Bergantung pada lemari yang kupajang, sebuah koin milik pebasket yang terjatuh. Aku mungkin akan menambahkan lemari dengan barang lainnya. Dalam kasus ini, pakaian ekstrim sepertinya akan kubutuhkan saat berkencan dengannya. Dia perlu diikat ke bangku dan diikat dengan satu atau lebih tubuhnya, lalu kujilatin.
“Oh no ... anak 15 tahun sudah seliar itu.”
“Aku tidak meminta pendapatmu Kribo.”
“Aku harus mengarahkanmu menjadi gadis kecil normal, biar terlihat santai dan seperti polosnya pada masamu.”
“Aku sudah tua maksudmu?”
“Oh, bukan aku yang ngomong loh.”
“E-ra-la-, whatever ... aku akan berkencan, yes.”
***
Hanya ketika di bawah pohon, aku mempertimbangkan untuk menawarkan beberapa bentuk bantuan manisan. Aku akan menyodorkan minuman dingin untuknya, tetapi hingga lima menit belum juga usai latihan basketnya. Akan membutuhkan waktu lama untuk mencapai hasil yang diinginkan jika aku tidak memutuskan bahwa perilaku harus sabar, yang terjadi aku akan kehilangan kesempatan. Mereka selalu menyenangkan, meledek saat permainan selesai pada cowok incaranku yang sedang ke arahku. Terkadang, jika mereka hidup dan bermain bersama sebagian di kehidupanku seperti nyata dan bernyawa, mereka membawaku lebih percaya diri.
“Makasih ya Siva,” dia menerima minuman dariku lalu menjenguknya.
“Hei, kamu tau namaku?”
“Tau, Siva kan?”
“Iya, kok bisa tau?”
“Aku juga tau kamu anak siapa.”
“Siapa?”
“Ibu.”
“Sayangnya salah," jawabku langsung. “Tuhan, tolong biarkan aku mencoba tidak memikirkan Ibu," pelikku.
Kadang-kadang, perasaan tunduk dan kemudian aku dapat memiliki keinginan untuk berdamai dengan ego. Yang tidak mungkin benar-benar tahu cara pasti atau sekedar perasaan saja. Aku alihkan pada obrolan yang lain.
“Aku suka liat kamu main basket, tadi bagus.”
“Kamu suka?”
“Hah?”
“Sudah ayo ke kantin! Jangan bengong!”
“Ok,” kami pun berjalan ke kantin, sambil berjalan tetap bicara. “Aku boleh tau siapa namamu?”
“Boleh, kamu juga boleh tau siapa pacarku.”
Hah! Situasi dimana aku tak bisa berkata apapun lagi. Aku memiliki obsesi pada pria yang salah rupanya. Sekarang nyata menuju gagasan bahwa aku bermain cara keliru.
Aku mendeskripsikan sebagai kalah cepat, tetapi itu tidak sepenuhnya benar; dia adalah seorang cowok yang terkadang hanya bercanda, tapi tidak luput juga dari kebenaran. “Agh ... aku bingung.”
Dia berjalan lebih dulu hingga beberapa meter, kubiarkan itu terjadi, aku malu banget.
Halnya hidupku ini merupakan campuran kegembiraan, kebahagiaan, kesedihan, dan keputusasaan yang salah. Namun, melihat ke depan sejauh beberapa langkah, hari salah satu momen terburuk sepanjang hidupku. Aku tidak tahu perasaan dingin dan tenggelam di raut malu yang berusaha tak ada wajah ketika cowok itu berbalik menatapku. Di depannya hanya muncul perasaan menghancurkan hatiku.
"Hei … sini! Semua orang tahu - kecuali kamu, sebenarnya bukan pacar, lebih ke teman dekat."
Mendengar kata-kata yang diucapnya, tidak dapat mengungkapkan rasa kegembiraan sedingin salju yang mencengkeram saat memahami kata-kata yang diucapkan. Apa yang aku rasakan? Sungguh hal yang luar biasa untuk kukatakan, betapa senangnya jiwa ini melayang bak diterpa musim gugur. “Eh, i-iya, kita jadi makan di kantin?”
“Seperti yang sudah kubilang,” balasnya singkat.
Bagaimana mungkin aku bisa berjalan dengan pebasket yang di gandrungi para wanita cantik? Seperti itu sekarang bisa kualami? Aku hanya menahan air mata saat berjalan mendekatinya dengan agak bingung pada apa yang baru saja kudengar.
Kantin dalam kondisi di serbu anak sekolah yang lain, ini menyebalkan, keluar melalui pintu belakang sekolah, kami tidak jadi makan di kantin. Aku menemukan di belakang sekolah ada taman kecil, lokasinya lain sepi. Meskipun berstatus teman, aku telah dibuat senang, dan yakin bahwa cowok ganteng dan tinggi ini akan segera menjadi pacarku, tapi ambang penolakan juga bisa saja terjadi, perasaan ketidakpastian … bukan?
“Enak ya di sini, adem dan nggak berisik,” kataku untuk membuka obrolan.
“Tidak juga, aku lapar,” balasnya dengan cemberut.
“Ya, memang sih.”
“Oh iya, kamu kenapa mau jalan denganku seperti ini? Aku kan jelek.”
“Itu harusnya aku yang bilang begitu … oh iya, namamu siapa?”
“Leo, namaku cukup pasaran, bahkan di sekolah kita ada lima nama Leo.”
“Haha iya.”
“Aku boleh tanya satu hal?”
“Hmm.”
“Kenapa kamu tinggal di asrama … tidak di rumah saja?”
“Oh, nanti suatu hari kamu akan tau.”
“Terus siapa cowok yang berdiri dan melihat kita, itu!”
“Hah, itu anak anggota OSIS.”
“O.”
Kami melihat, Ali berdiri di batas balik gerbang yang menghubungkan antara taman belakang dan sekolahan. Telah menjadi tanda tanya bagiku, aneh dengan tatapannya. Tapi aku tidak peduli, gadis kecil yang sangat bahagia sampai sore ketika dunia serasa milik berdua, kuhabiskan hanya berbincang dengan Leo. Penuh kasih, dan cara Leo berbicara lebih intim. Itu adalah hari ketika aku mengetahui bahwa dia orang yang berpikir dewasa yang aku kenal, dan aku cintai padanya.
Saat Leo menatapku, itu dimulai seperti lain, dengan matanya yang sedikit belok terus menatap, “kita bolos sekolah saja, ayo ke kostku!”
“Leo, kita baru pacaran kan … kita main ke mal atau ke kedai kopi saja, bagaimana?”
“Iya kamu benar, kita berangkat sekarang?”
“Aku ambil tas dulu ya!”
Aku ingat orang-orang mengatakan kepadaku bahwa aku cantik, jadi mudah saja aku membuat Leo jatuh hati hanya dalam hitungan jam, saat diberitahu bahwa Leo banyak teman wanita, aku tidak peduli karena Leo Sukanya hanya padauk. Pelajarannya untuk hari ini mudah dan tidak masalah untuk sekali tidak mengikuti pelajaran. Itu adalah sekolah aneh, sekolah sampai sore hari, yang memiliki aturan berbeda dari sekolahan lainnya. Kuambil tas dan segera meninggalkan kelas kembali.
Aku biasanya mendekati Kribo untuk menyapa sekedar basa-basi sebelum pergi, kulirik dia hanya memandangku. Cukup tersenyum lebar untuk menjadikan sapaan. Terdapat seorang anak laki-laki, tidak lebih tua dariku, yang menghalangiku saat akan keluar kelas. “Mua bolos?”
“Nggak usah sok … urusi dirimu sendiri yang banyak nilai merah itu! Cih …,” aku dengan nada meninggi dan untuk memberi pelajaran atas kekangan sok patuh aturan sekolahan, dorongan membolos karena hari ini aku akan bersama Leo untuk jalan-jalan, sekedar makan es krim.
Si rambut ikal di penghujung Lorong terdapat guru BP, “oh Tuhan … lewat mana ini …,” aku berbalik badan dan mencoba menutupi tas yang sedang kuserempangkan ke depan dan kututupi oleh tubuhku. Cerdik merupakan kebanggaanku, aku tahu ada jalan pintas lewat Lorong belakang, searah ruang Osis. Semua maling menginginkan kesempatan mulus sepertiku, “Haha … guru bodoh, Siva dilawan.”
“Aku akan memberitahu gurumu,” terdengar suara pria di belakangku. Yang semula kuanggap tidak mungkin ada seseorang yang melintas selain diriku, mengingat rambut si ikal terakhir kulihat. Setelah aku berbalik, Ali si mengabdi ruangan di ruang Osis, rupanya aku telah diberhentikan. Meskipun aku tidak memahami tujuannya, perannya sebagai benteng sekolahan membuatku semakin jijik. “Cih … kau lagi mengganggu. Urus saja sekolahmu sana!”
“Ini sekolahmu juga, bicara yang sopan goblok!”
“Kamu pikir perkataanmu sudah sopan?”
“Apa-apaan … lepaskan tanganku!” aku merasa bahwa Ali memiliki dendam, tanganya meremas pergelanganku dan bahkan memelintir lenganku. “Sakit tolol!”
Bagiku, insiden penindasan ini atas dasar dendam: “Kamu hanya butuh membela diri, bukan melakukan kekerasan Ali. Lepaskan tanganku anak bodoh … aku sedang tidak ada waktu untuk bertengkar, pacarku sedang menunggu,” pelikku.
Tap—
-o0o-
Pukul lima sore aku baru sampai taman belakang, “dia kemana ... Leo sudah pulang, kenapa kamu tidak menungguku Sayang? Ah, capek aku lari-lari, ternyata ....”Keesokan harinya aku membuat surat izin untuk tidak mengikuti pelajaran beberapa hari, aku sedang tidak enak badan. Meja selalu mengiang di pikiranku. “Kamu yakin Siva, ini sebentar lagi kita ujian, kalau kamu banyak bolos, nanti kamu ketinggalan.”“Kribo, aku hanya minta kamu kasihkan saja suratku, tidak sedang butuh khotbah, aku sudah lelah dapat khotbah dari ibuku … jadi jangan kau timpal dengan omonganmu yang seolah paling paling benar itu!”“Ok baiklah Nona Siva yang super galak. Tapi bantuin aku sekarang ke kamar mandi dulu, yuk!” ajaknya sambal meringis.“Tolol kau.”Aku berkemas sehelai baju dan celana saja.Melihat ke belakang sekarang, aku merasa (hanya sedikit sakit) malu dengan cara kekuatanku y
Saat itu sudah sangat malas aku akan bangun, terlambat ke sekolah juga aku tidak peduli. Leo telah tiada saat aku membuka mata, dia memberitahu bahwa mungkin akan pulang sedikit terlambat, ada latihan basket. Kuambil surat yang ditulis dan kubaca ulang hingga beberapa kali. Dibawahnya terdapat uang dengan lembaran lima puluh ribuan dengan jumlah dua lembar. “Ini untuk beli sarapan dan untuk jajan,” katanya.“Ah aku tidak sabar ingin bertemu Leo lagi.”Sambil menunggu kedatangannya, kuintai seluruh sudut dan bidang dari barang-barang yang ada di kamarnya. Tetapi, mataku tertahan pada sebuah benda yang berdiri di atas lemari pakaiannya. Sebuah bingkai, namun bukan perkara bingkainya, yang menjadi mataku melotot adalah foto yang ada di dalam bingkai.“Ini apa sih maksudnya Leo!?”Meskipun Le
Aku ingat saat berkunjung di asrama kali pertama dan berusaha membaur, untuk menambah masa tinggalku lebih lama, mungkin untuk menghindari keisengan mereka. Saat ini kembali ke kamar tidur yang berantakan setelah kutinggal beberapa hari. Ada saat-saat ketika ruangan tampak lebih dingin di dalam daripada di luar dan aku tidur karena seprai yang terasa dingin dan lembap, kupastikan di beberapa bagian. “Anjing ... ah si Kribo bikin ulah ini, pasti dia yang berbuat di sembarang tempat."Aku paham, anak satu itu kecenderuangan lebih bergairah, asli bau busuk, mungkin tidak sadar dia bahwa berhubungan dengan kain fakta bahwa jamur tumbuh tidak terkendali di bekas kain yang dipakai. Napsu itu tumbuh di sebuah ruangan di mana, alih-alih ruang kosong dan pikiran mengembang ke penjuru dunia dewasa, terkadang aku juga begitu, tidak hanya Kribo.Menjelang sore berbeda. Kribo punya rahasia yang harus d
Ibuku tiba-tiba datang, bersama Kribo, dan mereka menyeringai di seberang dari aku berdiri. Dan di mana aku dalam semua ini … yang sebenarnya diikuti oleh mereka?“Ah, menyebalkan.”Di tengah kebingungan, mungkin tidak mengherankan bahwa Tuhan memberi kasih dengan mendatangkan mereka, di masa sulit.Sejujurnya, bagaimanapun, aku tidak bisa berpura-pura bahwa memiliki perasaan rindu, sama dengan anak-anak lain, dan sebagian besar teman di sekolah.Kompromi dari usia mereka yang lebih tua, Kribu dan ibuku, mereka membuatku merasa diperhatikan. Dalam kesadaran, aku dapat melihat mereka mendekat, sikapkuterhadap mereka agak canggung.“Siva, maafin Ibu ya!”“Hah?”Aku tidak pernah meragukan cintanya, tetapi, tiba-tiba mem
Kribo, dia selalu mengatakan kepadaku bahwa berada di asrama lebih baik daripada kehidupan kejam yang ada di luar sana. Dia tidak tahu, jika aku jalani di rumah bersama ibu jahat aslinya dan betapa kacaunya setiap hari.“Kamu menjadi seperti itu karena dibutakan atas satu kesalahan orangtua, Siv. Kamu harus pulang sesekali, meski sebentar.”“Apa kamu bilang, satu? Mereka banyak menyakiti aku. Ayaku dan Ibuku sama saja, mereka tidak peduli padaku Bo. Sudah ya, jangan ngomongin soal itu! aku muak.”“Aku pikir, kamu akan kuat melebihi aku. Keberanianmu saat melakukan aksi, aku ingat itu, dan aku rindu kamu yang seperti itu, Siv.”“Hm, entahlah, aku juga tidak tahu apa yang aku akan lakukan.”“Pulang! Pulanglah dan temui Ibumu!”
Aku menyusuri jalanan berumput yang layu karena senja sore. Langit masih kuning, sinar mentari belum tenggelam untuk tidak lagi menerangi bumi. Terik panas masih menyayat di kulit, membuatku beberapa kali mengosok-dosok lengan dan mata memicing sesekali. Rambutku masih semeriwing diterpa angin, efek hanyut dalam alam. Masih dengan baju tidurku, masih berjalan agak sempoyongan, karena lelah menopang tubuh sudah terkuras tenaganya.Tujuanku adalah toko obat, langkahku terhenti ketika melihat seorang diri sedang melamun di pinggir jalan. Dia duduk membelakangiku.Di luar sepengetauanku, saat melintasi dan berbalik, rupanya ....“Ali,” kataku setengah tidak yakin sambil mengucek-ngucek mata, agak dibuat heran. Tidak ada respon dari cowok yang kupanggil, bahkan berkedip pun tidak. “Ali ...,” teriakku, tetapi tetap saja, dia masih berdiam. Sedeki
Pemahamanku tentang fakta bahwa ada perbedaan yang jelas terlihat antara aku dan Leo. Seks di luar nikah sudah terjadi.Pada kesempatan yang tidak diharapkan, berhentisekolah, lalu perut semakin hari semakin membesar, itu yang ada dibenakku.Mengingat pada usia belasan tahun masih layak bermain dan bercanda di sekolah. Aku tidak polos, Itu semua sangat kututup rapat, dan semuanya biar waktu yang mengungkap.Ironisnya, aku sekarang menghabiskan banyak waktu dengan orang yang tidak kusuka, sebagai seorang anak, aku selalu menjadi orang yang yang tidak berguna sekali dan tidak menunjukkan tingkat sensitifitas yang tinggi. Terlalu ada perubahan hormon, pemalu hamil, mungkin faktornya.Menjadi siswi pensiun dini bukan suatu keharusan, tetapi, untuk mempertimbangkan berbagai hal.Aku melihat lampu kamar ibu nampak gelap, dari halaman terlihat seperti bia
Salah satu dari banyak sore hari ketika aku menolak di antar ke tempat les-private oleh ibu. Dalam perjalanan pulang, aku telah bertemu dengan seorang Deep yang usianya lebih dari dua tahun mudanya dari usiaku yang menurutku adalah kandidat setelah aku tiada di sekolah lagi. Dia bercerita tentang sekolah: “Oh Leo, dia hebat. Dia selain pintar, dia anak kepala sekolah dan ternyata anak pemilik yayasan juga, aku serasa bertemu dengan idola—dan dia punya pacar ...,” bicaranya terhenti.“Tunggu!” aku memotong ucapannnya. “Kamu pernah bilang, cewek yang kutampar adalah pacaarnya anak pemilik Yayasan, berarti Leo dong pacaranya?”“Hem, keren ya ... satu tampan satu cantik.”“Kenapa tidak bilang dari awal?” aku berteriak, “cih ... cantik apanya, genit baru iya.”