Share

Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh
Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh
Penulis: Yuni Masrifah

Bab 1 Pembawa Sial

Penulis: Yuni Masrifah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 09:16:24

“Pembawa sial, bisakah kau lihat ada apa di sudut ruangan ini?”

Asri yang tengah sarapan jam 12 siang, menoleh ke arah sudut ruangan dapur, sesuai arahan tangan ibu mertuanya, bu Tami. Sebuah tumpukan pakaian kotor menggunung di sana.

“Biar aku habiskan dulu makanannya, Bu. Aku sangat lapar karena dari pagi aku belum makan, Bu. Aku sibuk mengerjakan semua. Kasihan janin yang ada di dalam perutku, pasti dia juga merasa lapar,” sahut Asri.

Tatapan tak suka, selalu terlempar pada wanita yang beberapa bulan ini telah sah menjadi menantunya. Dari awal bu Tami memang tidak menyetujui pernikahan antara putranya dan juga Asri. Namun, Dirga tetap bersikeras ingin menikahi Asri yang berasal dari keluarga miskin.

“Jangan jadikan kehamilan kamu alasan untuk bermalas-malasan. Wanita hamil itu sudah seharusnya perbanyak gerak untuk memperlancar persalinan. Setelah ini kamu cuci baju-baju itu, terus kamu juga harus bersihkan rumah ini. Saya tidak mau rumah ini berantakan,” titah bu Tami.

Asri mengangguk, suapan demi suapan makanan ke dalam mulutnya, ibarat jarum yang siap menghunus ke segala sisi tenggorokannya. Matanya tidak bisa menahan tangis akibat ucapan pedas ibu mertuanya. Bu Tami lalu pergi dari hadapan Asri.

Terlihat Dirga, suami Asri baru saja pulang dari berjualan. Tampak lelaki itu tengah berjalan sambil menghitung sejumlah uang hasil jualan baju di toko milik ibunya.

Asri menyudahi sarapannya, lantas ia berjalan menghampiri Dirga.

“Mas, kamu sudah pulang? Wah … jualan hari ini sepertinya laris,” ucap Asri.

Dirga tidak menjawab, ia pun duduk di sofa sambil terus menghitung lembaran uang di tangannya.

“Mas!” panggil Asri, ia pun duduk di samping Dirga.

“Hmmm!” sahut Dirga, masih tetap fokus pada uang itu, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Asri.

Dari arah kamar yang pintunya baru saja terbuka, muncul bu Tami lalu mendekati Dirga.

“Kamu sudah pulang, Dir? Bagaimana penjualan hari ini?” tanya bu Tami.

Dirga mengangkat wajahnya dengan senyuman merekah di bibirnya. Ia pun memperlihatkan uang itu kepada ibunya.

“Hari ini jualannya ramai, Bu. Lihat, ini!” 

Dirga kemudian memberikan sebagian besar uangnya kepada bu Tami.

“Ini untuk Ibu, dan untuk kebutuhan rumah ini,” ujar Dirga.

Asri pun ikut tersenyum mendengar ucapan Dirga, bahwa jualan hari ini laris. 

Dari luar terlihat kedua keponakan Dirga yang baru saja pulang sekolah. Mereka adalah anak kembar Ferdi kakak kandung Dirga dan Debi. Kedua keponakannya berlari mendekat ke arahnya. Sehingga fokus Dirga beralih kepada mereka.

“Wah … Om Dirga banyak sekali uangnya. Aku mau beli boneka dong, Om,” ujar Rina, salah satu anak kakaknya Dirga.

Dirga kemudian kembali menghitung uangnya, lalu memberikan sebagian uang kepada kedua keponakannya.

“Ini buat kalian beli boneka,” ujar Dirga.

“Terima kasih, Om.” ucap kedua keponakan Dirga, lalu mereka masuk ke dalam kamar.

Asri mengusap punggung tangan Dirga. Lantas ia kembali menengadahkan tangannya, meminta uang bagiannya pada Dirga.

“Kalau buat aku mana, Mas?” tanya Asri.

Dirga kembali menoleh ke arah Asri. Lantas memberikan uang lembaran berwarna hijau sebanyak satu lembar kepadanya.

Asri menatap datar uang 20 ribu dari Dirga. Tidak habis pikir kenapa Dirga hanya memberikannya uang paling kecil kepadanya. Baru saja Asri hendak membuka mulut, ingin protes kenapa ia hanya diberi uang paling kecil, sementara ibu dan keponakannya lebih besar. Namun, Dirga segera bersuara.

“Dengar, dia ibuku,” ucap Dirga dengan nada tegas, tangannya mengepal keras.

Matanya menatap tajam ke arah Asri, napasnya mulai memburu seiring emosi yang mengalir. Dirga seakan tahu isi pikiran Asri.

“Ibu yang melahirkanku ke dunia ini. Ibu yang pernah mengurusku hingga aku bisa sekolah tinggi,” lanjutnya.

“Menikah denganmu? Aku malah sial. Kamu tahu kan, aku langsung dipecat setelah menikah denganmu?!”

Deg!

Jantung Asri berdetak lebih kencang, dadanya terasa sesak. Tak terasa wajahnya memerah menahan tangis dengan bibir gemetar.

Lalu, Dirga menatap ibunya, “Tapi Ibuku yang membuatku bangkit, dengan mempercayakan usaha toko bajunya padaku!”

Bu Tami tampak tersenyum, ia mengusap punggung Dirga.

“Sekarang, kamu tidak usah protes dengan berapa pun uang yang aku beri buat kamu. Soal Rina dan Rani, mereka keponakanku. Kamu jangan coba-coba melarangku memberikan uang pada mereka!”

“Terima kasih, Nak. Kamu selalu membuat Ibu bangga sama kamu. Tapi … jangan seperti itu sama istri kamu. Dia kan lagi hamil,” timpal bu Tami.

Asri hanya melirik sekilas ke arah ibu mertuanya. Ucapannya memang manis jika di depan Dirga. Namun, jika di belakangnya, perangainya seketika akan berubah kasar.

“Tega kamu ngomong seperti itu sama aku, Mas!”

Asri berdiri lalu berlari ke dalam kamarnya. Ia menumpahkan tangisnya di dalam sana sambil memegangi uang 20 ribu dengan tangan bergetar. 

Bagaimana bisa, sikap Dirga berubah seperti itu. Dirga yang dulu ia kenal baik, kini perangainya berubah setelah ia dipecat dari pekerjaannya.

***

Malam itu, Asri dan Dirga tengah duduk berdua sambil menyaksikan acara televisi. Lalu dari arah pintu depan, muncul bu Tami dan Debi dari luar sambil membawa satu buah kantong kresek berwarna putih di sebelah tangan Debi.

Kedua wanita itu pun duduk di dekat Dirga dan Asri.

“Nak, kamu tidak usah masak, ya. Ibu sudah membeli makanan untuk makan malam kita semua,” ujar bu Tami, nada bicaranya begitu lembut.

Asri hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Wah … sepertinya Ibu dapat kiriman uang lagi dari ayah. Em … kapan ayah pulang, Bu?” tanya Dirga.

“Iya, tapi ayah kamu belum bisa pulang. Bosnya belum memberikannya waktu untuk cuti. Tapi tidak apa-apa, yang penting ayah kamu tidak lupa sama kewajibannya,” jawab bu Tami.

Asri bisa mencium aroma harum masakan dari dalam kantong kresek itu. Perutnya merasa lapar, lantas ia pun hendak membawanya untuk disiapkan di ruang makan.

“Biar aku saja yang siapkan!” Debi menepis tangan Asri, lalu membawa kresek itu ke belakang.

Asri menatap lurus tangannya yang terulur, mengurungkan diri saat Debi lebih dulu mengambil makanan itu dari meja. Asri lalu berdiri dan pergi ke ke belakang untuk buang air kecil dan mencuci tangan.

“Ye … makan!” Terdengar kedua keponakan Dirga berteriak gembira dari ruang makan.

Selesai membasuh tangan, Asri pun berjalan ke ruang makan, untuk bergabung bersama yang lain. Namun, di sana Asri tidak mendapati Dirga dan yang lain. Hanya ada Rina dan Rani yang ada di sana.

Asri pun kembali ke ruangan di mana Dirga dan yang lain berada. Namun, langkahnya sesaat terhenti dengan tubuh berdiri mematung, saat melihat Dirga tengah duduk bersebelahan dengan seorang wanita asing.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
gaji babu aja lebih besar dari yg kau terima dari suamimu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 15 Orang Kaya Baru

    “M-mas Ello,” gumam Asri.Asri tidak menyadari kedatangan Ello. Tiba-tiba saja lelaki itu telah berada di belakangnya. Ia terlalu fokus menatap ponselnya, hingga suara pintu terbuka pun, ia tidak mendengar.“Senang menjadi orang kaya baru?” tanya Ello.Asri tidak menjawab, melihat sikap Ello yang tidak bersahabat dari awal, membuatnya merasa tidak nyaman.Ello pun duduk di seberang Asri. Bersikap santai dan dingin dengan sebelah kaki bertumpu pada kaki satunya lagi.“Kenapa diam?” tanya Ello.“A-aku … aku ….”“Sudah aku duga, kau hanya menjual kesedihan kamu saja. Demi mendapatkan harta oma, kamu rela menjatuhkan harga dirimu. Padahal kamu masih punya suami. Tidak sepantasnya kamu mengemis harta dari orang lain,” cetus Ello.Perasaan Asri begitu sakit mendengar perkataan dari lelaki itu. Namun, jika ia tidak menerima uang dan rumah pemberian oma Nira, mungkin saat ini Asri masih tinggal di ujung telunjuk keluarga Dirga.Asri menghela napas panjang, berusaha tegar dengan semua ucapan y

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 14 Tidak Terpengaruh

    “Baiklah!” seru si nenek menyetujui.Bibir lelaki itu melengkung membentuk sebuah senyuman. Ia yakin, usahanya menghasut orang-orang lewat si nenek, akan berhasil dan membawa mereka kembali untuk menjadi pelanggannya.“Nah … gitu dong, Nek. Sebentar, ya,” ucap Dirga.Dirga merogoh saku celananya, mengambil dompet dan meraup isinya. Tidak masalah uang hasil berjualan tadi, ia akan kasih kepada si nenek, asalkan orang-orang kembali berbelanja di toko miliknya, pikir Dirga.“Ini, Nek. Uang buat Nenek, nanti bajunya nyusul. Setelah Nenek berhasil menghasut mereka, Nenek bisa ikut saya ke toko saya. Saya akan berikan baju-baju baru dan bagus buat Nenek,” lanjut Dirga.Si nenek tersenyum kecil, menatap sejumlah uang berwarna merah, sebanyak 2 lembar.“Ini ambil, Nek. Jangan sungkan, ini buat Nenek semuanya,” ujar Dirga.Bukannya meraih uang itu, si nenek malah meraih tangan Dirga.“Baiklah, Nak. Kalau begitu ikut Nenek juga ke kantor polisi. Kita bicarakan ini di sana saja. Bagaimana?” tany

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 13 Siasat Dirga

    "Sinar Asri Fashion? Aku baru tahu kalau ada toko baju bernama Sinar Asri Fashion. Sejak kapan ada toko pakaian itu?” gumam Dirga.Dirga membaca caption yang tertera di postingan itu. Ternyata toko itu belum lama buka dan baru-baru ini viral. Namun, Dirga baru tahu akan hal itu. Tampak di postingan tersebut, banyak orang-orang berbondong-bondong memasuki toko tersebut.Dari mulai anak-anak hingga dewasa, tampak dalam postingan itu mereka membludak mendatangi toko tersebut.“Jl. Gagak nomor 15? Ini kan tidak begitu jauh dari sini. Apa mungkin pemicu toko baju ibu sepi, gara-gara ada toko ini?” gumam Dirga, pikirannya menduga-duga akan hal itu.Dirga menghela napas panjang, lantas menyimpan kembali ponselnya di saku celana.“Ini tidak bisa dibiarkan. Kalau terus menerus dibiarkan seperti ini, bisa bangkrut toko pakaian ibuku. Tidak, aku harus mengambil tindakan sebelum semua itu terjadi!” Dirga berdiri lalu keluar dari kamarnya.Dengan langkah lebarnya, Dirga berjalan cepat melewati ibu

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 12 Perbincangan Hangat

    “Mas, apa yang kamu lakukan?” tanya Dirga, ia tak habis pikir dengan sikap Ferdi yang baru saja datang dan berubah kasar.Semua orang di rumah itu serempak berdiri, pusat perhatian mereka tertuju pada amarah anak sulung keluarga itu.“Diam kamu, Dirga! Tidak usah kamu membelanya. Wanita ini memang sangat pantas aku tampar. Bahkan lebih dari ini pun, dia pantas menerimanya!” tunjuk Ferdi ke arah wajah Debi.Debi memegangi pipinya, ia begitu terkejut dengan perlakuan kasar suaminya yang secara tiba-tiba.Semua orang tidak paham dengan permasalahan yang terjadi. Dirga lantas bertanya, “Memangnya apa yang dilakukan Mbak Debi?”“Iya, Ferdi, kenapa kamu menampar istri kamu? Apa yang dia lakukan? Di sini ada kedua anakmu, mereka melihat sikap kamu yang kasar. Apa kamu tidak kasihan sama mereka?” timpal bu Tami.Ferdi mengusap kasar wajahnya, lalu menoleh ke arah kedua anak kembarnya yang berdiri ketakutan di belakang tubuh Dirga.“Rina, Rani, sebaiknya kalian masuk ke dalam kamar!” titah Fer

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 11 Menurun

    “Mikir nggak, apa yang sudah kamu lakukan? Dengar, aku bisa dipecat gara-gara ini!” ujar Dirga, tampak kilat kemarahan di matanya.Debi membekap mulutnya sendiri, mata yang membulat, tatapan penuh keterkejutan.“Ma-maksud kamu, Mas?” tanya Debi, nada bicaranya berubah gugup.Ferdi mengusap kasar wajahnya, sorot matanya menyiratkan kemurkaan yang membara.“Dia adalah bosku, orang yang menggajiku selama aku kerja di perusahaannya. Dan sekarang kamu … kamu membuat masalah seperti ini!” desis Ferdi.Debi tertunduk, wajahnya memucat seiring ucapan Ferdi yang terlontar.“Kamu harus minta maaf sama bosku, bila perlu kamu sujud di kakinya,” ujar Ferdi.“A-aku … aku!” Debi menghela napas panjang.“Iya, aku akan minta maaf sama bos kamu. Aku tidak tahu kalau wanita itu adalah bos kamu, Mas. Aku pikir kalian ada hubungan spesial di belakangku,” sahut Debi.Wanita yang diketahui adalah atasan Ferdi pun keluar dari toilet. Ia berjalan melewati Ferdi dan hendak pergi menaiki taksi.“Bu, saya minta

  • Aku yang Kau Buang, Kini Tak Bisa Kau Sentuh   Bab 10 Murka

    “Terima kasih, Mbak!” ucap Asri, saat ia baru saja memesan makanan untuk dibawa pulang.Asri keluar dari sebuah restoran, lalu memasuki taksi online untuk mengantarnya ke toko milikinya.Sesampainya di toko, suasana terlihat lebih ramai dari sebelumnya. Di sana telah banyak pelanggan berdatangan untuk membeli baju-baju yang ada di sana.“Alhamdulillah ….”Senyuman Asri kian merekah saat rezeki itu berdatangan dengan sendirinya. Mereka sangat menyukai kualitas dan harga pakaian di toko miliknya.Asri segera masuk, ia kemudian menyimpan makanan itu ke dalam ruangan miliknya, lantas membantu dua karyawan baru yang ia rekrut beberapa hari ini, untuk melayani pembeli.“Silahkan, Mbak dilihat-lihat dulu. Ini ada banyak sekali model pakaian terbaru dengan kualitas bagus.” Asri menyapa salah satu pelanggan.“Em … model bajunya terlihat bagus-bagus, dengan bahan yang sepertinya sangat nyaman untuk dipakai. Ternyata benar kata teman-teman saya. Selain harga yang bersahabat, di sini banyak sekal

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status