Menyusul Jingga yang masih membawa kantung kertas di belakang, Alden yang menjelang sore itu berada di kawasan Perumahan Nusantara. Setelah pertemuan tidak biasa yang terjadi di lapangan terbuka beberapa saat sebelumnya, lelaki yang bahunya sama tinggi dengan puncak kepala Jingga menawarkan diri untuk pulang bersama. Ketika ditanya, alasannya adalah dia ingin mengunjungi rumah sang puan dan bertemu orang tuanya.
Alasan lain yang lebih masuk akal sebenarnya adalah dia ingin melihat-lihat keadaan perumahan itu sekarang. Sekaligus bernostalgia dan mengingat kenangannya yang pernah tinggal di sini waktu kecil. Dia lahir dan dibesarkan bersama lingkungan sekitar dan warga Perumahan Nusantara. Oleh karena itu, dia bisa berteman akrab dengan Jingga sampai masuk SMP.
Seperti sekarang saat membuntuti sang puan di belakang. Dia sedang mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Selama pengamatan, dia sadar kalau kondisi perumahan ini sudah jauh berbeda dibandingkan keadaan beberapa t
Saat jarum pendek jam dinding menunjuk ke angka empat dan jarum panjang naik sedikit dari angka sembilan, Devin baru saja keluar dari kamar kecil di dalam ruang tidurnya. Dia yang sendirian sedang melangkahkan kaki menuju cermin yang berada di sebelah lemari. Melalui pantulan cermin, dia melihat bayangan dirinya yang kini dengan sorot mata cerah dan bibir yang tidak kering. Mirip seperti bunga yang baru mekar.Dia saat ini tinggal sendirian di dalam rumah. Kevin yang biasa menemaninya saat sang kepala keluarga di luar kota tidak terlihat untuk sementara waktu. Dia juga baru saja mendapat kabar kalau besok ayahnya pulang, dan besok juga Kevin harus pulang ke Bekasi.Dia yang sedang bercermin sekarang menatap bayangan dirinya dengan wajah bingung. Ada yang berbeda dan itu membingungkan pikiran yang mungkin butuh waktu lama untuk bisa mencerna segala kejadian. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, makanya saat keluar dari kamar mandi tadi dia butuh jawaban pasti.
Pulang dari halte bus, Jingga sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang terletak di komplekas perumahan persis di pusat kota. Bagi warga Jakarta, mencari tempat tinggal dengan harga yang terjangkau bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Semuanya bisa ditemukan dengan mudah, dibantu pula dengan internet yang semakin canggih. Di perumahan itu sendiri, hampir semua kepala menitipkan anggota keluarga. Bulan depan pula mereka akan kedatangan tetangga baru.Setelah mengantarkan Alden ke pemberhentian bus, dia langsung pulang ke rumah tanpa memikirkan tujuan lain. Di dalam kepala, dia sudah membayangkan apa yang akan dilakukan. Hal yang paling utama adalah mandi dan membersihkan diri setelah berada di luar rumah hampir seharian. Dia juga sudah memikirkan kalau dia akan tidur sebentar setelah mandi. Membayangkan rencana indah itu membuat jantungnya berdebar dan tidak sabar menanti.Dia yang sudah masuk ke halaman depan rumah mengulurkan tangan ke arah gagang pintu yan
Lapangan terbuka yang dikelilingi deretan pohon bercabang banyak menjadi tujuan kedatangan tujuh pemuda yang diundang langsung oleh Sagara. Tempat ini adalah tempat yang sama saat mereka dipaksa melawan sosok jubah hitam dan berwajah menyeramkan yang juga dibawa oleh Sagara. Mereka duduk bersebelahan sembari menunggu insan yang belum kelihatan batang hidungnya.Lapangan ini terletak di pinggir kota Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di pusat kota, mereka harus naik bus untuk bisa sampai ke pemberhentian terdekat dari lapangan dan berjalan kaki. Tempat ini bisa disebut sebagai tempat yang sepi dari penduduk pinggiran. Jarang ada yang mengetahuinya dan lebih bisa disebut sebagai tempat terbengkalai.Untuk saat ini, Sagara belum kelihatan dan mereka sedang menunggunya. Selagi menunggu, mereka berkenalan dengan masing-masing kepala dan menanyakan nama. Termasuk juga berkenalan dengan gadis yang mengenakan baju lengan panjang bernama Mentari. Setelah itu, mereka mengobrol ba
“Selanjutnya!”Berselang setelah seruan Sagara berakhir walau hanya satu kata saja, Mentari yang diminta ke depan dan menghadap teman-teman barunya kembali ke tempat. Meninggalkan Alden yang masih berdiri di sebelah Sagara. Lelaki itu sedang menarik napas panjang sebelum bersuara dan mengenalkan diri kepada beberapa pasang mata yang memperhatikannya.Pertemuan baru saja dimulai bagi anggota Fantasy Club yang bergabung, namun posisi sang matahari semakin menjorok di ufuk barat dan tidak lama lagi akan menghilang dari langit. Masih ada sedikit waktu untuk memperkenalkan diri dan berbagi informasi.Setelah mengembuskan napas, dia menaikkan sudut bibir dan tersenyum kepada mereka dengan wajah bersahabat. “Selamat sore, semuanya. Saya Alden dan usia saya tahun ini 22 tahun. Salam kenal juga. Kemampuan saya bisa mengalirkan energi listrik dari ujung jari. Sekian dan terima kasih,” ucapnya yang menyebutkan nama dan informasi penting lain.
Pertemuan yang berlangsung selama dua jam bagi anggota Fantasy Club telah berakhir. Setelah saling mengenal dengan sesama anggota, mereka diminta berlatih menggunakan kemampuan oleh Sagara. Sampai pertemuan mereka resmi berakhir, anggota seperti Jeslyn, Alden dan Rama diminta memisahkan diri dari anggota lain dengan dibimbing oleh Sagara.Sementara itu, anggota lain memilih duduk di bawah pohon. Khususnya Devin yang sedang memulihkan diri setelah mengorbankan tenaga. Setelah pembuktian diri tadi, dia diminta Sagara untuk istirahat penuh agar bisa mengisi ulang tenaga. Menurut pria itu, duplikatnya membutuhkan banyak energi. Makanya pula dia tidak boleh sakit.Mereka yang akan berpisah sebentar lagi saling berbicara satu sama lain selagi menyusuri bahu jalan. Sore ini, tidak banyak kendaraan darat yang melintas di jalan kecil. Menjelang mentari terbenam juga, warga yang berjalan kaki juga tidak banyak. Sudah menjadi hal yang biasa jika penduduk kota berada di dalam ruma
Kenangan yang sudah ada di dalam ingatan Sagara sejak 300 tahun yang lalu berakhir dengan pria itu yang mendadak mengembuskan napas lemah. Kenangan yang kembali diungkit setelah sekian lama membuat wajahnya muram. Terlihat jelas dari sudut bibir yang menekuk ke bawah dan sama sekali tidak kelihatan guratan kebahagiaan yang seharusnya dipancarkan. Sangat jauh berbeda dengan sore yang terlalu cerah dan sebentar lagi akan meninggalkan hari ini.Dia tidak menyangka kalau mengungkit kembali kenangannya akan membawa perasaan bagai diiris pisau sebanyak beberapa kali sayatan. Sakitnya tidak terkira, efeknya juga terasa luar biasa. Hatinya merasa sedih. Fakta bahwa dia telah hidup abadi selama 300 tahun di bumi tidak bisa dilupakan. Sudah banyak pula kenangan yang tercipta di dalam kepala.Bersamaan dengan kepalanya yang tertunduk, perlahan dia mencoba untuk merelakan kenangan itu pergi. Suatu saat jika kenangannya dibangkitkan lagi, dia tidak akan merasa sakit yang sama seper
Masuk ke sebuah perumahan, beberapa rumah bergaya mewah dibangun di sisi kiri dan kanan jalan yang membagi dua sisi kompleks perumahan. Jalan beraspal itu tidak terlalu ramai dan tidak terlalu kelihatan aktivitasnya, apalagi karena saat itu sudah sore dan sebentar lagi malam akan bersambut. Hanya ada segelintir kepala insan yang keluar masuk rumah dan sebuah mobil yang melintas. Sementara itu, Irene yang berjalan kaki sedang pulang menuju rumah yang berjarak tiga buah rumah lagi di sisi kanan.Pulang dari pertemuan dengan anggota Fantasy Club, dia tidak memiliki rencana lagi. Tidak pula menghabiskan waktu di kafe kecil sampai malam hari. Akibat pertemuan yang memakan jarak jauh, energinya sudah terkuras habis. Dia sudah merasa letih. Mungkin juga karena dia sudah lama tidak bertemu dengan orang lain sejak kelulusan.Masih jauh beberapa langkah dari rumahnya, dia mendadak berhenti di tempat dan seolah-olah membeku. Beberapa saat kemudian, dia mengepalkan satu tangan. Ra
Jingga yang hampir tiba di wilayah sekitar rumah berlantai dua melangkahkan kaki dengan wajah lesu. Langit pada saat itu hampir gelap. Matahari yang bersinar di ufuk barat juga hanya menyisakan cahaya jingga saja sebelum tenggelam. Malam hampir menjelang di bumi nusantara. Dia juga berencana ingin mandi air hangat dan beristirahat semalaman. Pertemuan pada hari ini baginya terasa melelahkan.Sebelum punggungnya menghilang dari balik pintu, dia berhenti di halaman depan rumah sambil memperhatikan sesuatu yang tidak jauh. Di hamparan rumput yang rendah, dia melihat ibunya yang sedang menyapu halaman rumah menggunakan sapu lidi. Seolah-olah bisa membaca situasi, ibu tahu kalau saat ini Jingga berada di dekatnya. Oleh karena itu, dia melirik ke arahnya sebentar lalu melanjutkan lagi aktivitasnya. “Baru pulang?” tanyanya yang ingin berbasa-basi dengan sang anak sulung.“Perkenalan doang sih, Bu. Tapi capek rasanya,” jawab Jingga yang memaparkan kegia