LOGINBab 5
"Maaf Sania, gado-gadonya sudah habis. Capcaynya pun tinggal sedikit, jadi capcaynya aku masak ulang pakai mie instan. Nggak apa-apa ya." Pria itu meringis sembari mengangkat piring berisi campuran mie instan dengan sisa capcay. Dia menyendok makanan itu dan menyuruh Sania untuk membuka mulut.
Namun Sania menggeleng, malah berusaha meraih piring yang berada di tangan Raka, tapi seketika Raka menjauhkan piring dari jangkauan tangan Sania.
"Buka mulutmu ,Sania. Biar aku yang menyuapi kamu. Oke?" Ujung sendok itu masih saja berada tepat di bibir Sania yang membuat wanita itu terpaksa membuka mulut.
"Pintar." Raka tersenyum puas.
"Aku bisa makan sendiri, Raka. Kamu nggak perlu nyuapin aku. Aku bukan anak kecil," protes wanita itu. Lagi-lagi ia gagal merebut piring makan dari tangan Raka.
"Sesekali orang dewasa juga boleh bertingkah seperti anak kecil, lagi pula wajah kamu itu kan imut, kayak anak kecil, tahu...."
"Raka...." Lantaran gemas, Sania mencubit lengan itu. Tapi tentu saja tidak terasa karena tangan Raka begitu keras. Cubitan Sania lebih terasa elusan buat pria itu.
"Kamu cantik kalau merajuk," ucapnya lagi seraya kembali menodongkan sendok ke mulut wanita itu.
Sesuap demi sesuap berpindah dari piring ke mulut Sania. Akhirnya satu piring mie instan bercampur capcay itu pun habis. Raka menghela nafas lega. Dia menyerahkan segelas air yang segera diminum oleh wanita itu.
"Terima kasih, Raka."
"Sama-sama. Kalau ada apa-apa, jangan ragu atau sungkan berbagi sama aku. Aku dan Mas Randy memang kakak beradik, tetapi kami berbeda sifat." Lagi-lagi wajah pria itu menatap Sania lekat.
"Aku peduli sama kamu, sama perasaanmu. Aku tahu, tidak mudah membiarkan suami menikah lagi. Andai aku bisa mencegah pernikahan itu, tentu akan aku lakukan, tetapi aku tidak bisa. Aku benar-benar menyesal, Sania, tidak bisa membantumu dan hanya ini yang bisa kulakukan. Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja malam ini dan malam-malam selanjutnya, karena aku pikir Mas Randy akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk Mutia...."
"Kita sepemikiran, Raka." Lirih sekali suara Sania.
Wanita itu mengangguk, lalu beringsut dari tempat duduknya dan bermaksud akan bangkit. Tapi lagi-lagi Raka menahannya.
Posisi tubuh mereka saat ini begitu dekat, bahkan wajah keduanya hanya berjarak dua jengkal. Aroma tubuh maskulin Raka begitu tercium dan terasa sangat memabukkan.
Sania membuang pandangannya ke arah pintu dan alangkah terkejutnya saat menemukan sosok wanita setengah tua yang berdiri di depan pintu dengan wajah yang merah padam.
"Mama." Bibir wanita itu bergetar.
Merasa kehadirannya sudah diketahui oleh Sania, Asih segera melangkah masuk ke dalam kamar itu, menghampiri Raka dan Sania. Secepat kilat dia menarik tangan putra bungsunya itu agar sedikit menjauh dari Sania.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Raka?! Kalau kamu butuh bantuan Sania, tinggal bilang saja. Tidak perlu berlama-lama di kamar ini," tegur keras wanita paruh baya itu. Dia melirik sinis menantunya.
Sebenarnya dia sudah berdiri selama beberapa menit di depan pintu dan melihat adegan Raka yang menyuapi Sania. Asih pun mendengar pembicaraan Sania dengan Raka.
"Seperti yang Mama lihat. Aku barusan selesai menyuapi Sania makan," ujar Raka santai.
"Berani sekali kamu melakukan itu sama dia! Ingat, Raka, Sania itu kakak iparmu! Kalau memang kamu ingin minta tolong kepadanya, kamu nggak perlu berlama-lama di kamar ini. Sekarang keluar kamu!" usir ibunya seraya mendorong tubuh anak bungsunya itu.
Raka terpaksa mengalah dan akhirnya keluar dari kamar setelah sebelumnya menoleh sekilas kepada wanita itu. Perasaannya begitu berkecamuk.
Dia tidak punya maksud apapun selain hanya ingin menemani wanita yang sudah diduakan oleh kakaknya itu. Dia hanya ingin memastikan Sania tidak berbuat ekstrem yang membahayakan diri sendiri, tetapi mungkin ibunya salah paham.
"Aku tidak melakukan apapun pada Sania, Ma. Aku hanya menyuapinya makan dan mengajaknya ngobrol. Asal Mama tahu, dia itu sakit. Dia kelelahan bahkan kelaparan. Dan kalian semua tidak ada yang peduli padanya!"
Usai mengucapkan kata-kata itu, Raka benar-benar berlalu dari kamar Sania dan melangkah gontai menuju kamarnya sendiri.
Ini sudah malam dan di kamar utama pasti sedang terjadi pertempuran panas, proses pembuatan seorang anak antara kakaknya dan istri barunya. Sementara istri pertama kakaknya sedang terbaring sakit, bukan cuma sakit fisik, tapi juga batin.
"Ini sungguh tidak adil bagi Sania. Ini nggak adil!" Berulang kali kata-kata itu terlontar, tetapi hanya bisa diucapkan Raka dalam hati.
***
"Mama tahu kamu lelah, tapi jangan pernah menggunakan kelemahan kamu untuk menarik perhatian anak mama yang lain, kalau kamu tidak ingin diusir dari rumah ini!" Ultimatum Asih. Nada suaranya terdengar amat mengintimidasi.
Sania menatap sendu ibu mertuanya. Perasaannya campur aduk. Baru saja ia merasa senang karena masih ada yang peduli dengan penderitaannya di rumah ini, tapi sekarang lagi-lagi ia harus dihadapkan oleh ibu mertuanya yang mungkin salah paham atas sikap peduli yang ditunjukkan oleh Raka kepadanya barusan.
"Lagian ngapain Raka sampai menyuapi kamu makan? Memangnya kamu nggak bisa makan sendiri ya? Jangan manja, Sania."
"Atau jangan-jangan kamu ingin menggoda anak saya atau mau balas dendam karena Randy menikah lagi?!"
"Apa yang Mama katakan?" Akhirnya Sania kembali menyela setelah sekian lama ia diam dan hanya mendengarkan omelan ibu mertuanya.
"Raka itu anak bungsu Mama yang paling Mama sayangi. Dia bahkan lebih mapan daripada Randy. Dia punya usaha sendiri. Kamu ingin menggoda Raka dengan memanfaatkan sakit yang kamu derita?" Sorot mata setajam pisau itu seolah menyayat-nyayat hatinya, tetapi itu belum seberapa. Ucapan yang terlontar dari mulut ibu mertuanya lah yang membuatnya bertambah sakit.
Siapa yang sedang menggoda?
Bukannya Raka datang sendiri dan hanya bermaksud menolong di saat tubuhnya lemah dan hampir pingsan di dapur tadi, lalu Raka mengambilkan makanan dan menyuapinya makan?
Hanya sebatas itu.
"Maaf Ma, aku bukan perempuan murahan yang dengan mudahnya menggoda adik ipar sendiri. Aku sudah menganggap Raka itu seperti adikku, jadi Mama tidak perlu berpikir yang bukan-bukan." Sania berusaha menegakkan tubuh meski tubuhnya masih terasa amat lemah.
"Halah... kamu nggak usah ngeles. Sekali lagi kamu terlihat berduaan dengan Raka, Mama pecat kamu sebagai menantu! Mama akan bilang kepada semua orang jika kamu sudah menggoda adik iparmu sendiri. Dasar perempuan murahan!"
Asih beranjak dari tempat duduknya setelah puas memaki-maki Sania. Dia berbalik dan keluar dari kamar ini.
Wanita muda itu menghela nafas. Rasanya apa yang dilakukannya selalu saja salah. Dia sudah melakukan banyak hal, tapi nyatanya itu masih belum cukup memuaskan bagi anggota keluarga ini.
"Tak ada yang peduli padaku. Tak ada yang mau mengerti perasaanku. Sekali ada yang perhatian, malah aku dituduh yang bukan-bukan. Salahku apa?"
Suara isakannya kembali terdengar. Sania menangis, menangis sejadi-jadinya. Dia terus meracau, mengungkapkan semua yang terpendam di dalam hatinya. Dia lelah lahir dan batin.
Sania menangis sembari memeluk lututnya. Suaranya terdengar begitu memilukan. Sania tidak peduli apakah ada orang yang mendengar tangisannya atau tidak. Dia hanya ingin menumpahkan semua rasa sakit yang dideritanya. Sudah terlalu lama ia memendamnya sendirian.
Sepasang lengan kekar yang menempel di punggungnya membuat Sania mendongakkan wajah.
"Raka...."
Entah sejak kapan pria ini masuk ke dalam kamarnya. Bukankah sebelumnya dia sudah keluar dari kamar ini? Kenapa kembali lagi? Apakah dia tidak takut ketahuan ibunya?
"Ya. Ini aku." Tangan pria itu segera berpindah, mengusap-ngusap kepala Sania, lalu menahan pundak wanita itu, membantunya untuk kembali berbaring.
"Kamu tenang saja. Nggak ada orang yang tahu kedatanganku ke kamarmu. Semua orang sudah tidur, kecuali mungkin Mas Randy sama Mutia. Lagi pula, aku sudah menutup pintu kamarmu." Raka menunjuk pintu kamar yang kini memang sudah tertutup rapat.
Tapi Sania kembali teringat peringatan ibu mertuanya barusan.
"Tapi...." Sania ingin protes, tapi bibirnya malah ditempeli jari telunjuk besar.
"Jangan ada tapi. Berhentilah menangis dan pejamkan matamu." Raka mengambil selimut dan membentangkannya di atas tubuh wanita itu hingga sebatas dada.
Tangannya juga terulur mengusap wajah Sania yang basah.
"Jangan buat aku merasa semakin bersalah dengan tangismu, Sania. Kamu nggak boleh menangis, sementara suamimu dan istri barunya sedang memadu cinta. Kamu harus kuat. Kamu nggak boleh menyerah. Kamu harus bilang ke semua orang jika sebenarnya kamu itu nggak mandul. Yang mandul itu Mas Randy...."
"Kamu...." Tenggorokan Sania serasa tercekat.
Bab 53Setelah Mutia dan ibunya berhasil ia usir, Sania kembali masuk ke dalam rumah bibinya. Dia tersenyum getir manakala mendapati ibunya yang berbaring di lantai tanpa alas kain, hanya dengan sebuah bantal sebagai penyangga kepala."Mama...." Perempuan itu berjalan menghampiri. "Maafkan Sania, Ma.""Apa benar apa yang dikatakan oleh Wina dan Mutia itu, Nak?" tanya bibi Salma."Katakan jika mereka berbohong...."Namun Sania justru menggeleng. Sudah terlanjur, lebih baik ia jujur. Apa gunanya menyimpan kebusukan, toh akhirnya tercium juga oleh ibunya. Tadi selintas dia sudah memikirkan. Sania jadi mengerti, kedatangan tante Wina dan Mutia hanya salah satu jalan yang ditunjukkan Tuhan agar ibunya mengetahui semua hal buruk yang sudah ia lakukan bersama dengan Raka.Dia memang salah, jadi lebih baik mengaku saja."Aku mengaku khilaf. Raka sangat baik dan perhatian padaku. Di rumah itu, hanya Raka yang mau peduli, sementara Mas Randy lebih mengutamakan Mutia. Jadi bagaimana mungkin aku
Bab 52"Apa kamu bilang...?" Hilda terbata-bata. Tubuhnya seketika lemas, yang untung saja segera diraih oleh Salma. Dipeluknya sang kakak, lalu diusapnya punggungnya penuh kelembutan. Dibandingkan saudara mereka yang lain, Salma lah yang paling baik pemahamannya pada Hilda. Salma pula yang setia merawat dan menemani Hilda, karena rumah mereka memang bersebelahan."Nggak usah ngada-ngada kamu, Wina. Jangan bikin fitnah di sini. Mana mungkin Sania melakukan hal seperti itu? Mungkin dia hanya berteman dengan Raka. Dia dekat, tapi bukan berarti mereka pacaran. Lagian, Raka itu anak baik kok. Dia nggak pernah aneh-aneh, apalagi sama kakak ipar sendiri." Tentu saja Salma langsung membantah. Pasalnya setiap kali kemari, Raka selalu berperilaku baik dan sopan."Kalian yang terlalu polos. Tante pikir aja sendiri! Emangnya keuntungan rumah catering itu berapa? Walaupun laris, tapi bahan-bahan baku mahal, belum lagi harus bayar karyawan." Mutia menerangkan. Dari raut wajahnya terlihat jelas, i
Bab 51"Daripada Mama berbicara dengan Raka, yang ujung-ujungnya hanya malu-maluin aku, lebih baik Mama berbicara dengan tante Hilda. Lebih baik kita ceritakan soal perselingkuhan Sania dengan Raka. Pasti Tante Hilda shock. Kalau perlu kita bikin penyakitnya kambuh. Jadi otomatis Sania pasti akan sedih dan tidak jadi deh itu renovasi rumah....""Ah.... Kamu memang pintar, Sayang." Perempuan itu meletakkan ponsel di pangkuannya, lalu menepuk jidat. "Kenapa Mama nggak kepikiran tadi ya?""Itu karena yang ada di otak Mama cuma uang, tetapi tidak mau berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak!" geram Mutia. Tentu saja ia kesal. Ibunya memang tidak bekerja. Dia hidup dengan mengandalkan uang pensiunan papanya, dan juga uang pemberian darinya. Namun wanita paruh baya itu selalu bergaya hidup mewah.Buah itu biasanya akan jatuh tidak jauh dari pohonnya.Mutia menjelma sebagai gambaran ketika Wina masih muda dulu.Akhirnya di sinilah mereka berada. Rumah ini juga sederhana, rumah
Bab 50"Istri bukan, pacar juga bukan. Aku itu cuma kakak ipar. Memangnya Raka mau kasih aku uang?" sinis Mutia. Miris sekali dengan tingkat konektivitas ibunya. Mutia sampai menggaruk kepala saking gemesnya."Buktinya kalau sama Sania, Raka itu royal, padahal toh dia kakak iparnya juga, kan?" Tuh, kan? Tante Wina masih juga tidak mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya, padahal Mutia sudah menjelaskan panjang lebar."Ya, nggak sama. Mereka itu kan sudah jadi pasangan. Aku nggak tahu dan nggak pernah melihat, tapi aku yakin pasti mereka sudah tidur bareng." "Ya udah. Kamu tidur bareng aja sama Raka. Yang penting kan nggak ketahuan sama Randy. Ya udah, kakak adik kamu ambil sekalian, jadi nggak kalah kan sama Sania. Mama juga heran, Sania itu di poligami sama kakaknya, terus malah pacaran sama adiknya. Kamu tiru aja dia, biar kamu dapat uang lebih kayak Sania." Perempuan itu terus mengompori Mutia.Masa lalu tante Wina juga tidak baik. Dia pun juga hamil diluar nikah saat menikah
Bab 49"Ya iyalah. Pasti Mama bantuin kok. Cuma masalahnya, Mama bisa bantu apa? Kamu kan tahu gimana keadaan keuangan kita sekarang?" balas ibunda Mutia ini."Duit aja yang Mama pikirin! Otak ini kudu diajak mikir, Ma," keluh Mutia. Dia mengusap perutnya yang membuncit. Ya, benar sekali dugaan Raka dan Sania. Itu memang bukan milik Randy, tapi seseorang yang ia sendiri tidak tahu siapa. "Bagaimana bisa mikir, kalau kamu akhir-akhir ini nggak pernah kasih Mama uang? Dulu aja sebelum kamu punya suami, kamu sering ngasih uang sama Mama. Tapi sekarang mah boro-boro! Kamu itu punya suami apa enggak sih?" Tante Wina malah mengomel. Perempuan paruh baya dengan dandanan menor ini memang dari awal mata duitan. Kelakuan yang sudah mendarah daging sejak ia masih muda."Kalau aku nggak punya suami, bagaimana aku bisa melahirkan anak ini, Ma. Ngomong sih enak," dengus Mutia. Dia baru saja pulang kerja dan langsung pergi ke rumah ibunya, maksud hati ingin melampiaskan kekesalannya yang menggumpal
Bab 48"Aku berangkat dulu ya, Sayang. Semoga hari kamu menyenangkan."Raka memeluk kekasihnya, lalu mencium kening itu dengan lembut."Hati-hati di jalan ya. Maaf belum bisa mengantar keluar. Aku belum bisa keluar kamar, takut Lia dan Aya curiga dengan cara berjalanku." Perempuan itu tersipu malu karena sadar dengan aktivitas mereka tadi malam membuat cara jalannya akan berubah. Dia pasti akan menjadi bahan ledekan Aya dan Lia jika berani keluar dari kamar."Pastinya. Kamu nggak perlu keluar kamar. Cukup di sini saja, tunggu aku pulang. Aku usahakan pulang cepat. Nanti berkas-berkas ini akan langsung aku serahkan sama Mbak Windy. Oke." Raka mengacungkan sebuah map.Berkas-berkas yang diperlukan untuk keperluan perceraiannya dengan Randy sudah disatukan Sania ke dalam satu map saja, sehingga gampang untuk dibawa.Sania mengangguk. Dia membiarkan Raka berlalu dari kamarnya. Sementara itu, dia kembali berjalan menuju pembaringan. Sudah tak sabar ingin segera kembali beristirahat.Aktivi







