Share

Bab IV: Tentang Puspemas

Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.

Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.

Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapat menaiki lift. Begitupun dengan Lema yang meskipun hanya turun satu lantai untuk meminjam buku ke perpustakaan, ia tetap menggunakan lift.

Gedung Puspemas berada di kota Lokastiti. Lokastiti berjarak 13 kilometer dari Setra dan merupakan ibukota negara Antapura. Waktu tempuh dari Setra ke Lokastiti biasanya sekitar satu setengah jam jika kondisi jalan sedang tidak ramai. Namun, jika jalanan sedang ramai, waktu tempuhnya pun menjadi lebih lama, yaitu sekitar dua jam perjalanan. Berbeda lagi jika jalanan tidak hanya sekadar ramai, tetapi betul-betul padat merayap, waktu tempuhnya menjadi tiga jam. Hal ini juga berlaku untuk sebaliknya, dari Lokastiti ke Setra.

Biasanya, di saat jam pulang kerja seperti ini, jalanan akan ramai padat, tetapi tidak sampai padat merayap. Dari balik jendela kaca, Lema dapat melihat hiruk-pikuk kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Selagi jalanan belum macet, Lema pun berpikir untuk segera pulang. Dimasukkannya buku-buku dan dokumen-dokumen yang berceceran di meja ke dalam lemari arsip. Setelah mejanya rapi, Lema menggendong ransel hitamnya dan berjalan keluar ruangan.

Keluar dari ruangannya, Lema melihat seorang pesuruh kantor paruh baya sedang membawa tongkat pel dan ember. Dengan sedikit membungkuk sambil tersenyum ramah, Lema menegur pesuruh kantor itu.

“Sore, Pak.”

“Sore, Dik. Sudah mau pulang?” Bapak pesuruh kantor itu ikut tersenyum ramah.

“Iya nih, Pak. Saya pamit dulu ya, Pak.”

“Iya, silakan, Dik.”

Setelah berpamitan dengan bapak pesuruh kantor, Lema mencari lift untuk turun ke lantai satu. Lema sangat bersyukur karena letak ruang kerjanya tidak jauh dari lift. Dari ruang kerjanya, Lema cukup berjalan lurus selama beberapa meter untuk sampai ke lift. Sebelum akhirnya sampai di depan pintu lift, Lema melihat Luhung keluar dari ruang kerjanya.

“Oi, Lema! Baru mau balik juga?”

“Iya, nih. Hoo .… Jadi, ruang kerja lu yang ini toh, Bang?”

Yo’i, bro. Lebih enak, enggak lama keluar langsung lift di sampingnya.” Luhung tersenyum jail.

“Iya deh.” Lema menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum mafhum.

“Naik apa ke sini?”

“Naik motor. Lu naik apa, Bang?”

“Naik apa ya? Coba dong, tebak.” Luhung berbicara dengan nada meledek.

“Naik odong-odong sih kayaknya.”

Mendengar candaan Lema, Luhung langsung tertawa.

“Langsung hancur tuh odong-odong kalau gue yang naik mah.”

Lema ikut tertawa mendengar respons Luhung.

Belum sempat Lema dan Luhung bercanda lebih banyak, keduanya sudah sampai di depan pintu lift.

Ada sepuluh lift di tiap lantai gedung Puspemas. Enam lift untuk lalu-lalang orang dan empat lift lainnya adalah lift barang. Dua lift dibangun secara berderet berdekatan dan letak lift untuk orang yang lalu-lalang berada di depan, kanan, dan kiri setiap lantai. Sedangkan untuk lift barang terletak di kanan dan kiri setiap lantai.

Secara keseluruhan, berdasarkan data statistik, jumlah seluruh peneliti di Puspemas kurang-lebih ada 1.000 orang. Banyaknya peneliti yang ada di Puspemas menyebabkan Badan Riset Nasional membangun dua gedung Puspemas, satu gedung untuk peneliti dalam bidang pendidikan dan yang lainnya untuk peneliti nonpendidikan. Gedung A, gedung yang ditempati Lema bekerja saat ini merupakan gedung Puspemas yang berisi peneliti pendidikan.

Luhung bercerita, jumlah peneliti pendidikan yang bekerja di sini ada 457 orang. Sebetulnya, enam lift ini masih kurang cukup, mengingat jumlah penelitinya yang lebih dari empat ratusan. Belum lagi ditambah dengan staf lainnya seperti pesuruh kantor, bahkan pengunjung yang ingin berkunjung ke ruang multimedia. Mungkin bisa lebih dari 1.000 orang yang memasuki gedung Puspemas setiap harinya.

“Coba ya kita hitung-hitungan. Satu lift muatannya 20 orang. Ada enam lift, berarti hanya bisa mengangkut 120 orang. Sedangkan jumlah orang yang berkunjung ke Puspemas bisa lebih dari seribu orang,” cerita Luhung.

“Bisa sampai sepuluh kloter ya, Bang, supaya bisa keangkut semua,” timpal Lema.

"Nah, itu dia." Luhung menjentikkan jempol dengan jari tengahnya.

Ting!

Pintu lift di depan mereka terbuka. Dari belakang Luhung dan Lema, tiba-tiba saja sudah ada beberapa peneliti yang juga menunggu untuk menaiki lift. Luhung dan Lema terdorong hingga ke belakang lift.

Sebelum pintu tertutup, beberapa peneliti yang baru saja keluar dari ruang kerjanya lalu bergegas lari dan berhamburan masuk ke dalam lift. Ada juga beberapa peneliti yang selain berlari bahkan sampai berteriak-teriak ‘tunggu’, berharap orang yang ada di dalam lift menahan tombol agar lift tetap terbuka. Namun, karena kapasitasnya yang hanya memuat 20 orang, beberapa peneliti yang berteriak dan berlarian itu pun tidak bisa ikut masuk ke dalam lift. Mereka perlu menunggu kloter berikutnya.

Wah .…

Lema bergumam mendengar teriakan histeris orang-orang dan pemandangan desak-desakan yang ada di hadapannya. Luhung menyadari gumaman Lema sehingga menoleh padanya dan hanya bisa tersenyum.

“Tenang, ini masih mending dibandingkan naik kereta,” bisik Luhung.

Lema terbelalak kaget. Mata cokelatnya membulat.

“Serius?”

“Wah, lu belum pernah coba naik kereta ya?”

Lema hanya menggeleng bingung.

“Kapan-kapan lu harus coba sensasi naik kereta kalau lagi jam berangkat atau pulang kerja.”

📖 📖 📖

Lema baru saja sampai di rumahnya pukul lima sore. Tidak lama setelah Lema duduk di balai, nampak Pak Hadat berjalan santai sambil menjinjing tas.

“Baru pulang juga, Lema?” Pak Hadat ikut duduk di samping Lema dan meletakkan tasnya di balai.

“Eh, Bapak.” Lema mencium tangan Pak Hadat. “Iya, Pak. Lema baru saja sampai,” sambungnya.

“Keluar dari sana jam berapa?”

“Jam tiga, Pak.” Lema melepas sepatunya bergantian dari kiri ke kanan.

“Bagaimana hari pertama bekerja di sana?”

“Alhamdulillah, Pak. Lema juga tadi sempat ngobrol sama koordinator penelitinya.”

“Oh, ya? Terus?”

“Awalnya, Lema panggil dia ‘Abang’. Ternyata dia bilang seumuran sama Lema jadi enggak perlu panggil ‘Abang’.”

Pak Hadat mengangguk mendengarkan cerita anak semata wayangnya itu.

“Kalau gedungnya, bagaimana?”

“Gedungnya ada sepuluh lantai, Pak. Oh, dan Lema baru tau kalau gedung yang Lema tempati itu gedung untuk peneliti khusus bidang pendidikan. Ada lagi Gedung B untuk peneliti nonpendidikan,” cerita Lema.

“Hm .… Wajar sih, kalau gedungnya dipisah begitu untuk yang pendidikan dan nonpendidikan. lmu itu kan memang ada banyak cabangnya. Penelitinya pun juga pasti ada banyak. Kalau tidak dibedakan begitu, gedung tempat bekerjanya harus dibangun lebih tinggi lagi.”

“Iya, betul, Pak. Di tempat Lema bekerja aja, penelitinya sudah ada empat ratus lima puluhan. Belum lagi staf lain yang bertugas. Kata Luhung, jumlah peneliti keseluruhan bisa seribu orang. Bahkan tadi waktu Lema pulang, turun liftnya sampai rebutan.”

“Rebutan?” tanya Pak Hadat sambil mengernyitkan dahi.

“Iya, karena liftnya cuma ada enam, Pak. Sedangkan yang mau turun ada empat ratus lima puluhan peneliti. Rebutan deh, jadinya.”

“Walah .…”

Lema dan Pak Hadat terlihat asyik mengobrol di balai. Tidak lama kemudian, Bu Huriah muncul dari dalam.

“Lo, kalian sudah pulang toh?”

Lema dan Pak Hadat menoleh ke arah Bu Huriah. Bu Huriah segera menghampiri Pak Hadat dan mencium tangannya. Begitupun dengan Lema yang mencium tangan Bu Huriah.

“Iya, Bu. Tadi Lema sampai jam lima di rumah. Enggak lama Lema sampai, Bapak juga pulang. Jadi kita ngobrol-ngobrol dulu di sini.”

Mendengar anaknya mengatakan kapan sampai di rumah, Bu Huriah spontan melihat jam dinding yang ada di dalam rumah.

“Ya ampun. Kalian keasyikan ngobrol. Sekarang sudah setengah enam. Sebentar lagi magrib.” Bu Huriah mengambil tas jinjing Pak Hadat dan masuk ke dalam rumah.

Lema dan Pak Hadat sontak kaget mendengar ucapan Bu Huriah. Dengan terburu-buru, keduanya masuk ke dalam rumah setelah meletakkan sepatunya masing-masing di rak sepatu.

Rumah keluarga Pak Hadat memiliki luas 60 meter persegi dan merupakan rumah kayu dengan model cottage bergaya rustic yang dipernis cokelat kemerahan. Pintu dan dan jendelanya dipernis dengan warna cerah sehingga menghasilkan fasad yang menarik. Di depan rumah terdapat teras berlantai ubin dan taman. Di antara taman yang terbelah terdapat jalan setapak yang dibagun menggunakan batu alam. Tak heran jika rumah keluarga Pak Hadat menghasilkan kesan ramah lingkungan dan alami.

Di dalam rumah terdapat tiga kamar tidur, kamar Pak Hadat dan Bu Huriah, kamar Lema, serta satu kamar kosong yang disediakan untuk para musafir atau tamu kerabat dekat. Kamar kosong ini dibangun lebih besar dibandingkan kamar lainnya. Kamar mandinya ada di setiap kamar dan satu kamar mandi di dekat dapur.

Setelah Lema melepas sepatu dan masuk ke dalam rumah, Lema menuju kamar mandi yang ada di dapur untuk mencuci kaki. Lema kemudian masuk ke kamarnya, meletakkan tas ranselnya di kursi, lalu mengeluarkan laptop dari tasnya untuk diletakkan di meja belajar. Lema pun bergegas mandi agar tidak tertinggal melaksanakan salat magrib berjamaah di masjid dekat rumah.

Selesai mandi, Lema memilih baju koko terbaiknya untuk digunakan bertemu dengan Sang Illahi Rabbi di waktu senja yang hampir malam. Setelah berpakaian rapi, Lema kemudian keluar kamar dan duduk di sofa ruang keluarga.

“Lema, kamu sudah makan belum?”

Suara Bu Huriah membuyarkan lamunan Lema.

“Belum sih, Bu. Tapi sebentar lagi kan magrib. Lema juga sudah pakai baju koko putih, nanti takut terkena noda.”

“Aduh, kamu tuh ya. Enggak apa-apa, makan dulu sini. Biar sedikit yang penting perut kamu enggak kosong. Ayo!” Bu Huriah mengajak Lema untuk makan. Lema pun menuruti perintah Bu Huriah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status