Share

Bab 4

"Rindi?"

"Hai Mas Danu, apa kabar? Aku mau kasih kamu kue ini." Rindi memberikan sebuah box kue ke arah Danu. Tetapi, Danu tidak langsung menerimanya. Dia melihat ke arah Arini untuk meminta persetujuan.

Arini yang paham dengan tatapan Danu, akhirnya mengangguk memberikan izin untuk mengambil kue itu."Terima kasih ya, tetapi aku hari ini juga lagi makan kue buatan istriku," ucap Danu berbohong. Mendengar itu Arini melototkan matanya pada Danu.

"Tapi, nanti kue buatanmu biar dimakan sama Mama dan Kak Mira." Danu lalu mengambil box kue dari tangan Rindi. Kemudian dia memberikannya pada Arini. "Ini simpan di dalam ya Dek, nanti beritahu Mama dan Kak Mira Kalau ada kue dari Rindi."  Arini mengangguk kemudian dia masuk ke dalam untuk menyimpan kue itu.

Terlihat wajah tidak senang dari Rindi. "Ayo masuk Rin," ucap Danu mempersilahkan Rindi untuk masuk. "Terima kasih Mas, tapi aku mau pulang dulu soalnya aku belum shalat," tolak Rindi.

"Oh, ya sudah. Terimakasih ya kuenya," ucap Danu berterimakasih. "Iya Mas, kalau begitu aku pulang dulu." Rindi pamit lalu balik pulang meninggalkan rumah Danu.

Saat dijalan pulang, Rindi menggerutu karena gagal sudah mendapatkan perhatian dari Danu. "Menyebalkan! Aku pikir dia akan teringat kembali dengan kue kesukaannya." Rindi terus berpikir bagaimana caranya agar Danu bisa mengingat kembali masa-masa indah mereka? Dengan begitu mudah buat dia untuk masuk kembali ke hati Danu.

Sementara di rumah Danu, Arini menanyakan kebohongan yang dikatakan suaminya di depan Rindi tadi. "Ah, dia itu hanya cari perhatian saja Dek." Arini hanya bisa menghela napas mendengar alasan suaminya yang tidak peduli terhadap perasaan Rindi.

***

Saat Arini dan Danu lagi berduaan di kamar. Terdengar ketukan pintu di pintu kamar mereka. Danu beranjak dari duduknya kemudian diikuti oleh Arini. Nampak Bu Dita berdiri di depan pintu.

"Mama sudah pulang?" tanya Danu yang ditanggapi dengan senyum tipis dari Bu Dita. "Mama mau bicara sama kamu. Cuma sama kamu Danu," ucap Bu Dita dengan sikap dingin. "Mama tunggu di ruang keluarga," sambung Bu Dita kembali kemudian berlalu meninggalkan kamar Danu.

"Mama mau bicara apa sih Dek? Kok cuma sama aku doang?"

"Mas, ke sana saja dulu biar tahu Mama mau bicara apa."

"Kamu tidak apa-apakan Dek?"

"Heheheh, Mas ini seperti nggak kenal Mama kayak gimana sama aku." Danu lalu melangkah ke ruang keluarga.

Di dalam kamar Arini melihat kembali tema yang akan dia pilih nantinya untuk lomba karya ilmiah. "Sepertinya  Pembangunan Ekonomi boleh juga," ucap Arini tersenyum. Dia lalu mengambil buku dan pulpen untuk memulai membuat konsep.

Beberapa jam kemudian, konsep yang dibuatnya pun jadi. Arini membacanya kembali lalu tersenyum senang melihat hasil konsep yang dia buat. "Semoga saja Pak Hatta benar-benar mau meminjamkan bukunya, agar bisa menambah literatur bacaanku nanti," ucap Arini penuh harap.

Arini menguap beberapa kali. Tanda jika dirinya sudah mulai mengantuk.

Akhirnya dia pun tertidur di sofa kamar mereka. Tidak berapa lama, Danu masuk ke kamar.

Dia merasa iba melihat istrinya yang tidak dianggap oleh keluarganya. "Bisa-bisanya mereka menyuruhku pergi tanpa Arini?" ucap Danu bermonolog. "Kamu saja yang pergi, nggak usah ajak Arini. Dia itu hanya bikin malu aja Danu. Mama malu punya menantu kayak dia. Hanya di jadikan bahan olokkan." Ucapan mamanya tadi masih terngiang di kepalanya.

Danu melangkah mendekati sofa tempat istrinya tertidur. Dipandanginya wajah teduh sang istri yang selalu bertahan mendampingi dirinya. Meskipun banyak anggota keluarganya yang tidak menyukainya.

Dia lalu melihat tulisan di kertas yang sedang dipegang Arini. Danu tidak percaya dengan konsep yang dibuat oleh Arini begitu bagus dan rapi. "Sepertinya kamu memang harus kuliah Dek. Melihat tulisanmu aku yakin kamu juaranya." Danu tiba-tiba teringat untuk memberikan sesuatu pada Arini, sebagai bentuk dukungannya pada lomba yang akan diikuti istrinya nanti.

Danu meletakkan kertas itu di atas meja. Kemudian menggendong Arini untuk dipindahkan  ke tempat tidur. Setelah itu, Danu ikut tidur disamping istrinya seraya memeluk tubuh mungil sang istri.

***

Pagi menyapa, Danu dan Arini bersiap untuk ke tempat kerja. Namun, sebelumnya mereka ikut sarapan bersama mama dan kak Mira. Sejak dia mulai bertindak tegas dengan mertua dan iparnya, Arini tidak peduli lagi dengan tatapan tidak suka mereka kepadanya.

"Oh iya Dek, semalam aku lihat tulisan kamu di kertas. Itu nanti kamu pindahkan di mana?"

"Aku pindahkan di ponselku Mas. Nanti biar aku kirim lewat email melalui ponsel."

"Sebaiknya kamu pindahkan di laptop, kalau kamu menulis pake laptopkan lebih enak."

"Iya sih Mas, tapi aku 'kan nggak punya. Biar saja pake yang ada saja dulu." Mendengar itu Danu semakin kagum dengan tekad dan semangat istrinya.

"Kalian ini lagi omongin apa?" tanya Bu Dita. "Ini Ma, Arini akan ikut lomba karya ilmiah yang diadakan di kampusnya Pak Hatta. Lumayan hadiannya Ma, kalau Arini bisa menang dia akan mendapatkan  beasiswa S1," jawab Danu. Dia yakin jika Mamanya mendengar kehebatan Arini, Mamanya pasti akan mendukungnya.

Namun, apa yang dipikirkan Danu tidak sesuai harapan. Bu Dita dan Mira hanya menertawakan Arini. "Lomba karya ilmiah? Emang otak kamu sampai? Hahaha?" ledek Mira kemudian tertawa dengan Bu Dita.

"Sudahlah Rini jangan terlalu besar khayalan sempit harapan. Mau dapat beasiswa katanya? Mau saingi Rindi? Ya jelas kalahlah Rini … Rini," sambung Bu Dita.

Entah kenapa mendengar itu, hati Arini sangat panas. Namun, dia tidak ingin merusak suasana pagi ini. Sehingga dia memilih untuk diam.

Danu melihat perubahan wajah Arini setelah mendengar hinaan dari mama dan kakaknya. Dia kemudian mengakhiri sarapan paginya segera. "Ayo Sayang, kita berangkat. Biar piringnya Kak Mira yang cuci."

Arini tersenyum lalu mengangguk. Dia berdiri dari duduknya, lalu menggandeng tangan Danu. "Arini! Tunggu!" Mira berdiri dan menghalangi jalan Arini dan Danu.

"Dari kemarin, aku terus yang cuci piring. Sekarang gantian kamu yang cuci piringnya," ucap Mira. Arini melepaskan gandengan tangannya, lalu melipat kedua tangannya di dada.

"Maaf Kak, otak aku ini rendah. Hanya sekedar cuci piring saja aku butuh bimbingan. Daripada piring Mama pecah semua. Mending Kak Mira saja yang cuci. Kak Mira 'kan seorang terpelajar dengan gelar tinggi, pasti tau dong cara cuci piring. Kalau Kak Mira nggak tahu cuci piring, berarti otak Kak Mira nggak ada bedanya denganku, otak rendah!"

Arini lalu kembali menggandeng tangan Danu untuk segera berangkat kerja. Sedang Mira terlihat sangat kesal sekali. Dia menghentakkan kakinya lalu berjalan kembali ke kursinya.

***

Di dalam mobil sebelum berangkat, Danu memberikan sesuatu untuk Arini. "Apa ini Mas?" tanya Arini. "Buka saja, biar bisa di lihat apa isinya," ucap Danu tersenyum senang melihat wajah penasaran istrinya.

Arini membuka bungkusan kado itu untuk melihat isinya. Dia terkejut ketika mengetahui bahwa isi kado itu adalah sebuah laptop. " Ya Allah, laptop Mas? Untuk aku?" tanya Arini tidak percaya. "Iyalah sayang, untuk siapa lagi? Kamu suka?" tanya Danu.

"MashaAllah, sangat suka Mas. Makasih banyak ya. Semoga rezeki Mas semakin berlimpah."

"Aamiin."

"Mas kok masih sempat-sempatnya beli laptop? Mas ninggalin aku semalam buat cari laptop?"

"Hahah, tidak Dek. Semalam aku minta tolong sama karyawanku di rumah sakit. Untuk mencarikan laptop. Kamu ingat, tadi pagi aku beralasan pulang dari jogging? Itu aku ngambil laptop di rumahnya terus sekalian aku bungkus."

"Ya ampun Mas, kamu kok repot-repot begini sih?"

"Karena aku ingin istriku menang. Buat aku bangga ya sayang. Buktikan sama semua orang kalau kamu juga bisa seperti mereka."

"Aamiin, iya Mas. Aku janji, aku akan buat kamu bangga. Aku akan buktikan kepada semua orang kalau aku pantas menjadi istri kamu." Danu tersenyum lalu mencium pucuk kepala istrinya. "Makasih ya Dek."

Setelah itu Danu lalu menyalakan mobil dan menjalankannya menuju tempat kerja mereka.

***

Setelah mobil Arini dan Danu meninggalkan halaman rumah. Tidak lama kemudian, Rindi datang. Dia memarkir motornya di halaman rumah Danu. Lalu mengetuk pintu.

Bu Dita menyambut senang kedatangan Rindi ke rumahnya. Begitu pun dengan kak Mira. Sebab, Rindi membantu pekerjaannya sedikit ringan.

Selesai berberes-beres di dapur. Mereka bertiga lalu duduk berbincang-bincang di teras samping. "Tante, bibik yang biasa bantu di sini mana?" tanya Rindi.

"Dia sudah minta berhenti. Soalnya dia ingin pulang kampung menghabiskan masa tuanya di sana."

"Apa tidak sebaiknya ambil pembantu baru Tante."

"Iya, sudah. Tante sudah cari cuma belum dapat saja." Mira lalu menceritakan pada Rindi tentang kabar Arini yang akan mengikuti lomba karya ilmiah. Mendengar itu, tentu saja hati Rindi panas. Dia tidak ingin Arini lebih dari dia.

"Emang dia bisa?" tanya Rindi meremehkan. "Pasti tidak bisalah, cuma dianya saja yang sok pintar," jawab Mira. "Dia itu ingin kayak kamu, sudah cantik berpendidikan," sambung Bu Dita. Rindi tersenyum senang mendengar pujian Mira dan Bu Dita padanya. Tiba-tiba terlintas di kepalanya sebuah ide.

"Gimana kalau kita gagalin aja jalannya untuk ikut lomba itu," ucap Rindi memberikan ide. Bu Dita dan Mira saling pandang. Lalu tersenyum setuju dengan usul Rindi.

"Terus gimana caranya kita hancurkan rencananya?" tanya  Bu Dita. Rindi tersenyum dan mulai menjelaskan rencananya pada Bu Dita dan Mira.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status