Share

Sekarang

BACK TO NOW

Banyak hal baru, terutama ibu dan masanya, dengan gugup di tepi ranjang, aku katakan bahwa aku benci enam bulan yang menyebalkan. Mereka, teman-teman belajar tetapi tidak jarang bersama keluarga. “Aku tidak butuh kasihmu, jangan sentuh pantatku. Nanti malam aku akan kembali ke Darmawangsa.”

“Siva … apa yang harus Ibu lakukan untuk menebus semuanya?”

“Tidak perlu melakukan apapun, aku hanya senang tidak menerima pengakuan bahwa aku anakmu.”

“Cukup Siva! Ibu maaf soal waktu itu.”

Aku bangkit dan penyumbat telinga dengan bantal, dan tangisnya menarikku hanyut dalam waktu lampau, aku tidak mau itu terjadi. “Jangan menangis!”

Ibu cenderung duduk diam, menungguku akan mengatakan sesuatu. Mungkinkah beliau wanita dengan jenis yang secara alami ingin tahu, atau mungkin lebih rapuh? Yang benar adalah bahwa aku telah membuat masa tunggu untuk meningkatkan kesabarannya. Hingga terlibat dalam tiga puluh menit. Aku ingin suasana yang benar-benar menghargai waktuku bicara. Pada waktunya, “aku sedih Ibu dan Ayah berpisah, aku tidak pernah mendapatkan marah, senyum, pujian, dan segalanya dari kalian. Aku rindu saat aku berusia 14 tahun.”

“Sayang … Ibu sangat peduli denganmu Nak ….”

“Itu dulu.”

“Siva, sampai sekarang itu Ibu berusaha lakukan.”

“Aku tidak merasakan itu ada, dan aku benci Ibu yang sibuk dengan dunia Ibu sendiri.”

“Ibu bekerja untuk kamu Sayang. Ibu tahu, waktu bekerja yang Ibu lakukan lebih banyak ketimbang mengurusmu dan membiarkan kamu tinggal di asrama. Maaf ya!”

“Maaf belum bisa, aku akan memaafkan saat Ibu berubah, dan aku benci saat Ibu asyik dengan teman-teman Ibu yang pria-pria itu.”

“Siva, kamu tidak tahu apa yang terjadi, ini semua untuk kamu sayang … tidak pernah ibu kesampingkan kebutuhanmu.”

“Sit—” aku pergi dari ranjang, sekarang bersujud di lantai kamar mandi, tidak berani untuk bertemu dengan tatapannya yang sangat menyakinkan bahwa dia tidak melakukan kesalahan.

Aku ingin duduk sejenak dan membuat bahu merasa nyaman dengan sedikit obrolan kata hati. Bagiku, ini adalah salah satu momen tidak penting dalam kebersamaan. Aku tidak tahu berapa lama menepi seperti meringkuk kedinginan. Sekarang ini adalah kesempatan satu-satunya untuk menguraikan keinginan yang paling rahasia. Semakin jujur, aku semakin sakit, semakin banyak tidak manfaat yang diperoleh dari jam-jam berikutnya.

***

Pengalaman berbulan-bulan telah memberikan kemampuan untuk melihat melampaui apa yang aku katakan, untuk menafsirkan pikiran terdalam dan untuk memutuskan hal terbaik yang akan datang. Tidak ada yang bisa aku katakan yang mungkin meminta maaf.

Bagaimana bisa perbuatan ibu yang ekstrim dan tidak biasa dilalui para ibu di luar sana, mungkin, telah di hadapan pada kesalahan, aku bisa memaafkan?

Mungkin dengan mengingatkan tentang beberapa kegiatan yang tidak akan aku lakukan tetapi. Aku harus mengungkapkan jiwaku sendiri untuk mengetahui apa yang mungkin, atau tidak.

Aku sekarang akan ucapkan sesuatu dan berdamai pada masa, benar-benar ingin berhenti berbuat konyol. Beberapa menit aku yang lemas lunglai beranjak dari ubin dan keluar dari kamar mandi, aku telah mendapati wanita sebagai budak seks masih duduk di ranjang sambil menangis.

“Waktuku berkunjung habis, aku harus pulang ke asrama.”

Lalu ibu menatapku, wajahnya bergetar. Senang karena menggunakan kata aman; tidak menghakimi perbuatan ibu. Untuk meredam agar sesuai dengan batas psikologis.

Sekarang setelah berkemas selesai, aku sendiri yang akan memutuskan apa yang akan kulakukan. Terjadi pada pikiranku selama hidupku ke depan ….

***

Kulihat pria berambut acak di persimpangan laboratorium komputer, sendiri dan setauku setiap orang mengatakan cowok cool, dengan aktivitas sangat bervariasi dalam organisasi sehingga sulit untuk menentukan waktu yang tepat saat bicara dengannya. Pada akhirnya aku memilih menyapanya, yang jelas merupakan namanya Ali. Tetapi, seorang pria tak jelas di bidang apa jurusan sekolahnya, seperti halnya beberapa temanku yang tak jelas skillnya.

“Ada yang membuatmu harus tertunduk seperti itu, Ali?”

Ali tidak langsung membalas pertanyaanku, dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti mencari sesuatu. Aku relatif mengamati gerak matanya. Lalu, “aku sedang akan berkenalan denganmu, kenapa bengong? Apa aku menjijikan?”

Dia anak yang sudah dewasa, dan meskipun aku, tentu saja, tidak pernah tertarik dengannya dalam caraku yang normal. Aku ragu sejenak bahwa dia adalah cowok berkomunitas di sekolah, tapi untuk apa menungguku yang tak pernah aktif dalam bidang apapun?

Dia juga menyukai keramaian, aroma kopi yang selalu nongkrong di kedai, dan postur tegap di dirinya. Dia telah menggambarkan keanehan kepadaku.

“Kamu, suka denganku kan Siva? Kalau kamu mau juga boleh, aku akan menyukaimu kembali.”

“Hah? Haha ... jangan terlalu percaya diri anak sok cerdas dan sok aktif. Lihat jidatmu saja yang penuh dengan angka-angka itu aku sudah muak, cih ...,” ludahku melayang di permukaan tanganya. Sengaja tapi tidak juga sengaja, maksudku, aku sengaja ke arah wajahnya, tapi terkena tangannya.

Aku mulai memikirkan tentang Ali, sambil meninggalkannya, bagaimana rasanya dan baunya, kemudian mulai membayangkan apa yang dia lakukan pada tanganya. Aku setiap sesi kelas kembali dalam pikiran itu, kadang-kadang tertawa licik dengan ingatan tidak kututupi. Aku tidak merasa takut menginginkan Ali nampak di hadapanku, bukanlah sesuatu yang dapat kukhawatirkan. Bahwa akan tidak berpikir dia membalas, bahkan jika dia mengerti, itu bukanlah sesuatu yang dapat aku bagikan dengannya.

Akhirnya, meskipun dihukum karena tidak konsentrasi dalam pelajaran, berusaha untuk tidak sering bertemu dengan siapa pun. Kemudian karena hari masih berjemur di bawah terik matahari yang tingkat kepanasannya sampai melepuhkan sebidang tanah yang menjadi mengering. Terkadang memicingkan mata untuk bisa bertahan.

“Nih minumlah sebelum kubuang airnya.”

“Kribo, bisa sopan tidak kamu memberikan airnya.”

“Ok, ini ambilah, aku tidak tega melihatmu begitu tersiksa oleh alam yang sedang mendidih ini.”

“Bahasamu seperti ilmuwan saja,” sambil kuambil botol minum darinya. Kuteguk dengan rakus tanpa ada sisa tetas. “Akhirnya aku ada penyelamat nyawa.”

“Lihat botol itu ....”

“Hah?”

“Apa kamu akan berpikir jika botol itu akan masuk ke dalam kelaminmu?”

“Tidak, sungguh.”

“Jangan bercanda!” ya ... kebiasaan, si Kribo selalu memotong pembicaraan, saat sedang bicara tiba-tiba pergi.

Kribo muncul lagi dengan sangat teratur berdiri di sebelahku, semenit lalu ketika keinginannya untuk pembahas botol dan tingkat tertentu mulai membanjiri otakku, dia pergi. Kemudian, seperti yang terjadi, sudah datang lagi.

“Apa botolmu ketinggalan?”

“Sepertinya kita sudah ditakdirkan bersama.”

“Kurasa Bu Guru menghukummu.”

“Ya, itulah hukum di sekolah ini, saat akan berbuat baik dicegah. Ironis!” 

Aku tidak tahu persis mengapa dia dihukum juga. Memeriksa masa hukuman tidak menunjukkan seseorang akan jera, pertunjukan jadinya yang dapat dilihat semua murid. Dia memiliki mata, kebebasan, dan kecenderungan untuk mengeksplorasi keinginan dan merasa bebas menghina.

Aku mencintai hidupku dan cara dapat meningkatkan keinginan setiap menambahkan aktivitas dari hari ke hari. Tanpa paham, saat melihat ke arah sebuah depan kelas, tepatnya lapangan basket, akan menjadi mekanis dan berulang; imajinasi seksualku yang membuat menggairahkan, bermanfaat dan menyenangkan. Cowok jangkung dan berotot. “Kribo, kau lihat cowok itu!”

“Banyak cowok di sana, kenapa?”

Plak! Tak segan tanganku melayang di kepalanya, “bukan semua! Lihat itu yang pakai baju berbeda sendiri.”

“O ... tukang kebun?”

“Kribo ....”

“Hehe, yang mana sih?”

“Di lapangan basket.”

“Oh itu.”

“Kenal dia?”

“Nggak.”

“Tolol bener.”

Dan saling tertawa.

Untuk sesi hukuman menjadi biasa saja, aku akan telanjur dan mengenakan beberapa pilihan gaya saat dia menatapku. Mungkin bagiku gampang mendapatkannya. Bergantung pada suasana hatiku ini, saya mungkin membiarkan menikmati pandangan menawan ini. Tapi entahlah, dia masih single atau tidak.

Sangat menarik untuk melihat perilakunya berubah saat setiap tatapan saling mendeteksi. Di depan mataku, dia berubah dari gaya lompat yang percaya diri dan sedikit agak menjadi salah tingkah, mematuhi setiap detik hingga lemparan senyum terjadi.

“Yee ... dia senyum denganku.”

“Hah, jangan percaya diri, dia ke aku.”

“Kribo, kamu jangan salah, dia ke aku.”

-o0o-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status