Share

Hanya Sebatas Itu

Penulis: Jannah Zein
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-08 13:15:29

Bab 5

"Maaf Sania, gado-gadonya sudah habis. Capcaynya pun tinggal sedikit, jadi capcaynya aku masak ulang pakai mie instan. Nggak apa-apa ya." Pria itu meringis sembari mengangkat piring berisi campuran mie instan dengan sisa capcay. Dia menyendok makanan itu dan menyuruh Sania untuk membuka mulut.

Namun Sania menggeleng, malah berusaha meraih piring yang berada di tangan Raka, tapi seketika Raka menjauhkan piring dari jangkauan tangan Sania.

"Buka mulutmu ,Sania. Biar aku yang menyuapi kamu. Oke?" Ujung sendok itu masih saja berada tepat di bibir Sania yang membuat wanita itu terpaksa membuka mulut.

"Pintar." Raka tersenyum puas.

"Aku bisa makan sendiri, Raka. Kamu nggak perlu nyuapin aku. Aku bukan anak kecil," protes wanita itu. Lagi-lagi ia gagal merebut piring makan dari tangan Raka.

"Sesekali orang dewasa juga boleh bertingkah seperti anak kecil, lagi pula wajah kamu itu kan imut, kayak anak kecil, tahu...." 

"Raka...." Lantaran gemas, Sania mencubit lengan itu. Tapi tentu saja tidak terasa karena tangan Raka begitu keras. Cubitan Sania lebih terasa elusan buat pria itu.

"Kamu cantik kalau merajuk," ucapnya lagi seraya kembali menodongkan sendok ke mulut wanita itu.

Sesuap demi sesuap berpindah dari piring ke mulut Sania. Akhirnya satu piring mie instan bercampur capcay itu pun habis. Raka menghela nafas lega. Dia menyerahkan segelas air yang segera diminum oleh wanita itu.

"Terima kasih, Raka."

"Sama-sama. Kalau ada apa-apa, jangan ragu atau sungkan berbagi sama aku. Aku dan Mas Randy memang kakak beradik, tetapi kami berbeda sifat." Lagi-lagi wajah pria itu menatap Sania lekat.

"Aku peduli sama kamu, sama perasaanmu. Aku tahu, tidak mudah membiarkan suami menikah lagi. Andai aku bisa mencegah pernikahan itu, tentu akan aku lakukan, tetapi aku tidak bisa. Aku benar-benar menyesal, Sania, tidak bisa membantumu dan hanya ini yang bisa kulakukan. Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja malam ini dan malam-malam selanjutnya, karena aku pikir Mas Randy akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk Mutia...."

"Kita sepemikiran, Raka." Lirih sekali suara Sania.

Wanita itu mengangguk, lalu beringsut dari tempat duduknya dan bermaksud akan bangkit. Tapi lagi-lagi Raka menahannya.

Posisi tubuh mereka saat ini begitu dekat, bahkan wajah keduanya hanya berjarak dua jengkal. Aroma tubuh maskulin Raka begitu tercium dan terasa sangat memabukkan. 

Sania membuang pandangannya ke arah pintu dan alangkah terkejutnya saat menemukan sosok wanita setengah tua yang berdiri di depan pintu dengan wajah yang merah padam.

"Mama." Bibir wanita itu bergetar.

Merasa kehadirannya sudah diketahui oleh Sania, Asih segera melangkah masuk ke dalam kamar itu, menghampiri Raka dan Sania. Secepat kilat dia menarik tangan putra bungsunya itu agar sedikit menjauh dari Sania.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Raka?! Kalau kamu butuh bantuan Sania, tinggal bilang saja. Tidak perlu berlama-lama di kamar ini," tegur keras wanita paruh baya itu. Dia melirik sinis menantunya.

Sebenarnya dia sudah berdiri selama beberapa menit di depan pintu dan melihat adegan Raka yang menyuapi Sania. Asih pun mendengar pembicaraan Sania dengan Raka.

"Seperti yang Mama lihat. Aku barusan selesai menyuapi Sania makan," ujar Raka santai.

"Berani sekali kamu melakukan itu sama dia! Ingat, Raka, Sania itu kakak iparmu! Kalau memang kamu ingin minta tolong kepadanya, kamu nggak perlu berlama-lama di kamar ini. Sekarang keluar kamu!" usir ibunya seraya mendorong tubuh anak bungsunya itu.

Raka terpaksa mengalah dan akhirnya keluar dari kamar setelah sebelumnya menoleh sekilas kepada wanita itu. Perasaannya begitu berkecamuk.

Dia tidak punya maksud apapun selain hanya ingin menemani wanita yang sudah diduakan oleh kakaknya itu. Dia hanya ingin memastikan Sania tidak berbuat ekstrem yang membahayakan diri sendiri, tetapi mungkin ibunya salah paham.

"Aku tidak melakukan apapun pada Sania, Ma. Aku hanya menyuapinya makan dan mengajaknya ngobrol. Asal Mama tahu, dia itu sakit. Dia kelelahan bahkan kelaparan. Dan kalian semua tidak ada yang peduli padanya!"

Usai mengucapkan kata-kata itu, Raka benar-benar berlalu dari kamar Sania dan melangkah gontai menuju kamarnya sendiri.

Ini sudah malam dan di kamar utama pasti sedang terjadi pertempuran panas, proses pembuatan seorang anak antara kakaknya dan istri barunya. Sementara istri pertama kakaknya sedang terbaring sakit, bukan cuma sakit fisik, tapi juga batin. 

"Ini sungguh tidak adil bagi Sania. Ini nggak adil!" Berulang kali kata-kata itu terlontar, tetapi hanya bisa diucapkan Raka dalam hati. 

***

"Mama tahu kamu lelah, tapi jangan pernah menggunakan kelemahan kamu untuk menarik perhatian anak mama yang lain, kalau kamu tidak ingin diusir dari rumah ini!" Ultimatum Asih. Nada suaranya terdengar amat mengintimidasi.  

Sania menatap sendu ibu mertuanya. Perasaannya campur aduk. Baru saja ia merasa senang karena masih ada yang peduli dengan penderitaannya di rumah ini, tapi sekarang lagi-lagi ia harus dihadapkan oleh ibu mertuanya yang mungkin salah paham atas sikap peduli yang ditunjukkan oleh Raka kepadanya barusan.

"Lagian ngapain Raka sampai menyuapi kamu makan? Memangnya kamu nggak bisa makan sendiri ya? Jangan manja, Sania."

"Atau jangan-jangan kamu ingin menggoda anak saya atau mau balas dendam karena Randy menikah lagi?!"

"Apa yang Mama katakan?" Akhirnya Sania kembali menyela setelah sekian lama ia diam dan hanya mendengarkan omelan ibu mertuanya. 

"Raka itu anak bungsu Mama yang paling Mama sayangi. Dia bahkan lebih mapan daripada Randy. Dia punya usaha sendiri. Kamu ingin menggoda Raka dengan memanfaatkan sakit yang kamu derita?" Sorot mata setajam pisau itu seolah menyayat-nyayat hatinya, tetapi itu belum seberapa. Ucapan yang terlontar dari mulut ibu mertuanya lah yang membuatnya bertambah sakit.

Siapa yang sedang menggoda?

Bukannya Raka datang sendiri dan hanya bermaksud menolong di saat tubuhnya lemah dan hampir pingsan di dapur tadi, lalu Raka mengambilkan makanan dan menyuapinya makan?

Hanya sebatas itu.

"Maaf Ma, aku bukan perempuan murahan yang dengan mudahnya menggoda adik ipar sendiri. Aku sudah menganggap Raka itu seperti adikku, jadi Mama tidak perlu berpikir yang bukan-bukan." Sania berusaha menegakkan tubuh meski tubuhnya masih terasa amat lemah.

"Halah... kamu nggak usah ngeles. Sekali lagi kamu terlihat berduaan dengan Raka, Mama pecat kamu sebagai menantu! Mama akan bilang kepada semua orang jika kamu sudah menggoda adik iparmu sendiri. Dasar perempuan murahan!"

Asih beranjak dari tempat duduknya setelah puas memaki-maki Sania. Dia berbalik dan keluar dari kamar ini.

Wanita muda itu menghela nafas. Rasanya apa yang dilakukannya selalu saja salah. Dia sudah melakukan banyak hal, tapi nyatanya itu masih belum cukup memuaskan bagi anggota keluarga ini.

"Tak ada yang peduli padaku. Tak ada yang mau mengerti perasaanku. Sekali ada yang perhatian, malah aku dituduh yang bukan-bukan. Salahku apa?"

Suara isakannya kembali terdengar. Sania menangis, menangis sejadi-jadinya. Dia terus meracau, mengungkapkan semua yang terpendam di dalam hatinya. Dia lelah lahir dan batin.

Sania menangis sembari memeluk lututnya. Suaranya terdengar begitu memilukan. Sania tidak peduli apakah ada orang yang mendengar tangisannya atau tidak. Dia hanya ingin menumpahkan semua rasa sakit yang dideritanya. Sudah terlalu lama ia memendamnya sendirian.

Sepasang lengan kekar yang menempel di punggungnya membuat Sania mendongakkan wajah.

"Raka...."

Entah sejak kapan pria ini masuk ke dalam kamarnya. Bukankah sebelumnya dia sudah keluar dari kamar ini? Kenapa kembali lagi? Apakah dia tidak takut ketahuan ibunya?

"Ya. Ini aku." Tangan pria itu segera berpindah, mengusap-ngusap kepala Sania, lalu menahan pundak wanita itu, membantunya untuk kembali berbaring.

"Kamu tenang saja. Nggak ada orang yang tahu kedatanganku ke kamarmu. Semua orang sudah tidur, kecuali mungkin Mas Randy sama Mutia. Lagi pula, aku sudah menutup pintu kamarmu." Raka menunjuk pintu kamar yang kini memang sudah tertutup rapat.

Tapi Sania kembali teringat peringatan ibu mertuanya barusan.

"Tapi...." Sania ingin protes, tapi bibirnya malah ditempeli jari telunjuk besar.

"Jangan ada tapi. Berhentilah menangis dan pejamkan matamu." Raka mengambil selimut dan membentangkannya di atas tubuh wanita itu hingga sebatas dada.

Tangannya juga terulur mengusap wajah Sania yang basah.

"Jangan buat aku merasa semakin bersalah dengan tangismu, Sania. Kamu nggak boleh menangis, sementara suamimu dan istri barunya sedang memadu cinta. Kamu harus kuat. Kamu nggak boleh menyerah. Kamu harus bilang ke semua orang jika sebenarnya kamu itu nggak mandul. Yang mandul itu Mas Randy...."

"Kamu...." Tenggorokan Sania serasa tercekat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Kejutan Untuk Mama

    Bab 32Benar, Randy memang memeluknya sepanjang malam, tapi besok pagi dia harus mendapat omelan dari Mutia. Janjinya tanggung jawab, tapi ternyata Randy tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela dirinya.Sania benar-benar geram. Dia memutuskan untuk tidak membuat sarapan pagi ini. Biarkan saja seisi rumah kelaparan. Dia langsung mandi dan bersiap untuk menuju rumah kontrakannya, karena tentu masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan."Biar aku sarapan di rumah kontrakan saja bersama dengan Aya dan Lia," gumam Sania setelah ia mengunci kamar dan melangkah keluar."Mau ke mana kamu pagi-pagi begini?" tegur mama Asih. Wanita itu tengah duduk menghadap meja makan yang kosong."Aku mau pergi, Ma. Mama bikin sarapan sendiri ya," ujar Sania ringan seolah tanpa beban dan terus melangkah melewati ruang makan menuju ruang tamu."Bikin sarapan dulu, Sania. Jangan main pergi aja! Urus dulu suamimu!" teriak mama Asih yang kaget dengan respon Sania yang membangkang perintahnya. Wanita it

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Istri Bukan Pembantu, Mas!

    Bab 31Makan malam kali ini sangat tenang, tanpa drama seperti biasanya. Malam ini Mutia tidak protes, meski hanya ada ikan gurame goreng, sayur labu kuning dan tempe goreng Mereka nampak makan sangat lahap, meskipun hanya ada Sania, Randy, Mutia dan mama Asih. Malam ini Raka kembali absen. Pria itu memang datang dan pergi sesukanya. Akhir-akhir ini dia lebih sering menginap di apartemen ketimbang di rumah. Terkadang Sania berpikir, Raka tersinggung lantaran kini ia tidak lagi bergantung kepada Raka.Sania sudah memiliki penghasilan sendiri yang cukup lumayan, keuntungan dari rumah cateringnya. Rekening pribadinya kini mulai terisi dan terus menggendut saldonya."Sania," panggil Randy ketika Sania baru saja selesai mengemas meja makan."Akhir-akhir ini kamu selalu pulang sore, bahkan hampir malam. Sebenarnya kamu sibuk apa sih di luar sana?""Itu bukan urusanmu, Mas," sahut Sania datar tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya."Tapi Mas harus tahu, karena kesibukan kamu itu membuat ru

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Bukan Robot

    Bab 30Glek.Ucapan Sania langsung menohok. Dia memang tidak perlu berbasa-basi, mengatakan apa adanya. Bukankah seharusnya setiap tetes keringat yang sudah dikeluarkannya harus ada imbalannya? Bukan sekedar materi, tapi setidaknya mereka bisa memperlakukannya lebih manusiawi, bukan dianggap sebagai robot pekerja rumah tangga. Jujur dia sudah muak dengan semua ini. Tapi saat yang ia nantikan itu belum tiba. Dia hanya ingin bermain cantik.Mungkin beberapa bulan lagi dan itu tidak lama. Saatnya akan segera tiba."Sudah berani itung-itungan kamu ya?" Wanita paruh baya itu mendengus kasar."Mama aja itung-itungan denganku. Masa aku nggak boleh itung-itungan dengan Mama?" cetus Sania."Memangnya Mama pernah memberi uang lebih setiap kali menyuruhku ke pasar untuk berbelanja keperluan rumah? Padahal Mama sendiri tahu jika aku hampir nggak pernah dikasih uang jajan sama Mas Randy," sambungnya lagi."Sudah berani protes kamu ya? Sudah nggak betah lagi jadi istri anakku?!" Ancaman itu melunc

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Kamu Nggak Sendirian, Sania

    Bab 29"Shilla itu bukan anak kandung Azka. Azka belum menikah," beritahu Bu Rina seolah paham kegelisahan Sania."Maksudnya? Saya tidak mengerti." Otaknya langsung mencerna ucapan ibu Rina."Azka menemukan Shilla berada di dalam kardus tepat di depan pintu rumahnya. Kondisinya waktu itu sangat mengenaskan. Dia menangis lantaran kehausan dan kelaparan, dengan tali pusat yang belum terpotong. Azka memutuskan membawa Shilla ke rumah sakit, kemudian memilih mengadopsinya."Mulia sekali," komentar Sania seraya menatap kagum pria yang sejak tadi tetap saja memasang wajah datar.Tapi kenapa orang tua bayi itu malah meletakkan bayinya di depan rumah Azka? Pertanyaan itu hanya bisa Sania simpan dalam hati, karena ia tidak mau mencampuri urusan keluarga bu Rina. Sania membayangkan seperti novel-novel, jika bayi itu sebenarnya adalah anak kandung Azka dari seorang wanita yang tidak sengaja digaulinya. Namun Sania menepis pikiran itu. Dia melihat sosok yang meski selalu memasang wajah dingin d

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Dimana Istri Azka?

    Bab 28"Sania," panggil Raka setelah ia kembali menutup pintu kamar dan menguncinya. Raka tidak ingin jika ada orang yang memergoki dirinya ada di kamar ini. Untuk saat ini, terlalu berbahaya jika ada orang di rumah ini yang mengendus kedekatannya dengan Sania. Raka tidak ingin menambah penderitaan wanita itu.Mata yang tengah terpejam itu kembali terbuka. Pria itu tersenyum dan melangkah mendekat, meski dadanya bergetar hebat. Tubuh itu hanya di tutupi oleh selimut yang pasti di dalamnya Sania tidak mengenakan apapun. Raka menarik nafas, menekan keinginannya sebagai lelaki yang ingin menerkam Sania saat itu juga.Dia pria normal. Mendapati pemandangan seperti itu, rasanya akan sulit melewatkan begitu saja."Apakah rasanya sakit?" tanya Raka dengan lembut. Dia menempelkan telapak tangannya di dahi Sania. Dahi itu terasa agak panas. Ditatapnya wajah cantik itu dalam-dalam. Wajah cantik, tapi sedikit pucat."Dia memaksaku, tapi akhirnya aku menikmati juga." Bibirnya bergetar hebat.Nye

  • Aku Tidak Mandul, Mas!   Kamu Menyukai Kakak Iparmu?

    Bab 27"Please Mas, jangan mempersulitku seperti ini. Aku tidak mau lagi berurusan dengan Mutia. Kamu sudah tahu resikonya, kan, jika kamu tetap berada di kamar ini?" ucap Sania dengan suaranya yang teramat lirih bernada membujuk.Dia sudah teramat lelah bertengkar dengan Mutia. Setiap kali Randy bermalam di kamarnya, pasti sepupu sekaligus adik madunya itu akan mengomel panjang pendek. Dan yang lebih mengesalkan, ibu mertuanya malah lebih membela Mutia.Sania tak mau rebutan giliran, hal yang akan membuat Randy besar kepala. Dia akan tetap jual mahal sembari menunggu saat itu tiba."Aku tidak peduli. Yang aku mau sekarang adalah kamu." Randy mengeratkan pelukannya, dia bahkan mencium secara brutal. Sania berontak. Dia tidak sudi disentuh oleh pria itu, meski ia sepenuhnya sadar jika Randy itu suaminya.Salah satu pengalaman terburuknya saat disentuh oleh Randy adalah mendapati dirinya dimaki-maki dan ditendang oleh Mutia lantaran dianggap sebagai perebut jadwal gilirannya, padahal Mu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status