Pagi itu, matahari belum sepenuhnya tinggi saat Natasya melangkah keluar dari mobilnya. Sepasang sepatu hak tinggi berdentum pelan menyentuh lantai lobi gedung, langkahnya pasti, elegan.
Blazer biru tua membingkai tubuh rampingnya, rambutnya diikat setengah, dan wajahnya tenang seperti biasa, seolah dunia di sekelilingnya tidak pernah menyentuh kulitnya. Ia bukan tipe yang akan menunjukkan badai di wajahnya. Tapi di dalam, segalanya tidak sesederhana itu. Natasya menaiki lift menuju lantai tempat ruangannya berada. Hanya saja, tiba-tiba saja terdengar suara yang tidak asing, namun juga tidak dia duga. “Tunggu!” teriak Laura. Jari Natasya otomatis menahan tombol lift. Laura bergegas masuk. Tetapi ketika melihat keberadaan Natasya, dia kembali bersikap ketus, tanpa senyum, tanpa ucapan terima kasih. Hanya wajah datar, penuh kesombongan yang sRuangan itu masih terasa sunyi saat pintu terbuka perlahan. Natasya tengah sibuk membenahi tumpukan dokumen di mejanya ketika suara langkah kaki menggema pelan mendekat. Ia menoleh, dan mendapati sosok yang sudah dikenalnya berdiri di ambang pintu. Laura. Dengan blus merah rapi dan rambut yang disanggul tinggi, wanita itu berdiri tanpa senyum. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tetap sama, dingin dan penuh perhitungan. Natasya menatapnya, masih mencoba menjaga sikap. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya pelan, mencoba santai. Laura melangkah masuk tanpa dipersilakan. Ia meletakkan sebuah bingkisan putih ke atas meja, lalu menatap Natasya lurus. “Aku hanya ingin memberimu ini,” ucapnya datar. “Undangan pernikahan.” lanjutnya lagi. Natasya mengangguk. Tangannya meraih bingkisan itu, dan membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat sebuah undangan bernuansa putih. Tidak lupa tertera nama calon pengant
Kenan menatap kerumunan di sekeliling mereka, namun tidak merasa terganggu. “Aku tidak tahu jika membantu orang lain, akan menyenangkan seperti ini,” ucap Kenan. Tarikan napasnya menjadi lebih lega, dan Natasya ikut setuju. “Mungkin karena kamu tidak mengenal dirimu sendiri,” kata Natasya. Kenan tak menjawab, memilih menatap keramaian jalan. Namun sedetik kemudian, dia menghentikan langkahnya. “Boleh aku traktir makan malam? sebagai ucapan terima kasih,” tanya Kenan pelan. Tanpa berpikir panjang, Natasya langsung mengiyakan. “Boleh,” balas Natasya. Tidak ada yang bisa mengukur betapa senangnya Kenan saat ini. Andai saja Natasya akan setuju begitu cepat, ketika Kenan melamarnya. Mereka berjalan berdampingan menuju restoran kecil di pojokan jalan. Tempat itu tidak terlalu ramai, cukup untuk menikmati makan malam tanpa gangguan. Mereka memilih meja di sudut, jauh d
Langit sore itu tampak cerah, meski banyak kendaraan sudah mulai berlalu lalang. Ini sudah hampir jam pulang kantor.Udara di luar kantor begitu sejuk, dan tidak membuat Natasya kedinginan. Suasana sore itu dipenuhi suara klakson dan langkah-langkah orang yang ingin segera pulang. Di tengah lalu lintas manusia, Natasya berdiri di dekat pintu keluar sebuah toko alat tulis, menggenggam ponselnya, membaca email dari klien. Proyek luar kantornya hampir selesai, dan dia ingin segera kembali sebelum arus lalu lintas menjadi semakin buruk.“Baguslah, ini hampir selesai,” ucap Natasya. Ia baru saja memasukkan ponselnya ke dalam tas, saat sapaan seseorang menghentikan gerakannya. “Natasya.” Suara itu membuatnya menoleh cepat. Di sana, berdiri seseorang yang bahkan tak terpikirkan akan ia temui sore ini. Kenan. Dia mengenakan jas hitam formal yang masih tampak rapi meski sudah menjelang waktu pulang kantor. Wajahny
Kenan berdiri di depan pintu lobi perusahaan Watson, tangan kirinya menenteng dua buah goodiebag berisikan makan siang memang sengaja dia bungkus.Kepalanya sedikit menunduk, wajahnya kosong. Dia tidak tahu apa dirinya akan bertemu dengan orang yang dia cari, tapi setidaknya, dia harus terus mencoba.“Semoga saja aku bisa bertemu dengannya hari ini,” gumam Kenan. Langkahnya melambat ketika pintu lift terbuka. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah masuk… lalu terdiam. Di sana, di dalam lift khusus eksekutif itu, terdapat sosok yang dia cari. Natasya berdiri sembari memainkan ponselnya, dan tidak langsung menyadari keberadaan Kenan.Kenan tersenyum ketika melihat Natasya yang berada sedekat ini dengannya. Dia berdeham sejenak, mencoba membuat Natasya menyadari keberadaannya.“Ehemm,” dehem Kenan.Natasya yang mendengar itu, langsung mengangkat wajahnya. Hal yang pertama dia lihat, adalah Kenan yang kini sudah berada di
Mobil hitam milik Kenan berhenti perlahan di salah satu sudut area parkir perusahaan Natasya. Mesin dimatikan, tapi ia tak beranjak turun. Jari-jarinya mengetuk setir dengan pelan, matanya terus menatap lurus ke arah pintu masuk lobi utama. Dia tidak mengatakan apa-apa pada siapa pun. Tidak memberi tahu Rival, tidak menelepon Natasya, dan tidak mengirim pesan. Dia hanya ingin melihatnya… sekali saja. Wajah itu, sosok yang bahkan dalam mimpi pun enggan pergi dari pikirannya.“Tolong datanglah, sebentar saja,” gumam Kenan berharap-harap cemas. Beberapa menit pertama ia masih tenang. Tapi waktu terus berjalan. Satu jam berlalu. Lalu dua. Orang-orang keluar masuk gedung, namun tak satu pun dari mereka adalah Natasya. Kenan mengetuk-ngetukkan jarinya lebih cepat. Matanya menyisir setiap langkah kaki perempuan yang lewat, berharap ada satu yang membuat jantungnya berhenti sepersekian detik.Tapi, tidak ada. Tidak ada satupun tanda, bahwa di
Obrolan makan siang mereka belum juga berakhir, ketika ponsel Dion bergetar pelan di atas meja. Ia melirik layar, tersenyum ringan. “Istriku sudah sampai,” ucap Dion sambil menegakkan punggung. Senyuman tampak terbit di wajahnya, dan Natasya bisa melihat betapa dia mencintai istrinya.“Kamu tidak ingin bertemu dengannya sebentar?” tawar Dion tiba-tiba.Sebenarnya Natasya ingin segera pergi. Tapi sepertinya, Dion ingin dirinya bertemu dengan istrinya terlebih dulu.Akhirnya, Natasya kembali setuju, dan menunggu istri Dion sejenak. “Aku akan berbincang sebentar,” jawab Natasya. Dion berdiri, melangkah santai ke arah pintu masuk restoran. Tidak beberapa lama kemudian, seorang wanita berjalan masuk. Anggun, sederhana, dan punya sorot mata lembut yang langsung memikat. Natasya mengenali wajah itu dalam sekejap. Wanita itu.. “Kak Nana?” batin Natasya.Dia, Nana. Wanita yang pernah duduk bersamanya di taman. Hanya beberapa