduganya selama ini.
Randy lah yang bermasalah, bukan Sania!
Sania terlalu lelah berdebat dengan siapapun di rumah ini, jadi dia akan membuktikannya dengan cara bertahan di rumah ini.
"Suatu saat kalian akan tahu siapa sebenarnya anak dan adik yang kalian bangga-banggakan itu." Sania menghela nafas seraya menatap langit-langit kamar. Dia sudah membaringkan tubuhnya di kasur dan membiarkan pintu kamarnya terbuka begitu saja.
Tubuhnya begitu lelah, lelah tubuh dan juga jiwa. Perasaannya tercabik-cabik membayangkan setelah akad nikah ini suaminya pasti akan bercinta sepanjang hari dan malam dengan Mutia, sementara ia harus menyiapkan seluruh keperluan orang-orang di rumah ini termasuk Mutia.
Tetapi ah, bukannya mereka memang sudah bercinta? Ketika ia melewati ruang tamu dan akan masuk ke kamar utama untuk membereskan barang-barangnya, dia mendengar suara desahan dan rintihan erotis.
Seenak apa Mutia sebenarnya? Apakah milik Mutia lebih sempit dibandingkan milik Sania?
Pikiran Sania menjadi tak karuan. Bayangan adegan erotis itu berkelebat di benaknya.
"Sania!" Suara Nuri begitu mengejutkan. Sania merotasi bola matanya dengan malas dan tertegun menetap kehadiran Nuri yang berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
"Jangan enak-enakan di kamar! Pekerjaanmu belum selesai. Lihat tuh, piring masih menumpuk di belakang. Kamu harus selesaikan pekerjaanmu!" Suara Nuri menggelegar, tapi setelah itu dia langsung berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu.
Sania menghela nafas dan bangkit dari kasur, lalu berjalan keluar dari kamarnya. Ternyata piring-piring kotor itu masih menumpuk di sana, sama seperti saat ia tinggalkan demi membereskan barang-barangnya dari kamar utama.
"Kenapa tidak ada yang membantuku, padahal tumpukan piring kotor ini berasal dari acara tadi pagi?" keluh Sania. Terkadang dia merasa seperti seorang istri yang dizalimi. Sudah dimadu, harus pula membereskan sisa-sisa acara akad nikah suami dan istri keduanya.
Benar, dia memang sudah dizalimi oleh suami dan keluarga suaminya. Sania baru menyadari hal ini. Seisi rumah ini kompak memanfaatkan tenaganya tanpa peduli dengan perasaannya, serta lelah yang mendera tubuh lantaran seharian bekerja mengurus rumah ini.
Dia memang pembantu gratisan!
Air matanya berlinang sembari tangannya pelan-pelan mulai bekerja. Sania mencuci piring dan mengangkatnya ke tempat penirisan.
"Setelah ini kamu masak ya. Kalau ada makanan sisa tadi pagi, kamu hangatkan." Lagi-lagi perintah Nuri. Entah sejak kapan wanita itu berada di dapur.
"Baiklah, Kak. Tapi aku harus masak apa?" tanya Sania. Dia membuka kulkas dan mengamati bahan-bahan yang ada di sana.
"Capcay sama gado-gado. Nanti untuk Mutia taugenya di dibanyakin ya, biar dia makin subur dan cepat hamil," pesan Nuri.
Sania mengangguk dan segera mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Capcay dan gado-gado adalah makanan yang sehat karena penuh dengan sayur. Sania nanti akan menambahkannya dengan telur dadar crispy.
***"Makanan apaan ini?! Memangnya kamu pikir aku kelinci?!"sembur Mutia. Sepasang matanya melotot saat Sania menyodorkan sebuah piring berisi gado-gado yang penuh dengan tauge dan disiram dengan saus kacang."Mutia, Kak Nuri sendiri yang bilang kepadaku bahwa kamu harus memakan banyak tauge agar rahim kamu subur dan cepat hamil." Sania berusaha menjelaskan agar Mutia tidak marah. Sungguh dia hanya melaksanakan pesan Nuri.
Sania hapal betul selera Mutia. Mutia memang tidak menyukai sayur. Akan tetapi dia tetap membuatnya karena itu adalah pesan dari Nuri. soal Mutia yang komplain, itu bukan urusannya. Komplain saja dengan Nuri. Habis perkara! Begitu pikir Sania.
"Tapi aku mau makan friend chicken dan kentang goreng. Kamu tahu kan aku lebih suka makan itu. Kenapa nggak kamu sediakan sih?" keluh gadis itu. Mulutnya lantas mengerucut.
"Mutia, aku hanya menjalankan apa yang diinginkan oleh Kak Nuri. Kak Nuri mintanya makan malam kita ini capcay dan gado-gado. Jadi...."
"Aku tidak mau!" potong Mutia setengah menjerit. "Aku maunya friend chicken sama kentang goreng. Kalau makan nasi, bisa-bisa tubuhku jadi gendut dan Mas Randy nggak mencintaiku lagi."
Namun Sania hanya menggeleng. Dia menatap sang suami, berusaha memberi kode untuk membujuk Mutia yang tantrum seperti anak kecil.
Kejadian seperti ini bukan pertama kali di rumah ini. Mutia memang menyukai makanan cepat saji, sehingga Randy seringkali membelikannya makanan itu.
Namun mulai sekarang, kebiasaan itu harus diubah, karena Mutia harus menjalani hidup yang lebih sehat. Dia harus mengkonsumsi makanan yang sehat, banyak sayur supaya dia cepat hamil.
Bukankah seperti itu yang diinginkan oleh semua orang?
Saking inginnya mendapatkan keturunan, suami dan keluarganya sampai mengorbankan dirinya, memaksanya untuk menandatangani surat persetujuan untuk dimadu.
Asih dan Nuri terlihat sedang berjalan menghampiri mereka. Sania undur dan memilih pergi ke dapur, karena dia sudah menyelesaikan pekerjaannya menata semua makanan di meja makan.
Biarkan saja Nuri dan Asih membujuk Mutia. Sania tidak akan peduli. Salah mereka sendiri yang memintanya untuk menyiapkan makanan itu. Meski akhirnya lamat-lamat terdengar suara Asih yang meminta Randy untuk memesan friend chicken dan kentang goreng lewat aplikasi pengantaran makanan instan.
"Rasain kalian," gumam Sania.
Bab 53Setelah Mutia dan ibunya berhasil ia usir, Sania kembali masuk ke dalam rumah bibinya. Dia tersenyum getir manakala mendapati ibunya yang berbaring di lantai tanpa alas kain, hanya dengan sebuah bantal sebagai penyangga kepala."Mama...." Perempuan itu berjalan menghampiri. "Maafkan Sania, Ma.""Apa benar apa yang dikatakan oleh Wina dan Mutia itu, Nak?" tanya bibi Salma."Katakan jika mereka berbohong...."Namun Sania justru menggeleng. Sudah terlanjur, lebih baik ia jujur. Apa gunanya menyimpan kebusukan, toh akhirnya tercium juga oleh ibunya. Tadi selintas dia sudah memikirkan. Sania jadi mengerti, kedatangan tante Wina dan Mutia hanya salah satu jalan yang ditunjukkan Tuhan agar ibunya mengetahui semua hal buruk yang sudah ia lakukan bersama dengan Raka.Dia memang salah, jadi lebih baik mengaku saja."Aku mengaku khilaf. Raka sangat baik dan perhatian padaku. Di rumah itu, hanya Raka yang mau peduli, sementara Mas Randy lebih mengutamakan Mutia. Jadi bagaimana mungkin aku
Bab 52"Apa kamu bilang...?" Hilda terbata-bata. Tubuhnya seketika lemas, yang untung saja segera diraih oleh Salma. Dipeluknya sang kakak, lalu diusapnya punggungnya penuh kelembutan. Dibandingkan saudara mereka yang lain, Salma lah yang paling baik pemahamannya pada Hilda. Salma pula yang setia merawat dan menemani Hilda, karena rumah mereka memang bersebelahan."Nggak usah ngada-ngada kamu, Wina. Jangan bikin fitnah di sini. Mana mungkin Sania melakukan hal seperti itu? Mungkin dia hanya berteman dengan Raka. Dia dekat, tapi bukan berarti mereka pacaran. Lagian, Raka itu anak baik kok. Dia nggak pernah aneh-aneh, apalagi sama kakak ipar sendiri." Tentu saja Salma langsung membantah. Pasalnya setiap kali kemari, Raka selalu berperilaku baik dan sopan."Kalian yang terlalu polos. Tante pikir aja sendiri! Emangnya keuntungan rumah catering itu berapa? Walaupun laris, tapi bahan-bahan baku mahal, belum lagi harus bayar karyawan." Mutia menerangkan. Dari raut wajahnya terlihat jelas, i
Bab 51"Daripada Mama berbicara dengan Raka, yang ujung-ujungnya hanya malu-maluin aku, lebih baik Mama berbicara dengan tante Hilda. Lebih baik kita ceritakan soal perselingkuhan Sania dengan Raka. Pasti Tante Hilda shock. Kalau perlu kita bikin penyakitnya kambuh. Jadi otomatis Sania pasti akan sedih dan tidak jadi deh itu renovasi rumah....""Ah.... Kamu memang pintar, Sayang." Perempuan itu meletakkan ponsel di pangkuannya, lalu menepuk jidat. "Kenapa Mama nggak kepikiran tadi ya?""Itu karena yang ada di otak Mama cuma uang, tetapi tidak mau berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak!" geram Mutia. Tentu saja ia kesal. Ibunya memang tidak bekerja. Dia hidup dengan mengandalkan uang pensiunan papanya, dan juga uang pemberian darinya. Namun wanita paruh baya itu selalu bergaya hidup mewah.Buah itu biasanya akan jatuh tidak jauh dari pohonnya.Mutia menjelma sebagai gambaran ketika Wina masih muda dulu.Akhirnya di sinilah mereka berada. Rumah ini juga sederhana, rumah
Bab 50"Istri bukan, pacar juga bukan. Aku itu cuma kakak ipar. Memangnya Raka mau kasih aku uang?" sinis Mutia. Miris sekali dengan tingkat konektivitas ibunya. Mutia sampai menggaruk kepala saking gemesnya."Buktinya kalau sama Sania, Raka itu royal, padahal toh dia kakak iparnya juga, kan?" Tuh, kan? Tante Wina masih juga tidak mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya, padahal Mutia sudah menjelaskan panjang lebar."Ya, nggak sama. Mereka itu kan sudah jadi pasangan. Aku nggak tahu dan nggak pernah melihat, tapi aku yakin pasti mereka sudah tidur bareng." "Ya udah. Kamu tidur bareng aja sama Raka. Yang penting kan nggak ketahuan sama Randy. Ya udah, kakak adik kamu ambil sekalian, jadi nggak kalah kan sama Sania. Mama juga heran, Sania itu di poligami sama kakaknya, terus malah pacaran sama adiknya. Kamu tiru aja dia, biar kamu dapat uang lebih kayak Sania." Perempuan itu terus mengompori Mutia.Masa lalu tante Wina juga tidak baik. Dia pun juga hamil diluar nikah saat menikah
Bab 49"Ya iyalah. Pasti Mama bantuin kok. Cuma masalahnya, Mama bisa bantu apa? Kamu kan tahu gimana keadaan keuangan kita sekarang?" balas ibunda Mutia ini."Duit aja yang Mama pikirin! Otak ini kudu diajak mikir, Ma," keluh Mutia. Dia mengusap perutnya yang membuncit. Ya, benar sekali dugaan Raka dan Sania. Itu memang bukan milik Randy, tapi seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa. "Bagaimana bisa mikir, kalau kamu akhir-akhir ini nggak pernah kasih Mama uang? Dulu aja sebelum kamu punya suami, kamu sering ngasih uang sama Mama. Tapi sekarang mah boro-boro! Kamu itu punya suami apa enggak sih?" Tante Wina malah mengomel. Perempuan paruh baya dengan dandanan menor ini memang dari awal mata duitan. Kelakuan yang sudah mendarah daging sejak ia masih muda."Kalau aku nggak punya suami, bagaimana aku bisa melahirkan anak ini, Ma. Ngomong sih enak," dengus Mutia. Dia baru saja pulang kerja dan langsung pergi ke rumah ibunya, maksud hati ingin melampiaskan kekesalannya yang menggumpal
Bab 48"Aku berangkat dulu ya, Sayang. Semoga hari kamu menyenangkan."Raka memeluk kekasihnya, lalu mencium kening itu dengan lembut."Hati-hati di jalan ya. Maaf belum bisa mengantar keluar. Aku belum bisa keluar kamar, takut Lia dan Aya curiga dengan cara berjalanku." Perempuan itu tersipu malu karena sadar dengan aktivitas mereka tadi malam membuat cara jalannya akan berubah. Dia pasti akan menjadi bahan ledekan Aya dan Lia jika berani keluar dari kamar."Pastinya. Kamu nggak perlu keluar kamar. Cukup di sini saja, tunggu aku pulang. Aku usahakan pulang cepat. Nanti berkas-berkas ini akan langsung aku serahkan sama Mbak Windy. Oke." Raka mengacungkan sebuah map.Berkas-berkas yang diperlukan untuk keperluan perceraiannya dengan Randy sudah disatukan Sania ke dalam satu map saja, sehingga gampang untuk dibawa.Sania mengangguk. Dia membiarkan Raka berlalu dari kamarnya. Sementara itu, dia kembali berjalan menuju pembaringan. Sudah tak sabar ingin segera kembali beristirahat.Aktivi







