Ana sangat terkejut melihat kehadiran Amel. Gadis itu menatap Bambang dengan tersenyum. Mengamati sang sahabat dari atas sampai bawah. Dengan sangat seksi Amel mendekati Bambang, kemudian tidak segan-segan menatapnya dari dekat."Kamu ternyata sangat tampan sekali. Apalagi bisa berkelahi dengan hebat seperti itu. Katakan kepadaku. Apakah kau sudah punya pacar? Atau masih mau menungguku?" tanya Amel tanpa basa-basi. Bambang menarik tengkuk leher Amel. Kemudian menciumnya dengan sangat panas. Ana dan Brian terpaku saat melihatnya. Apalagi Amel membalas ciuman itu."Tentu saja aku tidak memiliki pacar. Aku berubah seperti ini karena dirimu, dan aku akan menjadi lelaki yang sangat mencintaimu. Menjagamu sampai kapanpun." Bambang mengeluarkan satu kotak berbentuk hati di saku celananya sebelah kanan. Kemudian membukanya."Kau ..." Amel terkejut saat di dalamnya ada cincin berhiaskan berlian berwarna biru. "Maukah kau menjadi pacarku, tunanganku, dan istriku?" ucap Bambang kemudian memasan
Amara tiba-tiba datang bersama dengan dua aparat kepolisian. Wanita itu sekarang berada di tengah-tengah mereka semua. Ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati Penelope saat melihat sang tante sangat pucat sekali. Bahkan dia menggunakan kursi roda. Tubuhnya sangat kurus. Hati Penelope bergetar, tidak menyangka melihat keadaan tantenya yang semula sangat glamor dan sangat anggun itu, kini berubah sangat mengenaskan."Sebaiknya kita ke sana dan bertanya apa tujuannya ke sini. Jangan pakai emosi. Lihatlah, dia sangat pucat sekali. Mungkin penyakit sudah menggerogoti tubuhnya. Penelope, hilangkan masa lalu itu. Yang penting kita sudah bahagia," bisik Anggara dengan tersenyum tampan."Kita harus memaafkannya, Ibu. Sebagai manusia kita harus memaafkannya," imbuh Ana kemudian menarik Penelope untuk menuruni panggung.Amara tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Penelope menerima uluran tangan itu dengan bergetar."Aku mau minta izin untuk bertemu denganmu. Tentu saja mereka semua mengi
"Katakan saja siapa ayahku, dan aku akan menurut,” ucap Ana gadis remaja kelas tiga SMA. Dengan sangat santai dia melempar beberapa lembar hasil ujian ke atas meja di ruangan tengah. Masih tak peduli, Ana duduk di sofa mengamati Penelope ibunya yang sudah memperlihatkan wajah angker.“Sudah Ibu bilang. Ayahmu memang meninggal!” Penelope yang biasa dipanggil Pen, membentak sembari mengambil semua lembar hasil ujian milik Ana. Kedua matanya melotot saat melihat semua nilai dengan tinta merah di setiap lembarnya.Hidupnya selalu saja tidak tenang ketika pulang ke rumah. Ana masih sengaja membuat ulah. Pen yang berusaha menahan amarah, tetap saja gagal. Gadis itu terlihat tidak peduli dengan kemarahannya.“Empat puluh, tiga puluh sembilan, dua puluh lima? Argh!” teriak Pen semakin keras. Dia meremas semua hasil ujian tengah semester itu. “Ana, ini bukan lelucon!” lanjutnya dengan tegas. "Apa ini ... karena pemuda itu? Pantas nilaimu jelek,” imbuhnya kemudian membayangkan pemuda berambut k
Ini tidak mungkin! Jiwa mereka tertukar? Mereka berdua masih bergeming kaku menatap cermin. Lalu, keduanya menoleh dan saling berpandangan. Masih saja diam, mengamati tubuh masing-masing.“ARGH!”Mereka kembali berteriak bersama-sama, sebelum akhirnya keluar dari kamar mandi dan menuju kamar Pen. Dalam keadaan panik, mereka berjalan mondar-mandir sambil memegang kepala, dan menghentikan langkah bersamaan. Saling menatap dan menggelengkan kepala masih tak percaya.“Ini tidak mungkin. Kenapa jiwa kita bertukar?” tanya Pen sembari menarik napas berusaha menenangkan dirinya.“Ah, dadaku besar. Pen, kau ternyata seksi.” Ana tersenyum memegang kedua aset Pen yang menggunung sambil menatap cermin di atas kaca rias. Pen melotot, lalu berjalan mendekati anaknya.“Hentikan itu,” ucapnya sembari menampis tangan Ana.Pen memikirkan sebuah cara untuk mengatasi hal ini. Selang beberapa menit, dia menuju almari dan mengambil pakaiannya. Setelan kemeja putih dan rok kain selutut berwarna hitam yang s
Mawar panik! Dia meringis ke semua pelanggan yang menatapnya kesal. Dia bergegas mendekati Ana dan mendudukkannya sebelum manajer cafe mendekat. Namun, wajahnya semakin gugup ketika ada yang datang dan mengamatinya dengan tajam. Lelaki memakai jas dengan rambut klimis dan berkaca mata. “Pak Joko, silakan.” Mawar menjawab dengan menelan ludah. Pandangan tajam itu masih menyorot ke arahnya. “Pagi-pagi sudah bikin ribut saja. Memalukan,” balas lelaki itu sambil membetulkan kaca matanya yang sedikit turun ke bawah. Dia adalah asisten Anggara yang selalu mengurusi semua keperluan Raden miliyuner itu. “Pen, kamu gak marah kan? Hehe. Sebenarnya ... ini pernikahan Anggara. Aku sudah mau ngomong kemarin. Cuman ... lebih baik kamu lihat sendiri.” Mawar berbicara sangat pelan dengan perasaan cemas. Sehari sebelumnya, Kepala Manajer menemui Mawar dan mengatakan semuanya. Awalnya Mawar sangat terkejut. Apalagi, dia tahu masa lalu Pen dengan Anggara. Tapi, dia memutuskan untuk tidak mengatakan
"Kenapa dia melakukan itu? Argh!" teriak Pen kesal.Pen meremas ponsel Bambang. Satu-satunya teman Ana di sekolah. Siswa laki-laki paling pintar, namun paling gendut di sekolah."Loh, loh! Kok--," ucap Bambang terkejut ketika melihat sang sahabat membuang ponsel itu ke tempat sampah. "Wadew, berat ini." Bambang hanya menggeleng sambil menarik napas panjang.“Ana, kamu itu kenapa sih?” Bambang menarik Pen dan mengajaknya duduk di kelas. “Untung Bapak aku Manajer perusahaan Mangkunegara dan gajinya besar. Jadi, aku gak susah beli ponsel,” gerutunya sembari menatap Pen yang menundukkan kepala dengan lemas. “Ana, kamu kesurupan?” lanjut Bambang spontan mengejutkan Pen.“Apa kau tahu tadi itu apa?” tanya Pen dengan tatapan serius. “Ceritakan bagaimana kejadian tadi?” lanjutnya masih melotot tajam. Bambang menelan ludah dengan susah payah karena sang sahabat menarik kerah kemejanya, dan membuatnya tercekik. Dia tak pernah melihat Ana galak seperti itu.“Aku ... aku gak tahu. Aku ya kaget
“Hmm, ternyata ayahku super tajir melintir. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan semua ini,” batinnya masih tersenyum. “Pen, aku mau ke sana. Biarkan aku ikut mengurus anak kita,” bisiknya pelan. Anggara masih berhati-hati mengungkap itu semua. “Baiklah, kau kan bapaknya. Kita akan ke sana bersama. Bagaimana?” tanya Ana selalu tersenyum di depan Anggara yang masih saja terpaku. Oh Tuhan! Penelope sama sekali tidak pernah menganggapnya. Walaupun kadang ... Anggara sebenarnya memaksa bertemu diam-diam, namun Pen masih saja tidak akan pernah mengakui lelaki itu lagi, apalagi masa lalu mereka sangat buruk. “Pen? Kau tidak bercanda, bukan?” tanya Anggara semakin mendekat. Dia menundukkan kepala, menatap wajah wanita yang hanya sebatas pundaknya itu. Yang selalu dia bayangkan sepanjang malam. “Kalau kau tersenyum, sangat menggemaskan,” lanjut Anggara pelan dengan semringah. “Tentu saja aku sangat cantik. Baiklah, kita akan pergi,” balas Ana. Mawar yang masih berdiri tegang menatap sem
Ana mendekati Pen, lalu meringis. Sang ibu semakin melotot ke arahnya. Pen masih shock melihat lelaki itu yang sudah diberi sumpah olehnya, “dalam keadaan apa pun, jangan pernah menemui aku. Bersumpahlah,” ucapnya saat terakhir bertemu dengan Anggara. Hingga sekarang Ana membuat sumpah itu dilanggar. Walaupun saat itu Anggara memang tidak mengiyakan sumpah itu.“Ana, maafkan ibumu. Ibu harap, kau bisa menerima ayahmu kembali,” ucap Ana lalu memeluk Pen. Sang ibu mengeratkan pelukannya sampai Ana tidak bisa bernapas. Sementara, para siswa tidak segera masuk ke dalam kelas dan tetap melihat drama menghebohkan itu. Padahal, bel tanda masuk kelas sudah berbunyi. Semua guru pun dan Kepala Sekolah masih terpaku dan penasaran. Ini benar-benar sebuah hal besar, di luar dugaan mereka.“Ana, ibumu tidak bisa bernapas,” lanjut Ana segera melerai pelukannya.“Kau!” tunjuk Pen ke arah Ana. “Kenapa kau melakukan hal itu? Sekarang juga kita harus pulang!” lanjutnya semakin berteriak.“Ana, yang sopa