Share

Aku, istri kedua
Aku, istri kedua
Penulis: Fida Yaumil Fitri

bab. 1 pertemuan pertama

“Jangan ... Aku mohon jangan, lepaskan aku!”

“Memangnya aku bodoh melepaskan wanita cantik sepertimu begitu saja.”

“Jangan!!!”

Aku melihat jam kecil di atas meja kayu lusuhku, pukul 03.00. Ku usap peluhku yang sebesar jagung sambil mengucap istighfar. Mimpi itu kerap kali hadir. Peristiwa naas yang membuat aku kehilangan masa depanku. Kehilangan harga diriku, kekayaanku satu-satunya.

Ku raih gelas plastik di atas meja, kuteguk air putih di dalamnya. Mataku menatap nanar dinding kayu yang menua, Beberap kayu tersebut sudah lapuk di makan usia. Aku bangun dan membasuh muka ku dengan air wudhu, nampak lintasan bayangan masa lalu menghantui pikiranku.

Jika dulu aku berpikir cerita menyedihkan itu hanya ada dalam cerita novel saja, nyatanya semua terjadi kepadaku. Allah tak menyayangiku, kenapa ia menenggelamkan aku begitu dalam ke dalam jurang penderitaan. 

“Bakar saja rumahnya, aku tak rela desa kita mempunyai wanita kotor seperti dia,” teriakan itu begitu keras. Dalam sekejap bola mataku membulat sempurna.

“Ayo bakar.”

“Ayo,”

Suara riuh itu semakin keras dan saling bersautan. Aku memakai  jilbabku, memasang sandal jepit ku dan melangkah ke luar dari rumah kayu yang berukuran 5x6 ini.

“Astagfirullah.” Mataku membulat sempurna, ketika beberapa warga berkerumun tepat di depan rumahku. Mimik wajah mereka penuh emosi, dengan tangan kanan mereka membawa seobor api dan sebagian lainnya membawa derigen yang aku yakin itu isinya bahan bakar.

“Maaf, Pak. Ada apa? Kenapa Bapak-bapak semua berkumpul di sini dengan membawa obor api?” Aku berusaha tanya setenang mungkin, meskipun dalam hatiku dipenuhi gemuruh dan tangisan yang tertahan.

Kulihat lekat wajah mereka, wajah penuh kebencian. Pantaskah aku di benci dan dikucilkan, sedangkan aku adalah korban dari nafsu bejat manusia laknat. Bahkan trauma itu pun belum bisa menghilang dari ingatanku.

“Sudah, bakar saja. Jangan hiraukan wanita ini. Wanita kotor,” ucap salah satu lelaki itu sambil mengangkat tangan kanannya.

“Aku gak Sudi kampung kita di tinggali wanita hina, semua warga desa akan mendapat azab dari perempuan kotor ini.”

Tangis ini pecah tak tertahan, butiran kecil dari sudut mataku terus menetes. Jika aku bisa memilih, aku lebih memilah meninggalkan dunia ini dari pada terus  hidup dengan penuh penderitaan. 

‘Ya Allah, tidak cukupkah engkau mengambil kedua orang tua ku, serta kehormatan ku? Kenapa Engkau terus saja memberiku cobaan yang bertubi, tidak cukupkah solat malam yang aku tunaikan, puasa sunah yang aku jalankan. Tidak cukupkah semua itu?’ Jeritan hatiku terus mengusik nuraniku.

Aku menatap nanar, ketika para warga menuang isi dirigen itu ke dinding kayu lusuh ini, salah satu mereka menempelkan obor api di dinding . Dalam sekejap mata api melahap semua dinding rumah yang memang berukuran tak besar ini.

“Astagfirullah.” Suara istigfar itu memecah kerumunan, seorang lelaki bersarung dan berpakaian baju koko serta peci yang melekat di ujung kepalanya itu menghampiri ku.

“Apa salah wanita ini? Hingga wanita ini kalian hakimi begitu kejam.” Lelaki tersebut menatapku.

Aku tertunduk.

“Ia wanita hina, Pak Ustad. Kami tidak ingin satu desa dengan dia. Najis,” ucap salah satu warga.

“Apakah kamu sudah menikah?” Lelaki itu berbicara ke arahku.

Aku menggeleng. Rasanya suaraku tercekat, tak mampu menjawab.

“Aku akan menikah dengan wanita ini, jika ia bersedia.” Aku memandang lelaki tersebut penuh tanya.

“Tapi, Pak. Ia wanita hina, ia bahkan pernah mengandung tanpa menikah.”

Lelaki itu melempar bola mata ke arahku.

“Aku akan menikahi wanita yang kalian anggap kotor dan hina tersebut.” Lelaki itu kembali menegaskan ucapannya.

Aku pandang ia, wajahnya teduh. Ia adalah satu-satunya orang yang memanusiakan ku selain ibu dan bapak. Namun benarkah yang ia ucap? Apa itu hanya Sekedar ucapan saja, meredakan amarah para warga? Kupandang tubuhnya lekat, ia memakai pakaian rapi dengan baju tanpa lipatan, sepertinya ia orang berada. Bahkan, warga sepertinya begitu menghormatinya.

Api kini sudah padam. Berkat ustad, semua warga saling membahu memadamkan api tersebut, kini tinggal kepulan asap yang terus menjuntai tinggi, hanya tertinggal puing-puing kayu berserakan. Tak ada barang berharga memang, di rumah sederhana ini lebih tepatnya rumah reyot yang hampir ambruk, hanya ada satu ranjang kayu, dan beberapa kursi usang saja. Tak ada barang elektronik atau barang berharga lainnya 

Emosi warga tampak mereda, aku di minta Ustad untuk tinggal di rumah Mbok jah, rumah yang tak berukuran besar dan berada di ujung Desa.

“Yang sabar ya, Nduk! Ini cobaan, semua akan indah pada waktunya,” Wanita beruban itu memelukku lekat, memegang kepalaku dan di tenggelamkan ke pelukannya. Seketika air mataku menetes, menahan beban berat yang saat ini aku pikul.

Suara Kokok ayam ayam saling bersaut, sinar jingga dari ufuk timur mulai memancarkan sinarnya. Aku melepas mekena yang saat ini aku kenakan, hatiku sedikit lega setelah semua cuahan hatiku telah aku tumpukan ke maha pemilik segalanya. 

“Nduk, sarapan dulu.” 

Mbok Jah melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar yang kini aku tinggali.

“Nggih, Mbok.”

Aku berlalu menuju ruang yang ditunjuk Mbok Jah, di atas meja sudah penuh dengan menu sarapan. Nasi dibakul , telur dadar serta sambal tomat dan krupuk. Masih terdapat kepulan asap di atasnya. 

Aku duduk di kursi jati ini, bersebelahan dengan Simbok. Mbok Jah adalah janda, dia tinggal di rumah ini hanya sendirian, anak-anaknya sudah sukses dan mereka tinggal di kota. Berulang kali Simbok diminta tinggal bersamanya namun ia menolak karena ia ingin selalu dekat dengan suaminya. Dekat dengan pusara yang tiap hari bisa di jenguknya

“Asalamualaikum,” terdengar ucapan salam serta ketokan pintu, pintu kayu tersebut memang terbuka hingga langsung terlihat siapa yang saat ini berkunjung, seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan sedikit jenggot tipis di dagunya. Lelaki yang semalam telah menolongku.

“Waalaikumsalam,”

“Monggo, Nak. Sekalian ikut sarapan. Simbok masak banyak pagi ini.”

Pak Ustad tersebut memasuki ruangan dan duduk di bangku kayu berhadapan tepat di depanku. Aku menunduk ketika tak sengaja mata kami saling beradu pandang.

“Mengenaj hal tadi malam, maukah kamu menerimaku, Dek Aisyah?”

Mataku membulat sempurna? Apakah ini mimpi? Aku di lamar dengan ustad tampan? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status