Oma Nira masih menatap tak berkedip ke arah lelaki yang masih berdiri mematung memunggunginya.“Adalah apa, Oma? Kenapa dengan suamiku?” tanya Asri, ia sangat penasaran.“Habislah aku, bisa-bisa Asri tidak mau lagi menerimaku. Kenapa aku harus bertemu lagi dengan wanita tua itu? Dan kenapa plot twist-nya, Nenek itu adalah orang yang memberi modal untuk Asri? Kenapa dunia sempit sekali?” Dirga memejamkan matanya sejenak.Dirga berdiri bak sebuah patung yang bernyawa.“Bisa bahaya kalau begini, Asri pasti akan menuntut cerai dariku kalau Nenek itu sampai memberitahu Asri perihal niatku memfitnahnya dulu. Tidak, aku tidak mau bercerai dari Asri. Cukup sudah dulu aku menyia-nyiakannya,” batin Dirga.Oma menghela napas panjang, melanjutkan kembali ucapannya. “Kamu harus tahu, Nak, bahwa suami kamu itu adalah lelaki yang sangat tampan. Kamu harus ekstra hati-hati jangan sampai banyak mata yang melirik ketampanannya. Cukup kamu saja sebagai istrinya.”Dirga tercengang, ternyata oma hanya ber
“O-oma,” gumam Asri, lalu mendorong tubuh Dirga dari hadapannya. Menciptakan jarak yang cukup jauh.Oma Nira berbalik badan, ia terkejut saat melihat apa yang tengah Asri lakukan dengan Dirga.“Em … maaf, biar saya keluar saja,” ucap oma hendak melangkah keluar dari ruangan Asri.Asri berdiri, berjalan cepat mencegah oma pergi dari tempat itu.“Sebentar, Oma. Jangan pergi, sebaiknya Oma masuk dulu ke dalam. Itu Mas Dirga, suamiku. Aku dan dia kembali bersama dan melanjutkan rumah tangga kami,” ungkap Asri.Oma mengangkat sebelah alisnya. Menatap Dirga tak berkedip, lelaki itu tampak panik melihat wanita tua itu.Oma Nira membeku di tempat. Tatapan penuh arti tersirat di mata tuanya. Tak ada ucapan sepatah kata pun. Membuat Asri merasa malu dengan apa yang oma lihat terhadapnya dan juga Dirga.Kaki putih nan keriput itu tiba-tiba melangkah masuk. Mata nyalang tak teralihkan pada wajah Dirga.Gugup, detak jantung yang berpacu hebat, seakan menandakan bahwa akan ada sesuatu akan terjadi.
Asri yang merasa penasaran, ia membuka kaca mobilnya. Memastikan ada apa sebenarnya di jalan tersebut. Sehingga menimbulkan suara gaduh, dan menjadi pusat perhatian banyak orang yang melewati jalan tersebut.Asri membekap mulutnya, pupil matanya membesar saat melihat seseorang yang sangat ia kenali tengah terkapar di atas jalanan aspal.Asri menghentikan mobilnya, lalu keluar dan berlari ke arah orang tersebut.“Mas Dirga,” ujar Asri.Beberapa pria bertato berdiri mengelilingi dan telah membuat Dirga terluka. Kepala dan tangan yang masih terbungkus kain perban. Kini ditambah lagi oleh pukulan demi pukulan yang diterimanya dari mereka.“Ada apa ini? Kenapa kalian memukuli suami saya?” tanya Asri.“Oh jadi kamu istrinya? Kasih paham sama suami kamu. Ini wilayah kami, dia tiba-tiba jadi tukang parkir di sini. Tapi dia tidak mau membayar keamanan sama kami,” jelas salah satu dari mereka.Asri menoleh ke arah Dirga. Wajahnya lebam dengan sudut bibir mengeluarkan sedikit cairan merah.“Aku
“Uhhh!”Hembusan napas panjang terhembus merdu dari mulut tipis Dirga. Wajah yang berseri-seri, walau pun tubuh terasa lemas setelah mengarungi bahtera kenikmatan bersama Asri.Kamar itu, malam itu, dan ranjang serta barang-barang di dalamnya telah menjadi saksi bisu atas bersatunya kembali pasangan suami istri yang sempat terpisah.Asri memunguti dan mengenakan kembali pakaiannya yang tertanggal dan terlempar ke lantai.“Terima kasih, Sayang. Malam ini aku sangat bahagia kita bisa bersatu kembali. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan, karena telah mempersatukan kita kembali.” Dirga menghembuskan napas panjang.“Aku janji, mulai malam ini dan seterusnya aku akan menjadi suami kamu yang baik. Meninggalkan hal buruk yang pernah aku lakukan sama kamu. Aku ingin menjadi contoh yang baik bagi anakku kelak setelah dia lahir,” ucap Dirga.Asri hanya mengangguk tanpa bersuara. Wanita itu lantas berbaring memunggungi Dirga.“Tuhan … apakah yang telah aku lakukan sudah benar? A
Suasana rumah menjadi sepi setelah Debi memboyong kedua anaknya keluar dari rumah Asri. Sementara Dirga dan bu Tami, mereka memilih bertahan di rumah itu.Sebenarnya Asri tidak tega terhadap Rani, harus pergi dari rumahnya. Namun, ia tidak memiliki hak atas anak itu. Bagaimana pun Debi adalah ibu kandungnya. Yang tentunya Debi akan lebih tahu yang terbaik bagi anaknya.“Kamu istirahat saja di kamar. Aku ada urusan di toko. Jangan lupa, minum tepat waktu obat dari dokter,” ujar Asri.“Ibu akan mengingatkannya. Kamu tenang saja. Hati-hati di jalan,” timpal bu Tami.Asri bergegas mengendarai mobilnya pergi ke toko. Seperti sebelumnya, tempat itu begitu sibuk dengan lalu lalang pembeli yang hilir mudik keluar masuk dari toko. Bahkan pengiriman barang-barang baru pun tengah berlangsung.“Semangat kerjanya, Nina!” seru Asri.“Eh ada Mbak Asri, maaf aku nggak ngeh soalnya banyak sekali pembeli. Mbak Asri, ini laporan keuangan hasil penjualan kemarin. Mbak bisa memeriksanya lagi,” sahut Nina.
“Aduh … ketahuan aku. Sial, bagaimana ini?” gumam Debi.Bu Tami dan Dirga melirik ke arah Debi. Wanita itu begitu panik mendengar suara Asri dari dalam kamar.“Mbak, ada apa ini? Kenapa Asri bisa sampai teriak-teriak menyebut nama Mbak. Apakah Mbak melakukan kesalahan?” tanya Dirga.Wajah Debi memerah, tampak ia tidak nyaman dengan situasi ini.“Kamu temui Asri dulu, jangan menunggu Asri lebih marah lagi sama kamu,” ujar bu Tami.Debi terpaksa menemui Asri di dalam kamar. Dengan langkah kaki yang lemas, ia telah berada di dalam kamar Asri.Asri berdiri tegas memandangi Debi. Wanita yang berstatus sebagai kakak ipar Asri, berdiri dengan tubuh gemetar. Tatapan mata Asri seakan menelanjangi dirinya.Tampak pintu lemari terbuka lebar. Membuat suhu tubuh Debi merasakan hawa panas sekaligus dingin.“Apa yang Mbak lakuin di rumah ini?” tanya Asri.Bibir Debi terasa kaku, kerongkongannya terasa tercekat. Berbagai keberanian ia kumpulkan untuk menjawab pertanyaan Asri. Namun, itu sangat sulit