Share

Flashback

Flashback ke-enam bulan yang lalu.

Petualangan pikiranku: Dari perjalanan sehari ke Kuala Lumpur–Malaysia, sebagai kerinduan keluarga dari Indonesia, aku—yang berbasis di Jakarta-Indonesia, bersama ibu berkunjung tepat di penghujung tahun, untuk berlibur. Ayah memang bekerja di sana, kami berencana akan mengunjungi apartemen ayah sebelum melakukan destinasi ke penjuru Malaysia. Tetapi, apartemen berubah menjadi penjara, hatiku beku dan terpenjara seketika menyaksikan orang ketiga di antara ibu dan ayah.

Ayah telah menghancurkan sebagian sebagai hadiah untukku, sebagian besar karena perselingkuhan sangat menghidupkan perjalanan bisnis-nya. Yang mengharuskan ayah jauh dari istri dan keluarganya. Tinggal bersama wanita lain di sebuah apartemen.

Berakhir kami telah menjelajahi kota tanpa pria brengsek, fantasi dalam pusaran perbelanjaan dan malam yang kulihat ulah ibu menjadi tidak setabil, dalam permainan seks. Ini jauh dari pertama kalinya aku menyaksikan dengan caranya melampiaskan kemarahan, tapi aku belum pernah menerima begitu banyak waktu untuk mengakui kenyataan dan ketakutan terdalam di tinggal ayah.

Bagiku ada ketertarikan untuk menggali jauh ke dalam pikiranku, dan mengungkap pikiran dan keinginan yang tidak pernah aku temukan, bahkan untuk diri sendiri. Begitu kuintip dari celah kamar, ibu menjadi buas: pecandu alkohol, merokok, sering memasukan pria dari yang berusia sepadan sampai lebih mudah dan jauh dibawahnya. Baginya, ada kesenangan menemani dirinya di siang hari dan malam hari. Perasaan sakit serta siksaan yang bisa aku lihat dari perbuatannya bahwa itu membebani hidupnya sendiri. Keindahannya adalah menghancurkan dirinya, dalam arti hidup sudah lenyap, tidak setia tubuh sendiri. Dia, seperti semua wanita yang mengunjungi club, aku tahu bahwa ibu pernah berhubungan seks dengan kliennya sendiri - setidaknya dengan klien pria.

Seorang wanita mungkin menerima kepuasan di tangannya sendiri, atau di tangan mekanik dari berbagai alat untuk membangkitkan libido dan masturbasi yang menarik dapat kulihat sepulang sekolah, di sofa ruang tamu, kamar mandi, dan kamarnya sendiri. Aku benci melihatnya.

***

Teman sekolahku menegur dan bahkan meledekku satu sifat yang telah aku benci cara itu, Namanya Kennet. “Hi Siva … Tante Mira kemarin ke rumahku, aku melihat mereka pacaran. Sepertinya kita akan menjadi saudara.”

“Cih …,” aku beranjak bangkit dan meninggalkannya.

“Hi Siva, jangan senang dulu, Ayahku tidak akan mau menerimamu.”

Aku berbalik badan saat Kennet berteriak dan menganggapku remeh. Cukup kubalas dengan acungan jempol yang terbalik.

Berulang kali selama berhari-hari aku mempelajari setiap ejekan Kannet dan teman-temannya, dari spesies manusia keji adalah mereka secara mendalam. Kembali ke sisiku setelah setiap berpapasan, aku sangat ingin menganiaya diriku sendiri, minimal mengurung diri dan dengan segala cara yang mungkin. Semakin sukses elemen berpikirku, semakin mendesak keinginannya untuk protes pada ibu, “Siva nggak suka Ibu sering bersama Om Surya, karena Kannet selalu mengejekku. Aku benci Kennet.”

“Siva Sayang … Om Surya baik loh … jangan berpikir macam-macam dulu ya! Sudah jangan banyak berpikir negatif, kami ingin kamu dan Kennet akur.”

“Kalau tidak bisa?”

“Harus bisa dong … karena Om Surya akan menjadi teman Ibu, dan kamu juga harus menjadi teman Kennet.”

“Ibu suka Om Surya?”

Ibu hanya tersenyum, lalu menyuruhku tidur.

***

Aku mengetahui ada ketidaksukaan, lama mengendap di bawah ranjang ibu, saat ibu keluar, aku diam-diam masuk ke kamarnya dan masuk kolong tempat tidur, sengaja aku penasaran atas apa yang dikatakan Kennet: semakin cerdas mereka bermain nakal maka semakin besar keinginanku tentang mereka untuk petualangan seksual, dan semakin sukses mereka, semakin besar kebutuhan mereka untuk didominasi dengan seks. Ini seperti konsep cinta liar yang tidak ada aturan.

Kudengar terselip obrolan krusial dari mereka.

“Mira, aku tidak bisa menerima Siva.”

“Tapi kenapa Surya? Dia anakku, aku tidak bisa meninggalkan anakku.”

“Kennet tidak akan menyetujui kita jika kamu akan membawa Siva pada kehidupan kita.”

Terdengar ibu menangis.

“Kamu jangan menangis Sayang … aku ada cara supaya Kannet tidak bisa bertemu Siva—”

“Kamu yakin, Siva akan menerima itu semua?”

“Entahlah, kita coba dulu, ya!”

Secara keseluruhan, perjalanan petualanganku terbukti sesukses pencapaian rasa penasaran, tambahan substansial untuk memantapkan diri atas apa yang akan aku ambil, langkah yang terbaik.

***

Minggu yang tidak biasa dalam kehidupanku, ibu mendatangiku ketika sedang belajar.

“Siva, sedang sibuk Sayang … ibu boleh ngomong?”

“Siva juga ingin bicara, serius.”

“Oh iya … anak Ibu sudah bisa serius, anak pintar mau ngomong apa? Ayo ngomong!”

“Ibu ngomong saja dulu!”

“Emm, oke. Ibu ada info di Jakarta selatan ada sekolahan bagus loh … ada asramanya juga. Minimal kamu semakin mandiri.”

Aku tak membalasnya, langsung beranjak dari kursi.

“Siva, Ibu ingin yang terbaik untukmu,” teriak ibu saat aku baru saja akan menutup kamar. Kulihat matanya penuh harapan bahwa aku bisa mengabulkan keinginan itu.

“Oke, aku akan lakukan maumu, Ibu urus saja surat pindahku. Dan jangan sampai ada yang tertinggal barang-barangku.”

Brok!

Terdengar barang yang tergantung di pintu kamar terjatuh saat aku menutup dengan keras.

***

Aku ingin mengatakan bahwa hidup tidak menyedihkan tanpa mereka, dengan ibu yang cerdas dan kaya, tetapi memberikan kesan yang salah. Benar, ada cukup banyak pria lebih muda di sekitar untuk membuatnya dan tidak kekurangan kebahagiaan sama sekali, tetapi aku mesum dari celah gorden saat melihat ibu sedang bercinta dengan seorang pria, terkenal agak kekurangan jiwa stabil.

Namun, aku sejatinya, yang menikmati peregangan ada batasan seksual. Lalu dengan segera menyudahi dan kembali ke kamar. Tapi, aku berpikir, mereka seperti perbudakan dan dominasi profil rendah seperti telah digabungkan dengan keberhasilan erotika fiktif mereka, untuk merangsang satu—sama—lain. Itu menjijikan sekali. Pembuktian pada dunia rahasia seorang wanita yang mudah tergoda bersama pria yang berotot, atau yang dilihat perkasa.

Aku lebih tidak suka tinggal dalam bayang-bayang mereka. Hari suram, aku dapat berbicara lebih leluasa tentang kelanjutan sekolahku. Aku yang salah … rasanya tidak, membayangkan ibu yang tidak peduli denganku lagi, hasrat seksualnya yang semakin brutal.

“Eh Sayang … ibu baru saja akan memanggilmu, kamu sudah datang duluan. Sini makan sama Ibu!” gairah bicara itu seperti tidak ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Lengus nan tidak tau diri.

“Aku tidak ingin makan, aku bosan di rumah yang penuh kepalsuan ini.”

“Maksud kamu apa Sayang?”

“Ibu tidak lelah menjadi budak seks laki-laki semacam— ah sudahlah … pokoknya aku nggak suka Ibu seperti itu lagi. Mau itu dengan Om Surya ataupun yang lainnya.”

“Kamu melihat Ibu?”

“Iya, melihat dan itu jelas.”

Ikutlah denganku sekarang dalam tutur berkata. Jika mungkin harus mengatakan “benci Ibu,” karena di sini aku akan menemukan ruangan demi ruangan kehidupan secara sendiri, tanpa siapa pun.

Ibu mengambil buku yang kubawa dan kuletakan di meja, dia membaca diari untuk mengetahui apa? Ini adalah tanda yang menarik bahwa tidak ada pembatas ibu terhadap anak. Aku tidak memiliki keraguan untuk membiarkan, urusan dia sendiri daripada melarang atau membuat penolakan, sebagian besar aku sudah acuh tak acuh dengan perilakunya. Jika direnungkan … ibu mungkin menganggapku anak aneh, dibandingkan dengan yang lainya, pekerjaan dewasanya menjadikanku lebih jujur menulis curhatan di buku, itu normal.

“Jadi—kamu?”

“Iya, aku benci sikap Ibu. Cepat segera urus surat pindahku, aku muak di sini!”

“Sayang ... kamu mau pergi bukan karena untuk pilihan pendidikan yang lebih baik, tapi kamu—ah jangan membuat Ibu merasa bersalah Sayang!” ibu berkata sambil menggenggam tanganku begitu erat.

“Lepaskan tanganku dari tanganmu yang kotor!” mintaku sambil pergi kembali ke kamar.

Apapun caraku membuat tidak baik dalam komunikasi, aku akan meminta beberapa helai pakaian saja darinya, yang aku butuhkan saja. Preferensi sekolah baru belum detail tentang layanan tertentu yang aku butuhkan. Kata ibu sekolah di sana adalah bagus. Aku diterima dapat membentuk sebuah kemandirian, katanya.

“Tolong segera taruh bagasi semua koper itu! Sepatu dan obat-obatan!”

“Ok, Ibu akan lakukan karena ini yang terakhir kali melihatmu, kita akan berjumpa setelah sekian lamanya nanti.”

“Kau senang kelihatannya saat ini.”

“Tidak juga.”

“Feelingku saja.”

“Lakukan seperti yang ada di diarimu ... pulanglah saat kau rindu ... jangan sungkan karena pintu ini terbuka untukmu.”

“Hmm,” kualihkan pandangan ketika ibu menatap dan merapatkan tangannya ke pundakku.

Singkatnya, halaman demi halaman proses rumit yang menjelaskan skenario tangis ibu, di dalam mobil aku bisa menyaksikan dia membuat wajah seperti sedih. Demi kebaikan dirinya, aku dikirim ke Jakarta Selatan, yang orang tau jarak Timut ke Jakarta tidak bisa di tempuh hanya menggunakan jalur lapak kaki atau sepeda motor dengan waktu cepat. Ibu yang hanya memikirkan kebutuhan fantasi pribadinya.

Namun, dengan niat terbaik untuknya, aku memberi waktu untuk beretorika dalam maunya, dengan penuh cambukan yang sangat dinantikan saat aku tiada. Simpul persis yang akan aku gunakan untuk mengingat jalan hidupku sendiri.

Di sekitar tol yang entah tol apa namanya, duduklah aku dengan tidak nyaman, godaan dan siksaan yang mungkin segera diterapkan pada mataku. Tidak bisa menangis, tapi mata membengkak. Menjadi agak lebih gengsi daripada harus menumpah ruah seperti putus cinta. Aku malah mengkhawatirkan ini sebagai bentuk hukuman Tuhan, selingan yang menyakitkan dari sebelumnya aku bahagia.

-o0o-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status