"Aduh! Bagaimana mungkin? Aku sudah memancing ayahku sendiri ... ingin melakukan sesuatu kepadaku. Argh, kenapa aku sampai lupa sih. Ih, ini benar-benar menakutkan," batin Ana sambil memegang kepalanya."Pen. Kau jangan menolak. Kita kan sering melakukannya.""Kapan itu?" balas Ana panik. Dia berdiri tegak dan bersiaga untuk menghindar kalau ayahnya mendekat."Kita bertemu setiap 2 minggu sekali diam-diam. Kau ... tidak pernah menolak kalau aku minta. Pen, aku tidak tahan nih!""Ibu, aku membencimu. Dasar pembohong. Argh!" batin Ana berteriak dengan sangat kencang. Dia tidak menyangka sang ibu bisa mengelabuinya sampai bertahun-tahun seperti ini.Sementara Anggara seperti orang kesurupan. Sudah mulai membuka sabuknya dan melemparnya begitu saja."Apakah dia seperti ini kalau melihat ibuku? Ah, sangat menakutkan sekali. Aku harus mencari cara untuk menghindar. Ini gawat. Ponsel, di mana ponselku?" Ana menatap meja. Dia akan menuju ke sana. Tapi bagaimana caranya? Anggara sudah berjalan
Ana semakin kesal. Lelaki itu adalah musuh bebuyutannya saat di sekolah. Ana menaruh dendam kepada Brian. Lelaki itu pernah sengaja melempar wajah Ana dengan bola basket. Kemudian Ana menyembunyikan bola basket itu hingga berhari-hari, sampai Brian tidak pernah menemukannya.Brian adalah sosok paling tampan dan populer di sekolah Ana. Baru kali ini ada wanita yang berani melakukan hal itu kepadanya.Bola basket itu adalah bola kesayangan Brian, pemberian ayahnya saat dia berulang tahun. Brian sangat marah dan akhirnya membawa Ana ke dalam sebuah gudang, tidak jauh dari posisi sekolah. Kecantikan Ana membuat Brian merasakan sesuatu, hingga akhirnya dia mencium Ana dengan mendadak. Tamparan keras melayang di pipi Brian untuk pertama kalinya dari seorang wanita. Hal itu yang menyebabkan Brian semakin menyukai Ana, namun selalu ditolak."Pen, kenapa dia .... argh!" teriak Ana semakin keras. "Pen?" Anggara terkejut ketika Ana malah menyebutkan nama Pen. Kemudian Ana berjalan cepat masuk k
Joko terkejut dia tidak menyangka Anggara akan mengetahui rahasia itu. Padahal, Joko rencana akan menyembunyikan rahasia ini sampai dia akan berbicara sangat serius dengan Ana dan Pen."Raden, aku kok gak dengar apa-apa ya?" balas Joko sambil mengusap telinganya secara bergantian.Anggara menarik Joko dan mengajaknya masuk ke dalam ruangannya. Menutup pintu sangat rapat. Dia berjalan mondar-mandir dan mencoba untuk mencerna semua yang ada."Aku selama ini selalu saja menemui Pen diam-diam. Aku tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Ini benar-benar di luar dugaanku. Awalnya aku senang sekali Pen bersikap manis kepadaku. Tapi ini malah membuatku sangat tidak mengerti." Anggara memegang kedua pundak Joko dan mengoyaknya dengan sangat keras. Otomatis tubuh sang asisten pun bergerak seperti angin puyuh."Raden, iya ... iya. Aku mendengarkan. Kepalaku bisa copot kalau muter-muter gini."Anggara masih saja melakukannya. "Joko! Ini tidak bisa aku biarkan. Aku mau kita menyelidikinya.
Pen masih bergetar. Bagaimana bisa, dia lupa jika tubuhnya berwujud Ana. Anggara malah menepuk-nepuk wajahnya berkali-kali. Dia menarik pipi wajah Ana, seakan ingin menarik kulitnya."Aww, perih!" teriak Pen. "Udah, hehe," lanjutnya meringis. Pen berusaha membuat kemarahan Anggara mereda. Mungkin dengan cara yang melintas di pikirannya saat ini bisa dia lakukan. "Ana, atau siapa kau. Setan, kunti, dedemit? Argh, cepat akui saja!" bentak Anggara. Namun, dia mengernyit saat melihat wajah Ana. Pen memasang wajah memelas. Mulutnya ke bawah seperti badut saat menangis."Jangan berpura-pura. Kau tidak bisa mengelabuiku. Ayolah, aku tidak bisa melihat wajah itu." Anggara semakin memegang kepalanya ketika Pen mulai sesenggukan. Dia tidak bisa melihat wanita menangis. Apalagi anaknya sendiri.Sebelum bertemu dengan Pen, Anggara sosok yang sangat dingin dan super jutek. Semua orang dianggapnya rendah. Bahkan saat berjalan pun, dia tidak pernah memandang semua orang. Tapi, semua berubah sejak d
Ana masih saja meringis. Dia berusaha mengatasi dirinya. Dia hanya sedikit saja mengetahui masa lalunya. Amara menampik tangan Ana yang masih mencubit pipinya."Jangan menyentuhku, wanita sialan," umpat Amara."Ah, Tante. Kenapa seperti itu dengan keponakan sendiri?""Keponakan? Kau salah besar!" Amara menyodorkan kertas berisi tes DNA. "Kau bukan anak kandung kakakku. Makanya aku membuangmu. Kau bukan siapa-siapa.""Sudahlah!" Nyai berdiri di antara mereka. "Aku sudah menduganya. Dia menyerahkan dirinya begitu saja kepada lelaki tidak dikenal. Dan, anakku korbannya--""Ibu!" teriak Anggara. Dia menarik Ana dan berdiri di hadapan ibunya. "Aku yang salah. Saat itu aku masuk dan melakukannya. Jika aku lelaki baik-baik, aku tidak akan melakukan hal biadab itu. Aku yang bersalah, Ibu.""Cukup!" Nyai berteriak. Dia mendekati Anggara dan memegang kedua pundak anaknya. "Untung saja ada adikmu. Kalau tidak, kau malah akan terjebak."Ana mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak akan terima sang
Ana dan Pen saling menatap. Anggara keluar mobil dan membuka pintu belakang. "Keluar!" bentak Anggara. Kedua wanita di hadapannya itu keluar dalam keadaan cemas. Apalagi Pen tidak pernah melihat Anggara sangat marah seperti itu."Jangan berbelit. Katakan siapa Pen, trus Ana. Kalian sangat membingungkan!" Anggara mendekati Ana dan menatapnya tajam. Lalu, bergantian dengan Pen."Kalian memang sangat berubah. Tidak seperti biasanya. Aku yakin kau bukan Pen!" tunjuknya ke arah Ana. "Dan kau bukan Ana!" tunjuknya ke arah Pen.Ana dan Pen saling menatap. Kedua mata Ana mengeryip, memberikan kode kepada Pen. Sementara, Pen mengedipkan salah satu matanya ke arah Ana. Anggara yang melihatnya menjambak rambutnya sendiri karena frustasi. "Argh!" teriaknya lalu berdiri di antara mereka. "Ini benar-benar sangat membuatku gila."Mereka terkejut mobil Nyai dan Joko tiba-tiba datang. Wanita tua itu ditemani Amara dan Gracia mendekati Ana dan menampar keras. Namun, tamparan itu tidak sampai ke sasar
"Ya Allah, Ana. Kamu itu mau ngapain? Masa aku masuk ke dalam kamarmu seperti ini, dan kamu itu wujudnya Ibu Pen. Kan aku jadi tidak enak lihatnya. Rasanya seperti melihat Ibuku sendiri. Gimana sih kamu ini?" Bambang kemudian menuju ke kursi mengambil keripik lalu membukanya dan segera memakan.Ana sangat kesal melihat sahabatnya seperti itu. Dia segera mendekat, kemudian merebut keripiknya. Bambang terkejut kemudian bersedekap menatap Ana dengan sangat kesal."Kamu itu tidak perlu seperti itu. Sudahlah. Sekarang kamu harus menolong aku untuk menyelesaikan masalah ini. Kita malam ini harus menjadi detektif dan kau harus ikut. Siapa lagi aku meminta bantuan kalau nggak sama kamu. Gimana sih?" Bambang kemudian meluruskan tangannya, lalu mendekati sang sahabat yang duduk di pinggir ranjang sambil mengurut pelipisnya. Dia sangat paham dengan kondisi Ana saat ini. Tapi untuk menjadi detektif dan mengikuti Amara, tante Pen yang sangat jahat itu, mana bisa? Dan semuanya pasti akan dipertaru
Pen semakin menatap Joko. Dia melotot tajam. Glek!Joko mengingat Pen ketika marah. Tidak ada ampun baginya."Katakan kepadaku, Joko!" bentak Pen keras."Saya mana tahu. Mereka pergi begitu saja.""Pen, Ana ... Ah, aku bingung. Kita sebaiknya mengikuti mereka saja. Ayo!" sela Mawar."Edi bagus," balas Joko."Edi?" tanya Mawar memegang kepalanya. "Maksudnya ide?" lanjutnya menunjuk Joko yang meringis menganggukkan kepalanya."Argh! Aku bisa gila!" teriak Mawar keras. Sementara Pen hanya menepuk jidatnya sebelum masuk mobil Joko."Kita ke mana?" tanya Mawar duduk di depan kursi kemudi."Mawar, kenapa kamu yang nyetir?" Pen menepuk pundak Mawar dari kursi belakang.Sang sahabat semakin frustasi. Dia tanpa sadar malah duduk di kursi kemudi. Joko segera keluar dan menuju pintu Mawar saat Pen semakin melotot."Mau aku hajar!" teriak Mawar sebelum memutari mobil lalu duduk di kursi samping kemudi."Saya tadi kan mau bilang--" ucap Joko berhenti saat Pen semakin melotot ke arahnya. Dia seger