Savira Vishaka Yozita. Wanita berwajah manis dengan lesung pipi di wajahnya. Dia biasa dipanggil dengan nama Vira.
Vira terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Tiga tahun bersama, dia tak kunjung bisa meruntuhkan dinginnya hati seorang Hendra. Bukan inginnya menjalani pernikahan tak berdasar rasa. Apa mau dikata, garis takdir mengharuskannya melewati itu semua."Apa yang kau harapkan dari pernikahan ini, Vir?" Suara hendra melemah. Dia sangat hafal watak wanita cantik di depannya, Vira pantang mengalah.Dibesarkan hanya oleh seorang ayah. Vira tumbuh menjadi gadis yang pantang menyerah. Pantang baginya menjadi seorang yang hanya bisa berpasrah."Tentu saja kebahagiaan, Mas. Bukankah bahagia adalah tujuan setiap keluarga?" Vira tersenyum lembut sambil meletakkan garpunya. Wanita itu telah menyelesaikan hidangan utamanya."Aku tidak mencintaimu, begitu pun dengan dirimu. Kau tidak mencintaiku. Apa kita bisa bahagia dengan itu?"Vira mengangkat bahu. Tangannya terangkat memanggil pelayan. Saatnya hidangan penutup.Pelayan wanita itu datang sambil membawa makanan penutup mereka. Panna Cotta. Vira tersenyum lebar melihat makanan yang hampir mirip dengan puding itu. Bentuknya yang menarik dilengkapi siraman saus karamel dengan buah strawberry di atasnya membuat makanan itu terlihat sangat menggoda."Per favore." Pelayan wanita mempersilakan."Grazie mille." Vira menjawab sopan. Terima kasih banyak.Wanita berlesung pipi itu langsung menyendok panna cotta di depannya. Vira memejamkan mata sambil menggelengkan kepala pelan saat merasakan teksturnya yang lumer di mulut dengan cita rasa manis. Hidangan yang disajikan dalam keadaan dingin itu terasa sangat lezat. Makanan penutup yang sempurna untuk malam ini."Vir.""Mas.""Ayo kita saling melepaskan.""Tidak semudah itu.""Maksudmu?""Kau selalu bicara ingin melepaskanku bahkan sejak hari pertama kita menikah. Nyatanya? Hingga tiga tahun pernikahan ini kita jalani, takdir tetap membuat kita bersama.""Aku memikirkan ibuku!""Juga mengikuti gengsimu, kan?" Vira tertawa kecil."Maksudmu?""Akui saja! Setiap ada acara kantor, kau dengan bangga membawaku sebagai gandengan. Kau tentu menyadari, banyak diantara kolega bisnismu yang diam-diam memperhatikanku, kan?" Sita tersenyum manis pada suaminya."Kau terlalu percaya diri!" Hendra membuang muka. Tersenyum mengejek."Aku sebenarnya memang menarik, Mas. Dasar kau saja yang sepertinya buta, hingga lebih memilih kerikil di jalanan dibandingkan dengan permata di etalase toko.""Apa kau setidak seberharga itu, Vir? Sampai-sampai dijadikan pembayar hutang oleh keluargamu sendiri?" Hendra tersenyum sinis menatap istrinya.Vira terdiam mendengar omongan Hendra."Ah! Aku lupa, wajar saja kau tidak ada harganya. Kau malah sebenarnya seperti tidak punya keluarga, kan? Ayah yang kau sayangi tiba-tiba berubah sejak menikah lagi? Lelaki b*jingan itu lebih memilih menyelamatkan anak tirinya dibandingkan dirimu anak kandungnya." Hendra akhirnya mengeluarkan unek-uneknya setelah sekian lama.Lelaki itu sungguh muak dengan pernikahan mereka. Karena menikahi Vira, dia harus berpisah dengan kekasih hatinya. Padahal hubungan mereka sudah sangat dekat, bahkan hampir sampai pada tahap lamaran.Hanya karena menghormati wanita yang selama ini berjuang sendirian membesarkannya. Hendra menuruti keinginan ibunya untuk menikahi Vira.Karena hal itu pula lah, Hendra melampiaskan kekesalannya pada Vira dengan menjalin hubungan dengan banyak wanita. Entah sudah berapa belas wanita yang menjadi simpanannya selama tiga tahun pernikahan mereka."Seharusnya kau prihatin, Mas." Vira mengambil gelas air minum di atas meja. Menyesapnya beberapa tegukan untuk menetralisir dentum di dadanya.Dingin air terasa menyentuh bibirnya. Mengalir ke lidah, merambat ke kerongkongan, untuk kemudian sampai di tempat yang Vira tidak bisa lagi merasakan dingin air itu.Tidak. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan suaminya."Prihatin?" Hendra mengerutkan kening. Bingung dengan respon Vira yang terlihat biasa-biasa saja. Bahkan istrinya itu terlihat santai menyesap minumannya.Bukankah seharusnya wanita itu terlihat sedikit terpukul dengan ucapannya? Hendra malah berharap istrinya itu tersinggung dengan apa yang tadi dikatakannya."He'em." Vira membuat gerakan yang menggemaskan. Pelan dia meletakkan kembali gelas air minum ke atas meja."Bukankah seharusnya kau kasihan melihat seorang gadis teraniaya? Gadis muda yang seharusnya mempunyai masa depan cerah, terpaksa harus menikah karena menanggung kesalahan adik tirinya." Vira menggeleng."Gadis itu bahkan semakin teraniaya, karena setelah menikah suaminya tetap tidak bisa mencintainya. Bahkan cenderung bersikap dingin dan sering merendahkannya. Oi alangkah malang nian nasib gadis itu." Vira kembali menggelengkan kepalanya pelan."Mengingat semua hal itu, bukankah seharusnya kau prihatin dengan nasib gadis itu, Mas? Ya, itu juga kalau kau punya hati. Tetapi sepertinya kau tidak punya, sih, makanya gampang saja bagimu berbuat sesukanya." Vira tertawa kecil sambil menutup mulutnya.Ck! Hendra berdecak sebal."Kau sungguh tidak punya harga diri sampai harus mengemis agar dikasihani, Vir? Dasar wanita tidak tahu malu!""Hei! Kenapa aku harus malu dengan suamiku sendiri?" Vira mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum manis. Wajah itu terlibat sangat ayu dengan kedua lesung pipi yang menghiasinya."Dasar perempuan g*la!" Hendra mendengus sebal. Niatnya ingin membuat Vira kesal dan menangis, malah senjata makan tuan. Jadi dia yang semakin kesal sendiri."Kau tidak mau panna cotta itu, Mas? Sini, biar kuhabiskan!" Vira menjulurkan tangannya, hendak mengambil makanan Hendra. Tetapi lelaki itu bergerak cepat mengamankannya."Yeeeee, kirain mas tidak mau." Vira memonyongkan bibirnya.Wanita itu menarik napas pelan. Dadanya terasa sesak mengingat semua ucapan Hendra. Suaminya itu benar. Dia sungguh tidak ada harganya di mata keluarga.Vira dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu. Sang bunda mengucapkan selamat tinggal, dihari kelahiran putrinya itu. Malangnya nasib bayi mungil itu. Jangankan merasakan hangat pelukan dari sang ibu, bahkan mencicip setetes air susu ibu pun dia tak diberi waktu.Sejak saat itu Vira dibesarkan oleh Ayahnya. Hari-harinya bahagia walau tanpa kehadiran sang bunda. Ayah menjadi gambaran sempurna, sosok cinta pertama yang dia rasa.Namun semua berubah saat usianya menginjak sepuluh tahun. Ayahnya memilih menikah kembali dengan seorang janda. Wanita itu juga membawa anak yang usianya hanya berbeda tiga tahun dibawah Vira. Sejak saat itu semua berubah. Vira merasa tersisihkan, dari kehidupan bahagia yang terpampang di depan matanya.Puncaknya tiga tahun yang lalu, Vira dikorbankan karena kesalahan adik tirinya itu. Dia dipaksa menikah dengan lelaki yang belum pernah ditemuinya sama sekali. Tanpa kata. Tanpa aba-aba. Mimpinya direnggut. Harapannya tercerabut. Dia tidak diberi kesempatan bahkan untuk bertanya. Dalam diam, Vira terpaksa menjalani semua.Karena itulah, kini wanita itu mati-matian mempertahankan rumah tangganya. Berpura pernikahannya bahagia, walau sebenarnya bagaikan menggenggam bara. Dia ingin membuat keluarganya tahu, mereka salah membuangnya dulu. Vira ingin membuat ibu dan saudara tirinya menyesal karena telah mengorbankannya."Jangan ganggu wanita-wanitaku, Vir! Ini peringatan terakhirku untukmu." Hendra menatap tajam wanita yang duduk di hadapannya."Kalau tetap kugangggu?""Aku akan membuatmu menyesal karena telah mengganggu Kesenanganku." Hendra berkata dingin. Kesabarannya hampir habis menghadapi Vira."Hei! Asal kau tahu, bahkan sejak hari pertama pernikahan kita pun aku sudah menyesal. Jadi jangan ancam aku dengan kata penyesalan." Vira terkekeh menatap wajah tampan suaminya yang membatu.Vira mengangguk. Kedua lesung pipinya tercetak jelas.Manis. Hendra membatin."Boleh aku tahu kenapa kau bisa bertahan setelah sekian lama? Bahkan kau masih tetap menerimaku kembali, setelah semua kesalahan yang kulakukan secara sengaja dan sadar." Hendra membelai rambut Vira yang tergerai. Wangi. Aroma mint yang sangat dia sukai."Karena aku juga belum bisa menjadi istri yang baik bagimu, Mas. Aku menyadari, dulu niatku salah. Aku terlalu berambisi membuatmu menerima kehadiranku agar bisa membungkam Silmi dan mamanya.” vira tertawa kecil mengingat masa itu. Masa-masa perjuangan saat dia hampir setiap minggu menemui wanita Hendra yang selalu berbeda.“Seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Satu yang kusadari, harusnya aku tidak memaksakan diri agar kau menerimaku.” Vira memiringkan tubuhnya menghadap Hendra. Tangannya menyentuh pipi Hendra pelan.Sungguh, hatinya terasa hangat. Ini pertama kalinya mereka bicara seintim i
Kabar terakhir yang dia dengar, ada upaya dari beberapa pihak yang berusaha memberikan jaminan bebas untuk Arlin. Setidaknya, dia bisa bebas walau berstatus sebagai tahanan kota. Namun, Vira tidak ambil pusing. Wanita itu sudah cukup puas bisa membuat wanita itu merasakan sempitnya ruang penjara walau hanya beberapa hari.Dari awal dia sudah tahu, Arlin tidak akan mungkin mendekam dalam penjara selama itu. Tujuannya hanya satu, membersihkan namanya dan membuat mata Hendra terbuka bahwa wanita itu tidak selemah pikirannya selama ini. Dia berharap, dengan semua yang dilakukan Arlin selama ini, suaminya bisa melupakan rasa bersalahnya pada wanita itu.“Kenapa Vira minta maaf? Bahkan detik ini, Bunda sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu, Nak.”Sasa yang membawa gelas minuman dan Sesa yang membawa piring berisi makanan ringan terhenti langkahnya saat akan memasuki kamar. Mereka urung masuk saat mendengar suara tangisan ibunya.Mata mereka ikut basah. Ini pertama kalinya ibu mere
“Kak Vira?” Gadis berusia sembilan belas tahun itu sedikit terkejut saat melihat siapa yang tadi mengetuk pintu rumah mereka.“Siapa, Sa?” Seorang gadis yang berusia sama muncul dari balik hordeng pembatas ruangan. Wajah mereka tampak sama. Serupa pinang dibelah dua.“Halo, Sasa, Sesa?” Vira tersenyum lebar melihat dua saudara kembar itu. Mata mereka membulat karena terkejut.“Bunda ada?” Vira kembali bertanya karena Sasa dan Sesa hanya diam dan mematung memperhatikannya.“Ada, masuklah.” Sasa akhirnya menyingkir dari pintu, memberi jalan pada Vira dan Hendra.Hendra memperhatikan rumah itu. Ruangannya terlihat bersih dan rapi walau ukurannya tidak terlalu besar. Sofa sederhana dengan bentuk leter L dan meja kaca memenuhi ruangan itu. Televisi berukuran tiga puluh dua inch terletak tepat di depan sofa.Di dinding terpasang beberapa bingkai foto. Salah satu foto menarik perhatian Hendra. Terlihat enam orang sedang berpose, tiga wanita dan tiga pria dengan latar belakang bangunan yang m
“Vira mengatakan hubunganmu dan Mama Lily sedikit renggang karena kehadiran Om Winar?”Hendra mendengus. Dia memang mengabaikan Mama Lily belakangan ini. Menganggapnya tidak ada, agar wanita itu bisa merasakan bagaimana perasaan Papa Heru yang disebutnya sudah meninggal sekian lama.“Semua memang salah Papa, Hen. Papa juga sangat paham bagaimana kecewanya mamamu pada papa. Suami yang dia dampingi dari posisi nol, setelah berjaya justru menyeleweng. Itulah sebabnya kenapa papa menjauh, karena menghargai mamamu.” Papa Heru menarik napas panjang, menyesali kebodohannya selama ini.“Sejujurnya, waktu itu papa gelap mata. Namun, karena mengerti hancurnya perasaan mamamu dan menyadari kesalahan, papa langsung menerima keputusan pisah tanpa membawa sepeser pun harta yang kami kumpulkan bersama.” Angin sepoi-sepoi kembali berhembus, menggoyangkan rambut Hendra yang sudah agak panjang.“Bukan salah mamamu dia mengatakan papa sudah tiada, andai papa mau bisa saja papa datang menemuimu ke sana.
“Pa.” Vira melambaikan tangan pada lelaki yang sedang berdiri di samping saung. Sepertinya lelaki itu sedang menatap kedatangan mereka.Hendra mengerutkan kening mendengar Vira menyapa dengan “Pa”. Dia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tingkat percaya diri dan sok kenal istrinya memang patut diacungi jempol.“Vira.”Suara berat itu membuat Hendra mengangkat kepala. Vira? Mereka saling mengenal?Sekitar sepuluh meter dari saung, Hendra mematung. Walau lelaki itu menggunakan pakaian yang lusuh khas baju petani ke kebun, namun tidak menutupi wibawa seseorang yang baru saja menyapa istrinya itu.Seketika hati Hendra basah. Dia sangat mengenali sosok yang sedang menunggu kedatangan mereka itu. Walau rambutnya sudah beruban, lelaki itu masih terlihat tampan. Tubuhnya pun masih sangat gagah di usianya yang sudah tidak lagi muda.“Papa,” desis Hendra.Dia berusaha menegarkan langkah kakinya yang terasa bergetar. Jantungnya berdegup kencang sampai-sampai dia seperti bisa mendengar de
Lelaki berbaju abu-abu dengan warna yang sudah pudar itu menoleh saat mendengar beberapa suara. Dia menghentikan sejenak aktivitas mencuci tangan dan kaki di pancuran bambu yang airnya mengalir jernih. Baru saja kemarin dia memasang pancuran bambu itu. Selama ini dia langsung menciduk airnya menggunakan gayung dari batok kelapa.Melihat rimbun rumpun bambu di ujung desa saat dia akan lewat menuju sawah, melintas pikirannya untuk membuat pancuran. Benar saja, ternyata pancuran ini lebih memudahkan aktivitasnya untuk mencuci tangan dan peralatan bekas makan.Lelaki itu baru saja menyelesaikan makan siangnya. Ikan nila bakar dan tumis kangkung menemani makan siangnya hari itu. Setelah dari pagi tenaganya terkuras karena membersihkan hama di antara padi dan membenarkan pematang, menu makanannya terasa sangat sedap menyapa lidah. Ditambah dengan angin sepoi-sepoi dan lengking burung elang yang terbang rendah mencari mangsa, menambah kenikmatannya makan di atas saung kecil di tengah sawah.