LOGIN
“Pembawa sial, bisakah kau lihat ada apa di sudut ruangan ini?”
Asri yang tengah sarapan jam 12 siang, menoleh ke arah sudut ruangan dapur, sesuai arahan tangan ibu mertuanya, bu Tami. Sebuah tumpukan pakaian kotor menggunung di sana. “Biar aku habiskan dulu makanannya, Bu. Aku sangat lapar karena dari pagi aku belum makan, Bu. Aku sibuk mengerjakan semua. Kasihan janin yang ada di dalam perutku, pasti dia juga merasa lapar,” sahut Asri. Tatapan tak suka, selalu terlempar pada wanita yang beberapa bulan ini telah sah menjadi menantunya. Dari awal bu Tami memang tidak menyetujui pernikahan antara putranya dan juga Asri. Namun, Dirga tetap bersikeras ingin menikahi Asri yang berasal dari keluarga miskin. “Jangan jadikan kehamilan kamu alasan untuk bermalas-malasan. Wanita hamil itu sudah seharusnya perbanyak gerak untuk memperlancar persalinan. Setelah ini kamu cuci baju-baju itu, terus kamu juga harus bersihkan rumah ini. Saya tidak mau rumah ini berantakan,” titah bu Tami. Asri mengangguk, suapan demi suapan makanan ke dalam mulutnya, ibarat jarum yang siap menghunus ke segala sisi tenggorokannya. Matanya tidak bisa menahan tangis akibat ucapan pedas ibu mertuanya. Bu Tami lalu pergi dari hadapan Asri. Terlihat Dirga, suami Asri baru saja pulang dari berjualan. Tampak lelaki itu tengah berjalan sambil menghitung sejumlah uang hasil jualan baju di toko milik ibunya. Asri menyudahi sarapannya, lantas ia berjalan menghampiri Dirga. “Mas, kamu sudah pulang? Wah … jualan hari ini sepertinya laris,” ucap Asri. Dirga tidak menjawab, ia pun duduk di sofa sambil terus menghitung lembaran uang di tangannya. “Mas!” panggil Asri, ia pun duduk di samping Dirga. “Hmmm!” sahut Dirga, masih tetap fokus pada uang itu, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Asri. Dari arah kamar yang pintunya baru saja terbuka, muncul bu Tami lalu mendekati Dirga. “Kamu sudah pulang, Dir? Bagaimana penjualan hari ini?” tanya bu Tami. Dirga mengangkat wajahnya dengan senyuman merekah di bibirnya. Ia pun memperlihatkan uang itu kepada ibunya. “Hari ini jualannya ramai, Bu. Lihat, ini!” Dirga kemudian memberikan sebagian besar uangnya kepada bu Tami. “Ini untuk Ibu, dan untuk kebutuhan rumah ini,” ujar Dirga. Asri pun ikut tersenyum mendengar ucapan Dirga, bahwa jualan hari ini laris. Dari luar terlihat kedua keponakan Dirga yang baru saja pulang sekolah. Mereka adalah anak kembar Ferdi kakak kandung Dirga dan Debi. Kedua keponakannya berlari mendekat ke arahnya. Sehingga fokus Dirga beralih kepada mereka. “Wah … Om Dirga banyak sekali uangnya. Aku mau beli boneka dong, Om,” ujar Rina, salah satu anak kakaknya Dirga. Dirga kemudian kembali menghitung uangnya, lalu memberikan sebagian uang kepada kedua keponakannya. “Ini buat kalian beli boneka,” ujar Dirga. “Terima kasih, Om.” ucap kedua keponakan Dirga, lalu mereka masuk ke dalam kamar. Asri mengusap punggung tangan Dirga. Lantas ia kembali menengadahkan tangannya, meminta uang bagiannya pada Dirga. “Kalau buat aku mana, Mas?” tanya Asri. Dirga kembali menoleh ke arah Asri. Lantas memberikan uang lembaran berwarna hijau sebanyak satu lembar kepadanya. Asri menatap datar uang 20 ribu dari Dirga. Tidak habis pikir kenapa Dirga hanya memberikannya uang paling kecil kepadanya. Baru saja Asri hendak membuka mulut, ingin protes kenapa ia hanya diberi uang paling kecil, sementara ibu dan keponakannya lebih besar. Namun, Dirga segera bersuara. “Dengar, dia ibuku,” ucap Dirga dengan nada tegas, tangannya mengepal keras. Matanya menatap tajam ke arah Asri, napasnya mulai memburu seiring emosi yang mengalir. Dirga seakan tahu isi pikiran Asri. “Ibu yang melahirkanku ke dunia ini. Ibu yang pernah mengurusku hingga aku bisa sekolah tinggi,” lanjutnya. “Menikah denganmu? Aku malah sial. Kamu tahu kan, aku langsung dipecat setelah menikah denganmu?!” Deg! Jantung Asri berdetak lebih kencang, dadanya terasa sesak. Tak terasa wajahnya memerah menahan tangis dengan bibir gemetar. Lalu, Dirga menatap ibunya, “Tapi Ibuku yang membuatku bangkit, dengan mempercayakan usaha toko bajunya padaku!” Bu Tami tampak tersenyum, ia mengusap punggung Dirga. “Sekarang, kamu tidak usah protes dengan berapa pun uang yang aku beri buat kamu. Soal Rina dan Rani, mereka keponakanku. Kamu jangan coba-coba melarangku memberikan uang pada mereka!” “Terima kasih, Nak. Kamu selalu membuat Ibu bangga sama kamu. Tapi … jangan seperti itu sama istri kamu. Dia kan lagi hamil,” timpal bu Tami. Asri hanya melirik sekilas ke arah ibu mertuanya. Ucapannya memang manis jika di depan Dirga. Namun, jika di belakangnya, perangainya seketika akan berubah kasar. “Tega kamu ngomong seperti itu sama aku, Mas!” Asri berdiri lalu berlari ke dalam kamarnya. Ia menumpahkan tangisnya di dalam sana sambil memegangi uang 20 ribu dengan tangan bergetar. Bagaimana bisa, sikap Dirga berubah seperti itu. Dirga yang dulu ia kenal baik, kini perangainya berubah setelah ia dipecat dari pekerjaannya. *** Malam itu, Asri dan Dirga tengah duduk berdua sambil menyaksikan acara televisi. Lalu dari arah pintu depan, muncul bu Tami dan Debi dari luar sambil membawa satu buah kantong kresek berwarna putih di sebelah tangan Debi. Kedua wanita itu pun duduk di dekat Dirga dan Asri. “Nak, kamu tidak usah masak, ya. Ibu sudah membeli makanan untuk makan malam kita semua,” ujar bu Tami, nada bicaranya begitu lembut. Asri hanya mengangguk sebagai jawaban. “Wah … sepertinya Ibu dapat kiriman uang lagi dari ayah. Em … kapan ayah pulang, Bu?” tanya Dirga. “Iya, tapi ayah kamu belum bisa pulang. Bosnya belum memberikannya waktu untuk cuti. Tapi tidak apa-apa, yang penting ayah kamu tidak lupa sama kewajibannya,” jawab bu Tami. Asri bisa mencium aroma harum masakan dari dalam kantong kresek itu. Perutnya merasa lapar, lantas ia pun hendak membawanya untuk disiapkan di ruang makan. “Biar aku saja yang siapkan!” Debi menepis tangan Asri, lalu membawa kresek itu ke belakang. Asri menatap lurus tangannya yang terulur, mengurungkan diri saat Debi lebih dulu mengambil makanan itu dari meja. Asri lalu berdiri dan pergi ke ke belakang untuk buang air kecil dan mencuci tangan. “Ye … makan!” Terdengar kedua keponakan Dirga berteriak gembira dari ruang makan. Selesai membasuh tangan, Asri pun berjalan ke ruang makan, untuk bergabung bersama yang lain. Namun, di sana Asri tidak mendapati Dirga dan yang lain. Hanya ada Rina dan Rani yang ada di sana. Asri pun kembali ke ruangan di mana Dirga dan yang lain berada. Namun, langkahnya sesaat terhenti dengan tubuh berdiri mematung, saat melihat Dirga tengah duduk bersebelahan dengan seorang wanita asing.Asri dan Ello terperangah, sangat penasaran dengan wajah orang yang dipanggil om oleh Rain.“Rain serius?” tanya Asri.“Iya, Papa tanya apa barusan? Rain tidak dengar,” ujar Rain.Asri dan Ello menghembuskan napas kasar.“Om itu pernah nunjukin mukanya tidak sama Rain? Wajahnya seperti siapa? Apakah … Papa dan Mama juga mengenalnya?” tanya Ello.Rain menggelengkan kepalanya.“Tidak, Pa. Om itu tidak mau membuka penutup wajahnya. Katanya dia seorang ninja,” jawab Rain.Ello dan Asri semakin khawatir dibuatnya. Asri mengedarkan pandangan, mencari seseorang di rumah itu.“Sus! Sus Reni!” teriak Asri.Dari arah belakang, baby sitter Rain berlari menemui Asri.“Ya ampun, Bu Asri sudah pulang? Syukurlah Bu Asri sudah sembuh. Saya sangat khawatir dengan keadaan Ibu,” sapa baby sitter, tampak antusias atas pulangnya Asri dari rumah sakit.“Ya, saya sudah pulang. Jawab saya, Sus Reni, apakah kamu selalu menjaga Rain? Menemani Rain bermain, tidur? Apakah kamu mengurus Rain dengan benar?” tanya
“Jadi bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Ello. Pagi itu Ello tengah berada di dalam ruangan dokter.“Pak Ello bisa melihatnya sendiri. Ini hasilnya!” Seorang dokter menyerahkan hasil lab tentang air putih kepada Ello.Ello mengulurkan tangan, menerimanya, membukanya lalu mulai membacanya.Begitu fokus saat membaca hasil itu. Ello mengernyitkan dahi, wajahnya menyiratkan ketidakpercayaan. Kepalanya beberapa kali menggeleng pelan.“Kok bisa, Dok?” tanya Ello, masih terus memandangi kertas itu.“Iya, Pak Ello. Memang tidak ada kandungan berbahaya apa pun di dalam air itu. Kami telah memeriksanya secara teliti. Memang hasilnya air itu aman,” jawab dokter.Ello mengangkat wajahnya, ia termenung untuk beberapa saat.“Tapi istri saya keguguran setelah meminum air itu, Dok. Kok bisa air itu aman-aman saja?” Ello masih tak habis pikir.“Kami tidak mungkin main-main dalam melakukan pekerjaan ini, Pak. Ini memang hasilnya, sangat akurat! Mungkin penyebab istri Anda keguguran, akibat dari faktor lai
“Asri! Apa-apaan, kamu?!” sentak Ello.Untuk yang pertama kali sejak menikah, Ello membentak Asri begitu kasar. Asri terbelalak melihat sikap Ello.Bu Ara terkejut dengan apa yang dilakukan Asri padanya. Niat baiknya malah berujung sebuah tamparan yang cukup keras di wajahnya yang ia terima.“Bu Ara tidak apa-apa?” tanya Ello. Ia membantu wanita tua itu bangun.“Nak Asri kenapa tampar saya?” tanya bu Ara, masih memegangi sudut bibirnya yang terasa sakit.Asri hanya diam, sambil terus menatap bu Ara.“Asri, kenapa kamu menampar Bu Ara? Padahal Bu Ara baik, loh! Malam-malam seperti ini, Bu Ara bela-belain datang ke sini, hanya untuk melihat keadaan kamu. Seperti itu balasannya yang kamu lakukan?” tanya Ello.Asri menggelengkan kepalanya.“Tidak, dia Tari! Dia adalah Tari!” tunjuk Asri ke arah bu Ara.Ello mengernyitkan dahinya, saling melempar pandang dengan bu Ara.“Tari? Siapa Tari?” tanya bu Ara.“Ah, em … maafkan sikap istriku, Bu Ara. Bu Ara sebaiknya duduk dulu, biar saya tenangin
Sesampainya di sebuah kantin, bergegas Ello memesan makanan. Ia tak ingin membuang-buang waktu lebih lama dengan meninggalkan Asri seorang diri. Apalagi yang ia tahu, kondisi Asri saat ini tidak memungkinkan untuk ditinggal sendiri.“Halo, Mam. Asri keguguran, aku sangat kehilangan calon bayiku!”Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, Ello menyempatkan diri memberi kabar kepada Erina. Bagaimana pun, keluarganya harus tahu soal itu.“Apa?! Ya Tuhan, kok bisa, Ello? Kenapa Asri bisa sampai keguguran? Lalu … bagaimana keadaan Asri sekarang? Mami sekarang lagi di luar kota, kerabat Mami sedang ada acara. Mami dan papi belum bisa mengunjungi kalian,” sahut Erina di seberang telepon.“Aku juga tidak mengerti, Mam. Semua tampak aneh. Asri mengaku mendapatkan surat misterius dari seseorang, setelah membacanya, ia mengalami pendarahan hebat. Asri mengaku, sebelum menemukan surat itu, dia sempat meminum air putih di dalam kamar,” terang Ello.“Surat? Dari siapa? Dan … air putih itu, apaka
Ello terkesiap mendengar nama tak asing yang diucapkan Asri. Tidak menyangka, jika Tari yang melakukan ini. Mungkin wanita itu ingin balas dendam atas apa yang menimpanya. Namun, Ello mengernyitkan dahinya, ada satu hal yang mengganjal di dalam benaknya.“Em … Sayang, kamu yakin?” tanya Ello.Asri mengangguk mantap, tidak ada keraguan di dalam dirinya.“Tapi Tari kan masih dalam masa hukuman. Tidak mungkin secepat itu dia keluar, dan … tahu dari mana dia, kalau kita tinggal di kota ini,” imbuh Ello.Asri menggelengkan kepala, membantah ucapan Ello.“Tidak, Mas. Aku sangat yakin itu Tari. Masa hukuman bisa dikurangi, atau bisa jadi dengan tebusan, Tari bisa bebas. Tidak menutup kemungkinan, ada keluarga atau siapa pun yang kenal dengan Tari, dia menebusnya. Entah tahu dari siapa, jika Tari mau, dia pasti akan menemukan keberadaan kita. Mas, aku … aku takut dia mencelakaiku atau Rain. Jika aku mati, dia akan merebutmu lagi dariku. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh di pelukan Tari lagi,
“Asri, sayang, kenapa kamu ada di sini? Kenapa tubuhmu sampai basah seperti ini?”Ello berlari mendekati Asri, tampak Asri menggigil dengan wajah berwarna pucat.“Mas, dia ada di sini! Dia ada di sini! Dia yang membuatku keguguran. Dia … dia, dia juga ingin membunuhku! Tidak, kalau aku mati, dia akan merebutmu dariku. Aku tidak akan membiarkan semua itu terjadi,” ujar Asri, matanya beberapa kali membeliak.Raut wajah ketakutan, terpancar nyata di wajah Asri. Beberapa kali wanita itu mengedarkan pandangan, seperti mencari seseorang di dalam toilet itu.“Sayang, apa maksud kamu? Sebaiknya kita keluar dari sini, ganti baju, kamu kedinginan. Kamu harus banyak istirahat,” pungkas Ello.Awalnya Asri menolak untuk keluar. Ia terus meracau tak jelas. Ello pun membopong tubuh Asri, memindahkannya ke dalam kamar.“Jangan seperti tadi lagi, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa. Sekarang kamu harus makan, jangan banyak pikiran,” ujar Ello, setelah selesai mengganti pakaian Asri.Ello mulai mengaduk m







