Joko buru-buru mengikuti Ana masuk ke dalam mobil. Dia resah menatap Ana yang berubah menjadi pendiam. Pertama. Joko tahu masa lalu itu, dan sebaiknya menceritakan semuanya. Kedua, dia juga ingin masalah Anggara dan Penelope segera terselesaikan."Jadi, aku memang harus cerita semuanya? Kau benar-benar sudah siap?" "Tentu saja iya!" sela Ana menggebu. Joko sampai tersentak. "Baiklah, aku akan cerita. Ok, dengarkan."Joko menepikan mobil di pinggir pantai. Dia menekan tombol, membuat atap mobil terbuka. Ana menganga, bahkan tidak berkedip."Argh ... kau ... menyebalkan." Ana mendengus kesal. Dia menempuk pundak Joko sambil menggeleng."Oke, oke. Kalau begitu dengarkan baik-baik."Ana mengernyit saat menatap wajah Joko yang semakin teduh. Ada rahasia besar yang akan terungkap. Joko mulai membuka mulutnya dan cerita. Ana semakin terpaku mendegarnya.Ketika itu Joko menyelamatkan Pen dan membawa ke apartemennya. Dia mendengarkan Pen bercerita sambil menangis. Pen sangat bersedih, ketika
Mata Joko membelalak. Dia paham kalau memang Ana akan sangat terpukul dengan semua yang dia ceritakan. Sebenarnya masih banyak sekali cerita yang belum dia ketahui. Joko sebaiknya menyudahi saja. Ana adalah remaja yang memiliki sifat labil dan masih pemarah. Joko harus berhati-hati dengan kerja sama ini. Dia tidak mau, malah akan membuat masalah semakin rumit."Ya udah. Mending sekarang kamu aku antar pulang saja. Pasti ibumu nunggu kamu. Eh maksud aku ... anak atau ... adew aku kok malah riweh gini ngomongnya." Joko menekan tombol untuk menutup atap mobilnya kembali. Ana masih saja menundukkan kepalanya. Joko kali ini tidak akan menegurnya. Dia akan mengendarai saja."Aku, tidak menyangka Ibu akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Bagaimana kalau memang Juragan berengsek itu yang berada di dalam kamar? Argh! Sialan!" Masih saja mengumpat. Ana tak tahan dengan ini semua. Batinnya meradang. Benar-benar dia akan melakukan sesuatu untuk menyelesaikan semuanya.Umpatan yang akan dia kelu
Anggara tentu saja semakin terkejut. Romo memanggilnya? Jika Romo memanggilnya, itu sama saja dia mendapatkan masalah yang sangat besar. Nyai pasti sudah membawa Ana ke hadapan Romo. Selama ini, Anggara menyembunyikan status Ana. Dia sangat pintar sekali menyimpan semua rahasia itu. Walaupun sebenarnya Joko yang ikut campur dalam semua rencana Raden.Saat pertemuan mendadak Anggara bersama dengan Ana yang masih berada di dalam tubuh pen saat itu, sang Raden tidak memikirkan apa pun dan sudah lelah menyembunyikan semua rahasia itu. Dia akhirnya membongkarnya, membuat Nyai yang saat itu melihat berita televisi sangat terkejut dan tentu saja marah. Memerintahkan puluhan pengawal untuk mencari tahu tentang cucu satu-satunya yang dia miliki itu. Hingga akhirnya dia menemukan jika Ana bersekolah di salah satu SMA terbaik yang sudah dikelolanya. Nyai awalnya membiarkan cucunya itu bersekolah untuk beberapa hari karena Romo sedang menjalankan dinas ke luar negeri. Namun, setelah Romo pulang,
Ana menarik Anggara agar menyingkir dari hadapannya. Membeli hotel? Tentu saja tidak akan pernah. "Jangan dibeli hotelnya. Sayang, hotel kamu kan banyak. Masak kurang. Adew ...," ucap Ana sambil memutar bola matanya. Kini dia menatap manajer hotel yang masih memasang wajah jutek. "Pak. Aku--""Pak? Hmm, aku bukan bapakmu. Mase, panggil itu," balas lelaki itu sambil menyibakkan poninya."Mas. Saya--""Mas?"Ana menggelengkan kepala. Setiap kali dia berbicara, selalu saja terpotong."Kurang hurufnya. Mase! Bukan Mas. Gimana sih," balas lelaki itu melotot.Ana menarik napas panjang, menghembuskan perlahan. Dia menahan diri agar tidak emosi. Mendadak Ana menarik pundak Anggara yang akan mendekati lelaki itu. Ana kembali menggelengkan kepala."Sayang, sabar ya. Biar aku yang atasi ini," ucap Ana meringis. Anggara kembali berdiri di belakangnya sambil bersedekap. Ana sedikit merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Dia menatap lelaki itu dengan tersenyum super ramah."Mase ... udah len
"Aduh! Bagaimana mungkin? Aku sudah memancing ayahku sendiri ... ingin melakukan sesuatu kepadaku. Argh, kenapa aku sampai lupa sih. Ih, ini benar-benar menakutkan," batin Ana sambil memegang kepalanya."Pen. Kau jangan menolak. Kita kan sering melakukannya.""Kapan itu?" balas Ana panik. Dia berdiri tegak dan bersiaga untuk menghindar kalau ayahnya mendekat."Kita bertemu setiap 2 minggu sekali diam-diam. Kau ... tidak pernah menolak kalau aku minta. Pen, aku tidak tahan nih!""Ibu, aku membencimu. Dasar pembohong. Argh!" batin Ana berteriak dengan sangat kencang. Dia tidak menyangka sang ibu bisa mengelabuinya sampai bertahun-tahun seperti ini.Sementara Anggara seperti orang kesurupan. Sudah mulai membuka sabuknya dan melemparnya begitu saja."Apakah dia seperti ini kalau melihat ibuku? Ah, sangat menakutkan sekali. Aku harus mencari cara untuk menghindar. Ini gawat. Ponsel, di mana ponselku?" Ana menatap meja. Dia akan menuju ke sana. Tapi bagaimana caranya? Anggara sudah berjalan
Ana semakin kesal. Lelaki itu adalah musuh bebuyutannya saat di sekolah. Ana menaruh dendam kepada Brian. Lelaki itu pernah sengaja melempar wajah Ana dengan bola basket. Kemudian Ana menyembunyikan bola basket itu hingga berhari-hari, sampai Brian tidak pernah menemukannya.Brian adalah sosok paling tampan dan populer di sekolah Ana. Baru kali ini ada wanita yang berani melakukan hal itu kepadanya.Bola basket itu adalah bola kesayangan Brian, pemberian ayahnya saat dia berulang tahun. Brian sangat marah dan akhirnya membawa Ana ke dalam sebuah gudang, tidak jauh dari posisi sekolah. Kecantikan Ana membuat Brian merasakan sesuatu, hingga akhirnya dia mencium Ana dengan mendadak. Tamparan keras melayang di pipi Brian untuk pertama kalinya dari seorang wanita. Hal itu yang menyebabkan Brian semakin menyukai Ana, namun selalu ditolak."Pen, kenapa dia .... argh!" teriak Ana semakin keras. "Pen?" Anggara terkejut ketika Ana malah menyebutkan nama Pen. Kemudian Ana berjalan cepat masuk k
Joko terkejut dia tidak menyangka Anggara akan mengetahui rahasia itu. Padahal, Joko rencana akan menyembunyikan rahasia ini sampai dia akan berbicara sangat serius dengan Ana dan Pen."Raden, aku kok gak dengar apa-apa ya?" balas Joko sambil mengusap telinganya secara bergantian.Anggara menarik Joko dan mengajaknya masuk ke dalam ruangannya. Menutup pintu sangat rapat. Dia berjalan mondar-mandir dan mencoba untuk mencerna semua yang ada."Aku selama ini selalu saja menemui Pen diam-diam. Aku tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu. Ini benar-benar di luar dugaanku. Awalnya aku senang sekali Pen bersikap manis kepadaku. Tapi ini malah membuatku sangat tidak mengerti." Anggara memegang kedua pundak Joko dan mengoyaknya dengan sangat keras. Otomatis tubuh sang asisten pun bergerak seperti angin puyuh."Raden, iya ... iya. Aku mendengarkan. Kepalaku bisa copot kalau muter-muter gini."Anggara masih saja melakukannya. "Joko! Ini tidak bisa aku biarkan. Aku mau kita menyelidikinya.
Pen masih bergetar. Bagaimana bisa, dia lupa jika tubuhnya berwujud Ana. Anggara malah menepuk-nepuk wajahnya berkali-kali. Dia menarik pipi wajah Ana, seakan ingin menarik kulitnya."Aww, perih!" teriak Pen. "Udah, hehe," lanjutnya meringis. Pen berusaha membuat kemarahan Anggara mereda. Mungkin dengan cara yang melintas di pikirannya saat ini bisa dia lakukan. "Ana, atau siapa kau. Setan, kunti, dedemit? Argh, cepat akui saja!" bentak Anggara. Namun, dia mengernyit saat melihat wajah Ana. Pen memasang wajah memelas. Mulutnya ke bawah seperti badut saat menangis."Jangan berpura-pura. Kau tidak bisa mengelabuiku. Ayolah, aku tidak bisa melihat wajah itu." Anggara semakin memegang kepalanya ketika Pen mulai sesenggukan. Dia tidak bisa melihat wanita menangis. Apalagi anaknya sendiri.Sebelum bertemu dengan Pen, Anggara sosok yang sangat dingin dan super jutek. Semua orang dianggapnya rendah. Bahkan saat berjalan pun, dia tidak pernah memandang semua orang. Tapi, semua berubah sejak d