Share

Aku yang tak mengerti cinta
Aku yang tak mengerti cinta
Penulis: Yanti D

Aku

Banyak kehidupan memiliki rahasia; banyak kesalahan yang sudah lapuk akan waktu atau ketidakpercayaan diri, introvert dan tidak pernah dibicarakan lagi. Dalam masalahku, keluargaku memiliki rahasia yang hanya kuketahui melalui gosip kosong ketika berusia lima belas tahun.

Aku menemukan sekolah menengah atas, bahwa semua hubungan keluarga yang pernah kualami adalah kebohongan besar. Dua orang yang kukenal sebagai ibu dan ayah, sama sekali bukan ibu dan ayah yang kudambakan—mereka adalah melawan takdir. Ibu kandung yang seharusnya menjaga rumah dan seisinya. Bertahun-tahun berutinitas, meninggalkanku dan memulai sebuah pekerjaan yang sama sekali dibutakan akan waktu.

Ali itu menghancurkan impianku. Konon pria adalah ciptaan Tuhan yang istimewa karena melindungi kaum wanita, itu bohong, aku tidak ingin mengenal siapa dia Ali, dan ayah kandungku tidak terlihat di mana pun. Bajingan? Ya, menurutku.

Singkatnya, itu adalah waktu yang menyebalkan.

Frasa beberapa tahun terakhir, aslinya kutulis dalam sebuah buku catatan, yang sangat menyentuh hati setiap kali kubaca ulang. Agak menjijikan: Mereka mengacaukan segalanya, ibu dan ayah, maupun Ali.

***

Aku, kelas Akuntansi dari penerangan malam di SMK Praja Utama, Jakarta -Indonesia, mata kantung seperti yang sering dikenal dengan insomnia.

Sebagian besar sekeliling asrama diam dan terus diam. Hanya sedikit yang belum tertidur lelap, tetapi banyak yang telah meringkuk di bawah selimut kumel dari yang terlihat mereka untuk mencoba dan mengambil beberapa waktu istirahat yang gelisah. Teman satu kelas berdekatan, sedang menatapku, matanya sangat sinis dan seperti akan memangsa. Baik dia maupun aku saling pandang, tidak mengharapkan bertegur sapa. Aku tidak pandai bersahabat karena seorang dominan akan uang. Penyakit anak asrama selalu begitu.

Tanpa ampun malam itu, aku jelas tidak tertidur karena aku nggak mau harus berhenti lebih dulu melihatnya. Lalu, sentakan listrik yang secara tiba-tiba mati di tengah malam, menghentikan pandangan gadis Keribo di seberang sana, melalui kontak mata terputus.

"Kenapa anak itu menatapku begitu tajam? Anak yang aneh ... mau kutampar kamu?" pelikku.

Aku memperhatikan wajahnya dengan hati-hati saat akan tidur, hampir satu jengkal matras, dengan hanya sandaran tangan aku lingkarkan pada leher, kepala miring ke satu arah, dan mata mulai terkunci bersama dalam cahaya gulita. Gadis Keribo mengagumiku rupanya, melihat jauh ke tangannya saat aku merasakan, dan pengalaman buruk telah mengajariku bahwa siapa pun dapat menilai tingkah buruk rasa sakit hati dan mendalam. Atau lebih akurat melalui tangannya dengan metode ada ketertarikan pada tubuhku.

"Aku tidak suka ini, please Tuhan ... kasih lampu menyala dengan segera!" do'a-ku panjatkan selaras naik turun napas. "Oh Tuhan tak berpihak padaku," pelikku lagi.

Tak terkendali oleh jarak jauh, seperti yang dia lakukan, kelaminku telah dijamah oleh jemarinya. Triknya adalah selalu memastikan bahwa aku sedang kedinginan. Sangat membuat ketidaknyamanan aku yang tak bisa berteriak, tanpa memberitahu siapa pun aku menangis keperihan. Hal terakhir yang kualami adalah agar salah satu di antara kami tidak tahu, aku akan malu disaksikan oleh mereka yang penuh perhatian memperhatikan ada sesuatu yang salah dalam aturan asrama. Sepanjang malam yang gelap. Aku tidak akan keberatan jika permainan kecil, tapi jangan merusak. Dan pada kesempatan ini adalah melanggar peraturan asrama. Mereka selalu mengklaim, bahwa ini asrama yang bagus dari segi pelayanan.

***

"Bu, Siva pulang!"

Melirik salah satu ruangan yang terdapat jam dinding yang biasa menempel di atas, “ya, aku tahu ini aneh, tapi ini adalah rumahku, biasanya jam itu ada di atas sana, tapi sekarang—” pelikku, aku menyadari bahwa selama tinggal di asrama menjadi asing dari rumah.

Ibu bilang akan segera pulang, tapi nyatanya ... ini adalah waktu untuk mengakhiri permainan lama. Aku menyentuh tombol remote TV untuk terakhir kalinya membuat supaya tidak bosan dan siaran musik kuputar sesuai yang aku inginkan. Kemudian sesekali aku memastikan pintu, ibu belum datang, memperhatikan juga saat aku menyelipkan tangan ke bawah rok. Aku memastikan bahwa vaginaku sedang baik-baik saja. Tingkat kenikmatan meningkat dengan cepat, napasku menjadi cepat dan bibirku sedikit terbuka, saat tanganku menjalar lebih dalam, di dalam rok yang menutupi tangan. Meraba-raba dalam kelembutan jemariku meremas kemaluan yang mulai meregang, seketika meningkatkan sengatan listrik dan memaksa erangan rasa nikmat yang pertama, nyaris berteriak, dari dalam tenggorokanku.

Krek!

“Eh hai Bu … sudah pulang,” sontak tanganku kulepas dari jemahan kelaminku.

Ya, itu hanyalah penasaran yang sesaat untuk melampiaskan jari-jari yang membawanya ke klimaks seksual saja. Tanganku mungkin masih basah, tapi aku tidak bisa meliriknya dan memastikan karena ibu memandangiku terus.

“Sayang … akhirnya kamu mau pulang, kamu lama menungguku ya? Maafkan Ibu ya!” ibu berkata sambil memelukku. Dengan lembut untuk memberi kasih sayang, tangan ibu membelai rambutku.

“Aku Lelah,” balasku, lalu kudorong tubuh ibu. Beranjak duduk di ruang tengah, ruangan serba guna yang dipergunakan kumpul keluarga, itu dulu, enam bulan yang lalu saat aku mengenal ibu dan ayah sebagai orang tuaku.

“Oke, ibu masakin sesuatu ya … makanan kesukaanmu,” ibu sambil beranjak ke dapur.

***

Kebahagian terpancar dari raut ibu, sebanyak mungkin: hadiah kecil untuk rasa sakit yang dialami karena diceraikan oleh suaminya. Sejujurnya, terkadang aku menyalahkan diri sendiri dengan betapa bisa menjadi anak yang baik untuk Nyonya Mira, ibuku yang baik, dan yang seharusnya baik! Kemudian, kumakan dengan lahap hidangan mie goreng dan telor ceplok setengah matang, aku melepaskan kerinduan terhadap masakan ibu, mungkin ibu sedang memperhatikanku, aku tidak melirik ke arahnya.

“Siva, maafkan Ibu karena sudah menitipkanmu di asrama. Tapi Ibu janji, nanti setelah—” katanya yang kupatahkan.

Prang ….

Piring yang aku banting dengan sangat keras.

Momen baik berubah kacau, aku yang sedang makan harus diingatkan kejadian pada enam bulan yang lalu dan menyiksa batin selama berbulan-bulan. Aku berubah menjadi orang sibuk, langsung mengambil tas dan masuk ke kamar. Salah satu perkataan yang tidak biasa kudengar telah sepenuhnya dibangkitkan. Hampir dua dua bulan yang lalu aku mencoba bersahabat dengan batinku, itu sia-sia. Sebagai cewek rapuh professional, aku tertantang untuk tantangan terbesar bukan datang ke sarang harimau.

“Siva … buka pintunya! Ibu minta maaf, Sayang! Please!”

Tetapi dalam membawa diri sudah malas, aku membuka pintu dan kembali membanting tubuhku ke ranjang. Sementara, ibu langsung masuk ke kamar dan duduk pada tepi ranjang, kurasakan tangannya menjamah tubuhku. “Maafkan Ibu, tapi kenapa kamu masih marah Sayang … itu sudah lama dan Ibu rasa tidak perlu lagi kita mempermasalahkan itu.”

Aku beranjak bangun, dan memandang wajahnya dalam-dalam, ada bekas tangis di pelupuk matanya. “Aku benci peristiwa enam bulan yang lalu, Ayah meninggalkan Ibu, dan Ibu selalu egois dengan kehidupan sendiri. Kalau boleh aku memilih, aku nggak ingin terlahir dari rahim seorang Ibu.”

Tali pengikat hubungan aku dan ibu memiliki kontak yang kuat, itu seharusnya, tetapi terlihat seperti renggang yang tidak dapat diukur sampai kapan. Tidak ada yang membangkitkan untuk perubahan, saat kami saling menatap dan diam dalam kebisuan, hanyalah intropeksi diri.

-o0o-

Yanti D

Hi Reader! Jika suka dengan ceritaku, tinggalkan tilas review ya!

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status