Share

bab 5

Bu Dita dan Mira tersenyum licik ketika mendengar rencana Rindi. “Rencana kamu boleh juga. Semoga saja berhasil,” ucap Mira. “Makanya Kakak sebisa mungkin melakukannya dengan baik,” balas Rindi meyakinkan Mira untuk melakukan tugas itu dengan sebaik mungkin.

“Tenang saja, semua akan dilakukan sesuai perintah.” Bu Dita mengacungkan jempol mendengar ucapan putri pertamanya. “Kalau begitu aku pulang dulu ya Tante,” pamit Rindi. Gadis itu kemudian beranjak dari duduknya kemudian menyalami tangan Bu Dita. “Salam sama orangtua kamu ya,” ucap Bu Dita. Rindi mengangguk menanggapi ucapan Mama Danu.

Sepulangnya Rindi, Bu Dita dan Mira tersenyum senang, sebab mereka bisa membuat Arini gagal nantinya. “Berarti kita harus baikkin Arini nih Ma?” tanya Mira. “Iyalah, kita harus berpura-pura untuk mendukung dia, setelah itu booom kita akan membuat dia gagal dan menangis, hahahah.” Bu Dita dan Mira tertawa bahagia dengan rencana licik mereka bersama Rindi.

*******

Di toko Pak Hatta, Arini memperlihatkan konsep yang dia buat semalam pada bosnya. “Gimana menurut Bapak?” tanya Arini. Pak Hatta masih terlihat membaca tulisan di selembaran milik Arini dengan seksama. “Luar biasa konsep yang kamu buat Rini. Nanti sisa kamu tambahin aja yang ada di buku itu. Kamu bawa pulang bukunya biar bisa kamu tambahin lagi di konsep kamu.” Pak Hatta lalu memberikan 2 buah buku untuk Arini sebagai literature bacanya. Arini menerima buku itu dengan senang hati.

“Terimakasih banyak Pak,” ucap Arini tersenyum senang.

“Iya, sama-sama. Semangat ya, semoga kamu bisa mendapatkan beasiswa itu.”

“Aamiin.”

“Itu apa Rin?” tanya Pak Hatta sambil menunjuk sebuah tas ransel yang berisi laptop di samping Arini.

“Oh ini Pak, laptop dari suamiku. Mas Danu memberikannya pagi tadi.”

“Wah, luar biasa Danu sangat mensupport kamu ya? Bagus itu, itu bisa jadi penyemangat buat kamu. Jadi kamu jangan mengecewakan dia.”

“Iya Pak, heheh.”

“Assalamualaikum Pak Hatta,” sapa seseorang yang tiba-tiba datang dan menyela pembicaraan Pak Hatta dan Arini.

“Walaikumsalam, Pak Raka. Mari masuk, saya kira nggak jadi datang.”

“Hehehe, iya maaf lambat. Saya tadi ngasih kuis dulu sama anak-anak.” Raka melirik sekilas ke arah Arini, yang kebetulan bersamaan dengan datangnya Raka tadi ada pembeli yang membayar belanjaannya di meja kasir. Ketika Raka melirik ke arah Arini, satu kata yang dialirkan dari otaknya ‘cantik’. Raka lalu mengikuti langkah Pak Hatta masuk ke ruang tamu.

Selesai melayani pembeli, Arini kembali membuka laptopnya kemudian mulai mengetik kata demi kata yang ada di otaknya tentang karya ilmiahnya. Saking asyiknya mengetika, Arini sampai tidak sadar jika ada sepasang mata yang memperhatikan dia dari jendela. Kebetulan di samping meja kasir ada jendela yang berhadapan dengan teras dan ruang tamu rumah Pak Hatta. 

Raka terus memperhatikan Arini, yang sibuk mengetik di laptopnya. ‘Aku baru tahu kalau ada karyawan cantik di rumah Pak Hatta,’ ucapnya dalam hati. “Eheemm, jangan dilihatin terus, itu istri orang.” Deheman Pak Hatta seketika mengagetkan Raka. 

“Oh, eh Pak itu sepertinya karyawan baru ya? Seingat saya dulu yang di meja kasir toko Bapak itu Ibu-ibu ya?” Pak Raka mencoba mengalihkan untuk menghindari dirinya dari rasa malu karena ketangkap basah sedang memandangi gadis di meja kasir.

“Perasaan sudah lama deh, dari dia belum menikah sampai sekarang dia sudah menikah dia memang kerja di sini.”

“Masa sih Pak? Tapi waktu aku pernah kemari jenguk istrik Pak Hatta sakit, aku lihat bukan dia di meja kasir.”

“Oh iya saya ingat, waktu itu dia cuti nikah kebetulan saat itu istri saya sakit. Terus yang gantiin dia di meja kasir itu pekerja saya yang lain.”

“Oh gitu ya, saya kirain baru. Habisnya pekerja Pak Hatta disini ‘kan sudah banyak. Kok masih terima karyawan baru. Apa karena dia cantik atau gimana? Hahaha,” canda Raka. Pak Hatta pun ikut tertawa, “Ada-ada saja Pak Raka ini.” Mereka pun kemudian terlibat pembicaraan di kampus.

Arini yang sedang asyik mengetik tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Rindi yang hendak ingin membeli sesuatu. Tetapi, karena terlihat Rindi masih memilih-milih barang Arini pun kembali fokus ke laptopnya. Rindi tersenyum miring melihat Arini yang sedang serius berkutat dengan laptopnya. “Ck, sok amat! kerja di balik meja kasir aja, gayanya selangit pake laptop,” ucapnya menghina. Tiba-tiba Rindi melihat Bu Itha pemilik toko yang baru saja datang dan hendak masuk ke toko. Dia pun tersenyum sinis kemudian menjalankan rencana liciknya.

Rindi bergegas menghampiri  Bu Itha, “Bu, gimana sih ini? Daritadi aku berdiri di depan kasir, tapi nggak dilayani. Kasirnya justru asyik dengan laptop. Kalau gini caranya lama-lama pembeli lari semua Bu, nggak dilayani sama karyawan Ibu,” keluh  Rindi bersandiwara.

Bu Itha melihat ke arah Arini yang tengah asyik mengetik. “Maaf ya Mba, mari biar saya layani.” Bu Itha lalu berjalan ke arah Arini, Rindi mengikuti dari belakang dengan tersenyum senang rencananya berhasil. ‘Sebentar lagi dia pasti di pecat hahaha.’ Rindi tertawa dalam hati mengingat apa yang dia pikirkan akan menjadi kenyataan.

Arini terkejut melihat kedatangan Bu Itha di meja kasir dan melayani Rindi. Arini gegas bangkit dari kursinya dan berdiri di samping Bu Itha. Rindi memberikan barang yang dibelinya, kemudian memberikan uang untuk membayar belanjaannya.

“Bu, sebaiknya kasir kayak begini jangan dibiarkan kerja terus di sini, bisa-bisa toko Bu Itha bangkrut,” ucap Rindi selesai membayar belajaannya. “Makasih ya Mba atas sarannya. Tapi bagi saya rezeki itu sudah ada yang atur, meski kasir saya seperti ini kalau memang rezeki maka Allah akan tetap memberikan hak saya.” Bu Itha berucap dengan penuh bijaksana. Tentu saja hal ini di luar ekspetasi dari Rindi.

“Ada lagi yang Mba mau beli? Kalau masih ada, silahkan di cari. Arini, tolong layani pembeli dulu ya. Ngetiknya lanjut istirahat aja ya.” Arini mengangguk dengan patuh, sejujurnya dalam hati Arini sangat tidak enak mendapat pembelaan dari Bu Itha. Dia tetap berniat akan meminta maaf pada Bu Itha nanti. Usai berucap, Bu Itha lalu masuk ke rumahnya.

Sementara itu, Rindi memandang kepergian Bu Itha tidak percaya dengan apa yang dia katakan. “Bu Bos kamu itu lagi sakit ya?” tanyanya. “Sakit? Maksud kamu?” tanya Arini bingung dengan pertanyaan Rindi.

“Bos kamu itu aneh, kamu itu sudah berbuat salah. Bukannya di marahin kek atau di pecat sekalian. Ini malah di baikin kayak  tadi. Aneh ‘kan?” 

“Yang aneh itu kamu, senang banget lihat penderitaan orang lain. Bos ku itu orang terpelajar. Jadi, selalu bertindak sesuai dengan hati nurani. Tidak kayak kamu. Percuma terpelajar tapi attitudemu kurang.”

“Kamu bilang apa?”

“Aku bilang kamu orang terpelajar dengan attitude kurang. Puas?”

Rindi terlihat mengepalkan tangannya mendengar sindiran dari Arini. Sedang Arini tetap tersenyum manis melihat wajah Rindi yang merah padam karena omongannya. “Kamu dengar ya, kamu tidak akan bisa menyaingi aku. Kamu akan tetap menjadi gadis rendah yang tidak terpelajar. Sebentar lagi aku akan membuka mata Mas Danu agar sadar dengan istrinya yang sebenarnya.”

“Aku terima tantanganmu, jangan pernah berpikir aku takut dengan apa yang kamu lakukan. Kamu tahu? Tanpa membuka mata Mas Danu, aku yakin Mas Danu sudah bisa melihat seperti apa sosok masa lalunya. Gadis terpelajar dengan attitude rendah, kasihan.”

“Kamu—“ Rindi menggantung ucapannya seraya mengangkat tangannya hendak menampar Arini. Tanpa mereka sadari seseorang menahan tangan Arini. Membuat kedua wanita itu kaget dengan kedatangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status