Share

bab. 2 istri kedua?

“Mengenai hal tadi malam, maukah kamu menerimaku, Dek Aisyah?”

Mataku membulat sempurna, Apakah ini mimpi? Aku di lamar dengan ustad tampan?

“Namun sebelumnya, aku ingin jujur. Aku sudah menikah. Kalau Dek Aisyah setuju, Dek Aisyah jadi istri keduaku!” 

Jika tadi aku serasa terbang ke langit ke tujuh. Namun kini kalimat terakhir yang kudengar membuatku serasa di hempas dari ketinggian yang sama. Begitu menyakitkan.

“Maaf, Pak. Saya sudah cukup di hina sebagai orang miskin dan wanita kotor, tidak ingin lagi disebut wanita perusak rumah tangga.”

“Tapi Dek Aisha sudah tidak punya tempat tinggal!”

“Alhamdulillah, Mbok Jah mau menerimaku menjadi bagian keluarganya, Pak.”

Meskipun aku adalah wanita kotor, wanita hina seperti yang orang lain ucapkan. Aku tetaplah Aisyah, wanita berumur 21 tahun yang masih memiliki nurani, aku bahkan tak akan tega menyakiti wanita lain dengan aku sebagai madunya. 

“Seminggu lagi aku balik ke kota, tolong di pikirkan baik-baik, Dek. Kita menikah atas ijin istriku, justru ia lah yang memintanya,” ucap lembut pak Ustad tersebut.

Dia langsung pamit dan tak ikut sarapan bersama kami.

Dari Mbok Jah aku tau, Dia adalah Ustad Zul, Zulkifli lengkapnya. Beberapa hari ini ia berkunjung ke desa ini untuk melakukan dakwah. Ia pribadi lembut dan selalu apa adanya. Bahkan tersiur kabar ia adalah Ustad kondang yang beberapa kali masuk stasiun televisi. 

Dengan berbekal nasihat dari Mbok Jah, aku menerima lamaran Pak Zul. Pernikahan akan kami gelar di kota, dengan ijin istri pertamanya, sesuai pintaku. 

Aku memasukkan dua stel baju milik anaknya Mbok Jah ke dalam plastik kresek untuk baju gantiku di sana. Aku tak memiliki apa-apa, nyaris hanya pakaian yang ku kenakan. Tak ada barang lain yang tersisa. 

Pak Zul tersenyum ketika melihat penampilanku, mengenakan rok panjang serta baju lengan panjang dengan sedikit model di lengannya, baju terakhir yang aku miliki, kenang-kenangan saat bapak dan Ibu masih ada. Dulunya bapak dan ibu adalah penjual nasi uduk, mereka menjajakan dagangannya di pinggir jalan raya. Hingga musibah naas itu menimpa mereka, sebuah truk besar kehilangan kendali dan menabrak tubuh renta mereka, seketika mereka menghembuskan nafas terakhir di tempat tersebut. 

“Ayo masuk,” Pak Zul membuka kan pintu mobil depannya.

“Baik, Pak.”  Ku peluk tubuh Mbok Jah yang telah ku anggap seperti ibuku sendiri, kulihat matanya mengembun, aku bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan tubuh tua itu setelah pamit dan mencium punggung tangannya. Pak Zul pun melakukan hal yang sama kepada wanita tua tersebut.

Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil hitam itu, terasa dingin. Suhu itu seakan menembus tulangku, entah karena suhu AC atau karena hatiku yang berdegup kencang karena berdua saja dengan Pak Ustad. 

“Sudah siap, Dek? Gak ada yang ketinggalan.”

Pak Ustad Zul sudah duduk di sebelahku, jantungku seperti gemuruh yang terus berpacu lebih cepat. Ini kah perasaan cinta? Apa cinta bisa datang dari pandangan pertama? 

“Apa yang ketinggalan, Pak. Saya tidak punya apa-apa selain pakaian yang menempel di tubuh saya,” jawabku sekenanya sambil terus menunduk. Aku malu menatap lelaki yang masih belum muhrimku.

Tanpa melihat, ku dengar suara tawa lirihnya dan mobil ini mulai memutarkan rodanya.

Di sepanjang jalan, aku terus melihat pemandangan sekitar, tampak pepohonan itu berjejer rapi di setiap tepi jalan, daun-daun rimbun itu memberikan kesan adem di wilayah ini. Tanganku terus bertangkup sambil ku gesek pelan agar rasa hangat menyapa tubuhku. 

“Kamu kedinginan?” tanya Pak Zul lembut, sambil menekan beberapa tombol di mobil nya.

Aku mengangguk tanpa memperhatikannya, aku takut jika ia menemukan wajahku yang memerah bak kepiting rebus. Entah perasaan apa yang kini menyapaku? Ada rasa ingin terus memandangnya tetapi juga ada rasa sungkan dan memilih untuk diam dan menunduk.

Pak Zul, bercerita tentang istrinya, tentang ibunya, bapaknya sudah meninggal, dan nantinya aku turut serta masuk di dalamnya.

Perjalanan ini cukup jauh, hampir dua jam aku menghabiskan waktuku di sini, hanya memandang pemandangan yang kami lewati dari balik kaca besar depan mobil. Pikiranku kembali melayang, menerka apa yang terjadi nantinya jika istri dan ibu Pak Zul melihatku. Wanita kumuh dan hina ini akan ikut masuk dalam keluarganya. Apakah mereka akan menerimaku?

Tak selang lama, pemandangan yang tadinya di isi pepohonan yang rimbun kini berubah menjadi bangunan-bangunan tinggi. Pemandangan yang hanya aku lihat di tv tetangga dulu. Tak pernah aku membayangkan bisa datang dan melihat ini semua.

“Sudah sampai, Pak?” tanyaku ketika mobil ini terhenti.

“Belum, kamu ganti baju dulu.” 

‘Ganti baju? Di mobil? Kita kan belum muhrim? Apakah yang lelaki yang aku puja ini ternyata ustad mesum?’

“Silahkan turun, Dek!” aku terkaget ketika Pak Zul membukakan pintu.

Aku menengok ke kiri,, sebuah bangunan mewah menjulang tinggi, nampak gambar wanita memakai pakaian muslim di bangunan tersebut. Beberaoa baju tampak kelihatan dari dinding kaca toko ini.

Aku ragu untuk turun, apalagi gaya ku yang kampungan ini, aku yakin akan membuat Pak Zul malu.

“Dek Aisyah,” 

“I- iya, Pak.”

“Jangan panggil Pak ya, Dek. Panggil Mas saja.”

“Ehm, baik, Pak. Eh, Mas.”

Ia tersenyum, terlihat begitu indah. 

Aku menurut dan memasuki ruang tersebut. Semua pakaian terlihat sempurna, banyak model mewah dan elegan tertampang. Ini bagaikan surga untuk namun wanita, baru pertama kali ini aku menginjakkan kaki di salah satu surga dunia.

“Pilihkan beberapa pakaian untuk wanita ini ya, Mbak!” ucap Mas Zul ketika salah satu petugas toko menghampiri.

“Taoi, Mas!” ucapku ragu.

“A-aku gak punya uang untuk ini semua,” ucapku polos. Terlihat petugas itu menahan tawa setelah mendengar ucapanku.

“Tidak usah kamu pikirkan!”

Petugas itu membawaku ke sebuah ruang, aku di minta duduk di atas kursi sofa besar. Ia mengambil beberapa pakaian dan memintaku untuk mencobanya di kamar Pas. Bola mataku membulat sempurna ketika kudapati tubuhku terlihat begitu cantik. Wanita semampai dengan pakaian muslim itu nampak manis di pandang. Aku tak henti-hentinya melihat diriku di bayangan cermin ini.

Beberapa baju sudah ku coba, dan semuanya terlihat pas dan serasi tubuhku. Namun, apakah wanita hina ini pantas mengenakan pakaian seperti ini? 

“Bu, anda di panggil Pak Zul!” ucapan salah satu pegawai ketika aku memperlihatkan pakaian yang kini aku pakai. Sepertinya mereka mengenal sekali dengan Mas Zul.

“Ayo pulang,” Mas Zul berdiri tepat di depan meja bertuliskan kasir. Tangan kanannya membawa sebuah tas plastik dengan gambar logo di tengahnya.

“Tapi, Mbak. Pakaiannya masih ku kenakan,” ucapku ragu kepada salah satu karyawan.

“Gak apa, Mbak. Sudah di bayar!” 

Aku menghampiri lelaki yang sedari tadi menungguku di ruang depan, kami berjalan bersama hendak pulang.

“Mas Zulkifli,” terdengar teriakan dari dalam toko tersebut.

Aku membalikkan tubuhku, melihat ke sumber suara, seorang wanita memakai gamis berwarna merah muda dengan jilbab yang menjuntai ke bawah. Istri sah nya Mas Zul kah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status