Beranda / Romansa / Aku, istri kedua / bab. 2 istri kedua?

Share

bab. 2 istri kedua?

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-09 20:43:52

“Mengenai hal tadi malam, maukah kamu menerimaku, Dek Aisyah?”

Mataku membulat sempurna, Apakah ini mimpi? Aku di lamar dengan ustad tampan?

“Namun sebelumnya, aku ingin jujur. Aku sudah menikah. Kalau Dek Aisyah setuju, Dek Aisyah jadi istri keduaku!” 

Jika tadi aku serasa terbang ke langit ke tujuh. Namun kini kalimat terakhir yang kudengar membuatku serasa di hempas dari ketinggian yang sama. Begitu menyakitkan.

“Maaf, Pak. Saya sudah cukup di hina sebagai orang miskin dan wanita kotor, tidak ingin lagi disebut wanita perusak rumah tangga.”

“Tapi Dek Aisha sudah tidak punya tempat tinggal!”

“Alhamdulillah, Mbok Jah mau menerimaku menjadi bagian keluarganya, Pak.”

Meskipun aku adalah wanita kotor, wanita hina seperti yang orang lain ucapkan. Aku tetaplah Aisyah, wanita berumur 21 tahun yang masih memiliki nurani, aku bahkan tak akan tega menyakiti wanita lain dengan aku sebagai madunya. 

“Seminggu lagi aku balik ke kota, tolong di pikirkan baik-baik, Dek. Kita menikah atas ijin istriku, justru ia lah yang memintanya,” ucap lembut pak Ustad tersebut.

Dia langsung pamit dan tak ikut sarapan bersama kami.

Dari Mbok Jah aku tau, Dia adalah Ustad Zul, Zulkifli lengkapnya. Beberapa hari ini ia berkunjung ke desa ini untuk melakukan dakwah. Ia pribadi lembut dan selalu apa adanya. Bahkan tersiur kabar ia adalah Ustad kondang yang beberapa kali masuk stasiun televisi. 

Dengan berbekal nasihat dari Mbok Jah, aku menerima lamaran Pak Zul. Pernikahan akan kami gelar di kota, dengan ijin istri pertamanya, sesuai pintaku. 

Aku memasukkan dua stel baju milik anaknya Mbok Jah ke dalam plastik kresek untuk baju gantiku di sana. Aku tak memiliki apa-apa, nyaris hanya pakaian yang ku kenakan. Tak ada barang lain yang tersisa. 

Pak Zul tersenyum ketika melihat penampilanku, mengenakan rok panjang serta baju lengan panjang dengan sedikit model di lengannya, baju terakhir yang aku miliki, kenang-kenangan saat bapak dan Ibu masih ada. Dulunya bapak dan ibu adalah penjual nasi uduk, mereka menjajakan dagangannya di pinggir jalan raya. Hingga musibah naas itu menimpa mereka, sebuah truk besar kehilangan kendali dan menabrak tubuh renta mereka, seketika mereka menghembuskan nafas terakhir di tempat tersebut. 

“Ayo masuk,” Pak Zul membuka kan pintu mobil depannya.

“Baik, Pak.”  Ku peluk tubuh Mbok Jah yang telah ku anggap seperti ibuku sendiri, kulihat matanya mengembun, aku bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan tubuh tua itu setelah pamit dan mencium punggung tangannya. Pak Zul pun melakukan hal yang sama kepada wanita tua tersebut.

Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil hitam itu, terasa dingin. Suhu itu seakan menembus tulangku, entah karena suhu AC atau karena hatiku yang berdegup kencang karena berdua saja dengan Pak Ustad. 

“Sudah siap, Dek? Gak ada yang ketinggalan.”

Pak Ustad Zul sudah duduk di sebelahku, jantungku seperti gemuruh yang terus berpacu lebih cepat. Ini kah perasaan cinta? Apa cinta bisa datang dari pandangan pertama? 

“Apa yang ketinggalan, Pak. Saya tidak punya apa-apa selain pakaian yang menempel di tubuh saya,” jawabku sekenanya sambil terus menunduk. Aku malu menatap lelaki yang masih belum muhrimku.

Tanpa melihat, ku dengar suara tawa lirihnya dan mobil ini mulai memutarkan rodanya.

Di sepanjang jalan, aku terus melihat pemandangan sekitar, tampak pepohonan itu berjejer rapi di setiap tepi jalan, daun-daun rimbun itu memberikan kesan adem di wilayah ini. Tanganku terus bertangkup sambil ku gesek pelan agar rasa hangat menyapa tubuhku. 

“Kamu kedinginan?” tanya Pak Zul lembut, sambil menekan beberapa tombol di mobil nya.

Aku mengangguk tanpa memperhatikannya, aku takut jika ia menemukan wajahku yang memerah bak kepiting rebus. Entah perasaan apa yang kini menyapaku? Ada rasa ingin terus memandangnya tetapi juga ada rasa sungkan dan memilih untuk diam dan menunduk.

Pak Zul, bercerita tentang istrinya, tentang ibunya, bapaknya sudah meninggal, dan nantinya aku turut serta masuk di dalamnya.

Perjalanan ini cukup jauh, hampir dua jam aku menghabiskan waktuku di sini, hanya memandang pemandangan yang kami lewati dari balik kaca besar depan mobil. Pikiranku kembali melayang, menerka apa yang terjadi nantinya jika istri dan ibu Pak Zul melihatku. Wanita kumuh dan hina ini akan ikut masuk dalam keluarganya. Apakah mereka akan menerimaku?

Tak selang lama, pemandangan yang tadinya di isi pepohonan yang rimbun kini berubah menjadi bangunan-bangunan tinggi. Pemandangan yang hanya aku lihat di tv tetangga dulu. Tak pernah aku membayangkan bisa datang dan melihat ini semua.

“Sudah sampai, Pak?” tanyaku ketika mobil ini terhenti.

“Belum, kamu ganti baju dulu.” 

‘Ganti baju? Di mobil? Kita kan belum muhrim? Apakah yang lelaki yang aku puja ini ternyata ustad mesum?’

“Silahkan turun, Dek!” aku terkaget ketika Pak Zul membukakan pintu.

Aku menengok ke kiri,, sebuah bangunan mewah menjulang tinggi, nampak gambar wanita memakai pakaian muslim di bangunan tersebut. Beberaoa baju tampak kelihatan dari dinding kaca toko ini.

Aku ragu untuk turun, apalagi gaya ku yang kampungan ini, aku yakin akan membuat Pak Zul malu.

“Dek Aisyah,” 

“I- iya, Pak.”

“Jangan panggil Pak ya, Dek. Panggil Mas saja.”

“Ehm, baik, Pak. Eh, Mas.”

Ia tersenyum, terlihat begitu indah. 

Aku menurut dan memasuki ruang tersebut. Semua pakaian terlihat sempurna, banyak model mewah dan elegan tertampang. Ini bagaikan surga untuk namun wanita, baru pertama kali ini aku menginjakkan kaki di salah satu surga dunia.

“Pilihkan beberapa pakaian untuk wanita ini ya, Mbak!” ucap Mas Zul ketika salah satu petugas toko menghampiri.

“Taoi, Mas!” ucapku ragu.

“A-aku gak punya uang untuk ini semua,” ucapku polos. Terlihat petugas itu menahan tawa setelah mendengar ucapanku.

“Tidak usah kamu pikirkan!”

Petugas itu membawaku ke sebuah ruang, aku di minta duduk di atas kursi sofa besar. Ia mengambil beberapa pakaian dan memintaku untuk mencobanya di kamar Pas. Bola mataku membulat sempurna ketika kudapati tubuhku terlihat begitu cantik. Wanita semampai dengan pakaian muslim itu nampak manis di pandang. Aku tak henti-hentinya melihat diriku di bayangan cermin ini.

Beberapa baju sudah ku coba, dan semuanya terlihat pas dan serasi tubuhku. Namun, apakah wanita hina ini pantas mengenakan pakaian seperti ini? 

“Bu, anda di panggil Pak Zul!” ucapan salah satu pegawai ketika aku memperlihatkan pakaian yang kini aku pakai. Sepertinya mereka mengenal sekali dengan Mas Zul.

“Ayo pulang,” Mas Zul berdiri tepat di depan meja bertuliskan kasir. Tangan kanannya membawa sebuah tas plastik dengan gambar logo di tengahnya.

“Tapi, Mbak. Pakaiannya masih ku kenakan,” ucapku ragu kepada salah satu karyawan.

“Gak apa, Mbak. Sudah di bayar!” 

Aku menghampiri lelaki yang sedari tadi menungguku di ruang depan, kami berjalan bersama hendak pulang.

“Mas Zulkifli,” terdengar teriakan dari dalam toko tersebut.

Aku membalikkan tubuhku, melihat ke sumber suara, seorang wanita memakai gamis berwarna merah muda dengan jilbab yang menjuntai ke bawah. Istri sah nya Mas Zul kah?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 Bab.17

    Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.16

    Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.15

    “Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.14

    Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp

  • Aku, istri kedua    sesion 2 bab.13

    “Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b

  • Aku, istri kedua    Sesion 2 bab.12 Pov. Zulkifli

    Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status