“Jangan ... Aku mohon jangan, lepaskan aku!”
“Memangnya aku bodoh melepaskan wanita cantik sepertimu begitu saja.”“Jangan!!!”Aku melihat jam kecil di atas meja kayu lusuhku, pukul 03.00. Ku usap peluhku yang sebesar jagung sambil mengucap istighfar. Mimpi itu kerap kali hadir. Peristiwa naas yang membuat aku kehilangan masa depanku. Kehilangan harga diriku, kekayaanku satu-satunya.Ku raih gelas plastik di atas meja, kuteguk air putih di dalamnya. Mataku menatap nanar dinding kayu yang menua, Beberap kayu tersebut sudah lapuk di makan usia. Aku bangun dan membasuh muka ku dengan air wudhu, nampak lintasan bayangan masa lalu menghantui pikiranku.Jika dulu aku berpikir cerita menyedihkan itu hanya ada dalam cerita novel saja, nyatanya semua terjadi kepadaku. Allah tak menyayangiku, kenapa ia menenggelamkan aku begitu dalam ke dalam jurang penderitaan. “Bakar saja rumahnya, aku tak rela desa kita mempunyai wanita kotor seperti dia,” teriakan itu begitu keras. Dalam sekejap bola mataku membulat sempurna.“Ayo bakar.”“Ayo,”Suara riuh itu semakin keras dan saling bersautan. Aku memakai jilbabku, memasang sandal jepit ku dan melangkah ke luar dari rumah kayu yang berukuran 5x6 ini.“Astagfirullah.” Mataku membulat sempurna, ketika beberapa warga berkerumun tepat di depan rumahku. Mimik wajah mereka penuh emosi, dengan tangan kanan mereka membawa seobor api dan sebagian lainnya membawa derigen yang aku yakin itu isinya bahan bakar.“Maaf, Pak. Ada apa? Kenapa Bapak-bapak semua berkumpul di sini dengan membawa obor api?” Aku berusaha tanya setenang mungkin, meskipun dalam hatiku dipenuhi gemuruh dan tangisan yang tertahan.Kulihat lekat wajah mereka, wajah penuh kebencian. Pantaskah aku di benci dan dikucilkan, sedangkan aku adalah korban dari nafsu bejat manusia laknat. Bahkan trauma itu pun belum bisa menghilang dari ingatanku.“Sudah, bakar saja. Jangan hiraukan wanita ini. Wanita kotor,” ucap salah satu lelaki itu sambil mengangkat tangan kanannya.“Aku gak Sudi kampung kita di tinggali wanita hina, semua warga desa akan mendapat azab dari perempuan kotor ini.”Tangis ini pecah tak tertahan, butiran kecil dari sudut mataku terus menetes. Jika aku bisa memilih, aku lebih memilah meninggalkan dunia ini dari pada terus hidup dengan penuh penderitaan. ‘Ya Allah, tidak cukupkah engkau mengambil kedua orang tua ku, serta kehormatan ku? Kenapa Engkau terus saja memberiku cobaan yang bertubi, tidak cukupkah solat malam yang aku tunaikan, puasa sunah yang aku jalankan. Tidak cukupkah semua itu?’ Jeritan hatiku terus mengusik nuraniku.Aku menatap nanar, ketika para warga menuang isi dirigen itu ke dinding kayu lusuh ini, salah satu mereka menempelkan obor api di dinding . Dalam sekejap mata api melahap semua dinding rumah yang memang berukuran tak besar ini.“Astagfirullah.” Suara istigfar itu memecah kerumunan, seorang lelaki bersarung dan berpakaian baju koko serta peci yang melekat di ujung kepalanya itu menghampiri ku.“Apa salah wanita ini? Hingga wanita ini kalian hakimi begitu kejam.” Lelaki tersebut menatapku.Aku tertunduk.“Ia wanita hina, Pak Ustad. Kami tidak ingin satu desa dengan dia. Najis,” ucap salah satu warga.“Apakah kamu sudah menikah?” Lelaki itu berbicara ke arahku.Aku menggeleng. Rasanya suaraku tercekat, tak mampu menjawab.“Aku akan menikah dengan wanita ini, jika ia bersedia.” Aku memandang lelaki tersebut penuh tanya.“Tapi, Pak. Ia wanita hina, ia bahkan pernah mengandung tanpa menikah.”Lelaki itu melempar bola mata ke arahku.“Aku akan menikahi wanita yang kalian anggap kotor dan hina tersebut.” Lelaki itu kembali menegaskan ucapannya.Aku pandang ia, wajahnya teduh. Ia adalah satu-satunya orang yang memanusiakan ku selain ibu dan bapak. Namun benarkah yang ia ucap? Apa itu hanya Sekedar ucapan saja, meredakan amarah para warga? Kupandang tubuhnya lekat, ia memakai pakaian rapi dengan baju tanpa lipatan, sepertinya ia orang berada. Bahkan, warga sepertinya begitu menghormatinya.Api kini sudah padam. Berkat ustad, semua warga saling membahu memadamkan api tersebut, kini tinggal kepulan asap yang terus menjuntai tinggi, hanya tertinggal puing-puing kayu berserakan. Tak ada barang berharga memang, di rumah sederhana ini lebih tepatnya rumah reyot yang hampir ambruk, hanya ada satu ranjang kayu, dan beberapa kursi usang saja. Tak ada barang elektronik atau barang berharga lainnya Emosi warga tampak mereda, aku di minta Ustad untuk tinggal di rumah Mbok jah, rumah yang tak berukuran besar dan berada di ujung Desa.“Yang sabar ya, Nduk! Ini cobaan, semua akan indah pada waktunya,” Wanita beruban itu memelukku lekat, memegang kepalaku dan di tenggelamkan ke pelukannya. Seketika air mataku menetes, menahan beban berat yang saat ini aku pikul.Suara Kokok ayam ayam saling bersaut, sinar jingga dari ufuk timur mulai memancarkan sinarnya. Aku melepas mekena yang saat ini aku kenakan, hatiku sedikit lega setelah semua cuahan hatiku telah aku tumpukan ke maha pemilik segalanya. “Nduk, sarapan dulu.” Mbok Jah melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar yang kini aku tinggali.“Nggih, Mbok.”Aku berlalu menuju ruang yang ditunjuk Mbok Jah, di atas meja sudah penuh dengan menu sarapan. Nasi dibakul , telur dadar serta sambal tomat dan krupuk. Masih terdapat kepulan asap di atasnya. Aku duduk di kursi jati ini, bersebelahan dengan Simbok. Mbok Jah adalah janda, dia tinggal di rumah ini hanya sendirian, anak-anaknya sudah sukses dan mereka tinggal di kota. Berulang kali Simbok diminta tinggal bersamanya namun ia menolak karena ia ingin selalu dekat dengan suaminya. Dekat dengan pusara yang tiap hari bisa di jenguknya“Asalamualaikum,” terdengar ucapan salam serta ketokan pintu, pintu kayu tersebut memang terbuka hingga langsung terlihat siapa yang saat ini berkunjung, seorang lelaki bertubuh tinggi, dengan sedikit jenggot tipis di dagunya. Lelaki yang semalam telah menolongku.“Waalaikumsalam,”“Monggo, Nak. Sekalian ikut sarapan. Simbok masak banyak pagi ini.”Pak Ustad tersebut memasuki ruangan dan duduk di bangku kayu berhadapan tepat di depanku. Aku menunduk ketika tak sengaja mata kami saling beradu pandang.“Mengenaj hal tadi malam, maukah kamu menerimaku, Dek Aisyah?”Mataku membulat sempurna? Apakah ini mimpi? Aku di lamar dengan ustad tampan?“Mengenai hal tadi malam, maukah kamu menerimaku, Dek Aisyah?”Mataku membulat sempurna, Apakah ini mimpi? Aku di lamar dengan ustad tampan?“Namun sebelumnya, aku ingin jujur. Aku sudah menikah. Kalau Dek Aisyah setuju, Dek Aisyah jadi istri keduaku!” Jika tadi aku serasa terbang ke langit ke tujuh. Namun kini kalimat terakhir yang kudengar membuatku serasa di hempas dari ketinggian yang sama. Begitu menyakitkan.“Maaf, Pak. Saya sudah cukup di hina sebagai orang miskin dan wanita kotor, tidak ingin lagi disebut wanita perusak rumah tangga.”“Tapi Dek Aisha sudah tidak punya tempat tinggal!”“Alhamdulillah, Mbok Jah mau menerimaku menjadi bagian keluarganya, Pak.”Meskipun aku adalah wanita kotor, wanita hina seperti yang orang lain ucapkan. Aku tetaplah Aisyah, wanita berumur 21 tahun yang masih memiliki nurani, aku bahkan tak akan tega menyakiti wanita lain dengan aku sebagai madunya. “Seminggu lagi aku balik ke kota, tolong di pikirkan baik-baik, Dek. Kita menikah atas ijin istr
“Mas Zulkifli,” terdengar teriakan dari dalam toko tersebut.Aku membalikkan tubuhku, melihat ke sumber suara, seorang wanita memakai gamis berwarna merah muda dengan jilbab yang menjuntai ke bawah. Istri sah nya Mas Zul kah?“Karisa?”Wanita cantik tersebut menunduk seolah memberikan salam.“Assalamualaikum, Ustad.”“Waalaikumsalam, Karisa.”“Saya kira ini Mbak Zahra, mohon maaf Ustad, wanita ini siapa?” ucap wanita tersebut ke arahku. Matanya penuh selidik seakan aku adalah tersangka dalam sebuah kasus. Dari salam dan pembicaraan mereka aku yakin, ia bukan istri Mas Zul. Istri Mas Zul bernama Zahra, nama yang cantik. “Umi, cepetan!” “Baik, Abi.”“Maaf, Mas Zul. Saya permisi dulu. Titip salam buat Mbah Zahra.” Wanita itu bergegas pergi menghampiri lelaki yang sudah siap siaga di mobilnya, sepertinya ia adalah suami dari Mbak Karisa itu.Aku kembali duduk di kursi panas ini, ya kursi panas yang mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang Aku masih belum bisa membayangkan bagaima
Seorang lelaki berseragam menghampiri meja kami, diletakkannya dua piring dan dua gelas minuman berwarna di atas meja, tak lupa sendok garpu dan pisau.Mataku mengarah ke makanan tersebut, sebuah daging berlemak dengan aroma wangi itu tepat di depanku, aku menelan ludah ketika melihatnya, ingin segera menyantap makanan tersebut namun aku tak paham cara memakai pisau, garpu maupun sendoknya. Aku melirik Mas Zul, mulutnya nampak berkomat Kamit mengucap doa, ia mengambil sendok dan garpu itu, mengiris sedikit demi sedikit daging tersebut, dan mengunyahnya pelan.Aku melakukan hal yang sama, sambil sesekali melirik tubuh sempurna itu, tampak tenang, tak banyak bicara. Hanya terasa teduh ketika bersamanya.Kuucapkan kalimat basmallah serta doa sebelum makan, dan segera kunikmati makanan yang pertama kali masuk ke mulutku. Tak ada yang tersisa, semua habis dalam perutku. Baru kurasakan makanan seenak ini, entah karena menunya yang begitu istimewa. Atau makannya di dampingi orang istimewa,
“Mbak Zahra,” Aku mendengar Isak tangisnya yang sedikit tertahan, beberapa kali kulihat ia menyeka air mata yang tampak terus mengalir dari mata indahnya.‘Maafkan aku, Mbak. Aku tak akan menikah dengan Mas Zul, wanita sebaik Mbak Zahra tak pantas untuk di duakan.’**Kami menikmati makan malam bersama. Mas Zul duduk di bangku ujung, di sebelah kanannya ada Ibu dan sebelah kirinya ada Mbak Zahra. Nampak canggung, Aku lirik wajah Mbah Zahra, dia tampak tersenyum, namun aura matanya masih terlihat kalau Mbak Zahra habis menangis, berarti benar wanita yang aku lihat tadi siang adalah Mbak Zahra. “Maaf, tadi siang belum sempat memperkenalkan, ini Dek Aisyah,” ucap Mas Zul ketika menyelesaikan makan malam. “Selamat datang, Nduk,” ucap ibu.“Selamat datang, Dek Aisyah,” ucap Mbak Zahra sambil meraih telapak tanganku, memegang erat tanganku, seakan ia menguatkan dirinya sendiri untuk menerimaku.“Seperti yang saya ucap sebelumnya, Dek Aisyah akan menjadi bagian keluarga kita, jika Ibu da
“Mas Zul menerimaku apa adanya meskipun tanpa rahim, apakah aku salah jika aku juga berbuat sesuatu untuk kebahagiaan suamiku?”“Tapi, Mbak? Bukankah mengadopsi anak justru lebih membahagiakan dari pada menghadirkan wanita lain di kehidupan Mbak Zahra!” protesku.“Mungkin iya, mungkin enggak. Setiap lelaki pasti memiliki Keinginan untuk memiliki keturunan dari darah dagingnya. Pernah Mas Zul memintaku untuk itu. Tapi aku menolaknya. Bukan karena aku tak mau merawat anak lain, melainkan aku ingin merawat anak dari darah daging suamiku. Entah di lahirkan dari rahim wanita lain pun aku ikhlas.” Subhanallah, aku tertegun mendengar ucapan Mbak Zahra, ternyata di dunia ini ada wanita berhati emas seperti ia, ia seperti bidadari atau justru malaikat tanpa sayap.“Mbak Zahra tidakkah mempermasalahkan aku berasal dari mana? Keluargaku seperti apa?”Mbak Zahra tersenyum mendengar ucapanku, senyum yang indah dan selalu nampak teduh.“Kamu adalah pilihan suamiku, aku yakin kamu yang terbaik.” J
Kurasakan ketakutan dari balik ketenangan ibu yang selalu bijak, nyatanya ia memendam harapan yang begitu tinggi. “Iya, Buk. InsyaAllah aku sehat.”“Syukurlah,” ucap ibu sambil memegang dadanya. Ia segera pamit .“Jangan lupa istirahat yang cukup, biar besok terlihat segar, Nduk!”“Iya, Bu!”Aku kembali merebahkan tubuhku di tempat ternyaman ku, Beberapa kali terlintas wajah Mas Zul yang tersenyum, suara teduhnya yang membelaku di antara amukan Massa. Lelaki sempurna di mataku. Kini bayangan Mbak Zahra ikut mampir. Wanita Solehah yang membuat aku kagum akan sosoknya, wanita yang memiliki cinta begitu besar untuk suaminya. “Aku terima nikah dan kawinnya, Aisyah binti bapak Purbono dengan mas Kawin seperangkat alat solat. Di bayar tunai,” “Syah?” ucap Pak penghulu.Aku melirik ke arah Mbak Zahra, tangisannya pecah. Air bening itu terus tumpah membasahi pipinya, tak mungkin juga ada wanita yang ikhlas menghadirkan wanita lain dalam kehidupannya. “Tidak sah.” Mas Zul melepas kerudung
“Dek Aisyah,” ucap lirih Mbah Zahra sambil memandang ke arahku.Aku melihat sisi kanan dan sisi kiriku, mencari jawaban akan pertanyaan yang nantinya akan di lontarkan Mbak Zahra. Aku kikuk, bingung harus berkata apa? Batinku terus menghardik diriku yang sengaja mengintip pasangan halal dalam kamar.Mbak Zahra berjalan pelan ke arahku, di setiap langkah itu membuat jantungku memompa darah semakin cepat, tubuhku terasa bergetar, telapak tanganku terasa dingin. “Dek Aisyah, masuk saja. Dari pada berdiri dari balik pintu nanti ada yang melihat.” Tak ada hardikan atau celotehan dari mulut Mbak Zahra, justru ia menggandeng tanganku untuk ikut masuk ke dalamnya. “E-enggak, Mbak. Tadinya aku mau minta Mbak Zahra membantu melepaskan pernak-pernik ini. Aku kesusahan mengambilnya. Aku mau ganti baju gamis, Mbak. Pakai kebaya bikin gerah.” Aku menunjuk aksesori yang menghiasi jilbabku. “Ya sudah, sini aku bantu.” Mbak Zahra menuntunku untuk duduk di bangku riasnya. Aku memandang wajahku yan
“Kata siapa aku tidak mencintaimu?”“Bagaimana mungkin engkau mencintaiku, jika kita bertemu pun hanya sesaat!”“Apakah Dek Aisyah mencintaiku?”“Pasti, untuk apa aku menikah denganmu, Mas. Jika tidak ada cinta untukmu!”“Adek sudah tau jawabannya, lantas kenapa masih ragu kepadaku?”**Saat mataku terbuka, kudapati lelaki sempurna itu tidur menghadapku, paras tampannya bahkan tak menghilang, wajah seperti inilah yang membuatku semakin menggila. Kulihat jam yang menempel di dinding kayu ini. Pukul 03.00, aku membersihkan tubuhku, rasa dingin itu menyelimuti pori-pori ketika kucuran air melewati tubuhku, kejadian beberapa jam yang lalu membuatku tersenyum dan memberikan kehangatan tersendiri. Kubalut tubuhku dengan handuk, dan hendak mengganti pakaian. Melihat Mas Zul berada di kamar ini membuat aku tak nyaman dan malu mengekspose tubuhku meskipun ia masih dalam keadaan terpejam. Ku bawa satu stel gamis dan memakainya di kamar mandi, aku mengurai rambut panjang ku yang kini basah, me